Farewell Spell (1)
-chapter 11-
Farewell Spell
By: Allya
Aku tidak percaya aku benar-benar melakukan ini. Rasanya seperti berkhianat pada Tuhan sendiri.
Memang,
sih aku berkhianat pada Tuhan sendiri. Jelas-jelas aku membuat janji
dengan para Iblis. Para setan pun sudah mewanti-wantiku dengan murah
hatinya, bahwa mereka tak dapat menanggung apa pun hukuman Tuhan. Bahwa
mungkin, neraka adalah tujuan terakhirku nanti. Satu setan berkata,
“Nanti, ada ruangan di mana semua orang diberikan pakaian dari api dan
disuruh berlari ke sana kemari. Aku ada di sana. Kamu mungkin mau
berkunjung dan berlari bersamaku?”
Sudahlah. Toh aku masih bisa tobat.
Toh aku hanya minta tiga hal tersebut.
Ini hanya perjanjian konyol. Perjanjian yang terjadi saat itu saja.
Pelabuhan Ratu. 1965.
Tidak
akan ada pilot ganteng yang bakal mengajakku bermesraan di dalam
pesawat. Seperti yang kupikirkan saat itu, ini hanya main-main semata.
Hanya jelangkung-jelangkung palsu yang biasa kami mainkan menjelang
Maghrib.
“Kamu sudah bikin janji?” tanya Lina sembunyi-sembunyi.
Bikin janji adalah kodenya untuk perjanjian dengan iblis.
Aku mengangguk dengan mantap. Seolah menantangnya. “Sudah. Dan aku tidak yakin akan terkabul.”
“Coba saja.”
Lina
dan aku sudah membahas ini berminggu-minggu. Aku bahkan berpuasa
berhari-hari demi mengumpulkan uang membeli karcis kereta ke Sukabumi.
Tetanggaku bilang, kereta hanya sampai Cianjur saja kalau uangku hanya
segitu. Selanjutnya, aku harus naik kuda.
“Apa yang kamu minta?” tanya Lina penasaran.
“Yang umum-umum saja. Sama seperti apa yang orang lain minta.”
“Jodoh?”
“Pasti.”
Ketika
aku di Pelabuhan Ratu, membuat perjanjian dengan Iblis, aku diberikan
tiga permintaan. Awalnya aku tak percaya. Pasti mereka bercanda. Pasti
mereka hanyalah orang-orang berkostum seram di desa setempat. Tapi
ketika mereka bisa menghilang dalam sekejap, aku langsung merinding
ketakutan.
Aku minta harta yang selalu ada sampai aku mati.
Aku juga minta agar diriku selalu berjiwa muda sampai aku mati.
Dan
terakhir, karena awalnya kupikir mereka tak mungkin mengabulkan
permintaanku, aku minta yang aneh-aneh. Aku minta berjodoh dengan pilot
tampan asal Indonesia, yang akan mengambil keperawananku di dalam
pesawat jet. Aku bercanda saat itu. Hanya ingin menguji seberapa sakti
iblis-iblis itu.
Nyatanya mereka memang sakti. Baru saja dua hari
meninggalkan Sukabumi, aku diundang temanku untuk melihat Bandar Udara
Kemayoran, yang kini sedang ramai dibicarakan karena ada pesawat Amerika
mendarat darurat di sana. Orang bilang, itu pesawat paling canggih di
dunia. Bisa terbang secepat kilat. Pemerintah Indonesia menahan
sementara pesawat itu di sana. Sementara warga sekitar malah
menjadikannya tontonan. Termasuk aku dan Lina, yang kini
sembunyi-sembunyi menonton pesawat besar itu parkir di Bandar udara
Kemayoran.
Pikiranku justru tak tertuju pada pesawat canggih itu.
Benakku justru teringat perjanjian itu.
Ini bukan pertanda dari sang Iblis, bukan?
Pesawat jet? Di Indonesia?
-XxX-
“Nona datang pagi sekali.”
Aku
tersentak kaget dan buru-buru menunduk saat seorang pemuda
menghampiriku di dekat pagar. Dengan malu aku mundur. Aku berpikir untuk
melarikan diri. Namun ketika aku mencuri pandang sedikit...
Jantungku berhenti berdetak.
Di hadapanku berdiri seorang malaikat.
Berpakaian
pilot. Dengan wajah terukir sempurna dan senyum yang melumerkan isi
tulang rusukku. Aku bahkan tak sanggup mendengar jantungku berdetak.
Dentumannya sudah mengalahkan bisingnya bisikan-bisikan gairah di
telingaku.
“Saya... saya mau lihat pesawat jet baru.”
Dusta.
Aku mau ke sini karena ingin mengecek, adakah pilot pesawat jet asli Indonesia?
Hanya untuk memastikan bahwa perjanjian dengan iblis itu adalah omong kosong.
“Boeing 727-100?”
Aku
menggeleng. Tidak mengerti. Orang-orang seingatku menyebut nama itu,
tapi aku tetap tidak mengerti. Aku mencari pilot orang Indonesia di
sini.
“Ini bukan tempat yang lazim untuk lihat pesawat. Apron ada di sana.” Dia menunjuk ke terminal.
“Saya baru mau ke sana,” jawabku.
Pilot itu melihatku sambil tersenyum kecil. Mungkin dia bisa melihat semburat merah di pipiku, menertawaiku yang malu-malu?
Sesekali
aku mengintip betapa Indonesianya wajah pilot itu. Mata sayu yang
seperti orang melayu, kulit cokelat seperti semua temanku dari Surabaya,
dan rambut hitam khas negeri ini.
“Tuan... Tuan pilot?” tanyaku.
“Nona bisa lihat seragam saya, bukan?”
“Asli Indonesia?”
Dia tertawa.
Dengan
gagah dia berjalan mendahuluiku menyusuri jalan setapak rahasia, tepat
menuju lokasi pesawat itu diparkir. Ada satu pagar bolong yang bisa kami
masuki. Dia membantuku melewati parit dan rerumputan yang tinggi.
“Ya,
saya asli Indonesia. Saya tidak kaget kamu bertanya seperti itu.
Orang-orang tidak tahu bahwa jumlah pilot dari negeri kita sebetulnya
banyak. Hanya saja tidak terekspos media seheboh pesawatnya sendiri.”
Dia menoleh dan tersenyum lagi. Entah kenapa di latar belakang tubuhnya
muncul lembayung pagi berwarna jingga yang membuatnya nampak seperti
berasal dari surga. Bukan Indonesia.
“Saya tinggal di Amerika
sejak proklamasi. Sempat ke Holland tapi pindah ke sana dan masuk
sekolah penerbangan yang mahal.” Dia menarik jaket hitam pilotnya.
“Lihat ini, ini logo American Airlines. Pesawat ini sedang ujicoba
terbang ke Australia lewat jalur Hindia. Saya salah satu dari delapan
pilot yang nerbangin pesawat itu sekarang.”
Logo yang ada di
jaketnya mirip dengan logo yang ada di badan pesawat. Aku kagum
mendengarnya. Ternyata benar, pilot jet orang Indonesia benar-benar ada.
Belum
juga aku tersenyum riang, aku dihantam pemikiran baru. Tunggu.
Permintaanku, kan... keperawananku diambil dalam pesawat jet. Memikirkan
itu membuatku jadi tertawa sendiri. Makin terjadi, rasanya makin tidak
mungkin iblis itu mengabulkan permintaanku yang ini.
Pertama, aku
tidak mungkin naik pesawat jet. Yang boleh naik pesawat jet hanya
pejabat pemerintahan, orang-orang dengan surat sakti, atau orang yang
kaya raya. Kata Lina, orang kaya raya pun belum tentu dapat kursi di
pesawat. Setelah beli tiket, mereka harus menunggu kepastian sebelum
berangkat.
Nah, kapan pula aku ini orang kaya raya?
“Nona tampak seperti orang Indonesia asli,” kata pilot itu lagi.
“Kenapa?”
“Terlalu banyak membisu. Menunduk malu-malu. Di Amerika sana, wanita selalu punya suara.”
“Saya memang orang Indonesia asli. Saya dari Bandung.”
Pilot
itu mengangguk mengerti kemudian menjulurkan tangannya. “Saya Chandra.
Kalau memang berkenan, bolehkah saya tahu nama Nona?”
Aku makin
tersipu mendengar permintaannya. Tangan itu terus terjulur di udara, di
depan sinar mentari yang lambat laun mengintip dari pegunungan di daerah
Puncak sana. Darahku berdesir terlalu kencang. Sampai-sampai aku lupa
menggerakkan tanganku. Ketika aku akhirnya menjabat tangan kokoh itu,
merasakan hangat seorang pria tampan yang dengan tulus menatap mataku
sedari tadi... aku seperti terlindungi.
Seolah dia ada di sini untuk melindungiku. Lalu menculikku. Berpetualang ke dunianya yang menakjubkan.
“Saya... Allya.”
-XxX-
Mungkin Lina memang serius. Iblis itu sanggup mengabulkan permintaan apa
pun. Aku sudah melihat tanda-tandanya. Ketika aku asyik berkeliaran
bersama Lina menyusuri Jakarta yang dulunya Batavia, seorang tetanggaku
datang jauh-jauh dari Bandung. Dia ke sini bukan untuk menonton pesawat
jet di Kemayoran. Dia ingin menyampaikan kabar gembira.
“Tanah yang dari Hollander itu berhasil kita menangkan. Ibu minta Allya segera pulang!”
Tetanggaku
itu menyebut semua penjajah dari Belanda dengan sebutan Hollander. Aku
juga. Hollander dengan seenaknya merebut tanah kami. Termasuk kebun
belakang milik ibuku di Bandung yang kini sudah dibangun komplek
perumahan bernuansa art deco. Sudah berminggu-minggu Ibu dan tetangga-tetanggaku yang lain bersengketa dengan pihak Hollander di Bandung.
Siapa
bilang kita benar-benar merdeka? Hollander masih merajalela. Mereka
masih memiliki sebagian tanah kami warga pribumi. Dan mereka masih
memandang rendah kami warga pribumi. Hanya saja, yang di atas tidak
pernah melihat penjajahan baru setelah proklamasi.
Mendengar
kabar itu, aku dan Lina sepakat untuk naik kereta paling pagi besok.
Kami langsung berlari ke stasiun membeli karcis. Hatiku harap-harap
cemas. Benarkah kami menang? Benarkah kami menang?
Kami bisa kaya.
Kami menuntut jumlah yang sangat besar kepada Hollander.
Kami bisa kaya dari hasil tuntutan itu.
Ataukah kami menang karena Iblis mengabulkan permintaanku menjadi kaya?
Apakah memang benar mereka bisa mengabulkan tiga permintaan itu?
Pikiranku
tetap kacau di petang sebelum keberangkatan pulang. Hatiku bergelut
antara percaya atau tidak percaya pada perjanjian iblisku. Hanya
kebetulankah sengketa tanah itu kami menangkan dan pilot ganteng itu
berkenalan denganku?
Atau Iblis punya kekuatan seperti Tuhan?
“Pesawat selesai maintenance.”
Sebuah
suara mengagetkanku di terbitnya malam terakhirku ini. Aku kembali
melamun di salah satu sudut bandara Kemayoran, mengintip di balik rumput
ilalang tinggi ke arah terminal bandara. Melamun. Seperti yang
kulakukan waktu itu.
Dan seperti saat itu pula, Chandra muncul mengagetkanku.
“Lalu? Bagaimana?”
“Lalu, kami akan terbang lagi ke Australia. Spare-part yang kami butuhkan untuk mengatasi kendala di dalam sistem hidrolik, sudah kami dapatkan.”
“Jadi Tuan mau pergi?”
“Jangan
panggil saya Tuan.” Chandra menghampiriku dan dengan akrabnya merangkul
bahuku. Seketika jantungku berhenti. Menikmati lengan kokoh ini yang
seolah melindungi tubuhku, mendekap aku dalam kehangatan. Aku dapat
merasakan desiran darah Chandra di bahuku. Aku bisa merasakan kecupan
yang geli dari kulit lengannya, yang menggelitiki tengkukku.
“Tapi, ya. Saya mau pergi,” lanjut Chandra. “Kamu tetap di sini?”
“Besok saya pulang ke Bandung?”
“Karena pesawat jet-nya mau pergi, ya? Hmmm...”
Aku tertawa.
“Bukan. Bukan karena itu. Ada urusan keluarga di sana. Saya harus pulang.”
Chandra menatapku dengan ekspresi jenaka. “Saya kira gara-gara pesawatnya besok pergi. Kalau iya, malam ini bakal saya rusak rudder pesawatnya, saya putus kabel hidroliknya, dan saya otak-atik gear-nya... supaya pesawat menginap beberapa hari lagi di sini. Supaya saya masih bisa ketemu kamu, Allya.”
Aku tersentuh mendengar rayuan itu. Jantungku bertalu seperti genderang perang.
Aku merasakan dekapan Chandra makin lekat.
Hembusan napasnya mendadak menguliti keningku.
Dan tubuhnya yang besar itu... yang menebarkan aroma parfum mahal dari Perancis...
Chandra berbisik. “Mau lihat isi pesawat?”
Aku mengangguk semangat.
Kapan lagi aku bisa naik pesawat?
Mungkin
nanti, saat aku kaya raya, aku akan naik pesawat. Ke mana pun aku
pergi, aku akan naik pesawat. Bahkan, kalau perlu, aku akan naik pesawat
dari Bandung ke Jakarta.
Chandra mengajakku menyusuri jalan
setapak rahasia melintasi jalan mobil kecil yang berada di wilayah
bandara. Kami tiba di apron, tempat parkir pesawat. Chandra menyapa
beberapa petugas di sekitar pesawat. Dia bicara sesuatu yang tak
kumengerti. Tahu-tahu salah satu petugas itu mendorong sebuah tangga
tinggi yang didorong mendekati pesawat. Pintu depan pesawat dibuka.
Dalam lima menit, aku dan Chandra sudah ada di dalam pesawat canggih
itu.
“Memangnya tidak apa-apa?”
“Saya kan pilotnya.”
Chandra
membungkuk dan segera mengunci pintu pesawat itu. Kabinnya kosong.
Gelap. Tapi aku bisa merasakan aroma jok yang masih baru. Hanya kami
berdua di situ. Terduduk beberapa kursi di kabin penumpang dan bercanda
ria selama bermenit-menit.
Aku cinta Chandra.
Aku cinta
senyumnya yang menakjubkan. Cara dia menyela kata-kataku. Cara dia
menerangkan bagaimana menerbangkan pesawat. Cara dia dengan gagahnya
membungkuk ke arahku, kemudian membaringkan kepalanya di bahuku,
kemudian berbisik di telingaku... “Saya sudah ribuan jam mempiloti
pesawat. Bisakah suatu hari saya mempiloti dirimu, Allya?”
Aku tersipu dan menjawab, “Malam ini. Kamu ada satu-satunya pilotku.”
Tanpa
malu-malu lagi, Chandra mengangkat dagunya dan mengecup daguku. Dia
melahapnya penuh perasaan. Menggelitiki daguku, menggigiti daguku, dan
melumat setiap incinya. Lidahnya yang menarik bagai pesawat bermanuver
itu mulai merasuk ke dalam mulutku, menghembuskan perasaan nikmat dan
bisikan yang melumerkan seluruh tubuhku.
Secara harfiah.
Keperawananku
lumer mencair. Aku bisa merasakannya di pahaku. Rembesan basah yang tak
bisa kutangani. Bukan menstruasi, bukan air seni. Setiap tetes
keperawanan yang keluar itu, membuat tubuhku menggelinjang nikmat.
Chandra
mulai merasuki dadaku saat itu. Kedua jemarinya menyelusup ke bawah
rokku, memaksa masuk merangsek pita di pinggangku, merusak pakaian dalam
favoritku. Aku tidak marah pakaian itu rusak. Aku justru marah kalau
Chandra berhenti. Kulit tangannya yang telanjang, yang kasar karena
kerja keras, yang tebal karena kokoh, menggesek kulit tubuhku yang
lembut. Jemarinya mulai memilin puting susuku, meremas buah dadaku,
memilin puting susuku, meremas buah dadaku... Aku tak tahu harus berapa
kali mengulang kata-kata itu... memilin puting susuku...
“Saya
ingin terbang masuk ke dalam tubuhmu, Allya...” Chandra kembali berbisik
di telingaku. Di tengah lumatan bibirnya yang mencolek-colek pipiku.
Aku tergelak geli mendengarnya. Merasa begitu dibutuhkan. Merasa pemuda
tampan ini ada di sini demi aku... demi memuaskan aku.
Tubuhku
pada akhirnya berbaring di atas kursi penumpang. Aku bisa merasakan
jemari Chandra yang kokoh mulai menarik celana dalamku turun.
Telunjuknya meliuk-liuk, seperti ular, membawa rombongan lima jari kokoh
untuk meresapi rambut-rambut halus di sekitar keperawananku. Kemudian
jari itu masuk... bermain-main... mengoreh keperawananku membuatnya
lumer seperti es krim di siang hari... membuat tubuhku bergetar...
membuat bahuku berguncang... membuatku mengerjap karena tak sanggup
menikmati sentuhan-sentuhan ini...
Hanya dalam desahan napas berikutnya kudapati tubuhku telanjang.
Lidah Chandra yang hangat sudah berkelana melintasi tubuhku, membasahinya dengan air liur.
Hidung Chandra yang bangir itu terus menekan kulitku, memanggil surga untukku.
Kecupan-kecupan bibirnya di atas perut tubuhku... membuat kursi yang kutiduri bergoyang.
Bahkan mungkin pesawat canggih ini bergoyang.
Sesaat
ketika aku mengharapkan sentuhan lebih, Chandra justru berdiri di
hadapanku. Nampak kokoh di bawah remangnya kabin penumpang. Nyaris
membentur bagasi di atas kepala. Dia tersenyum ke arahku. Menyeringai
nakal. Perlahan-lahan dia membuka kancing seragam pilotnya satu per
satu. Bersenandung sebuah lagu bahasa Inggris yang tak kukenal. Namun
karena aku mendengar nada itu dari mulutnya, lagu itu terasa sensual...
Semua
kancing kemejanya telah dilepas. Dia menyibakkannya seperti Superman.
Aku tertawa. Dia mengangkat dagu, benar-benar bertingkah bak anak kecil.
Dia Superman. Ya, dia memang Superman, terbang ke sana kemari. Hanya
saja, saat dia menyibak kemejanya, bukan kaus biru berlogo Superman yang
nampak.
Melainkan dada tegap yang kuat, yang dibalut kaus putih tak berlengan. Di mataku, aku melihat namaku terukir di dada itu.
“Jangan disentuh dulu, Nona Manis... Itu milik saya. Hanya saya yang boleh menggagahinya.”
Kami berdua tertawa. Aku pun menarik tanganku dari keperawananku dan mulai menikmati Chandra melepas baju.
Chandra melepas kausnya melewati kepala, mengangkat kedua tangannya ke atas dan mempertontonkan rimbun rambut ketiak di lipatan lengannya. Keperawananku lumer lagi.
Chandra membuang kausnya ke belakang, lalu menaikkan tangan ke atas, seperti binaragawan berotot besar. Keperawananku lumer lagi.
Chandra kemudian membuka celananya, menarik sabuk kulitnya seolah menarik ular keluar dari sarangnya, kemudian membuka ritsletingnya... Keperawananku lumer lagi.
Saat celana itu akhirnya melorot, mengabarkan sebuah pemandangan indah dua kaki dan perut kokoh yang di antaranya terbalut celana dalam berwarna abu-abu... tubuhku bergelinjang.
Keperawananku bocor.
Jantungku sudah copot sekarang. Darahku berlarian entah ke mana sekarang. Aku tak sanggup lagi melihat apa yang ada di balik celana segitiga abu-abu itu. Aku tak sanggup lagi melihat benda paling mistis dalam hidupku itu.
Aku tak pernah melihat kegagahan pria bagian itu.
Bahkan milik temanku, aku tak pernah melihat kegagahan mereka.
Ada alasannya Tuhan melarang kegagahan untuk ditampilkan di depan banyak orang.
Karena orang sepertiku, jelas-jelas tak sanggup menatapnya terlalu lama.
Bahkan untuk melihatnya saja...
Oh, dadaku berdebar.
Tapi saat ini, detik ini, aku akan melihat kegagahan pria dewasa untuk pertama kalinya. Bukan kegagahan bocah laki-laki kecil yang sering kulihat di sungai. Tapi dewasa. Milik seorang pria dewasa. Pria dengan otot-otot di tubuhnya, pria dengan wajah tampan, pria dengan senyum yang mampu melumerkan isi tubuhku...
Dan kegagahan itu terungkap!
Aku sesak napas.
Chandra melepas kain terakhir yang membalutnya dan memberikanku benda paling indah yang pernah kulihat di dunia.
Kegagahan milik seorang pria dewasa.
Kegagahan itu besar sekali. Lebih besar dari botol kecap milik Ibu di dapur.
Kegagahan itu berwarna merah. Semerah buah delima yang tumbuh di kebunku.
Kegagahan itu berurat-urat. Persis kain batik lusuh yang menjadi selimut kesayanganku.
Kepala kegagahan itu nampak besar, kemerahan dan berdenyut-denyut.
Batangnya penuh, mirip pipa-pipa besi di jembatan.
Dua buah bola pingpong mungil berayun di bawah kegagahan itu, dibaluti kulit tipis seperti lumpia, dan nampak mengemaskan sekali.
Di sekitar kegagahan itu, tumbuh rambut-rambut keriting yang gelap. Melihatnya saja, membuat tubuhku merinding karena nikmat. Rambut-rambut keriting itu menjamuri bawah perut Chandra, menyusuri lipatan pahanya, merimbuni pangkal kegagahannya, dan menghiasi sedikit demi sedikit bola pingpongnya seperti hiasan pohon natal.
Kegagahan itu berdiri tegak. Mengacung ke atas seperti memberi hormat. Tanpa banyak basa-basi, kegagahan itu mulai masuk ke dalam keperawananku. Melesak-lesak dalam tubuhku, mengoreh segala sensasi nikmat yang ada dalam rahimku.
Aku merasakan hembusan napas Chandra menusuk hidungku.
Lidahnya bergelut dengan lidahku, berlomba mencari sesuatu dalam mulutku.
Satu tangannya menahan tubuhnya sendiri, satu tangannya lagi meraba-raba dadaku dan kembali memilin puting susuku.
Aku bahkan dapat merasakan perutku digelitiki perutnya.
Aku dapat merasakan rambut-rambut keriting di sekitar kegagahannya membuat pahaku gatal karena nikmat...
Keperawananku lumer lagi.
Kali ini sangat deras.
Tubuhku bergetar kencang.
Pita suaraku bersiul dan menendang.
Satu-satunya yang bisa kuingat adalah sensasi surga itu.
Degup jantungku yang memantul-mantul di dadaku itu.
Lesakan-lesakan kegagahan Chandra yang menusuk keperawananku.
Iblis itu benar.
Dia sanggup mengabulkan permintaanku.
Dia sanggup...
“Aaahhh...” Chandra mendesah keras dan tubuhnya bergetar sama sepertiku. “AAAHHH...” Tubuhnya menyentak-nyentak sembari melenguh nikmat.
Aku menggerayangi seluruh permukaan kulit tubuhnya yang basah oleh keringat. Chandra mengeluarkan kegagahannya, meneteskan cairan-cairan putih dari ujung kepalanya. Setelah puas menatap kegagahannya sendiri... dia menggesekkan kegagahan itu ke atas keperawananku lagi... lalu mendekapku, mendengus di leherku...
“Boleh, kan, saya bilang kalau saya cinta kamu, Nona Allya?”
-XxX-
Tapi itu terjadi bertahun-tahun lalu. Sudah... 40 tahun lebih.
Sudah 47 tepatnya. Cucu kami sudah besar-besar sekarang.
Chandra bahkan sudah meninggalkanku lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Kenapa pergi? Karena dia adalah tumbalnya.
Tumbal untuk mendapatkannya.
Kalau diingat-ingat lagi, rasanya hatiku makin sedih.
Sebaiknya aku melihat-lihat foto Morgan sekarang. Biasanya, melihat koleksi album foto Morgan sambil minum teh di pagi hari bisa meningkatkan mood-ku.
Kamu tahu kenapa aku suka Morgan?
Karena Morgan mengingatkanku pada Chandra. Aura ganteng mereka sama persis. Memang sih, Chandra tidak sesipit Morgan, tapi mata Chandra bulat besar seperti orang Melayu yang sayu dan seksi. Morgan terganteng nomor dua. Chandra tetap nomor satu.
Dan Rafael terganteng terakhir di dunia. Aku benci Rafael dan Nunuk.
Aku masih ingat pertama kali aku berjanji dengan iblis. Waktu tahun 1965. Di sebuah gua pesugihan di daerah Pelabuhan Ratu. Temanku, almarhum Lina, bilang kalo Iblis itu teman-temannya Nyi Roro Kidul—jadi aku aman. Aku begitu panik. Tiga permintaan yang sudah kurancang habis-habisan di kereta, sama sekali nggak terpakai.
Rencananya, aku mau minta ketemu Elvis Presley. Aku juga mau pergi ke Paris—orang-orang di Bandung selalu mengagungkan nama itu. Aku juga ingin punya mobil supaya tidak perlu beli karcis kereta ke mana-mana.
Tapi begitu aku berhadapan dengan Iblis itu, aku tertawa. Iblisnya lucu. Seperti tuyul. Aku sempat tak percaya dengan kemampuannya mengabulkan permintaanku. Jelas-jelas dia meragukan. Ya sudah, aku asal saja mintanya. Aku minta kaya selama-lamanya, kalau misal terkabul, bagus deh. Aku minta berjiwa muda selama-lamanya, kalau misal terkabul, bagus juga, deh. Apalagi permintaan konyol dengan pilot itu... yang berakhir dalam pernikahan...
Dan kematian.
Karena aku lupa dengan kehadiran tumbal untuk setiap perjanjianku. Orang yang aku sayang adalah tumbal utamaku. Yang juga justru orang yang kudapatkan melalui perjanjian dengan iblis. Ironis, ya?
Sudahlah, sekarang fokus ke Morgan saja.
Brondong ini benar-benar fresh. Lihat itu aura seksinya, nggak ada yang bisa ngalahin aura Morgan di SM*SH. Bahkan Ilham pun kalah. Apalagi Reza. Eugh, aku nggak pernah ngerti kenapa ada yang ngefans sama Rangga?
Atau Dicky?
Mereka jelas-jelas banci. Seperti Esel.
Mending Morgan ke mana-mana. Dia punya style! Aku gabung dengan Morganous sekarang, dan aku bangga sekali. Biarlah kalau Nunuk keukeuh bahwa Rafael yang terganteng. Dia memang nenek-nenek tolol.
to be continued
1 comments:
ada yhang punya akun fb atau alamat e-mail mario nya engga
Post a Comment