All About Magic
-chapter 10- ( 8 )
by MarioBastian
“Emang kamyu ngerencanainnya apya, Darling Derry?” tanya Syarifudin.
“Yah, biasa lah. Ngabisin si Agaswati itu.”
“Huh, detseu kebagusan kalo disebut Wati,” sahut Esel. “Di dunia banci pun orang kayak detseu mestinya ditolak. Sok bijak, sok ganteng, sok direbutin semua orang, padahal apa? Dandan aja kagak bisa.”
Syarifudin mengangguk-angguk setuju. “Embeeeerrr...”
“Rencananya
gue mau ngejebak dia.” Derry menghisap dulu rokoknya sejenak. “Gue
bikin dia malu, terhina seperti biasa, udah gitu gue jebak dia biar
dikeluarin dari CIS.”
“Dengan cara?” Esel memutar bola matanya.
“Ya banyak, lah. Tapi lo juga mesti nimbrung gue kalo mau ngancurin si Agaswati. Allright, Sist?”
Esel mendesah malas. “Sebenernya I malaysia. Tapi sebutin dulu, deh—“
Sreeett! Srreeett!
Mendadak
ada bunyi meja diseret di gudang ini. Pembicaraan mereka terhenti dan
kepala Esel langsung meliuk-liuk ke atas, mirip lemur yang sedang
mendeteksi bahaya. “Siapa itu?” bisiknya.
“Paling si Cebol...”
sahut Akbar sambil turun dari meja dan berjalan ke arah depan. Dia
sebetulnya melewatiku, tapi aku pandai menyembunyikan diri di balik
tiang-tiang bendera yang tinggi ini. “Tuh, si Cebol!”
Akbar
geleng-geleng kepala dan kembali lagi ke tempat tadi. Nampak penjaga
sekolah ini, Pak Danu, yang memang cebol, sedang menarik sebuah meja
keluar. Aku sempat deg-degan mengira suara menyeret tadi adalah suaraku.
Kupikir aku kepergok seseorang atau apa gitu.
“Gue pengen nelanjangin si Agaswati,” lanjut Derry sambil menghembuskan asap dari hidungnya.
“Karena you nafsu ama detseu?” ejek Esel, semua yang di situ langsung tertawa. Derry pun melempar kemoceng di dekatnya dengan kesal.
“Bukan, Ontohod! Gue pengen bikin dia malu... gue pengen ngebugilin dia di depan semua anak CIS biar dia malu!”
“Ah, yang ada juga detseu seneng bisa telenji kayak gitu. Hahaha... Kalo I sih pengennya organisasi DIGEOLS itu dimusnahin aja. Ganggu... Terus rencana you gimana?”
“Gue sih tetep, lagi ngerencanain ngejebak si setan itu di depan guru-guru. Gue eneg lihat
dia nilainya bagus-bagus terus. Padahal beberapa guru udah gue lobi
biar nilainya dikurangin, tapi teteeep aja, nilainya gede. Paling kecil
tuh B!”
“You ngelobi gimana sama guru-guru?”
“Ya lobi aja. Gue kasih yang mereka pengen, mereka kasih yang gue pengen. Bikin deal!”
“Dan apa yang lo kasih?”
“Banyak.”
Derry terbatuk-batuk dulu sejenak. “Gue bayar mereka, lah, gue ajak
mereka ke tempat-tempat dugem yang asyik, dan kadang gue dapat tambahan
grade! Hahaha... ada juga yang pengen dientot ma gue!”
Esel menyeringai jijik. “Ew. Teacher is the least I expected!”
“Dan sekarang, rencana kamyu buat ngejebak si Agas apa?” tanya Syarifudin.
“Gue bakal bikin dia—“
“Ngapain kalian di sini?”
Seseorang
tiba-tiba muncul entah dari mana dan mengagetkan kami semua, termasuk
aku. Yang bikin kaget bukan karena orang itu “muncul”. Tapi karena orang
itu Cazzo.
“Hey! Caz!” Derry langsung bangkit dan merangkul cowok itu. “Sejak kapan lo di situ?”
“Cazzie Darliiingg...” Esel memekik terpesona sambil mengipas-ngipasi lehernya. “Sini-sini, duduk di samping I.”
“Najis!” Derry menjulurkan lidah.
“Kalian lagi ngobrolin apaan di sini?” tanya Cazzo dingin.
Oh, for God’s sake, menyebalkan sekali si Cazzo itu. Aku benci ekspresinya barusan—seolah dia manusia paling cool sedunia.
“Nggak. Kita nggak lagi ngobrolin apa-apa. Biasa aja, Bro... ngudud, lah...”
Cazzo
nampak nggak suka dengan hal tersebut. Kedua tangannya menyusup di saku
celananya, dan rahangnya mengeras. Untuk ukuran cowok cute mirip
Cazzo, kalo lagi ngambek serius macam begitu, dia kelihatan jelek.
Ngambeknya yang bagus tuh kalo dia cemberut imut-imut, kayak waktu di...
... ah, sudahlah.
“Gue denger kok apa yang kalian omongin,” ujar Cazzo. “Gue nggak percaya lo semua masih kayak gitu juga.”
“Nggak kok, Bro... kita-kita cuma bercanda.”
“Cazzie Darling, you nggak usah cemas, lah... we nggak ngapa-ngapain, kok.”
Cazzo mengernyitkan alisnya. “Terus ngapain bahas-bahas soal ngejebak si Agas segala?”
Untuk
beberapa saat, Derry dan Esel saling berpandangan, begitu juga yang
lain. Tetapi kemudian Derry mendekap lagi bahu Cazzo dan melemparkan
senyum paling manis. “Siapa yang ngejebak, ah! Lo salah denger kali,
Bro!”
“Gue denger, kok!” Cazzo mulai cemberut. “Gue masuk ama si Cebol barusan, dan gue denger apa yang kalian omongin.”
“You imut-imut banget deh, Cazzie...” Esel terkagum-kagum lagi. “We lagi
bercanda aja, Darling... Nggak ada yang mau ngejebak si Agas. Kita-kita
kan udah baik sama si Agas. Nggak ada yang ganggu Agas kan
sekarang-sekarang ini. I malah udah baikan sama Agas. I udah best friend. Sini-sini, dong... pangku I...”
Stupid bitch.
Cazzo
menelan ludah dan menatap satu per satu wajah Derry dan Esel. Jelas,
dia nggak percaya sama satu pun omongan mereka. Rahangnya makin
mengeras. Matanya menyipit.
“Please...” Mulai Cazzo. “Gue
udah lakuin apa yang kalian minta. Tolong kalian lakuin juga apa yang
gue minta: jangan gangguin Agas. Itu, kan perjanjiannya.”
Perjanjian?
-XxX-
Keterlaluan, deh.
Lama-lama
aku bisa kehilangan intelegensiku gara-gara sibuk memikirkan hal-hal
yang belum pasti. Mulai sekarang aku benci yang namanya misteri. Mungkin
mulai sekarang aku akan menghentikan semua pencarian jawaban atas
misteri-misteri yang datang padaku. Semuanya.
Kecuali misteri
kenapa lagu Belah Duren yang dinyanyikan Anto di kelas musik tadi begitu
fenomenal dan heboh. Apanya yang lucu dari situ?
Maksudku, semua
misteri yang bermunculan ini menguras habis otakku, membuatku sering
melamun dan memikirkan yang tidak-tidak. Misalnya saat ini, saat pulang
sekolah sore ini, aku naik angkot dan duduk paling belakang sambil
menghabiskan sepanjang perjalanan dengan melamun. Tahu-tahu angkot sudah
ada di Cicaheum dan aku lupa turun, padahal mestinya aku turun di Pasir
Kaliki. Bisa-bisanya coba aku melamun sambil lupa daratan.
Alhasil,
aku tiba di rumah sekitar jam tujuh malam. Melewati macetnya jam pulang
kantor dan berdesakan di angkot yang rutenya memutar ke sana kemari,
membuat perjalanan makiiiin panjang.
Rumah Granny kosong
melompong saat aku tiba. Lampu-lampu sudah menyala tapi nggak ada orang
di dalamnya. Ketika aku masuk, ada aroma aneh yang menyengat
hidungku—aroma yang selalu muncul di rumah Granny pada waktu-waktu
tertentu—dan suasana rumah yang hangat.
Bukan hangat seperti
tenteram, nyaman, dan bahagia. Melainkan hangat seperti ada sesuatu yang
terbakar di dalam rumah, dan kulitku merasakan hawa panasnya. Aku
mengecek ke dapur, mengira Granny sedang masak atau apa gitu. Tapi
Granny nggak ada di sana. Dia bahkan masih menghilang.
“Granny?” panggilku sambil membuka sepatu dan meletakkannya di atas rak. “Granny udah di rumah?”
Hingga
aku mengganti baju dan mengambil minum dari lemari es, belum ada
tanda-tanda kehadiran Granny. Aku bahkan mengecek ke belakang, berharap
Bang Dicky ada di workshop-nya supaya aku bisa mengobrol sebentar sambil menatap kagum padanya. Tapi sepi. Nggak ada satu orang pun di rumah Granny.
Suatu
hal yang sudah biasa, sebetulnya. Apalagi Granny memang sedang
‘menghilang’ kan sekarang. Hanya saja aku berharap bisa bertemu
seseorang untuk mengobrol, atau apa gitu, supaya otakku berhenti
berspekulasi tentang misteri Cazzo and the Jelitaz plus Mahobia. Itulah yang dari tadi merasuki otakku. Cazzo, Jelitaz, Mahobia, perjanjian, dan gelagat aneh mereka itu. Kenapa bisa—
Tunggu.
Kenapa pintu itu terbuka?
Masih
ingat ceritaku bahwa ada dua ruangan yang tidak boleh kumasuki di rumah
ini? Ruangan terkunci yang Granny kenalkan secara tersirat bahwa
ruangan itu dilarang dimasuki? Satu kamar sudah kumasuki karena memang
ruangannya bikin penasaran—dan gara-gara itu aku jadi punya masalah.
Tapi satu kamar lagi tidak membuatku tertarik karena aku sudah bisa
menduga isinya apa.
Kamar terlarang satu lagi mirip gudang.
Pintunya kecil dan kayu-kayu di daun pintunya sudah keropos. Kalau aku
lihat dari ventilasi di atas pintu, banyak sekali debu dan barang-barang
bertumpuk dari dalamnya. Tapi aku nggak tahu pasti, karena ruangan itu
gelap. Lagi pula, menurut dugaanku, ruangan itu paling hanya berukuran
1,5 x 2 meter saja. Letaknya di samping kamar mandi dan kamar pembantu
yang kosong di belakang—yang sering digunakan Bang Dicky kalau menginap,
kalau dia nggak tidur bareng denganku.
Tapi kini, saat aku
masuk kembali ke dalam rumah, aku baru menyadari pintu ruangan itu
terbuka sedikit. Lampu pijar keemasan menerangi ruang di dalamnya.
Seseorang pasti sedang ada di situ. Bisa jadi itu Granny. Atau Bang
Dicky.
Aku menghampiri ruangan itu dan nyaris masuk ke dalamnya.
Dengan berdebar aku membuka perlahan pintu itu dan bersiap dengan segala
sesuatu yang bakal menyambutku di dalam. Bisa jadi itu Pak Darmo lagi,
atau Bello sedang berbentuk kuntilanak...
Dan kalau Granny memergokiku, aku bisa beralasan, “Kirain Granny di dalem! Tadi pintunya kebuka, sih...”
Ini bukan ruangan!
Aku terkesiap kaget saat berhasil menguak pintu itu. Ini tangga menuju ke lantai bawah tanah!
Bagaimana bisa di dalam rumah ini ada ruang bawah tanah? Aku bahkan
nggak kepikiran bakal ada ruang bawah tanah di sini. Seperti kastil
berhantu saja, pake ruang bawah tanah segala.
Aku mematung
memandang anak tangga menurun menuju ruangan temaram di bawah sana.
Jantungku spontan saja berdebar kencang. Memang ada beberapa barang
bertumpuk di dalam ruangan mungil ini, tetapi selebihnya adalah tangga
turun tersebut. Aku mengamati ke dalam ruang bawah tanah, mencoba
mencari petunjuk ruangan apa yang mungkin saja berada di sana. Kepalaku
celingukan, seolah jawabannya ada di dinding layaknya petunjuk arah.
Kemudian sambil menelan ludah... aku melangkah turun.
Oke, bukan
berarti aku lancang atau apa, ya. Tapi kan pintu ini udah kebuka dari
awal. Pintu ini udah nggak terkunci ketika aku melihatnya. Kasusnya beda
dengan aku yang dipaksa seekor kucing untuk membuka pintu kamar
terlarang. Yang itu sih jelas akunya yang memaksa masuk.
Lagi pula—
Astaga. Tahu-tahu aku sudah ada di anak tangga terakhir. Cepat sekali aku turun!
Aku
menatap ruangan kecil yang lembap di hadapanku. Luas ruangannya sama
dengan ruang makan. Malah aku menduga ruangan ini berada tepat di bawah
ruang makan. Di dalamnya terdapat karpet warna hijau tua, beberapa meja,
beberapa kaligrafi dengan bingkai biasa-biasa saja, dan ada satu meja
yang dipenuhi benda-benda aneh.
Tunggu. Baunya kukenal. Pekat
sekali baunya. Seperti bau rempah-rempah yang dibakar. Entahlah, aku
nggak bisa menjelaskannya. Tapi aku yakin sekali, baunya berasal dari
sana. Ya. Ada sebuah mangkuk dari tanah liat yang berukuran kecil. Di
dalamnya terdapat arang, bebungaan, dan entah apa lagi—aku nggak
mengenalnya. Arang dalam mangkuk itu terbakar, kepulan asap tipis muncul
dari dalamnya. Dan dari asap itulah aku baru menyadari... inilah si
sumber bau bikin eneg itu!
Tempat apa ini—
Kriieeeetttt!
Tap...
Tap...
Tap...
Oh, ada yang datang!
Dengan
panik dan jantung nyaris copot aku melompat ke meja terdekat. Aku harus
segera bersembunyi! Tidak. Bukan di meja ini! Aku melompat lagi dengan
rusuh ke sebuah tiang di dekat tangga, lalu menyusup ke dalamnya,
menginjak beberapa kendi basah dan jerami-jerami tua. Napasku terhenti
dan keringatku mengucur dengan deras.
“Ada orang ya, di sini?”
Suara Granny.
Aku
menoleh perlahan ke arah ruangan itu, mengintip sehati-hati mungkin ke
sosok perempuan yang sedang mengatur sesuatu di atas meja. Itu Granny!
Tampak lebih muda dan segar. Mengenakan gaun panjang hitam tanpa motif
apa pun. Granny bersenandung sambil mengeluarkan beberapa benda dari
dalam kantung plastik.
“Siapa yang ke sini, ya? Dicky?” gumam Granny. “Atau Agas?”
Aku menelan ludah dan sedang menimbang-nimbang apakah harus muncul dan say hello pada Granny, atau tetap diam di sini dan berpura-pura nggak pernah masuk ruangan ini.
“Harusnya aku kunci pintu itu sebelum keluar. Aku ceroboh. Siapa pun bisa kena kutukan,” senandung Granny.
Baiklah,
aku ambil pilihan kedua. Tetap diam dan pura-pura nggak pernah masuk.
Dan mungkin setelah aku berhasil keluar, aku kena kutukan.
Selama
sepuluh menit lamanya, Granny mengatur-atur semua benda yang baru
dibawanya masuk itu di atas meja bertaplak putih. Kebanyakan dari benda
itu adalah kelopak bunga. Sebagian ditabur ke dalam mangkuk berarang,
sebagian lagi disimpan di atas nyiru bambu besar yang berisi buah-buahan
dan bunga-bungaan. Apa sih itu? Sesajen? Aku seperti sudah pernah
melihatnya dari film Suzanna yang beberapa minggu lalu sempat kutonton.
Oh,
sial. Kakiku kesemutan. Tapi kalau aku bergerak, kemungkinan besar
kendi-kendi ini akan berderak dan menimbulkan bunyi-bunyi yang menarik
perhatian. Aku harus berusaha sekuat tenaga untuk nggak bergerak, kataku pada diri sendiri. Dan aku, oh sial... betisku gatal.
“Rarakan Nyi Pohaci...” senandung Granny.
Aku
menelan ludah dan mengamati dengan seksama apa yang akan dilakukan
Granny berikutnya. Dia mulai asyik menyusun benda-bendanya dan duduk
bersila di depan meja. Kemudian sambil menarik napas panjang, Granny
mulai bersenandung lagi. Kali ini tangannya di angkat melewati kepala,
mengambil energi dari bumi dan menahannya di atas. Asap dari mangkuk
berarang itu mulai memendar ke sana kemari, seperti halimun yang mencoba
menyelimuti ruangan. Kemudian dengan sangat perlahan... dan bergetar...
Granny merapalkan mantra.
Hihid kekeper iman
Nyiru tamprak ning iman
Dulang ketuk ning iman
Parako bengker ning iman
Hawu dungkuk ning iman
Suluh solosod ning iman
Seeng kukus ning iman.
Granny
menyanyikannya berulang-ulang. Badannya bergerak ke kanan dan ke kiri.
Mirip penari Leak Bali yang pernah kulihat beberapa tahun lalu.
Rambutnya terurai dan kilau-kilau ubannya memendar di seluruh ruangan.
Kemudian, Granny meraup segenggam beras, menyawerkannya ke depan, dan berteriak-teriak, “Bijil siah! Bijil siah! Bijil siah!”
Oh Tuhan...
Granny memuja setan.
-XxX-
Untuk tiga hari berikutnya, aku masih shock.
Tidak banyak yang kualami, tapi aku tetap berwajah pucat dan terguncang. Mrs. Asshole Fuckyou Motherfucker bahkan menjadikanku moral of story
di kelasnya. “Kalian lihat akibat benturan dua hal sejenis yang
dipaksakan untuk bersatu? Bisa mengakibatkan pucat pasi dan kehilangan
gairah hidup. Bertaubatlah, anak-anak. Alam sudah menerangkan hukumnya
dengan jelas. Jungkit-jungkitan saja kalo ujung yang satu ke atas, yang
satunya lagi nggak ikut ke atas, kan?”
Stupid bitch. Stupid stupid stupid bitch.
Namun,
berhubung aku punya isu lebih penting dibandingkan kuliah Mrs. Asshole
Fuckyou Motherfucker, aku nggak menghiraukan segala macam tekanan itu.
Aku lebih terguncang dengan fakta baru yang baru saja kudapat.
Granny seorang pemuja setan.
Harusnya
aku tahu itu. Harusnya aku tahu semua simbol-simbol yang ada di ruang
bawah tanah itu adalah simbol setan. Atau apa pun yang berbau gaib.
Harusnya aku ingat simbol pentagram besar di dekat anak tangga terbawah,
sama seperti yang kulihat di serial Supernatural dulu.
Yang aku nggak ngerti adalah... kenapa...?
Kenapa Granny harus melakukan itu?
to be continued
DISCLAIMER:
This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.
The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.
Kadang Cupid Tuh Tolol! Chapter 10 (8)'s All About Magic
Labels:
Kadang Cupid Tuh Tolol,
mariobastian
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Info Kesehatan
Artikel Lain :
9 Hal Seputar Kondom Pria yang Paling Sering Ditanyakan
1 comments:
OMG
Post a Comment