DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Kadang Cupid Tuh Tolol! Chapter 10 (9)'s All About Magic

All About Magic
-chapter 10- ( 9 )
by MarioBastian



“Maaf aku nggak bisa bantu.” Bello melayang-layang di sekitarku, prihatin dengan wajahku yang pucat. “Ada beberapa hal yang memang rahasia, tapi sebagian besar memang aku nggak tahu. Aku kan di sini hanya untuk sebuah tugas.”

“Tugas apa?”

Bello mendesah. “Nah, itu dia. Aku nggak bisa nyebutin tugas aku. Maaf.” Bello duduk kembali di atas lemari dan sesekali memandangku dengan khawatir. Aku nggak bisa menyalahkannya. Apa lagi mengingat dialah yang telah membantuku keluar dari ruang bawah tanah.

Waktu itu, aku melihat Granny berbicara dengan seekor makhluk yang tak dapat kulihat wujudnya. Granny bicara dalam bahasa Sunda yang tak kumengerti. Tubuhnya bergetar dan berkali-kali pingsan. Tapi Granny sanggup bangun lagi dan melakukan ritual-ritual lain di hadapan meja tersebut.

Bello tiba-tiba muncul, memergokiku... dan langsung melotot marah. Dia kemudian mengalihkan perhatian Granny dan membuatku berhasil kabur dari ruang bawah tanah. Saat keadaan sudah lebih baik, Bello memarah-marahiku soal larangan masuk ke ruangan terlarang yang lagi-lagi kulanggar. Saat itu aku mendengar nada marah Bello lebih terkesan khawatir. Aku bahkan sempat terharu. Tetapi tetap aku berutang budi padanya.

“Ini... ini bener-bener... di luar dugaan aku...” Aku mengusap pipiku dan menarik napas lagi. Tenggorokanku tercekat sepanjang petang. And yes, I’m crying. “Itu bukan... Granny.” Aku terisak lagi.

Bello menunduk menatap jari kakinya sendiri. Dia melirikku sekali, ingin memberikan pernyataan. Tapi kemudian urung lagi.

Kalau dari pencarianku... googling, of course, motivasi seseorang melakukan kegiatan perdukunan... astaga, aku baru saja mengatakan nenekku sendiri melakukan kegiatan perdukunan! I mean, motivasi seseorang melakukan ritual macam tersebut... biasanya untuk membalas dendam pada seseorang. Seperti misalnya voodoo.

Tetapi, aku baru saja mengecek ke salah satu anggota Itchy Bitchy, menanyakan apakah Jeng Nunuk baik-baik saja, dia bilang, “Never Better!” which means, Granny tidak melayangkan voodoo-nya ke Jeng Nunuk. Atau mungkin belum, no one knows.

Pilihan kedua adalah: Granny ingin hidup abadi. Seperti penyihir dalam film yang hidup hingga 500 tahun meski tubuhnya sudah keropos dan kepalanya sudah lepas, tapi mulutnya masih bisa bicara. Apa lagi jika kita melihat betapa enerjiknya Granny di usianya yang sudah senja. Semua masuk akal, bukan? I mean, nenek mana sih yang berjiwa muda macam itu, mengidolakan boyband dan sebentar lagi akan tampil dalam girlband fight, dan punya twitter... Jelas, Granny ingin hidup selama-lamanya.

Tapi kemudian, kalau iya Granny melakukan kegiatan “itu” demi tetap berjiwa muda, kenapa the rest of The Jandaz juga berjiwa muda? Apakah mereka semua juga dukun? Apa mereka semua juga punya ruang bawah tanah dan tempat pemujaan khusus? Mengerikan sekali kalau begitu. Berarti selama ini aku berada di lingkungan kelompok wanita-wanita tua pemuja setan.

Paling yang masuk akal adalah pilihan ketiga. Granny melakukan itu demi uang. Maksudku, memangnya kalian nggak pernah curiga Granny dapat uang dari mana? Suaminya kan sudah lama meninggal. Kecuali Granny menjadi simpanan pejabat kaya raya, paling juga dia memuja setan untuk mendapatkan uang. Dan itu menurut Google—yang tentu saja nggak aku percaya 100%.

“Pokoknya kamu jangan sampe bilang ke Nanny, kalo kamu masuk ke ruangan itu,” ujar Bello untuk kesejutakalinya.
“Iya. Aku tahu.”
“Sebab nanti Nanny bakalan sedih kalo kamu tahu.”
“Oooh, jadi kalo Granny nggak boleh sedih, sementara aku harus sedih? Gitu?”

“Bukan gitu.” Bello menggaruk-garuk kepala berambut emasnya. “Nanti juga, kalo waktunya tepat, Nanny bakal ngasih tau alasannya.”
“Kenapa nggak sekarang?”
“Karena kamu belum siap.”
“Dari mana kalian tahu aku belum siap?”

“Dari... ngng...” Bello menelan ludah. “Aku... nggak tau.”

Aku memutar bola mata dan turun dari kasur. Kuhapus bekas airmataku dan bergegas keluar. Bello memutuskan untuk diam di atas lemari dan berhenti membuntutiku untuk pertama kalinya. Padahal selama tiga hari terakhir hidungnya hanya berjarak satu meter saja dari hidungku. Dia selaluuuu ada di sekitarku untuk memastikan mulutku terkunci rapat.

Kenapa? Karena ternyata Granny sudah kembali ke rumah dan mulai latihan lagi bersama Sweet Strawberry-nya.

Well, of course, sejak aku lihat Granny di ruang bawah tanah itu, jelas Granny sudah kembali ke rumah. Maksudku, sejak saat itu, Granny tiba-tiba saja ada di rumah dan bersikap biasa-biasa saja, seolah dia nggak menghilang berhari-hari sebelumnya. Granny melakukan aktivitasnya seperti biasa. Menyapaku seperti biasa. Mengobrol dengan centil dan me-mention namaku di twitter dengan kalimat yang ditulis alay. Dia kembali menjadi Granny yang kukenal dulu. Yang tidak memuja setan.

“Mau makan, Darling?” sapa Granny di ruang makan. “Nenek beli paket kombo hitlist dari KFC. Hadiahnya CD SM*SH!”
“Astaga... Granny kan udah punya banyak!”
“Yaaa, nggak salah dong kalo ngoleksi satu lagi. Ayo sini, makan dulu.”
“Entar aja. Aku mau ke workshop dulu.”

“Ya udah, sekalian ajak si Dicky buat makan juga, ya!”

Tapi... memang betul juga. Setiap kali aku berpapasan dengan Granny, rasanya ingin sekali bertanya, “Granny memuja setan, ya?!”

Bang Dicky sedang ada proyek besar. Beberapa hari terakhir dia sering sekali berdiam diri di workshopnya, berkutat dengan pisau pahatnya dan membuat puluhan bingkai cantik. Yang aku nggak ngerti, kenapa dia nggak mempekerjakan pegawai, ya? I mean, kalau orderannya saja bisa sebanyak itu, mestinya dia punya karyawan.

“Bang? Makan?” sapaku begitu tiba di workshop. Jujur aja aku belum masuk ke workshop lagi beberapa hari terakhir ini. Aku juga baru menyadari bahwa di luar terdapat tumpukan kayu-kayu panjang yang siap disulap untuk menjadi bingkai.

“Nanti aja, Gas!” jawab Bang Dicky dari salah satu sudut. Dia membelakangiku, sibuk dengan sesuatu, sedikit pun nggak menoleh.

Aku mengamati perubahan yang terjadi di dalam workshop. Ada banyak sekali bingkai siap pahat, dan juga bingkai yang sudah dipahat. Semua bingkai terdahulunya diletakkan di salah satu sudut, sementara bingkai-bingkai baru ini digantung dan dikeringkan—apa pun istilahnya. Satu hal yang menarik perhatianku: semua bingkai baru ini berukiran cupid. Aku seperti sedang ditatap jutaan Bello di ruangan ini. Semuanya persis!

Buyer-nya pengen bikin bingkai cupid, ya?” tanyaku, sambil duduk di salah satu kursi kosong dekat Bang Dicky. Cowok itu rupanya sedang asyik memahat salah satu bingkai dan hidungnya nyengir ketika aku menatapnya.

Gosh... hanya dengan kaus sleeveless penuh serbuk kayu dan keringat mengkilat di tubuhnya, dia kelihatan charming sekali. Meskipun dia nggak mandi seminggu, kayaknya aku rela menciumi tubuhnya.

Silly.

“Ya, Gas. Dan bikinnya banyak. Udah gitu bayarnya mahal.”
“Kenapa nggak hire karyawan? I mean, biar cepet beres gitu kerjaannya.”
Bang Dicky tersenyum. “Pengennya sih, gitu. Tapi sebelum Dicky nemu orang yang kualitasnya sama kayak Dicky, Dicky nggak bisa ngangkat pegawai. Kualitas Dicky mesti dijaga. Tangan setiap orang kan beda-beda.”
“Lho, kan bisa ngerjain hal-hal yang lainnya Bang. Misalnya motongin kayunya, nyiapin dasar pahatannya—“

“Tetep beda.”

Aku manggut-manggut mencoba mengerti. Mataku terus menatap wajah lugu itu, wajah bocah yang pernah dilecehkan oleh ayahnya sendiri, dikurung dalam sebuah peti dan dikubur hidup-hidup berhari-hari, dan gara-gara itu dia mengidap trauma hebat sampai-sampai menyebutkan nama orang untuk kata gantinya... dan dia membunuh ayahnya—which for me is a big achievement, prestasi yang mestinya dibanggakan.

“Kenapa cupid?” tanyaku.
Bang Dicky mengasah pisaunya sejenak, kemudian menjawab, “Sebetulnya yang pengen bikin cupid tuh Dicky. Bu Dewi cuma request banyak bingkai. Motifnya terserah Dicky, yang penting Dicky-nya suka sama motif itu.”
“Lho? Kok gitu?”
Bang Dicky mengangkat bahu. “Bu Dewi bilang, kalo Dicky ngerjain sesuatu yang Dicky suka, hasilnya bakal lebih memuaskan dibandingkan kerjaannya request-an orang lain.”

“Terus, kenapa Bang Dicky pilih cupid?”
“Cupid?” Bang Dicky mengangkat kedua alisnya. “Karena Dicky suka cupid.”

Bang Dicky meletakkan pisaunya dan mengelap tangannya sejenak. Otaknya berputar, masih merangkai kata memikirkan jawaban dari pertanyaanku. Kemudian, dia duduk di kursi di sampingku, menebarkan aroma khasnya yang maskulin, dan mengembuskan napas hangat yang menyentuh lututku.

“Dulu, waktu kecil, Dicky selalu diceritain sama Ibu soal cupid. Katanya, suatu hari, bakal ada cupid yang ngejodohin Dicky dengan seseorang. Waktu itu Dicky percaya sama kata-kata Ibu...” Bang Dicky tersenyum sejenak sambil mengenang. “Tapi pas Dicky udah gede, Dicky tahu kok, kalo itu cuma dongeng semata. Cuma... Dicky tetep percaya aja, bahwa ada sesuatu di luar sana, mau itu cupid atau bukan, yang bakal mempertemukan Dicky sama orang yang Dicky cintai.”

“Jadi Bang Dicky tetep percaya sama Cupid?”
“Ya.” Bang Dicky mengangguk mantap. “Apa lagi Nenek juga selalu seneng tiap Dicky bahas soal cupid. Nenek malah dukung Dicky...”
You mean, Bang Dicky juga lagi nyari si cupid ini?”
“Iya, dong!” Bang Dicky mengacak-acak rambutku.

Andai saja aku bisa memperlihatkan Bello padanya. Andai saja dia tahu bahwa selama ini ada seekor cupid di dalam rumah. Cupid tolol yang selalu berubah menjadi kuntilanak dan menggoda tukang nasi goreng yang lewat di depan. Cupid yang kerjaannya cuma nongkrong, bukannya menjodohkan orang atau apa gitu.

“Aku juga lagi nyari seseorang, Bang,” kataku tanpa bisa kutahan. “Aku nggak begitu kenal sama dia, tapi dia pasti tahu aku. Dan aku juga nggak ingat pernah ketemu sama dia, tapi aku tahu aku pernah ketemu sama dia. Dia udah lama hilang. Tapi aku pengen ketemu sama dia.”
“Siapa?” Bang Dicky menoleh. Tatapannya terlihat waspada.

Aku menelan ludah dan memberanikan diriku. “Dennis.”

Seperti dugaanku, Bang Dicky terlihat nggak senang aku membahas nama itu. Kepalanya langsung menoleh ke arah lain dan rahangnya mengeras. Aku bisa melihat urat-urat di punggung tangannya bermunculan, ditambah kepalan tangannya itu menunjukkan dia sedang menahan emosinya.

Aku juga bisa merasakan desah napasnya agak memburu. Aku tahu ini topik sensitif, tapi sudah sejak lama aku ingin membahasnya lebih jauh.

“Aku lagi nyari Dennis, Bang.” Aku mengatur napasku. “Bang Dicky tahu di mana Dennis?”
“B-banyak yang namanya Dennis di dunia ini, Gas.”
“Yang aku cari cuma satu-satunya Dennis yang Bang Dicky kenal.”
“Dicky juga kenal banyak Dennis.”

Aku mendesah. “Aku cuma nyari Dennis yang juga lagi dicari Bang Dicky.”

Tangan Bang Dicky bergetar. Dia kelihatan terguncang karena aku membahas topik itu. Selintas aku merasa bersalah karena sudah menyebutkannya. Tapi selintas aku merasa aku melakukan hal yang benar. Aku juga berhak tahu, kan? Dan dia juga nggak semestinya terus memendam perasaan itu... Dia juga harus membagi bebannya dengan orang lain, supaya dia nggak terbebani terus menerus dengan masalah yang sama.

“Dicky nggak mau bahas soal Dennis.”

Seperti yang kuduga.

-XxX-

“Sebetulnya, dia nyari Dennis juga nggak, sih?” tanyaku pada Bello.

Sudah tiga jam sejak pembicaraanku dengan Bang Dicky petang tadi. Kami makan malam dan melupakan semua pembicaraan di workshop tersebut. Bang Dicky mendadak harus mengantar Granny ke rumahnya Jeng Odah untuk latihan, tetapi aku diizinkannya main-main di workshop sejauh aku nggak menyentuh apa pun.

For God’s sake, dia nyari-nyari Dennis setengah mati,” jawab Bello. Cupid itu sekarang sedang asyik berkeliling workshop, mengitari setiap bingkai berpahat cupid dan mengamatinya satu per satu. “Mirip. Mirip. Mirip. Ah, yang ini agak pesek, nggak mirip. Mirip. Mirip...”

“Tapi, kenapa dia nggak mau ngebahas soal Dennis sama aku? Kan aku bisa bantu dia.”
“... Mirip. Mirip. Buat Bang Dicky, mencari Dennis adalah suatu hal yang personal. Dia pengen masalah cari mencari itu jadi masalah dia aja. Bukan masalah orang lain. Yang ini mirip. Ini juga... mirip.”

Mendadak otakku teringat kalimat Bang Dicky tiga jam lalu soal kualitas. Bisa jadi dia memang hanya ingin menyelesaikan masalahnya sendiri menggunakan tangannya sendiri. Kalo begitu, berarti dia sombong nggak ketulungan!

“Dia udah nyari ke mana aja ya, kira-kira?”
“Mirip... mirip... hmmh... yang ini bukan cupid, ya?” Bello melayang-layang menarik perhatianku. “Lihat! Wajahnya aneh, kotak-kotak. Matanya juga cuma satu.”
“Yang itu belum selesai.” Aku memutar bola mata. “Pas tadi diminta Granny buat nganterin, Bang Dicky lagi ngerjain yang itu.”
“Oh.” Bello mengurut dada. Lega.

Cupid itu kembali berkeliling ke semua bingkai berpahat cupid di dalam workshop. Cawatnya berkibar-kibar, dan untuk kesejutakalinya, aku penasaran, ada apakah di balik cawat seekor cupid?

“Kamu pernah bantu Bang Dicky nyari Dennis?”
Bello menggeleng. “Aku kan nggak pernah muncul di depan Bang Dicky. Gimana cara aku ngebantu dia?”
“Tapi pasti kamu tahu, kan... misalnya ada progres dari hasil pencarian Bang Dicky, gitu? Sebuah petunjuk yang aku belum temuin?”

Bello mengangkat tangannya dan menggeleng. Dia kelihatan bete sekarang. “Kenapa sih orang-orang pada nyari Dennis?”
“Karena dia nggak ada. Kalo dia ada, nggak mungkin dicari.”

Bello tertawa. Dia lalu mengajakku berkeliling dan mengamati setiap ukiran cupid yang ada di sana. “Menurut kamu, yang ini mirip cupid nggak? Kalo kata aku sih nggak. Ini mirip... kamu.”

-XxX-

Menjelang Weekend dan beberapa hari lagi menuju Girlband Fight. Granny sedang sibuk-sibuknya menelepon desainer untuk kostum yang akan dipakai nanti.

“... Nggak bisa, Mas. Pokoknya saya pengen yang berlayer-layer itu, yang mengembang. Bustier-nya mesti berisi bagian dadanya. Ngerti? Dan bagian buntutnya itu mesti dari bahan organdi, oke? Biar terawang. Kayak yang waktu itu ada di display, yang pernah dipake Syahrini lho, Mas! Saya bayar mahal, nih.”

Seorang event organizer juga bolak balik ke rumah Granny dan Jeng Nunuk untuk menanyakan beberapa hal, misalnya stage performance hingga undangan penonton. Pagi tadi malah ada perwakilan dari provider telepon yang datang untuk menjelaskan format voting, yang dengan hebohnya akan dilakukan menggunakan sms dan phone call. Orang dari advertising juga berkali-kali datang ke rumah untuk menunjukkan format pengiklanan, dan bagian ini agak terhambat karena Granny dan Jeng Nunuk selalu beda pendapat. Gara-gara itu pula mereka berdua perang lempar-lemparan belimbing kemarin sore.

Jumat sore, sedang ada pesta besar di rumah Granny. Beliau sengaja mengundang seluruh panitia acara untuk datang ke rumahnya dan makan makanan enak, dengan tujuan mereka bakal berpihak pada Granny. Misalnya hasil voting yang menang adalah Granny atau Granny mendapat special priviliges di hari H-nya.

“Agas, kamu mau makan di mana?” tanya Granny yang sedang sibuk melayani tamu yang lain.
“Aku di belakang aja ya, Granny... Banyak orang di sini.”
“Oke. Jangan lupa dessert-nya, ya!”

Aku bahkan belum mengganti pakaianku. Ketika aku pulang dari sekolah, aku dihadang Granny untuk langsung ikut jamuan makan malam itu. Tapi untung aku bisa kabur dari semua orang dan duduk di ayunan belakang, menyantap masakan lezat khas Bang Dicky sambil menikmati langit sore yang kebetulan cerah. Suasana yang sepi di halaman belakang membuat makan malamku terasa damai. Hanya sayup-sayup suara ramai yang kudengar dari dalam rumah.

Sekitar lima menit kemudian, tiba-tiba muncul Zaenab dari pintu belakang. Aku mengernyitkan alis karena penasaran, ngapain dia di sini?

“Heeey! Agaaass!” serunya, seolah kami adalah sahabat dekat. “Kamu téh bukannya masuk atuh. Ramean di dalem. Yuk!”
“Nggak, ah. Mau di sini aja. Biar tenang.”
“Oooh, ya udah atuh kalo gitu mah. Saya juga di sini ajah!”

Eh, apa maksudnya?


to be continued






Post a Comment