All About Magic
-chapter 10- ( 10 )
by MarioBastian
“Saya téh sebenernya mau nyari si Zaki, tapi ternyata nggak ada. Tapi kebetulan, si Nini Lamp—eh, si Nini téh lagi pesta. Ya udah, sekalian aja cenah kata si Nini saya ikutan makan-makan. Ya udah, dari pada nggak enak sama si Nini, saya ikutan aja wé. Ini juga dikit aja lah ngambilnya mah, yang penting pormalitas.”
Yang
Zaenab ambil adalah dua mangkuk nasi, dua potong ayam goreng, satu ikan
bandeng besar, tumis kangkung, tumis tauge, suir ayam, semangkuk sayup
sop, tiga jenis sambal, rendang, beberapa sendok lotek, semangkuk
zupa-zupa, sepotong sandwich, segelas cappucino, semangkuk ‘besar’ fruit selection, ice cream blueberry,
teh apel, dan juga vas bunga dari atas meja makan. Semua diletakkan
bertumpuk-tumpuk di atas nyiru bambu besar yang biasa digunakan Granny
untuk membersihkan beras.
“Si Dicky mah emang enak-enak ya Gas,
masakannya!” ujarnya sambil mengunyah ayam goreng dan roti zupa-zupa
bersamaan. “Aduh, tau gini saya téh pake baju yang bagus. Meni asa maluuu, pake baju beginian.”
Dan
dia mengenakan gaun cantik warna ungu dengan bros emas di bahunya,
dipadu dengan sepatu bot bahan beludru selutut, belt emas besar, untaian
kalung warna warni, dan rambut yang diblow rapi di salon. Untuk ukuran “baju beginian” buatku ini terlampau bagus. Nggak kebayang “baju yang bagus”-nya bagaimana.
“Sok atuh sok, makan. Jangan ngelihatin saya aja...”
Aku memutar bola mata.
Zaenab duduk di benchpark dekat
ayunan, dan untuk sepuluh menit pertama kami nggak bicara satu sama
lain. Zaenab sedang asyik menikmati makanannya. Tapi begitu sebagian
dari makanannya habis, dia mulai membuka obrolan.
“Kamu téh nggak sekolah, Gas?”
For God’s sake! Can’t you see WHAT TIME IS IT NOW?!
“Udah pulang, Mbak. Udah dari tadi—“
“Eeehh.. atuh. Jangan panggil Mbak, meni asa orang jawa pisan. Panggil étéh! Okeh? You can call me étéh. Atawa, Sist. I is wedding with Zaki. So I and you is near family.”
Ya Tuhan, bagian apanya memang yang membuat ‘mbak’ jadi serasa orang Jawa? Dia sendiri tinggal di pulau Jawa, kan?
“You, lihat si Zaki, No?” tanyanya.
Aku menggeleng. “Aku juga baru nyampe rumah. Belum sempet ketemu siapa-siapa langsung makan di sini.”
“Saya téh mau ngebahas soal ballroom sama prewedding.”
“Ballroom?”
Zaenab mengangguk-angguk dengan semangat sambil menyuap tumis tauge ke dalam mulutnya. “Saya kan pengennya kawin di ballroom hotel megah. Pilihannya banyak, ada Preanger, ada Sheraton... ada juga Hyatt. Aduh, suka pusing kalo udah milih hotel téh.”
Aku berhenti makan. Tunggu. Memangnya mereka punya uang untuk menyelenggarakan resepsi pernikahan di hotel? I mean,
bukannya aku meremehkan finansial seseorang, tapi dalam bayanganku,
Zaki bukan jenis pria yang sanggup membiayai pernikahan di ballroom hotel. Kecuali Zaki sudah menabung sejak dia masih dalam kandungan, atau Zaenab anak juragan minyak yang kaya tujuh turunan.
“Kayaknya
sih mau di Preanger aja,” lanjut Zaenab, bahkan sebelum aku sempat
berkomentar. “Sebab akad nikahnya kan di Mesjid Agung. Jadi begitu beres
akad nikah, semua tamu langsung parade ke jalan Asia Aprika, nanti
jalannya diblokir pake polisi begitu lah, udah gitu ada rombongan
marching band di depan, jadi semuanya bisa hura-hura... dan oh, saya
juga lagi ngusulin atraksi kuda kumping sama sisingaan pas parade dari
Mesjid Agung ke Hotel Preanger-nya. Bagus, kan?”
Okay,
ini jelas bukan pernikahan seorang kurir kayu dengan wanita kampung yang
tahunya cuma seks doang. Ini sih pernikahan Pangeran Harry atau
Pangeran William.
“Nanti malemnya, semua tamu boleh masuk ke
TranStudio yang di BSM itu, udah gitu saya sama si Zaki bakal malam
pertama, hihihi... di hotelnya TransTv yang baru itu. Asyik, kan?”
Aku masih mematung. Napasku malah tertahan. Otakku jelas nggak bisa nerima rencana pernikahan Zaenab yang keterlaluan itu. Either she’s daydreaming, she might be a real millionaire bitch yang berpura-pura jadi gadis kampung. Tapi aku lebih percaya sama pilihan pertama.
“Semuanya udah saya atur, tenang aja. Si Zaki mah tinggal tau kawin wé lah. Nah, nanti juga saya téh maunya ada poto prewedding gitu, rencananya mau di Pulau Belitung. You know Pulau Belitung? Pulau Belitung is Pulau Laskar Pelangi. Paling minggu depan lah, naik pesawat pirst class udah gitu poto-poto di pinggir pantai, di atas batu-batu, nanti ada background pelangi di belakangnya. Asyik wé lah...”
“Dan kalian udah beli tiket pesawat ‘pirst’ class-nya?” tanyaku.
“Oooh, belum. Justru itu!” Zaenab menyuap dulu sepotong kiwi kemudian buru-buru menelannya. “Saya téh ke sinih mau ngebahas itu sama si Zaki. Kirain téh si Zaki lagi nganterin kayu buat si Dicky. Saya mau ngomong sama dia soal prewedding di Pulau Belitung téa.”
“Emang kalian ada uangnya buat ke sana?” tanyaku tanpa bisa kutahan.
“Ya ada dong!” Zaenab mengibaskan tangan sambil tertawa-tawa. “Si Zaki kan kaya raya. Duitnya dia segudang!”
“Hah?” Aku mengernyitkan alis dan nggak percaya. “Kata siapa kaya raya?”
“Kata saya dong barusan, masa nggak denger sih?”
Baiklah,
mungkin memang benar Zaenab ini pengkhayal ulung. Tepatnya, pengkhayal
sinting. Bisa-bisanya dia berpikiran calon suaminya yang kurir kayu itu
kaya raya dan mau melakukan foto prewed di pulau lain dalam waktu yang mepet ke hari pernikahan.
“Zaki téh sebenernya orang kaya, lho. Saya mah pernah ngintip ke buku rekeningnya, trus ngelihat, waduuuh, ini duit jumlahnya meni edun banyak nolnya. Ckckck. Makanya saya mau kawin ama si Zaki juga. Emangnya kamu pikir saya mau kawin ama si kontol leutik tuh gara-gara apa, hah?”
“Apa?”
“Gara-gara cicis, atuh! Money! Eh, tapi yang barusan mah jangan bilang-bilang, okeh?” Dan dia pun cekikikan.
Hmmmh... Buku rekening? "Bang Zaki punya rekening?”
“Punya dooong... ada banyak, lah. Lumayan. Ada juga depositonya—yang itu mah cenah nggak bisa diambil kecuali di tanggal-tanggal tertentu. Kartu kreditnya juga banyak.”
“Bang Zaki juga punya kartu kredit?!”
Aku nggak bisa membayangkan Zaki belanja ke mal dan menggunakan kartu kreditnya. I mean, credit card buat belanja, kan?
“Iya. Yang kalo dimasukin ke mesin uang bisa keluar uang gitu, lah...”
“Oh, ATM.” Aku memutar bola mata.
Memang dari awal nggak mungkin Zaki punya kartu kredit.
“Tapi si Zaki nggak tau kalo saya téh tau soal buku rekening ini. Saya kan nemunya sembunyi-sembunyi. Kalo saya nyinggung soal itu téh, si Zaki suka marah-marah. Ugh, sebel. Cenah itu buku administrasi penting, jangan dilihat isinya, kalo dilihat isinya nanti uangnya ilang. Waduk, kan?”
Untuk
ukuran orang macam Zaenab, menyembunyikan buku tabungan kita darinya
adalah suatu kewajiban. Betul juga Zaki, prinsip yang bagus. Sayangnya
si jalang ini terlanjur ngintip isi rekeningnya.
Tapi aku masih penasaran, memangnya beneran Zaki punya uang sebanyak itu?
“Gara-gara si Dicky Ontohod, sih, pake nyembunyiin segala. Si Dicky tuh suka memperalat orang, you know. Mentang-mentang si Zaki téh bodo, dia nipu si Zaki supaya nggak ngelihat isi tabungannya setiap gajian.”
“Aku masih nggak ngerti.”
Zaenab menghela napas dan mendelik sebal padaku. “Oh my God, orang Amerika kok nggak ngerti-ngerti, sih,” gumamnya. “Jadi gini, juragan...”
Zaenab berdeham dan mulai bercerita. “Si Dicky tuh kan sebenernya orang kaya. Duitnya banyak hasil ngelukis pigura-pigura di workshop situ dan dijual ke luar negeri. Kadang-kadang suka bikin pameran sama bazaar yang ngehasilin duit banyak. Belum lagi masakannya enak, jadi orang-orang seneng sama dia. Nah, si Dicky téh ngangkat si Zaki jadi karyawannya, buat nganterin kayu. Si Zaki téh digaji
gede pisan sama si Dicky. Gede, lah pokoknya... lebih gede dari gaji
presiden lah kayaknya mah. Tapi si Dicky cuma ngasih uang tunai aja per
bulan ke si Zaki yang jumlahnya sejuta. Sisanya dia transper ke tabungan si Zaki, tapi si Zaki nggak pernah tau jumlahnya. Jahat, kan?
“Pokoknya
udah lama lah si Dicky kayak gitu. Ngasih belasan juta ke tabungan,
tapi cuma ngasih sejuta uang tunainya. Gara-gara itu sekarang si Zaki
jadi tetep miskin, rumah ngontrak, kadang ngutang, dan kemarin masih
nyuruh saya buat ngredit panci. Eeergh! Sebel! Padahal di tabungannya ada uang bermilyar-milyar... Gimana saya mau dapet pernikahan impian, geura...”
Aku
masih terguncang mendengar pernyataan Zaenab barusan. Tentu saja aku
nggak langsung percaya sama kata-kata tersebut, meskipun kemungkinan
bahwa itu benar tetap saja ada.
“Tétéh jangan bercanda,” kataku.
“Nggak kok, nggak bercanda!” serunya sambil menyesap cappucino-nya sampai habis. “Nih, buktinya.”
Zaenab meletakkan cangkirnya dan langsung mengeluarkan se-kresek buku
tabungan dari balik bra-nya. Ada setumpuk buku tabungan berwarna warni,
ada juga surat pemberitahuan pin ATM dan bahkan beberapa kartu ATM
berhamburan keluar dari kresek hitam tersebut. Dari sini aku bisa
melihat semua kartu itu bertuliskan nama lengkap Zaki dan kilau kartunya
menunjukkan benda itu nggak pernah digunakan.
Aku terkejut
melihatnya. Ternyata benar apa yang diributkan Zaenab barusan. Zaki
punya banyak tabungan berisi saldo yang membengkak.
“Aku pengen
lihat!” Buru-buru aku merebut salah satu buku tabungan secara acak dan
kebetulan menarik tabungan Simpedes BRI, yang setelah kubuka saldo
terakhirnya...
... tidak.
Ini tidak mungkin.
Tidak mungkin Zaki punya uang sebanyak ini.
Dan tanggal transaksi terakhir ini baru berlangsung bulan kemarin...
Dan
ketika aku mengecek nama pemilik buku tabungan, hanya untuk
memastikan... namanya benar nama lengkap Zaki. Dengan alamat... alamat
rumah Zaki di daerah Cihampelas.
Ini benar-benar milik Zaki.
Dengan panik aku langsung merebut semua buku tabungan itu, membuat
Zaenab mengerang marah, tapi aku nggak peduli. Aku cek satu per satu
buku tabungan itu, membaca nama lengkap pemilik tabungan, dan transaksi
terakhir, dan saldo terakhir. Semua transaksinya adalah kredit... which means, tabungan ini hanya diisi uang tanpa sekalipun dilakukan penarikan tunai. Dan saldo-saldo yang membengkak itu...
Mataku
membelalak menatap semua jumlah saldo tabungan itu. Saking
terguncangnya, aku bahkan nggak sanggup menghitung total saldo semua
tabungan itu. Belum deposito ini. Yang bunganya bahkan tidak diketahui
Zaki. Dan kartu-kartu ATM beserta surat pin ATM ini!
I mean, for God’s sake,
si Zaenab itu sapi tolol atau apa?! Kalau di sini ada ATM beserta surat
pin-nya, kenapa nggak dari dulu dibuka kalau memang mau mengambil
isinya?!
Eeerrrggghhh...
“Bener, kan? Si Zaki itu
milyuner...” Zaenab buru-buru merebutnya dan mengibas-ngibaskannya di
depan wajah. Sekalian, dia juga menunjukkan ekspresi, “Sorry ya, ini punya calon suami gue. Jangan pegang lama-lama!”
Aku
masih mematung dan nyaris menjatuhkan piringku. Otakku masih terguncang
menerima semua informasi mengejutkan ini. Zaki kaya raya... Zaki punya
banyak tabungan... dengan saldo berisi nol berentetan sebanyak... ya
Tuhan... ya Tuhan... uang yang akan kudapat dari harta warisan Mom and
Dad saja di ulang tahun ke-21-ku nanti pun nggak akan sebanyak ini...
dan apa betul yang di BCA barusan kurs-nya dollar?
Bukannya aku
matre atau apa. Tapi rasanya salah kalau seseorang sebenarnya kaya raya
tapi dia nggak tahu bahwa dia kaya raya. Rasanya... nggak benar. Rasanya
aku ingin buru-buru ketemu Zaki dan bilang, “Bang Zaki kaya raya, lho!”
dan mungkin aku bisa menyarankannya beli pesawat... dan dia bisa kuliah
pilot... for God’s sake, bahkan mungkin dia bisa membangun airline-nya sendiri. Dia bisa jadi CEO-nya...
Tanganku bergetar dan aku bingung harus bagaimana.
“Huh! Pasti kamu juga pengen yah duitnya si Zaki? Nggak bisa!”
Dengan
angkuh Zaenab buru-buru membereskan buku tabungan Zaki sekaligus semua
peralatan makannya. Dia lalu berlalu sambil memberikan delik sinis
terakhir ke arahku.
Astaga, kelihatannya dia ke sini mau menyombong doang. Bukan mau nyari Zaki.
Tapi aku nggak memedulikan itu. Yang ada di otakku sekarang adalah... bagaimana bisa?
Bagaimana bisa tahu-tahu Zaki adalah seorang milyuner?
Memangnya ini telenovela??
-XxX-
Aku
sempat nggak bisa tidur di malam pertama aku tahu Zaki seorang
milyuner. Aku pikir aku bermimpi, mungkin aku bakal bangun suatu saat
dan menyadari itu hanyalah lelucon. Tapi nyatanya itu benar. Aku masih
bisa merasakan buku tabungan itu di tanganku, dengan jumlah saldo
terakhir yang membengkak itu... dan kartu-kartu ATM itu.
Hari-hari
berikutnya aku malah membayangkan diriku memiliki uang sebanyak itu dan
kemana saja aku bakal belanja. Yang pasti aku bakal langsung pindah ke
Malibu, hidup sejahtera di sana sambil surfing setiap hari, kulit
kecokelatan dan mungkin keliling dunia sebulan sekali. Bahkan mungkin,
uangku belum bakalan habis.
Kalau aku harus membuka bisnis... aku bakal buka...
Nggak...
Aku
nggak bakal buka perusahaan sepatu... Aku juga nggak bakal buka
restoran... Aku bakal... Mungkin aku bakal menanamkan modal saja di
perusahaan-perusahaan besar... Atau mungkin Forex! Ya! Dan mungkin aku
akan membeli saham Google dan Facebook...
“Vargas Okky Adiguna.”
Mrs. Asshole Fuckyou Motherfucker membuyarkan lamunanku dan menatapku
dengan alis terangkat. “Apa maksud dari ini?”
“Apa?”
Aku celingukan menatap seisi kelas yang sekarang mengamatiku penuh tanda tanya.
Sepuluh detik yang lalu, kami sedang menunggu hasil quiz fisika minggu kemarin, dan aku sedang melamun, tahu-tahu Mrs. Asshole Fuckyou Motherfucker bertanya seperti itu.
“Sini
kamu!” titahnya galak. Dia mengacungkan kertas jawabanku lalu
membantingnya di atas meja. “Kamu emang sengaja kurang ajar, ya?!”
Apa maksudnya?
Dengan
jantung berdebar, aku berdiri dari kursiku dan berjalan menuju meja
Mrs. Asshole Fuckyou Motherfucker. Langkahku agak berat, bingung dengan
apa yang terjadi. Rasanya aku seperti melakukan kejahatan kriminal berat
di sekolah. Rasanya aku baru saja menyebarkan video porno diriku dan
aku tinggal menunggu digantung atau apa gitu...
“Di dalem diri
kamu tuh ada setan atau apa, sih?!” Oh, tidak. Dia benar-benar berang.
“Otak kamu tuh penuh racun! Jiwa kamu tuh kotor!”
Aku menunduk menatap lantai tapi masih bingung kesalahanku apa kali ini.
“Kutukan
apa sih, yang hinggap di diri kamu itu?! Sudah milih jadi homo! Sok
ngerasa bener! Sok ngerasa dunia ini milik kamu sendiri! Sekarang kamu
makin kurang ajar, ya!”
Hatiku tersayat mendengarnya. Baru
sekarang ada guru sialan yang bicara seperti itu padaku. Di depan seisi
kelas! Dan apa maksudnya aku milih jadi homo, hah?! Siapa pula yang
ngerasa bener?!
“Kalo kamu nggak suka sama saya, kamu tinggal
keluar dari kelas saya, nggak perlu ikut-ikutan kelas saya! Nggak perlu
bikin tulisan-tulisan menghina begini di kertas jawaban kamu! PATHETIC!”
Aku
melirik kertas jawabanku. Semua jawaban dari soal quiz itu dicontreng
benar, semuanya, tapi aku mendapat nilai B. Dan sekarang huruf B itu
dicoret menjadi F. Dan aku baru menyadari bahwa di bawah kertas
jawabanku ada gambar alat kelamin pria, gambar ibu-ibu gendut, dan
tulisan “Mrs. Asshole Fuckyou Motherfucker fuck me please so I can be straight!”
Demi TUHAN, aku nggak menulis dan menggambar sampah tersebut!
WHY ON EARTH WOULD I DO THAT?!
Dengan panik aku berusaha menjelaskan bahwa aku sama sekali nggak melakukan itu. For God’s sake, tulisannya pun BUKAN tulisanku. Is she BLIND?!
Huruf A-ku tidak ditulis seperti itu, dan aku nggak mungkin menggambar
alat kelamin pria sejelek itu! Aku bisa menggambar lebih bagus!
Ini
pasti ulah seseorang di kelas ini. Atau siapa pun di CIS. Nama Mrs.
Asshole Fuckyou Motherfucker memang sudah umum di kalangan murid-murid,
karena pada dasarnya guru yang satu ini menyebalkan terlepas kamu ini
gay atau bukan.
Dengan tangan bergetar, dan sedikit panik, aku mencoba menjelaskan, “I-itu bukan tulisan saya, Miss.”
“Tapi ini ada di kertas jawaban kamu! Jelas, ini tulisan kamu! Ngapain kamu berkelit lagi?!” Mrs. Asshole melotot.
“T-tapi—“
BRAKKK!!
Mrs.
Asshole memukul meja. Semua orang di kelas itu kaget dan ikut
tertunduk, sementara aku nyaris melompat karena terkejut. Wanita medusa
itu benar-benar berang. Urat-urat di pelipisnya bermunculan dan napasnya
memburu. Dia meremas-remas kertas jawabanku lalu melemparkannya ke
mukaku, tepat mengenai hidungku.
“Mulai sekarang, PERGI KAMU DARI KELAS SAYA! Kamu saya blacklist dari
pelajaran Fisika! Jangan pernah masuk lagi! Dan untuk sekarang, kamu
saya hukum! Kamu harus bersihkan SELURUH lapangan sekolah, tanpa
kecuali! Atau kamu saya laporin ke Headmaster dan kamu dikeluarin dari
sekolah ini! Sekarang, KELUAR!”
to be continued
DISCLAIMER:
This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.
The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.
Kadang Cupid Tuh Tolol! Chapter 10 (10)'s All About Magic
Labels:
Kadang Cupid Tuh Tolol,
mariobastian
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Info Kesehatan
Artikel Lain :
9 Hal Seputar Kondom Pria yang Paling Sering Ditanyakan
1 comments:
T_T
Agas ,, hidupmu bner2 penuh cobaan ya
Post a Comment