DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Kadang Cupid Tuh Tolol! Chapter 10 (11)'s All About Magic

All About Magic
-chapter 10- ( 11 )
by MarioBastian



Dengan bahu berguncang aku membereskan mejaku dan langsung berlari keluar kelas. Semua murid menatap prihatin, tapi mereka nggak berbuat apa-apa. Mukaku merah karena malu dan hatiku terluka. Bagaimana bisa seorang guru melakukan itu padaku? I mean, bagaimana bisa seseorang melakukan itu padaku? Menjebakku dengan menjelek-jelekkan guru Fisika supaya aku dikeluarkan dari kelas. Dan kenapa juga dia nggak meneliti tulisan itu, for God’s sake! Aku berani Sumpah Pocong untuk membuktikan bahwa itu BUKAN tulisanku. Akan kukumpulkan semua buku pelajaranku, membandingkan satu persatu tulisanku dengan tulisan jelek tersebut. Kalau perlu panggil ahli graphology!

Tanpa kusadari, airmata menetes menyusuri pipiku. Langkahku terus maju melewati kelas-kelas di sepanjang koridor, tapi aku tak tahu arahku ke mana.

Siapa yang peduli dengan Guru sialan itu?! Siapa yang peduli dengan CIS sialan ini?! For God’s sake, aku bahkan sudah lama ingin keluar dari sekolah menyebalkan ini! Sekolah terkutuk! Bilang saja sama Headmaster supaya aku dikeluarkan! Sekarang kalau bisa!

Aku tiba di halaman belakang dan duduk di atas benchpark di bawah pohon flamboyan. Untuk bermenit-menit lamanya, aku menangis. Hatiku tersayat dipermalukan seperti itu. Hatiku teriris menanggung malu untuk sesuatu yang nggak pernah kubuat. Bahkan aku nggak mendapat kesempatan untuk membela diri!

Sampai sekitar setengah jam lamanya, akhirnya aku bisa menguasai diri. Aku menghapus airmataku yang memang mulai kering dan mulai melamun dengan pikiran ruwet. Bahkan, aku berencana meminjam uang jutaan Zaki untuk pindah ke Amerika dan hidup di sana. Atau kalau bukan Amerika, di mana saja deh yang lebih toleratif dari pada CIS sialan ini! Atau kalau perlu, aku akan pinjam dari Bang Dicky saja. I mean, jelas dia bakal lebih kaya raya dibandingkan Zaki.

Aku masih nggak tahu motif apa yang membuat Bang Dicky menggaji Zaki sebesar itu. Tapi aku percaya, aku bisa saja meminjam uang Bang Dicky untuk pindah sekolah dan keluar dari kota sialan ini. Aku bisa jadi kurir kayu! Apa susahnya?

“Nah, ini orangnya!” Mrs. Asshole muncul di halaman belakang bersama seorang satpam CIS yang badannya besar. Apa lagi sekarang, batinku. Mereka lalu menarikku ke gudang dan melemparkanku sapu lidi besar yang biasanya kulihat di film nenek sihir. “Sudah saya duga, anak itu pasti mangkir dari hukumannya! Nah, pak, sekarang bapak jaga anak ini supaya dia melakukan hukumannya. Perhatikan dia. Awasi dia. Kalau perlu, bapak tampar aja anaknya kalau berhenti nyapu. Biar tau rasa! Biar dia bisa tobat! Biar dia inget Tuhan! Dan bapak juga hati-hati, jangan sampe bapak tertular kutukan anak ini! Hiiii!!”

“Siap, Bu!” Satpam itu lalu menarikku ke halaman terdekat dan langsung memaksaku menyapu.

Aku sekarang mirip sinetron-sinetron pathetic yang pernah kutonton di TV beberapa minggu yang lalu. Bahuku terus berguncang sekuat apa pun aku menahannya untuk diam. Aku ingin sekali menangis lagi, tetapi menahan agar nggak menangis benar-benar sulit. Aku nggak mau kelihatan kayak wanita payah di sinetron-sinetron itu... tapi apa daya, memang begini kok rasanya. Memang airmataku ingin keluar begitu saja.

Mrs. Asshole lenyap dari koridor sambil mengangkat dagunya. Si Satpam mendekatiku dan melemparkan senyuman. “Yang tabah ya, Dek. Guru yang satu itu emang begitu. Jangan dimasukin dalam hati.”

Oh, ternyata satpamnya baik hati.

Aku berusaha tersenyum meski bibirku berkedut-kedut ingin menangis. Sambil menyapu, satpam itu malah membantuku mengumpulkan dedaunan dan membawakan tong sampah besar.

“Nanti masukin aja ke sini, bersihin sampe situ aja. Udah gitu kamu bisa istirahat,” ujarnya. “Ini bukan kasus pertama. Dan saya juga bukan pertama kali disuruh ngawasin anak yang kena hukuman. Nah, silakan sekarang lanjutin sapu-sapunya.”

Bel istirahat berbunyi dan satpam itu malah pergi ke posnya. Aku melanjutkan menyapuku sambil berjuta kali mengutuk Mrs. Asshole supaya dibakar di neraka... eh, bukan, kebagusan. Supaya setiap hari, setiap dia berangkat sekolah, ada seseorang yang mengulitinya, lalu memanggangnya, dan menyiramkan air keras ke mukanya... atau apa pun itu.

“Waaah... CIS hire tukang sapu baru, nih!”

Oh, Tuhan...
Baru juga lima menit aku menyapu, gerombolan bencana ini sudah berkumpul dan mengelilingiku. Ya, siapa lagi kalo bukan Mahobia. Aku jadi yakin, mereka lah yang menulis dan menggambar di atas kertas jawabanku. I mean, rencana mereka untuk menjebakku “so obvious” kan?

“Mau apa lagi sih kalian?” tantangku.
“Ooowww... Tuan Putri ngambek nih!” Derry menyahut sambil pura-pura ketakutan. “Jangan gitu dong... kita-kita kan pengen nemenin kamyu...”
“Iya nih, kali aja kamyu kesepian...” timpal yang lain, dan mereka semua menahan cekikikan.

Aku menghiraukan mereka, melanjutkan sapu-sapuku dan berusaha mengusir kaki-kaki sialan itu dengan sapu lidi besarku. Tapi mereka malah makin gembira melihatnya.

“Gimana hasil quiz-nya, Bebs?” tanya Derry. “Asyik, kan?”
Aku menatap sinis ke arah cowok sialan itu. Hatiku mengutuknya. Seharusnya aku tahu bahwa ini adalah perbuatan mereka. Tuhan sudah menunjukkanku siapa pelakunya, bahkan saat mereka masih merencanakannya.

“Enak bos si Mrs. Asshole-nya?” tanya Akbar, masih cekikikan.
“Agak asem sih. Tapi worth it, lah. Gue jadi dapet akses ke semua hasil-hasil quiz. Hahaha. Loe nggak lihat apa, nilai Fisika gue seratus waktu semester kemaren?”

Aku geleng-geleng kepala mendengarnya. Nggak percaya ada orang se-pathetic Derry di dunia ini. Selama lima menit berikutnya, mereka terus menerus membahas semua nilai ulangan mereka yang bagus-bagus yang merupakan hasil memperalat guru. Sampai akhirnya si cungkring Mahobia datang sambil menggusur Yanto ke tengah-tengah kami.

“Bos, udah dapet nih!” serunya.
Yanto tertatih-tatih berjalan di belakang si cungkring. Aku pikir Yanto sedang ditarik dengan tali atau sesuatu, tapi ternyata, dia sedang menjinjing ember besar berisi air berwarna hitam. Dan bau. Aku bisa menebak isinya air comberan depan sekolah tempat aku pernah diceburkan dulu.

“Waaah... asyik nih. Orang-orang Maho udah pada ngumpul!” Derry tertawa gembira.

Aku melihat ke arah Yanto yang ketakutan. Matanya menangis dan tangannya gemetaran sambil menjinjing ember itu. Kenapa dia? Apa yang Mahobia lakukan padanya?

“Ayo, Cantik... lakuin apa yang gue suruh!” seru si cungkring.

Yanto menoleh ke arah Mahobia satu persatu, tatapannya memohon. Kulihat bahkan kepalanya menggeleng sedikit. Tetapi Mahobia tetap tersenyum sinis, memaksa Yanto melakukan apa yang—

BYUUUUUURRRR!!

Oh, ternyata ember berisi air comberan itu untuk disiramkan padaku.
I see.

“M-maaf, Gas...” rintih Yanto sambil menangis. Di dalam ember yang kini sudah nyaris kosong itu hanya tersisi sedikit air comberan dan beberapa ekor bangkai tikus.

Oh, great.

GREAT!

Selesai sudah. Begitu pulang sekolah, aku akan mencuri tabungan Zaki dan kabur ke luar negeri. Toh Zaki nggak akan pernah tahu dia punya tabungan itu. Dia bahkan nggak bakal menyadari kalau rekeningnya hilang satu. Aku akan mengajak Zaenab bekerja sama, memberitahunya cara menggunakan ATM, sambil sembunyi-sembunyi mencuri salah satu ATM tersebut. Seperti rencanaku pagi tadi. Kemudian aku akan—

BUUUKKKK!!

Tiba-tiba sebuah suara pukulan membuyarkan lamunanku. Di bawah tetesan air comberan yang jatuh menetes dari alisku, dapat kulihat Derry tersungkur ke atas tanah, sementara Mahobia yang lain menghindar. Awalnya kukira itu Yanto, yang entah bagaimana menjadi lelaki pemberani. Tetapi kulihat Yanto masih ada di hadapanku, sama kagetnya denganku. Kemudian aku pikir mungkin itu satpam baik hati yang tadi... tetapi bukan.

Setelah aku mengelap mataku yang basah dan melihat lebih jelas...

Itu Cazzo.

Dia sedang duduk di atas perut Derry dan menghajarnya habis-habisan.

“Loe ngapain si Agas, hah?! Loe apain, hah?!”
BUUKKK!!
Derry sekuat tenaga menyilangkan tangannya, menangkis serangan-serangan Cazzo. Anehnya, Derry nggak membalas serangan itu. Dengan pasrah Derry menerima pukulan itu dan hanya bergumam, “Bukan gue... bukan gue...”

Beberapa anggota Mahobia langsung menarik Cazzo dari Derry dan menahan cowok itu dari membabibuta. Sementara Derry bangkit dan membersihkan seragamnya, menatapku penuh kebencian, lalu menoleh ke arah Cazzo.

“Bukan gue yang nyiram. Si Yanti nih, yang nyiram.”
Mahobia yang lain langsung bersahutan menyetujui ucapan Derry. “Betul, tuh! Si Yanti tuh!”

Sementara Yanto sekuat tenaga menggelengkan kepala. Airmata keluar lagi dari matanya. Apalagi seingatku, Yanto jatuh cinta pada Cazzo. Jelas, dia nggak mau Cazzo berpikiran aneh-aneh tentangnya.

Napas Cazzo memburu. Dia menatap Derry dengan tajam, masih sesekali berusaha berontak dari cengkeraman Mahobia yang menahannya. Tapi lama kelamaan Cazzo menyerah. Dia menyentak tangan dan badannya agar lepas, kemudian berdiri dan mengatur lagi napasnya.

“Ini nih, yang bikin gue nggak percaya sama lo!” sentak Cazzo. “Lo emang nggak bisa dipercaya.”
“Cazz... dengerin gue dulu—“
“Pergi lo dari sini!”
“Cazz...”
“Pergi!”

Derry berusaha membalas lagi kata-kata Cazzo, tapi tak satupun suara keluar dari mulutnya. Akhirnya leader Mahobia itu mengepalkan tangan dan memukul udara. Dengan kesal dia menarik pasukan Mahobianya pergi dari tempat ini. Sesekali kepalanya masih menoleh ke arah kami: tatapan tajam penuh kebencian ke arahku, dan permohonan maaf ke arah Cazzo.

“Lo juga pergi,” desis Cazzo pada Yanto, yang langsung dituruti tanpa banyak tingkah.

Kini tinggal kami berdua di halaman belakang itu. Well, tentunya dengan beberapa siswa lain yang sedang lewat dan berbisik-bisik tentangku. Tapi yang kurasakan hanya ada kami berdua di situ. Cazzo sedang meredakan napasnya yang memburu. Urat-urat di tubuhnya masih bermunculan dan aku tahu dia sedang melenyapkannya. Menghilangkan rasa kesalnya.

S-sorry...” ujarnya, perlahan.
“Ini bukan salah kamu, kok.” Oh, sial. Barusan ada tetesan air comberan masuk ke mulutku! YUCK! Ffffuuuhh...!! Fffuuuhhh!!

“Ini salah gue.” Matanya masih belum mau menatap ke arahku. “Kalo bukan gara-gara gue, lo nggak bakal kayak begini.”

Aku baru akan membalas, “Emang udah takdirnya begini, kok,” tapi kemudian aku takut air comberan itu akan masuk ke dalam mulutku lagi. Jadi akhirnya aku diam.

Kami berdua terdiam untuk beberapa detik, membiarkan beberapa orang lewat di samping kami dengan pandangan penuh tanya. Kemudian, tanpa disangka-sangka, Cazzo berjalan menghampiriku, membuka kancing seragamnya satu persatu... astaga, dia bukan mau itu kan... dia bukan...

Cazzo melepas seragamnya. Tersisa kaus dalamnya yang berwarna putih. Dan tanpa banyak bicara, dan masih tanpa melihat ke mataku, dia membuka kaus dalamnya, mengepalkannya, lalu mengelap mukaku dengan kaus itu.

Yang bisa kulihat sekarang hanyalah Cazzo, berbadan agak kurus, bertelanjang dada, dan sedang mengelap kepalaku yang penuh air comberan. Dengan getir dia berbisik kepadaku lagi, “Sorry...”

-XxX-

Orang yang tidak cinta Cazzo adalah orang gila. Dan bisa jadi akulah orang gila itu. Kenapa selama ini aku selalu mencoba menolak Cazzo, sih? Apa karena kami seumuran? Apa karena dia kurus nggak seperti Bang Dicky atau Zaki? Apa karena dia terlalu manja dan aku malas kalau harus mengasuhnya terus menerus suatu hari nanti? Atau aku yang nggak mau kehilangan fans jadinya menggantung harapan banyak orang?

Akunya yang gila.
I mean, Bello saja jatuh cinta pada Cazzo mendengar ceritaku saat itu.

Cazzo membawaku ke ruang ganti pemain basket yang ada kamar mandinya. Dia meminjamkanku seragam sekolahnya sementara dia kabur dari sekolah mengenakan kaus basketnya. Semenjak itu kami belum mengobrol lagi. Aku belum sempat menanyakan berjuta pertanyaan yang bersarang di otakku, dan dia juga belum sempat menatap mataku dan mengatakan sejujur-jujurnya.

“Kalo potograper propesional mah, pasti ada payung-payungnya, biar potonya bagus. Biar kulit kita téh nggak item.”

Aku memutar bola mata dan berhenti memikirkan kejadian air comberan tiga hari lalu. Aku kembali mengutak-atik kamera DSLR milik Sesi, temanku, masih kebingungan dengan beberapa tombol... meski sebetulnya, aku kan nggak butuh-butuh amat tombol yang lainnya itu.

“Trus mestinya ada teropongnya di si kamera itunya téh. Biar potonya nggak kebakar.”
“Udah, lah, Zaenab. Udah bagus si Bos bisa dapetin kamera canggih.”

Oh, thank you Zaki. Untuk pertama kalinya kamu ngomong sama calon istri sialan kamu itu. Eeeerrrggghhh.

Menjelang weekend lagi dan besok lusa girlband fight berlangsung. Harusnya aku sibuk membantu Granny menyiapkan kostum, sekaligus bertanya-tanya selewat soal simbol-simbol di buku Dan Brown, berharap bisa membunuh rasa penasaranku akan ritual pemujaan setan Granny berhari-hari yang lalu. Sebagian besar berharap Granny bercanda dengan ritual pemujaan itu dan hanya ingin menggodaku saja. Tapi aku bukannya membantu Granny dan mencari tahu jawabannya. Aku malah menuruti permintaan Zaki untuk melakukan foto prewed dia dan Zaenab di Tangkuban Perahu.

“Ih, si Aa mah... Padahal bisa kan, nyewa potograper yang bagus atuh sekali mah... Jangan apa-apa téh ménta bantuan temen ajah. Ih!”
“Duit dari mana, Zaenab?! Emangnya kita orang kaya?”

Zaenab terlihat geram, ingin sekali melemparkan semua buku tabungan berisi jutaan uang itu ke hadapan Zaki. Aku geleng-geleng kepala dan pura-pura nggak mendengar perseteruan mereka. In fact, aku baru tahu tombol yang barusan itu untuk shutter—kecepatan rana.

Kemarin sore, Zaki mendatangiku dan memintaku memotretnya untuk prewedding karena Zaenab terus menerus merengek ingin punya foto prewedding. Berhubung Zaki masih have no idea tentang kekayaannya sendiri, dia berpikir untuk mencari alternatif termurah saja, yaitu pergi ke Tangkuban Perahu dan membawa aku untuk membantunya memotret. Dan tentu saja itu karena dia pikir aku pernah tinggal di Amerika, jadinya aku pintar menggunakan kamera. Padahal setelah aku menerima pinjaman kamera dari temanku, aku seperti dihadapkan dengan kokpit pesawat. Every single button is nightmares. I thought like I might press the wrong button and the camera will explode.

Sekarang aku terjebak dengan calon pengantin ini. Bertiga di tengah hutan belantara dekat tangkuban perahu. Memotret pasangan tanpa gairah ini dengan pose-pose norak yang entah mengapa tetap kupotret juga. Zaki terlihat lemas dan benci sekali ide foto prewedding ini. Sementara Zaenab terlalu bersemangat sehingga overpose di setiap foto.

Saat kubilang, “Pose gembira!” Zaenab tersenyum lebar dengan jarak gigi atas dan gigi bawah sejauh 5 jari.
Saat kubilang, “Pose romantis!” Zaenab tersenyum lebar 5 jari.
Saat kubilang, “Pose sedih!” Zaenab tersenyum lebar 5 jari.
Saat kubilang, “Pose ada kuntilanak lewat depan kalian!” Zaenab tersenyum lebar 5 jari.

Aku ragu salah satu dari foto itu benar-benar worth it untuk didisplay di pernikahan.

Zaenab is a pain in the ass. She keeps commenting about me. Sejak kami bertiga duduk di mobil pick-up-nya Zaki, melaju ke arah Lembang, Zaenab mendelik tak suka padaku dan selalu mengucapkan kalimat-kalimat menyindir yang membuatku kesal.

“Apa bisa anak kecil dipercaya jadi potograper?”
“Nanti nggak bakal goyang-goyang kan, hasil potonya?”
“Aa téh yakin teu? Gimana kalo hasil potonya malah jadi alay?”

Aku sih pura-pura nggak mendengar aja, pikiranku melayang ke sana kemari, khususnya membayangkan Cazzo yang dengan heroiknya menolongku waktu itu.

Kini sudah satu jam kami keliling-keliling hutan, berfoto di segala tempat dengan pose-pose berbeda, dengan kostum yang nggak mencerminkan foto prewedding. At least ada temanya, deh. Ini kan nggak. Zaki dengan kaus dan jins sobek-sobeknya. Zaenab dengan gaun cantik berpita yang kelihatan sudah sangat disiapkan untuk prewedding. Di ujung gaunnya, Zaenab bahkan sudah menyulam kata-kata, “We Love Belitung!”

“Mestinya kita poto-poto di pinggir pantai,” gumam Zaenab untuk kesejuta kalinya, mengeluh.
Zaki kelihatan mau meledak. Rahangnya mengeras dan kepalanya mendongak ke langit meminta bantuan dari Yang Maha Kuasa. Kemudian sambil mengepalkan tangan dengan kesal, “Zaenab, berapa kali kita mesti ngebahas ini?!”
“Mata Aa téh nggak pernah kebuka...” Zaenab mendelik ke arah calon suaminya sendiri. “Dengerin dong kata-kata saya téh sakali, ajah...”


to be continued






0 comments:

Post a Comment