DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Kadang Cupid Tuh Tolol! Chapter 10 (12)'s All About Magic

All About Magic
-chapter 10- ( 12 )
by MarioBastian



“Mau dengerin apa, Zaenab? Yang kamu bilang téh nggak masuk akal!”
“Saya punya bukti-buktinya, A! Saya—“
“Nggak mungkin saya punya banyak uang. Nggak mungkin si Dicky sembunyi-sembunyi ngasih uang buat saya. Buat apa, hah?!”

Oo-kay. Rupanya Zaenab sudah membicarakan hal ini dengan Zaki.

“Emangnya Aa nggak curiga, kenapa dia téh ngelarang Aa buka buku tabungan itu?!”
“Ya nggak, lah. Buat apa? Itu mah kan urusannya dia.”
“Itu tuh uang Aa! Dia téh jahat! Nggak ngasih tau kalo Aa sebenernya punya banyak uang!”
“Mana ada orang yang ngasih banyak uang tapi nggak ngasih tau orangnya soal uang itu. Buat apa, coba? Mikir dong!”

Suasana makin tegang. Dan aku mengalami awkward moment, di mana aku, somehow, berada di tengah-tengah calon pengantin yang sedang berantem... di tengah hutan.

“Tapi ini uang Aa! Aa berhak atuh buat pake uang ini!”
“Siapa bilang itu uang saya?!”
“Itu uang Aa!”
Zaenab melotot kesal dan geram. Mereka berdua saling bertatapan dan mendengus. Aku berniat melerai mereka, nyaris mengangkat tanganku, namun kemudian urung kulakukan.

“Saya nggak mau bahas ini lagi, Zaenab.”
“Aa emang udah buta!” Zaenab melorotkan bahunya dan berjalan menjauhi Zaki. “Aa emang udah disihir sama si Nini Lampir itu!”
“Ngomong téh yang sopan, atuh!”
“Sopan, saya mah! Biasanya juga saya sebut Nenek Sihir! Lebih mending Nini Lampir, kan?!”

“Kamu nggak pantes ngomong kayak begitu!”
“Biarin!” Zaenab menjulurkan lidah seperti anak kecil. “Aa emang udah disihir sama keluarga lampir itu. Dari kecil suka maen-maen di situ, padahal tetangga bilang rumah itu téh bahaya. Si Nini Lampir suka beli bahan-bahan buat menyan. Belum lagi kuntilanak yang sering nangkring di atas genteng. Apa Aa nggak pernah curiga, hah?!

“Orang-orang téh pada ngomongin, A. Jangan-jangan Aa téh kerasukan. Meni hobi pisan nganterin kayu ke rumah itu, udah gitu digaji gede pula. Udah gitu dikasih makan pula. Bebas keluar masuk, kayak Aa téh budak setannya si Nini Lampir! Saya juga tau A, yang bunuh bapaknya si Dicky bukan Aa. Tapi Aa yang sukarela dipenjara. Demi si Dicky! Ada apa sih sama si Dicky itu téh, hah?!”

PLAK!!


Tak disangka, Zaki menampar Zaenab... tepat di pipi. Dan aku sempat menyesal karena nggak mengabadikan momen menyenangkan barusan.

“Tutup mulut kamu, Zaenab! Atau pernikahan ini batal!” Zaki mendengus marah. “Saya bukan jenis orang kurang ajar yang nggak tau terima kasih. Sejak kecil saya ngehormatin Dicky sama si Nenek, apapun yang mereka lakukan, mau itu pake menyan atau sihir, saya nggak peduli. Mereka udah nolongin hidup saya. Satu-satunya cara yang bisa saya lakukan cuma ngehormatin mereka, buat ngebales budi mereka. Saya harap kamu bisa nerima itu. Cuma dari mereka lah saya bisa kayak begini, jadi mendingan mulai sekarang kamu belajar buat ngehormatin mereka...”

-XxX-


“Dari mana?” Bang Dicky menjulurkan kepalanya di pintu dan Bello buru-buru kabur keluar dari kamar.

Aku, yang sedang asyik curhat pada Bello, cukup terkejut karena kepala Bang Dicky mendadak muncul seperti itu. Apa lagi aku memang sedang membicarakan tentang Bang Dicky bersama Bello. Membicarakan semua cerita yang dimuntahkan Zaki dalam perjalanan pulang.

“Barusan bantuin Bang Zaki foto prewed,” jawabku. “Baru nyampe di rumah tadi. Sekitar jam tujuhan, lah.”
“Oh.” Bang Dicky manggut-manggut dan menatap ke dalam kamarku. “Boleh masuk?”
“Masuk aja kali, pake nanya segala.”

Bang Dicky masuk ke kamar dan langsung duduk di atas ranjangku. Dia mengenakan kaus V-neck tipis warna putih dan celana pendek selutut. Dua-duanya pemberianku, waktu kami berdua belanja ke Cimol kapan itu.

“Ngapain aja foto prewednya?” Bang Dicky terdengar waspada.
Aku memukul bahunya dengan akrab. “Ya foto-foto lah... ngapain lagi? Pasti mikirnya macem-macem.”
“Yaah... kalo Zaki ama Zaenab udah ketemu sih, mereka pasti ngelakuin yang macem-macem.”

Kami berdua tertawa dengan hangat.

“Cuma foto-foto, kok. Nggak ada yang macem-macem. Paling mereka berantem sebentar. Biasa lah, calon pengantin.”
“Berantem soal apa?”
“Soal...” Bilang nggak, ya? “Ya soal pernikahan.” Aku memutuskan untuk tutup mulut, dari pada mengatakan yang sebenarnya. Takut, kalau itu ternyata topik sensitif yang membuat Bang Dicky malas membahasnya lalu pergi dari kamarku. Akhir-akhir ini aku jadi selektif mengangkat topik saat mengobrol bersama Bang Dicky. Aku benci digantung seperti itu. Mendingan aku nggak ngebahasnya sekalian.

“Bang Dicky ke mana aja hari ini? Udah selesai bingkainya?”
Bang Dicky menggeleng. “Bingkai masih banyak. Hari ini bantuin Nenek nyari kostum dan nemenin latihan. Besok pagi mau checksound dan tadi sempet perang tepung terigu dulu sama Jeng Nunuk.”

Bang Dicky nyengir dan aku ingin sekali mencubit hidungnya itu. Ih, gemas.

“Dicky sekarang nginep di rumah ini. Boleh Dicky bobonya di kamar Agas?”
“Boleh-boleh,” jawabku bersemangat. Bahkan, aku gembira sekali bisa tidur bareng Bang Dicky lagi. Bukannya aku berharap banget atau apa, ya.
“Tapi lampunya dinyalain, ya?”
“Sip!”

Bang Dicky turun dari ranjang dan melepas kausnya. Dia menyampirkannya di meja belajarku dengan rapi... termasuk celana pendeknya. Kini Bang Dicky hanya mengenakan celana dalam saja, berwarna abu-abu, yang agak longgar di bagian depan... agak turun sedikit, sih... sehingga aku bisa melihat jembut-jembut hitam di sekitar—Oh, hentikan, Agas! Jangan berpikiran yang aneh-aneh.

Astaga, pantatnya berisi sekali.


“Dicky tadi seharian keliling-keliling Bandung nyari tempat penyewaan kostum. Eergh, gila. Capek banget,” serunya.

Aku separuh mendengarkan, separuh menatap bekas-bekas luka yang sudah kering di tubuh Bang Dicky. Juga tato burung dalam lilitan sulur di punggungnya. Aku nyaris lupa kalau Bang Dicky selalu tidur seperti ini setiap malam.

Saat Bang Dicky berbaring di sampingku di atas ranjang, merapikan bantal lalu meletakkan kedua tangannya di belakang kepala, jantungku berdegup kencang. Aku nggak mengerti ini. Rasanya sudah jutaan kali aku hook up dengan Zaki, tapi setiap Bang Dicky muncul hanya mengenakan celana dalam saja, sensasinya lebih mendebarkan dari pada seks dengan Zaki. Rasanya beda. Nilainya beda.

Aku menatap rambut-rambut di ketiak Bang Dicky dan menelan ludah. Tubuhku resmi gemetaran karena bergairah. Persis di malam pertama Bang Dicky menginap di sini.

“Gas?” panggilnya. “Sebenernya ada yang mau Dicky omongin.”
“Ya?” Tanpa sadar aku berguling mendekati Bang Dicky, menempelkan tanganku ke tubuhnya yang hangat, pura-pura nggak sengaja tersentuh.

(Padahal dengan sadar aku berguling ke situ dan berniat memeluknya saat dia tertidur lelap.)

“Dicky emang lagi nyari Dennis.”

DEG.
Jantungku berdetak kencang lagi. Kali ini bukan karena gairah, tapi karena “akhirnya” Bang Dicky membahas nama tersebut.

“Pasti Agas udah tahu soal Dennis. Pasti dari si Zaki.” Bang Dicky menoleh ke arahku dan tersenyum. “Dicky nggak bisa nyalahin Zaki juga, karena suatu hari Agas pasti bakal tahu. Apa lagi pas Dicky nggak ada di sini... Dicky nggak tahu apa aja yang udah dibilang Zaki ke Agas.”

Aku terpana mendengarnya dan diam tanpa komentar. Bang Dicky tiba-tiba mendekapku, membuatku bergelung di bawah ketiaknya, dan tanpa perlu berpura-pura lagi, aku balas memeluk tubuh besarnya. Aku bisa merasakan kulit perutnya menyentuh tanganku. Puting susunya yang gelap... dan rambut-rambut halusnya yang menggelitikiku.

“Dicky sayang sama Dennis. Dennis satu-satunya adik yang Dicky punya. Umurnya sama kayak Zaki. Kalau ada di sini, Dennis pasti udah segede Zaki. Suatu hari Dennis hilang... dan sampe sekarang belum ditemukan. Dicky selama ini nyari-nyari Dennis, tapi Dicky belum pernah ketemu lagi. Dicky yakin... Dennis masih ada di suatu tempat di dunia ini. Dicky yakin, Dennis masih ada.”

Aku tidak mendengar nada getir dalam cerita. Pun nada ceria. Jelas, Bang Dicky sudah terlalu banyak melewati perasaan hampa ini, perasaan mencari adik yang hilang entah ke mana, sehingga menceritakannya malam ini tidak menjadikannya lebih sedih atau bahagia. Bang Dicky hanya menatap langit-langit kamarku, tetap mendekapku dan bernapas dengan normal.

“Mungkin Agas itu Dennis?” Bang Dicky tertawa.
Aku ikut tertawa. “Nah, lho. Gimana kalo bener, aku tuh Dennis?”
Bang Dicky menoleh dan meneliti wajahku dengan pandangan jenaka. “Boleh, tuh. Berarti bisa Dicky suruh-suruh, karena kakak kan suka nyuruh-nyuruh adiknya.”
“Enak aja!” Aku memukul perut Bang Dicky dan cowok itu meringis pura-pura.

“Tapi kalo iya,” kata Bang Dicky lagi setelah kami berdua tertawa bermenit-menit. “Berarti Dicky udah bisa berhenti nyari Dennis. Udah cukup pencariannya kalo gitu.”

Kali ini aku nggak memukul perutnya namun malah menatap matanya yang cemerlang itu. Kepalaku sudah sangat dekat sampai-sampai aku bisa merasakan hembusan napasnya. Kenapa dia berbicara seperti itu? Maksudnya apa?

Bang Dicky menyadari tatapanku dan dia balas menatapku. Dia tersenyum, seolah kata-katanya barusan tidak berarti apa-apa. Well, untukku sih berarti apa-apa. Maksudnya apa pencariannya udah cukup kalau ternyata aku ini Dennis?

“Kadang Dicky emang harus belajar nerima... Bahwa yang udah nggak ada, memang udah nggak ada... nggak usah dicari lagi.” Tangan Bang Dicky mengusap-usap kepalaku dengan sayang. “Dengan adanya Agas di sini... Udah cukup ngegantiin Dennis yang selama ini hilang... Dicky juga sayang sama Agas.”

Dan Bang Dicky mengecupku.

Di kening.

-XxX-

Tomorrow’s big day. Buat Granny, of course. Dan buat kedamaian komplek perumahan ini. Siapapun yang menang, yang penting nggak ada perang kekanakan lagi di sekitar sini. Dan tentunya aku bisa tenang dari hentakan-hentakan musik yang selalu diputar Granny di rumah selama sebulan terakhir.

Aku sedang santai-santai di rumah siang ini, saat Granny tengah sibuk checksound di luar sana. Sepagian ini aku membantunya menyebarkan iklan di internet supaya orang-orang mau memilih Sweet Strawberry dibandingkan Itchy Bitchy. Ugh, for God’s sake... kapan aku bakal ingat untuk memaksa Granny mengubah nama sweet shit sialan itu? Setiap aku membahasnya dengan Granny, aku selalu lupa. Tapi setiap aku membayangkannya sendiri, tiba-tiba saja aku ingat.

Bang Dicky ada di workshop-nya, menyelesaikan pekerjaan bingkainya. Aku baru dari sana untuk melihat dia sedang apa—dan dia sedang mengukir satu cupid baru yang aku yakin bakal dikomentari Bello, “Alisnya jelek!” Akhir-akhir ini cupid itu lebih spesifik lagi saat mengamati setiap bingkai berpahat cupid di workshop. Ada saja yang dia temukan, pipinya lah, lehernya lah, keritingnya lah...

Saat aku sedang selonjoran di sofa ruang tengah, mengganti-ganti channel karena for Heaven’s sake... Indonesia’s daytime TV is worse than U.S, aku pun membayangkan pertengkaran Zaki dan Zaenab. Gimana kabar mereka sekarang, ya? Tetap marahan? Maksudku, sedikit banyak Zaki pasti bakal penasaran dengan isi rekening itu. Karena aku yakin sekali, Zaenab sudah setengah mati meyakinkan Zaki kalau dia orang kaya... Sementara Zaki tetap setia dengan kata-kata Bang Dicky untuk nggak melihat isi tabungan itu.

Taruhan, deh. Zaki sudah melihatnya.

to be continued






1 comments:

Anonymous said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

Jujur kesel dengan agaz lama-lama, kenapa sih letoy, ndak jujur aja ke orang lain khususnya zaki grenny dan dicky, dan lemah sekali tiap ditindas ma mahopobia dan esel grup..... Bikin geregetannnnnnn

Post a Comment