DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Kadang Cupid Tuh Tolol! Chapter 10 (13)'s All About Magic

All About Magic
-chapter 10- ( 13 )
by MarioBastian


“Ada yang belum gue ceritain ke lo,” bisiknya.
Aku menatap tajam ke matanya, mencoba mencari jawaban.
“Ada yang... gue...” Cazzo menggaruk kepalanya, “gue sembunyiin dari lo.”

“Cazzo,” selaku. “Aku nggak tau apa yang mau kamu omongin, tapi dari tadi kamu gelisah terus. Apa ini hal yang serius?”
“Iya ini serius,” jawabnya. “Gue cuma... gue takut lo marah seudah tau hal ini. Sementara gue... gue nggak bisa mendem ini lebih lama lagi.”

Aku menarik napas dan cukup terkejut ada sesuatu yang bisa membuatku marah dari Cazzo. Aku memang sering kesal padanya, dulu, tapi aku pikir nggak ada lagi hal tersembunyi lain yang disembunyikan Cazzo dariku. Sambil menguatkan diri sendiri, menghadapi apa pun yang akan dikatakan Cazzo—coz I got no clue—aku pun tersenyum dan mengatakan, “Kalau menurut kamu, aku udah siap denger, dan kamu udah siap bilang... kamu bisa ceritain sekarang. Tapi jangan paksa diri kamu, kalo kamu nggak bisa.”

Cazzo manggut-manggut. “Okay.” Dia kini meremas-remas tangannya. “Sebetulnya... ini bakalan agak... ngagetin... gue yakin lo nggak bakal percaya dengernya...”
“Kalo aku emang harus tahu, ya kenapa nggak dikasih tau...”
“Gue gugup buat ngakuinnya.”

“Oke, aku bawain minum ya? Supaya kamu lebih rileks,” tawarku sambil berdiri.
“Eh, jangan. Nggak usah repot-repot,” sahut Cazzo sambil menelan ludah. “Orange juice aja.”
Aku memutar bola mata.

Ketika aku kembali, setelah menghilang selama sepuluh menit mencari sisa Nutrisari di dalam kulkas (karena kebetulan kami nggak punya jeruk di sini), aku menemukan Bang Dicky sudah ada di ruang tengah bersama Cazzo. Aku tidak ingat Bang Dicky lewat di dapur untuk masuk ke ruang tengah. Tahu-tahu dia ada di situ saja... seperti Bello.

Oh, sial. Aku jadi nggak bisa nerusin obrolan yang tadi. Padahal aku udah berharap banget.

“SMS-nya ke nomor ini,” Bang Dicky menunjukkan catatan di ponselnya, “Kasih tau temen-temen sekolah Cazzo, ya? Sweet Strawberry.”
Astaga, Bang Dicky sedang mempromosikan girlband Granny.
“Sip!” Cazzo mencatatnya dengan ragu ke dalam ponselnya. Dia melirikku dan mengernyitkan alisnya.

“Nggak ada orange juice. Ada juga Nutrisari,” kataku jujur. Aku meletakkan gelas itu dan buru-buru duduk di sofa panjang tempat Cazzo dan Bang Dicky duduk. Aku duduk di antara mereka. Kulakukan karena tatapan Bang Dicky ke Cazzo terlihat terlalu waspada. Aku takut terjadi apa-apa. Dan sekalian juga, aku harus mengusir Bang Dicky supaya aku bisa melanjutkan obrolan yang tadi. “So... Bang Dicky... udah selesai kerjaannya?”

“Belum. Lagi istirahat,” Bang Dicky langsung mengambil gelas Nutrisari dan meneguknya.
“I-itu...” Belum selesai aku bicara, Bang Dicky sudah meletakkan lagi gelas itu. Tatapannya bertanya ke arahku, kedua alisnya terangkat, menantang.

Ada apa ini? Apa yang terjadi sebelum aku tiba di sini?
Kenapa Bang Dicky dengan sengaja minum minuman yang jelas-jelas kusajikan untuk Cazzo? Pasti ada apa-apa di antara mereka barusan!

Aku menoleh ke arah Cazzo dan cowok itu hanya bisa meringis. Sementara Bang Dicky merasa dirinya raja di rumah ini. Kakinya naik ke atas sofa, berlagak santai, dan matanya menatap tajam ke arah Cazzo. Ya Tuhan, mereka nggak berantem atau apa, kan? I mean, sepanjang sejarahku, aku nggak pernah melihat mereka berantem.

“A-aku... Aku ambil Nutrisari lagi, deh,” ujarku.
“Gue maunya jus jambu, Bro,” sahut Cazzo tiba-tiba.
Bang Dicky juga nggak mau kalah, “Dicky juga jus jambu.” Dan Bang Dicky melayangkan tatapan sengit ke arah Cazzo.

Jelas. Ada yang nggak beres di sini. Kenapa dengan mereka?

Aku menghilang dari ruang tengah selama lima detik, kemudian dengan sigap berdiri di balik tembok dekat kamar mandi. Aku akan menguping, mendengar apa yang mereka bicarakan dari tadi. Tapi setelah bermenit-menit menunggu, ruang tengah terdengar hening. Tidak ada satu pun percakapan keluar dari mulut mereka. Malah, Bang Dicky menyapaku begini, “Agas lagi ngapain diem terus di situ?”

Oh, sial. Aku baru sadar, ternyata ada pantulan diriku yang sedang menguping muncul di kaca buffet di dekatku. Jadi mereka tahu aku sedang menguping.

Aku akhirnya memutuskan untuk membuat jus jambu (Nutrisari juga) dan berusaha mendengar pembicaraan mereka dari dapur. Memang sih, ada sayup-sayup suara obrolan. Tapi sebagian besar tidak dapat kudengar dengan jelas. Ketika aku kembali, percakapan mereka berhenti, dan tahu-tahu saja Bang Dicky membahas Granny lagi.

“Lagu-lagunya asyik, Sweet Strawberry itu.”

Oh, crap.

Aku menyajikan jus jambu di atas meja dan mereka berdua tidak berhenti bertatapan. Sungguh deh, apa sih yang mereka obrolkan? Mereka kan mestinya nggak punya history jelek. Kalau yang ada di sini tuh Zaki, masuk akal kalo dia berantem sama Cazzo. Sebab udah sejak lama Zaki cemburu sama Cazzo. Tapi ini kan Bang Dicky.

“Lagi ngobrolin apa?” tanyaku.
“Sweet Strawberry,” jawab Bang Dicky, seperti yang kuduga.
Aku mencoba duduk lagi di antara mereka berdua, tapi aku baru sadar mereka nggak memberi jarak manusiawi lagi sekarang. Jarak duduk mereka berdekatan. Kalau aku memaksa duduk di antara mereka, kelihatan banget aku lebay pengen duduk di tengah-tengah.

“Lagi pada ngapain di sini?”
Seseorang muncul dari ruang depan, dan ketika aku menoleh... Oh, sial.
Sial. Sial. Sial.
Nambah satu lagi. Itu Zaki.

-XxX-

Sudah setengah jam kami berempat duduk di ruang tengah. Dan aku belum sedikit pun melanjutkan obrolan bareng Cazzo tadi. Aku nggak berhasil menarik Cazzo keluar, atau mengusir dua cowok ini dari sini.

And this is the most awkward moment in my whole entire life, by the way. Rahang Zaki dari tadi mengeras, tatapannya awas menatap Cazzo. Jelas banget dia memaksa duduk karena ada Cazzo di ruangan itu. Dia nggak mau ninggalin aku berdua aja bareng Cazzo. Bahkan, meski ada Bang Dicky di sini. To make it worse, yang kami bicarakan hanyalah tentang Sweet Strawberry, yang tentunya basa basi busuk semata.

“Sweet Strawberry tuh bajunya pink.”
Jeda dua puluh detik.
“Pokoknya tatanan rambutnya bagus deh.”
Jeda dua puluh detik.
“Koreografernya ngambil dari sang ahli.”
Jeda dua puluh detik.

Begitulah terus menerus, obrolan-obrolan tak berarti dengan jeda yang begitu panjangnya. Berada satu ruangan bersama tiga orang yang good looking, yang somehow kusukai, dan ketiganya pun sayang padaku, I mean, tidak selalu harus cinta, tapi yang penting sayang... adalah satu formasi menegangkan yang menebarkan ambience canggung di mana-mana. Jelas, aku nggak bisa mengobrol bebas dengan salah satu di antara mereka, dengan yang mana pun. Karena aku punya topik yang berbeda dan cara mengobrol yang berbeda. Masing-masing punya porsinya sendiri, sehingga rasanya aneh kalau harus membicarakannya di depan dua yang lainnya.

Tapi tunggu. Ngapain Zaki ada di sini. “Bang Zaki ada apa ke sini? Mau ngambil foto-foto kemaren?”
Zaki tersentak, seolah tersadar. “Oh, iya ya. Saya mau ngambil poto-poto kemaren, Bos.”
Kelihatan banget, bukan itu yang dia lakukan di sini.

“Besok pagi aja, ya? Belum selesai aku edit pake photoshop.”
“Sip, Bos.”

Dan kami semua terdiam lagi.

Hmmh... Gimana caranya biar nggak kering begini obrolannya? Atau gimana caranya biar aku bisa berduaan dengan Cazzo, membahas masalah yang lebih penting? Dari pada diem-dieman begini, coba.

Cazzo bolak-balik mengecek ponselnya. Dia nggak betah dengan situasi ini, tapi dia nggak mau pergi dari sini. Bang Dicky apa lagi, dia yang paling waspada di antara yang lain. Tanpa ragu-ragu Bang Dicky menatap mata siapa pun yang sedang bicara, apakah itu Cazzo atau Zaki, tak mau melepaskan mereka andai mereka mengeluarkan kata-kata yang sensitif.

Aku membuka mulutku, baru saja mau membahas soal Anang dan Ashanty yang kulihat di teve tadi pagi, tapi kemudian kuurungkan, karena kurasa itu bukan topik yang bagus juga. Membahas soal buku? The Lost Symbol-nya Dan Brown? Paganisme? Ritual pemujaan setan? Menyan? Ruang bawah tanah? Ngomong-ngomong, semalam aku sempat search tentang menyan, gara-gara Zaenab menyebutkannya kemarin. Tepat sekali, itu benda yang kulihat di ruang bawah tanah waktu itu.

Mungkin kami bisa membahas menyan. Sekalian aku menggali informasi juga tentang ritual yang Granny lakukan di ruang bawah tanah. Barangkali Bang Dicky tahu, dan selintas dua lintas aku bisa tahu sesuatu.

“Zaki bawa buku tabungan, ya?” Aku mendengar diriku bertanya seperti itu, jauh dari kata menyan, gara-gara mendadak aku melihat Zaki menyelipkan kresek hitam yang kukenal di sakunya. Dari cetakannya, itu jelas buku tabungan. “Yang di saku?”

Zaki tersentak kaget dan perlahan-lahan mengeluarkan kresek itu dari dalam sakunya. “Oh... ya,” ujarnya sambil menelan ludah. “S-saya... saya ada perlu sama... Dicky sebetulnya.”

Bagus! Mereka bisa ngobrol berdua di suatu tempat, dan aku bisa berduaan lagi dengan Cazzo...

“Ngapain Zaki bawa buku tabungan itu ke sini, hah?” sembur Bang Dicky, agak marah.
“Saya nggak buka buku ini, kok!” timpal Zaki buru-buru. “Saya cuma bawa aja. Ada yang mau saya tanyain.”

“Ini bukan waktu yang tepat buat ngebahas soal itu.”
“Saya cuma mau nanya aja—“
“Kan udah Dicky bilang, simpen aja buku-buku itu di tempat tersembunyi. Nggak usah dibuka-buka, sebelum Dicky bilang boleh.”
“Apa benar semua yang ada di sini punya saya, Ki?”

“Apa?” Bang Dicky mengerutkan alis frustrasi dan menatap Zaki tak percaya. “J-jadi Zaki udah buka isi buku itu?”
Zaki menggeleng kuat. “Nggak kok, nggak. Si Zaenab yang udah buka. Dia sembunyi-sembunyi buka buku ini dan ngasih tau saya. Dan saya nggak percaya. Jadi saya mau nanyain sama kamu, Dicky...”

Bang Dicky merasa tertekan. Napasnya memburu.
Kupikir nggak bakal ada momen yang lebih awkward dibandingkan Bang Dicky, Zaki, dan Cazzo berada dalam satu ruangan yang sama. Ternyata ada yang lebih awkward.

Dan yang pasti, mereka berdua nggak akan hengkang dari ruangan ini. In fact, aku dan Cazzo kelihatannya nggak bisa kabur dari ruangan ini.

Kami semua menatap Bang Dicky, mengharapkan jawaban. Cowok itu mulai menunduk dan menggelengkan kepalanya, menunjukkan tanda-tanda menyerah. Tapi dia masih belum mau bicara.

“Sebab kalau iya,” kata Zaki tiba-tiba, “Mau saya kembalikan. Saya nggak ngerasa berhak sama uang-uang ini.”
“Kok dikembaliin, Zaki?” Bang Dicky terdengar lebih frustrasi dari pada sebelumnya.
“Sebab saya nggak ngelakuin apa-apa yang hebat, tapi kenapa saya bisa dapet uang sebanyak ini? Nggak pantes buat saya.”
“Siapa bilang Zaki nggak ngelakuin apa-apa yang hebat?!”

Kata-kata Bang Dicky menggantung di udara dan pikiranku mulai kembali ke residual energy yang bermunculan di rumah ini berminggu-minggu lalu. Ingatanku menampilkan Zaki menggantikan Bang Dicky dan Dennis untuk dilecehkan Pak Darmo, juga soal penjara itu... Bang Dicky ada benarnya juga. Siapa bilang Zaki nggak ngelakuin apa-apa yang hebat?

“Saya yang bilang, saya nggak ngelakuin apa-apa yang hebat.”
“Zaki udah nyelamatin hidup Dicky sejak Zaki masih kecil. Zaki udah ngorbanin hidup Zaki buat orang lain. Itu adalah apa-apa yang lebih hebat dari kata hebat. Zaki lebih pantas dapet yang lebih banyak dari pada itu.”

Zaki menggeleng. “Apa yang saya lakukan dulu bukan karena uang, Dicky. Yang saya lakuin dulu tuh buat rasa terima kasih saya karena keluarga ini mau nolong saya. Jadi ini tetap nggak pant—“
“Zaki nggak kami tolong,” sela Bang Dicky. “Zaki lah yang nolong keluarga ini. Zaki lah yang rela berkorban demi keluarga ini. Zaki—“

“Nggak. Nggak. Bukan gitu,” potong Zaki. “Kalian semua salah. Saya lah yang kalian tolong. Begitu keluar dari penjara, kalian masih tetep nerima saya. Kalian masih mau ngajarin saya baca buku, nulis, ngasih saya mobil buntung buat kerja, dan malah ngegaji saya tiap bulan buat kerjaan yang terlalu mudah... saya ngerasa nggak berhak sama uang yang ada di dalam tabungan ini. Rasanya saya nggak pantes buat nerimanya. Seorang Zaki... uangnya sebanyak ini... entah berapa uangnya, pokoknya si Zaenab bilang, banyak.”

Bang Dicky membuka mulutnya, ingin membalas. Tapi kata-kata nggak keluar dari mulut itu. Malah Zaki yang lanjut bicara.

“Saya juga nabung kok, Ki. Tenang aja. Sebagian dari uang gaji saya, saya tabungin ke koperasi. Lumayan lah, buat biaya hidup saya seudah kawin. Ada sekitar... enam belas juta. Banyak banget, kan? Sebagiannya udah abis buat pernikahan ini. Mungkin saya bisa pinjem ke rentenir deket rumah buat nutup-nutupin sementara.”

For God’s sake, uang di tabungan itu JAUUUUUHHHH.... lebih banyak dibandingkan enam belas juta! Untuk apa pergi ke rentenir?!

Ya Tuhan, aku nggak ngerti, kenapa orang bodoh macam ini yang memiliki uang bermilyar-milyar?! Kalau aku bangun di pagi hari dan mendapati diriku memiliki uang sebanyak itu, I would never question it!


to be continued





1 comments:

Unknown said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

serius gas, gak bertanya2? XD

Post a Comment