DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Kadang Cupid Tuh Tolol! Chapter 10 (14)'s All About Magic

All About Magic
-chapter 10- ( 14 )
by MarioBastian


“Zaki...” Bang Dicky akhirnya bicara. “Dicky nggak ngerti maksud Zaki apa, ngerasa nggak pantes segala ngedapetin uang yang memang berhak Zaki dapetin sejak dulu. Itu semua rasa terima kasih Dicky buat Zaki, nggak ada istilah pantes atau nggak. Malah Dicky takut itu semua nggak cukup.”
“Tapi, Dick—“
Please, Zaki. Dicky cuma pengen ngebayar masa kecil Zaki yang udah Dicky rebut dari Zaki. Apa yang salah dengan itu? Kenapa Zaki nggak bisa nerima aja, sih?”

Suara Bang Dicky terdengar bergetar, seolah dia sedang menahan tangis. Sementara itu Zaki tertunduk, memainkan kresek berisi tabungan itu dan berkutat dengan pikirannya masing-masing. Aku sih menunggu, kalimat apa lagi yang bakal keluar dari kedua orang itu. Di lain sisi, Cazzo malah mencolek-colek pahaku dan berbisik, “Emang berapa banyak uangnya?”

“Aaaaarrrrggghhh!!!” Aku menjerit sekencang-kencangnya.

Bukannya aku mau memecah kesunyian atau menarik perhatian semua orang, tapi aku benar-benar terkejut! Sesuatu tiba-tiba muncul di tengah ruangan dan itu mengagetkanku. Kurasa juga mengagetkan semua orang karena Bang Dicky tiba-tiba berdiri dan waspada.

Pria itu!
Pria berambut merah itu!
Dia muncul lagi di ruang tengah!
Dan semua orang bisa melihatnya!

-XxX-

“Whoaa... Lagi pada ngumpul, ya?” Pria misterius itu menyeringai jahat. Bau busuknya muncul lagi, merebak ke sekeliling ruangan. “Kebetulan! Saya nggak mesti ke mana-mana lagi. Semuanya satu paket ada di sini.”

“Siapa kamu?!” bentak Zaki. Dia sudah berdiri juga seperti Bang Dicky, mengambil ancang-ancang andai pria misterius itu tiba-tiba menyerang. Cazzo dan aku juga berdiri. Bedanya, Cazzo berdiri di belakangku, dan memegang pinggangku erat-erat, seolah-olah: ke mana pun aku bakal pergi, dia harus ikut.

Wajar Cazzo takut begitu, sebab pria ini muncul seperti hantu. Tiba-tiba ada di ruang tengah, berbentuk asap, yang lama kelamaan membentuk sosok menyeramkan serba merah. Aku bisa melihat sembunyi-sembunyi Cazzo menyusupkan tangan ke dalam ranselnya mencoba mengambil sesuatu... kitab atau tasbih, mungkin.

“Memangnya Allya nggak ngenalin siapa saya?” Dia menunjukkan wajah sedikit kecewa. “Sayang sekali... padahal saya ganteng begini. Kenapa Allya bisa lupa?”

“Mau apa kamu?!” Zaki sedikit demi sedikit melangkah maju, siap menghajar sosok hantu bau busuk ini.

“Oooh... kalian juga nggak tau soal urusan saya ke sini? Ck-ck-ck...” dia geleng-geleng kepala. “Allya orangnya tertutup ya, buat orang-orang di rumah ini.”

“Pergi kamu setan!” Bang Dicky hendak menghajar pria itu, tapi entah ada dorongan dari mana, tiba-tiba Bang Dicky terlempar ke dinding di belakang kami. Persis dalam film-film! Seperti ada kekuatan sihir yang mendorong Bang Dicky terjatuh ke belakang.

Cazzo mencengkram pinggangku lebih erat (dan menyakitkan) sementara Zaki makin waspada dengan ulah pria misterius itu. Aku menelan ludah, mencari akal gimana caranya menghubungi Granny. Granny pasti tahu soal ini. Aku bahkan sudah membayangkan Granny bakal muncul tiba-tiba entah dari mana, membaca mantra dan makhluk ini lenyap—pokoknya persis di film-film. Tapi ternyata sosok Granny nggak muncul juga.

“Saya sih cuma mau nagih janji Allya,” katanya, sambil membersihkan kukunya yang panjang. “Waktunya udah habis.”
“Allya nggak ada di sini!” pekikku ketakutan.
“Saya tahu.” Dan dia tertawa. “Allya tuh yang bikin perjanjian. Objek yang dijadikan perjanjiannya ada di sini.”

BRUUUKK!!
Tiba-tiba Zaki terlempar ke arah lain, jatuh ke atas lemari dekat ruang tamu.

“Yang tadi si Dicky, yang barusan si Zaki, Oooh... mereka udah gede sekarang,” gumamnya. “Dan kamu...” Dia menunjukku. “Kamu bukan Dennis, kan? Kita pernah ketemu kemarin-kemarin, kan?”

“Mau apa kamu!” pekikku.
“Saya ya mau ngambil Dennis...” jawabnya dengan nada mengejek. “Allya menukar satu nyawa dengan satu permintaan. Permintaannya udah dia dapat, tinggal nyawanya yang saya ambil. Bukankah begitu cara kerjanya perjanjian?”

PRAAANNNGGG!!
Bang Dicky melemparkan sebuah guci kristal dari dekatnya ke arah pria itu. Sayangnya guci itu hanya menembus tubuh makhluk ini dan malah pecah berkeping-keping di atas lantai. Akibatnya, Bang Dicky dilempar lagi dengan kekuatan tak terlihat, didorong menekan tembok, seolah lehernya sedang dicekik.

“Waktunya sudah habis...” Dia pura-pura melihat tangannya, yang tentunya tidak terdapat jam tangan apa pun.
“Di sini nggak ada Granny...” geramku. “Jangan ambil nyawanya!”
“Eiittsss... Siapa yang mau ambil nyawa Allya, anak manis...? Dia itu wanita yang menyenangkan. Yang mau saya ambil... nyawanya Dennis...” Dia tertawa sejenak. “Dan berhubung kamu bukan Dennis...”

Aku menelan ludah dan bersiap mendengar apa yang mau dia katakan selanjutnya. Mata merah pria itu berubah hitam. Seluruhnya hitam. Persis dengan iblis yang sering kulihat di serial Supernatural. Dari belakang tubuhnya seolah ada asap berwarna hitam yang menjilat-jilat seperti kobaran api. Setelah puas menatapku, dia menatap Cazzo.

“Berarti dia Dennis.”

Cengkraman Cazzo hilang... begitu pula kesadaranku... semuanya gelap... semuanya hitam...
Aku tak dapat mengingat apa-apa lagi.

-XxX-

Ketika aku tersadar, suasana masih sangat menegangkan. Aku masih bisa merasakannya meski aku belum membuka mataku. Aku dapat mendengar Zaki bolak balik menerangkan apa yang kami alami pada Granny, sementara nenekku itu... terisak-isak.

“Mereka ngilang gitu aja,” gumam Zaki. “Lenyap. Ngebawa bocah penakut itu pergi.”
“Setan itu ngiranya si Cazzo itu Dennis,” tambah Bang Dicky.

Aku merasakan tubuhku sedang berbaring di atas sofa, dengan kepalaku di atas pangkuan Bang Dicky. Saat cowok itu bicara barusan, aku bisa merasakan getarannya. Jam berapa sekarang?

“Sebenernya, perjanjian apa yang Nenek bikin sama setan itu?” tanya Bang Dicky.
Granny terisak-isak. “Cuma perjanjian bodoh.” Kemudian terdengar suara cangkir bergemeretak, dan seseorang menyesap kopi hangat. “Dulu Nenek sempat khilaf, namanya juga manusia, Nenek nggak bisa jadi orang yang sempurna. Nenek bikin satu perjanjian sama makhluk itu yang kemudian Nenek sesali...”

Zaki memotong, “Tapi buat apa, Nek?”
“Ada... sesuatu...” jawab Granny, bimbang menjawab. “Intinya, segera setelah Nenek menyesal dengan perjanjian itu, dan perjanjian itu nggak bisa ditarik lagi, Nenek buat perjanjian baru dengan ‘yang lain’, supaya siapa pun yang terlibat dalam perjanjian pertama bisa dilindungi dari bahaya.”

“Ada yang lain?” Bang Dicky mendengus. “Siapa lagi?”
“Maaf, Nenek nggak bisa bilang. Ini bagian dari perjanjian. Kalau ini bocor, maka perjanjian kedua batal, dan... dan mungkin, kejadiannya bakal lebih buruk dari ini. Itu berarti perjanjian pertama posisinya bakal lebih kuat. Bisa lebih bahaya—“


“Siapa yang Nenek janjiin?” potong Zaki. “Ini pasti hubungannya sama tumbal, kan? Ada orang yang dijadiin korban?”

Ruangan hening, aku tak mendengar apa-apa. Tapi aku menduga, Granny mengangguk menjawab pertanyaan Zaki. Aku bisa memastikannya dari decakan kesal Zaki lima detik kemudian.

Baiklah, sekarang aku bangun saja. Sudah cukup aku mendengar semuanya. Aku—Tunggu. Kenapa aku nggak bisa menggerakkan tubuhku?

“Sekarang kita harus gimana?” tanya Zaki.
“Kita harus cari ke mana setan itu pergi,” balas Bang Dicky. “Paling si Cazzo dibawa ke satu tempat. Tempat yang sepi tapi banyak setannya.”
Granny punya pendapat lain, “Kita harus menang girlband fight besok.”

“Apa?!” seru Zaki dan Bang Dicky berbarengan.

Kenapa aku nggak bisa membuka mataku? Kenapa aku nggak bisa menggerakkan satupun organ tubuhku? Aku nggak bisa menggerakkan jemariku!

“Nenek,” Bang Dicky mendesah, “situasi lagi genting begini, kenapa masih mikirin lomba girlband, sih? Itu anak orang lho yang diculik setan—“
“Karena kalau Nenek kalah,” Granny menelan ludah, “situasi bisa jadi lebih buruk.”

Ya Tuhan, ya Tuhan, ya Tuhan.
Apa yang kualami ini? Kenapa dadaku rasanya sesak, dan aku yakin aku sadar tapi aku nggak bisa menggerakkan tubuhku sendiri! Aku bisa merasakan tubuhku berbaring di atas sofa, aku bisa merasakan getaran di paha Bang Dicky, tapi aku nggak bisa membuka mataku... bahkan aku nggak bisa membuka mulutku...

Kenapa ini?

Toloooonnngggg!!

“Lebih buruk gimana, Nek? Jelas-jelas yang ini udah buruk banget!” seru Zaki. “Saya sih nggak pernah suka ama bocah itu, tapi kasihan juga kalo dia yang jadi korban.”
“Sebetulnya siapa yang Nenek janjiin, hah?” Bang Dicky terdengar geram. “Kenapa setan itu nyari Dennis? Kenapa setan itu nganggap Cazzo sebagai Dennis?”
“Padahal nggak ada mirip-miripnya sama si Dennis,” gumam Zaki. “Si Kéjo ini téh borangan. Beda ama si Dennis.”

Tidak ada jawaban terdengar dari mulut Granny.

Aku masih berusaha sekuat tenaga menggerakkan jari-jariku, membuka mataku, atau at least menggoyangkan kaki. Tolooooonnngggg... Aku menjerit-jerit dalam hatiku, meski aku tahu nggak bakal ada yang bisa mendengar. Bahkan Bello sekalipun.

Tolooooonnnggg....!!

“Pasti setan itu ngejer Dennis, kan?” gumam Bang Dicky. “Tapi berhubung setan itu nggak tahu kalau Dennis nggak ada... setan itu nyangka Cazzo adalah Dennis.”
“Berarti kita harus nyari Dennis!” usul Zaki.
“Buat apa? Buat kita barter sama Cazzo dan kita kasihin Dennis yang asli?” sergah Bang Dicky. “Dicky udah nyari Dennis bertahun-tahun. Seiyanya kita berhasil nemu di mana Dennis... Nggak mungkin kita biarin Dennis hilang lagi.”

Tubuh Bang Dicky bergetar. Aku bisa merasakan dia terguncang dan menangis.

Ada jeda sekitar lima menit, yang diisi suara gemeretak cangkir, motor lewat depan rumah, dan dengungan mesin pompa air di belakang rumah. Aku masih berusaha meminta tolong dengan berteriak-teriak dalam hati. Aku bisa merasakan tubuhku sendiri, tapi nggak bisa menggerakkannya sedikitpun.

“Saya bisa operasi plastik.” Tiba-tiba Zaki memecah kesunyian. “Saya kan masih punya uang tabungan. Saya operasi plastik biar mirip Dennis, dan nanti saya tuker diri saya sama si Kéjo itu.”
“Apa-apaan, sih, Zaki!” Bang Dicky berang.
“Terus kita harus gimana lagi?” balas Zaki. Aku dapat mendengar Granny terisak-isak lagi.

“Harusnya Nenek yang dibawa pergi. Bukan siapa pun. Bukan kalian.” Dan Granny menangis. “Ini semua salah Nenek. Kenapa Nenek bisa begitu bodoh?”
“Udah, Nek...” Zaki terdengar melangkah ke arah Granny. Hempasan tubuhnya mendarat di atas sofa dapat kudengar dengan jelas. “Nggak usah nyeselin yang kemarin. Kita cari solusi aja sekarang.”

“Solusi sekarang cuma satu,” ujar Granny. “Nenek harus menang girlband fight.”
“Kenapa sih, sama girlband fight ini, Nek?”

Granny meredakan isakannya sejenak, kemudian bicara lagi. “Karena ternyata... Jeng Nunuk megang jurnal pribadi Nenek, yang isinya seluruh rahasia Nenek. Kalau jurnal ini jatuh ke tangan orang yang salah... atau bahkan keekspos di media... situasi bisa lebih parah.”

“Apa hubungannya, Nek?” tanya Bang Dicky. “Menang atau nggak menang girlband fight, Jeng Nunuk bisa aja nyebarin isi jurnal itu ke siapapun. Berarti situasinya udah lebih parah.”
“Belum.” Granny mengambil cangkirnya lagi. “Dia mungkin tahu sebagian rahasia Nenek, tapi rahasia dalam jurnal itu belum dia baca. Karena kunci untuk buka jurnal itu masih belum dia dapatkan. Hadiah utama dari girlband fight itu kan... benda-benda itu. Kalau Nenek yang menang, Nenek bisa dapetin jurnal itu lagi. Kalau dia yang menang... dia bisa dapetin kunci itu.”

“Lho? Kok bisa gitu?!”
Granny terisak-isak lagi. “Karena sebetulnya... Nenek juga membuat perjanjian ketiga. Dengan Jeng Nunuk.”

-XxX-

“Orang-orang di wilayah ini nyebutnya eureup-eureup,” jawab Bello sambil melayang-layang di antara pohon. “Ada yang bilang sih gara-gara ditindihin jin.”

Kalo ditindih jin sih, mestinya Granny bisa melihatnya, dong? Granny kan pemuja setan.

Aku nggak bisa berhenti menyebut Granny dengan nama pemuja setan. Granny nggak tahu soal ini, tapi dalam hati aku selalu menyebutnya begitu. Aku lagi marah semarah-marahnya pada Granny. Marah karena dia bekerja sama dengan iblis. Marah karena Cazzo malah jadi korbannya. Persis John Winchester yang menukar nyawanya sendiri agar anaknya bisa hidup, tetapi dia melakukannya melalui iblis. Nah, marah seperti itu.

Sepagian ini aku belum bicara dengan Granny. Pertama, dia memang sedang sibuk bersiap-siap untuk girlband fight. Rumah kami disulap jadi Celebrity Dressing Room, di mana-mana ada orang yang menangani kostum, menangani make-up, mondar-mandir membawa teh dan biskuit, dan ada beberapa The Jandaz yang grogi.

“Ya ampun ya ampun ya ampun... kaki kanan tuh yang mana? Kaki kanan tuh yang mana? Lagu ke tiga kita harus langkah kaki kanan dulu, kan?!”

Begitu aku keluar kamar, wangi hairspray menyeruak di sekelilingku. Semua itu dicampur dengan wangi Zupa-zupa yang dibuat Bang Dicky di dapur untuk sarapan. Granny sedang sibuk dengan salah satu wig penampilannya, Jambul Teluk Jakarta, dan dia menyapaku dengan senyuman.

“Darling... udah bangun? Jangan lupa nanti suruh temen-temen kamu nonton dan dukung yaaa...”

Aku nggak mengacuhkan Granny. Aku berjalan lurus tanpa merespon, seolah Granny itu nggak ada... Biar Granny tahu rasa! Itulah akibatnya karena melakukan perjanjian haram dengan setan! Cucumu nggak bakal ada yang menyapamu lagi!

Zaenab, entah bagaimana, juga eksis di rumah kami pagi itu. Dia nampak bersemangat sekali, seolah lupa bahwa dua hari yang lalu menyatakan ini rumahnya Nini Lampir dan siapa pun yang masuk bisa kena kutukan. Dalam pikirannya, selama bisa mencicipi makanan enak, merasakan make-up mahal, yang dipulas oleh tangan profesional, masuk ke rumah Nini Lampir pun is okay.

to be continued







0 comments:

Post a Comment