DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Kadang Cupid Tuh Tolol! Chapter 10 (15)'s All About Magic

All About Magic
-chapter 10- ( 15 )
by MarioBastian



Ada Zaenab means ada Zaki juga di sekitar sini, dan ya, Zaki sedang di halaman belakang, membantu menyelesaikan properti tampil berupa bunga-bunga dari kayu yang diberi roda, sehingga nanti di atas panggung bisa digeser-geser. Dia tampak seksi... dengan sleeveless longgar itu, memantulkan kulit kecokelatan dari sinar mentari yang terbit... otot-ototnya yang bergerak... Oh, sudahlah, Agas. Bukan waktunya horny ngelihat Zaki. Ada masalah yang lebih penting. Cazzo diculik setan, dan nenekmu pemuja setan.

“Apa yang bakal kita lakukan?” tanyaku, saat aku, Bang Dicky, dan Zaki, berkumpul bertiga di halaman belakang. Kedua cowok itu saling menatap satu sama lain, bertukar ide ‘siapa yang mau bilang, nih?’ Yang berarti, mereka sudah punya beberapa pilihan.

“Jujur aja, kita belum tahu,” jawab Bang Dicky. “Kita nggak tahu yang nyulik Cazzo tuh setan apa, atau makhluk apa, jin apa, jadi kita nggak bisa berbuat banyak. Seperti yang udah Dicky ceritain semalem ke Agas, kita harus bikin Sweet Strawberry menang, supaya keadaan nggak lebih buruk. Meskipun Dicky sih... lebih pengen nemuin Dennis.”
“Udahlah, Ki...” Zaki meremas bahu Bang Dicky. “Dennis udah terlalu lama hilang, kesempatan buat nemuin dia tuh kecil.”
“Zaki emangnya nggak denger apa yang Nenek bilang? Nggak secara gamblang bilang sih, tapi kalo emang begitu kejadiannya, berarti Dennis masih hidup. Dennis masih ada. Dennis disembunyiin Nenek di suatu tempat.”
“Dari mana Dicky punya kesimpulan kayak begitu?”

Bang Dicky mendesah. “Dicky nggak tau. Tapi Dicky yakin Dennis masih ada. Dicky bisa lihat dari mata Nenek. Nenek nyembunyiin Dennis.” Bang Dicky menatapku sejenak, lalu menoleh ke dalam rumah, ke arah keramaian di dalam rumah. “Mungkin kalo kita bisa dapetin jurnal itu, kita bisa tahu. Itu kan, diary-nya Nenek.”

Bahkan, ketika Bang Dicky menyebutkan kata ‘Nenek’, yang ada di otakku hanyalah pemuja setan, pemuja setan, pemuja setan.

“Bisa jadi pas Nenek hilang kemarin itu, karena ketemu Dennis?” tebak Zaki. “Bisa jadi dia bakal datang ke sini, pura-pura jadi siapa gitu biar nggak ketahuan?”
Bang Dicky mendengus, ragu untuk menerima ide itu. Meski bagaimana pun, selalu ada 1% kemungkinan bahwa hal tersebut bisa jadi benar.
“Mungkin dia mau ngundang Dennis, tapi mungkin Dennis-nya mesti diberi pengarahan dulu, biar nggak kelihatan sama siapa pun, apalagi sama si setan itu. Mungkin dikasih makeup dulu sama ahli propesional? Dikasih epek! Sekarang masuk akal kenapa Nenek malah hilang berhari-hari kemarin. Hilangnya pun setelah Agas nyerita soal kedatangan setan itu, kan? Pas banget!” Zaki menjentikkan jarinya, bangga sekali dengan pemikirannya.

Well, aku tidak tahu kalau ternyata Zaki bisa seimajinatif itu. Aku sih bersyukur aja kalau sekarang dia ada kemajuan.

“Berarti sekarang, kita harus lihat-lihat semua orang di acara girlband itu. Bisa jadi Dennis ada di sana!” tambah Zaki sambil mengusap-usap dagu. Lama-lama dia bakal jadi komandan perang kalau imajinasinya terus menerus berkembang.

“Agas punya ide lain?” tanya Bang Dicky.
Aku mematung selama beberapa detik, kemudian mengangkat bahuku. “Aku nggak tahu. Mungkin kita bisa nyari Dennis. Mungkin kita bisa nyuri jurnal itu dari tangan Jeng Nunuk. That’s easier, I thought... compared to forcing Granny to win the competition. Tapi selebihnya, aku nggak tahu. Aku nggak punya ide apa-apa.”

Meski sebetulnya, aku sudah berencana untuk menginterogasi Bello hari ini. I mean, dia sebetulnya tahu lebih banyak dibandingkan kami semua. Kemungkinan besar dia tahu semuanya. Dia mungkin tahu rahasia-rahasia Granny. Dia mungkin tahu di mana Cazzo disekap sekarang. Dia mungkin kenal dengan makhluk serba merah itu. Dia kan satu dunia sama si setan itu. Sama-sama makhluk gaib.

Tapi sampai siang hari, aku nggak melihat Bello di mana pun di rumah ini. Jam sepuluh tadi aku bahkan naik ke atas genteng, mengecek keberadaan Bello... nihil. Aku mengetuk-ngetuk cermin di kamarku, pura-pura menyapu halaman belakang, menyusuri pohon belimbing depan rumah, masuk ke workshop dan mengamati bingkai berpahat cupid dan mencari kemungkinan Bello menyamar jadi salah satu pahatan, sampai-sampai menyanyikan salah satu lagu favoritnya dengan lirik yang salah, “Abdi téh... ayeuna... gaduh hiji bonita... teu kinten... slutty-na... sareng bitchy-na... cangcutna disoekkan... bolongna gede pisan... cik mangga... dipeser... bonita abdi...” Tapi dia tetap tidak muncul.

Yang barusan adalah lagu tentang seseorang yang memiliki boneka yang lucu, oleh pemiliknya diberi rok dan dipamer-pamerkan. Semenjak aku tahu bonita artinya bondon wanita (pelacur), entah kenapa aku senang sekali menggoda Bello dengan mengubah lirik asli lagu itu menjadi lagu tentang seseorang yang punya pelacur, oleh pemiliknya celana dalam si pelacur disobek-sobek kemudian dijual ke hidung belang. Biasanya, Bello marah nggak ketulungan kalau aku menyanyi lagu plesetan itu. Tapi beneran deh, kali ini dia bener-bener nggak muncul.

Setelah makan siang, Sweet Strawberry mulai sibuk makeup. Pukul tujuh malam nanti acara dimulai. Sepagian ini mereka sudah gladiresik, dan sempat ada keributan di atas panggung, tentunya antara Granny dan Jeng Nunuk, tapi kemudian semuanya kembali normal. Aku masih belum bicara dengan Granny. Padahal, Granny sudah berjuta-juta kali menyapaku. Tapi aku tetap menghiraukannya.

Kadang aku merasa bersalah karena menghukum Granny seperti itu. Tetapi kemudian, Granny lah yang menyebabkan ini semua. Mestinya aku nggak punya rasa kasihan lagi. I mean, apa-apaan sih pake bikin perjanjian sama setan segala? Dampaknya bisa lebih besar dibandingkan keuntungan yang didapat.

Seumur hidup, aku nggak bakal pernah bikin perjanjian dengan setan.

Aku tidur-tiduran di atas ranjangku dan bingung mau ngapain. Aku nggak mau terlibat dalam kesibukan di ruang tengah, aku kan masih sebal sama Granny. Aku malas melihat—Eh, tunggu. Aku mau denger CD Matchbox 20 yang Cazzo beri padaku kemarin.

Aku beringsut turun dari kasur dan buru-buru membuka komputer. Ketika aku membuka kotak CD... aku menemukan bahwa covernya palsu. Ini hasil print amatiran. And of course... karena ternyata di balik cover itu ada tulisan tersembunyi:

Sorry buat semuanya. Tapi inilah yang gue rasain tiap lo nggak ada di sisi gue
Cazzo.


Dalam CD itu hanya terdapat satu lagu. Judulnya, If You’re Gone. Aku tahu lagu ini, tapi aku sudah lupa, karena dulu aku nggak ngefans dengan band-nya. Suara intro yang muncul adalah petikan gitar yang sendu, yang kemudian diikuti tiupan trumpet.

... I think I've already lost you
I think you're already gone
I think I'm finally scared now
You think I'm weak - but I think you're wrong
I think you're already leaving
Feels like your hand is on the door
I thought this place was an empire
But now I'm relaxed - I can't be sure

I think you're so mean - I think we should try
I think I could need - this in my life
I think I'm just scared - I think too much
I know this is wrong it's a problem I'm dealing

If you're gone - maybe it's time to go home
There's an awful lot of breathing room
But I can hardly move
If you're gone - baby you need to come home
Cuz there's a little bit of something me
In everything in you...


Aku terbawa dengan lagu indah tersebut. In fact, lagunya indaaaahhh sekali. Serasa aku sedang menyusuri pesisir pantai di siang hari, melamun membayangkan kehidupanku. Angin semilir menerpa tubuhku, dan aku bebas.

Aku tidak menyadari bahwa ini lagu sedih sampai akhirnya aku menemukan lirik di balik back cover buatan Cazzo. Salah satu baris dia tebalkan, menekankan maksudnya. Dan setelah aku mengetahui maksud dari lagu itu... aku menangis. Aku baru menangkap pesannya.

Itukah yang Cazzo rasakan padaku?

-XxX-

Aku menghabiskan dua jam memutar ulang lagu itu sampai bosan. Sampai airmataku kering, tapi tetap merasa bersalah karena cowok itu sekarang hilang gara-gara setan. Berulang-ulang aku meminta maaf, menangis lagi, berjanji kalau dia bisa kembali akan langsung kupeluk, akan kukecup tanpa berpikir dua kali, dan aku akan sangat menerima dia apa adanya.

Dan yang jelas, Cazzo, I never think you’re weak...
You’re the best one I could find...


Seratus dua puluh menit menangisi Cazzo membuatku merasa sayang padanya. Seolah aku sudah mengenal lama cowok itu. Seolah kami sepasang kekasih yang sedang terpisah jarak, dan kami berdua sedang sama-sama merindukan... well, jelas dia selalu merindukanku... tapi kenapa aku nggak merindukannya seperti yang kurasakan saat ini?

Dia nggak bermaksud ninggalin aku, kan kemarin? Waktu dia mencoba bicara denganku? Ya Tuhan, aku ingin menangis lagi.

Aku mengambil tisu yang sudah habis karena dari tadi kupakai untuk mengelap pipiku, kemudian aku mematut diri di kaca. Aku kelihatan seperti monster. Khususnya mataku. Sembap dan semua orang otomatis tahu aku baru saja menangis. Aku duduk di depan cermin, melamun lagi, sekaligus berharap Bello bisa muncul untuk menghiburku.

Aku harus menemukan Cazzo, titahku dalam hati. Aku harus mencari Dennis dan menukarkannya dengan Cazzo. Bukannya aku nggak sayang Dennis, tapi dari awal, Dennis-lah yang menjadi tumbal. Kenapa harus orang lain yang menjadi korban? Kenapa harus orang yang sama sekali nggak ada hubungannya dengan keluarga ini?

Untuk kesejutakalinya, aku menyesal pernah mengenal Cazzo. Menyesal karena gara-gara itulah Cazzo sekarang lenyap.

Aku memutuskan untuk bersikap tegar dan menghadapi masalah ini. Meski kemungkinannya kecil, apa salahnya melakukan yang terbaik. Aku mengganti bajuku dan menyusun rencanaku. Setelah merasa mataku terlihat mendingan, aku keluar dari kamar dan mengamati satu persatu orang yang ada di ruang tengah.

Hal pertama yang kulakukan adalah, mencari Dennis di antara semua orang di ruangan itu. Meski ide Zaki itu terdengar sepele dan silly, aku akan tetap mencobanya, karena siapa tahu benar. Aku menanamkan pada diriku bahwa selalu ada 1% kemungkinan sesuatu yang mustahil dapat terjadi.

“Agas... kamu mau ikut dimakeup?” seru Granny dari salah satu kursi, tersenyum lebar dengan satu orang hairstylist sibuk memblow rambut beruban Granny.
Aku hanya membalasnya dengan dengungan, “Hmmmhhhh...” kemudian kembali ke misiku, mencari orang yang berpotensi sebagai Dennis.

“Agas, juri artisnya udah dateng?” tanya Jeng Novi tiba-tiba. Dia sedang menyeruput sirup sambil sebelah matanya dihiasi glitter.
“Juri artis siapa?” tanyaku balik.
“Katanya lagi di jalan!” balas Jeng Dedeh. “Tadi aku BBM-an sama dia. Tapi Anang nggak jadi datang, lagi pacaran sama Ashanty. Agnes Monica keluar negeri... terus Ahmad Dhani lagi bikin album baru sama artis barunya.”

Astaga... memangnya ini Indonesian Idol?!

“Jadinya kita pake juri artis lokal... Pemain Karawitan Sunda terkenal... sama penyiar radio.”

Aku memutar bola mata dan berlalu keluar rumah. Sejauh ini ruang tengah hanya diisi nenek-nenek, cewek-cewek, dan banci-banci. Kecuali Dennis salah satu banci itu, berarti area itu clear nggak ada Dennis.

Aku melanjutkan rencanaku sesuai dengan list yang kubuat. Aku pergi ke kantor polisi untuk melaporkan orang hilang (tapi gagal, karena polisi bilang, mereka nggak bisa membuat laporan orang yang hilang lebih dari satu dekade lalu), aku juga menggoogle nama Dennis, mencari di facebook dengan berbagai kombinasi nama (tapi ternyata ada jutaan manusia bernama Dennis di dunia ini), bahkan aku juga keliling komplek ini sambil bersepeda, berharap bisa menemukan Dennis di suatu tempat di dekat sini, karena aku percaya, kalau memang benar Granny menyembunyikan Dennis, pasti anak itu ada di sekitar sini.

Pada dasarnya semua itu sudah pernah aku lakukan, tapi tetap saja kulakukan lagi, hanya untuk memastikan. Barangkali bakal ada perubahan signifikan... Lagi pula, sambil keliling mencari Dennis, aku juga mencari Bello.

“Bos ke mana aja?” tanya Zaki saat aku menyeruak masuk ke dalam tenda artis. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh. Aku sudah menyimpan sepedaku di rumah, berjalan kaki ke sini, dan langsung masuk ke tendanya Sweet Strawberry. Tampak Jeng Novi sedang menghapalkan step sementara Jeng Imas sibuk melatih nada suaranya. “Mi mi mi mi mi mi mi mi mi... fa fa fa fa fa fa fa fa fa....” 

to be continued







0 comments:

Post a Comment