DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Kadang Cupid Tuh Tolol! Chapter 10 (16)'s All About Magic

All About Magic
-chapter 10- ( 16 )
by MarioBastian



“Aku keliling-keliling tadi.”
“Bos nemu Dennis?”
Aku menggeleng.
“Saya juga, Bos. Nggak nemu.”

Surprise, surprise.

“Tapi tenang aja, Bos. Saya ama si Dicky sepakat, mau manggil orang pintar buat nyari di mana si Kéjo.”
“Orang pintar? Albert Einstein?”
“Yeee.. si Bos mah, ah! Maksudnya téh paranormal. Yang bisa ngelihat hantu.”
Aku memutar bola mata. Tapi dalam hatiku berharap, mudah-mudahan berhasil. Pada dasarnya, cara apa pun akan tetap kulakukan demi bisa mencari Cazzo.

“Si Dicky punya kenalan orang pintar. Namanya Bu Dewi. Kliennya, cenah.”
“Bu Dewi yang pesen puluhan bingkai cupid itu?”
“Iya, kali. Pokoknya entar Bu Dewi ke sini, dia udah dikasih tahu sama si Dicky, dan entar dia bakal bantu kita.”

Ingar bingar panggung langsung menyeruak ke udara, membuat komplek perumahan ini menjadi sangat berisik sekali. Pembukaan acara, yang diisi oleh cheerleader dan marching band, sudah berlangsung, dan Sweet Strawberry nampak panik dalam tenda mereka sendiri, seolah tsunami sedang menuju ke sini.

Aku tidak dapat mendengar lagi apa yang dikatakan Zaki. Semua orang nampak sibuk dan rusuh. Karena aku nggak mau pusing, aku keluar dari tenda dan berdiri di dekat panggung. Seluruh prosesi pembukaan yang heboh itu, karena mengundang pemain sirkus untuk beratraksi juggling api, sudah selesai. MC mulai memanggil Itchy Bitchy untuk lagu pertama mereka... “Sesuatu”.

... Kau melihatku sampai terdengar bunyi
Dagdigdug dagdigdug detak jantungku
Kau rayu aku sampai aku jadi malu

Kau sentuh aku sampai ke mata tubuh
Dari rambut sampai di ujung kaki
Aku terpaku merasakan sesuatu

Peluklah aku di pelukanmu agar aku rindu
Sentuhan itu membuat diriku membayangkan sesuatu

Sesuatu yang ada di hatiku
Sesuatu yang ada di hatimu
Sesuatu yang ada di benakku
Sesuatu juga ada dalam benakmu...


Masing-masing peserta diwajibkan membawa empat macam lagu: satu lagu Asia, satu lagu Indonesia, satu lagu Barat, dan satu lagu girlband. Urutannya bebas. Sebab nanti pemenangnya pun ditentukan oleh voting sms, bukan oleh tiga juri unknown di depan kami ini.

Itchy Bitchy membawakan lagu itu dengan seksi, lebih seksi dari Syahrini. Maksudku, dari segi koreografi. Mereka memakai gaun manik-manik warna hijau dengan wig-wig hitam yang ditata mirip dengan Syahrini. Banyak gerakan mengambil-sapu-tangan-yang-jatuh-ke-lantai, yang maksudnya agar nenek-nenek itu bisa nungging sambil menunjukkan pantat berbantal mereka.

Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihatnya.

Granny dan Sweet Strawberry tampil berikutnya dengan lagu Heavy Rotation mereka. Tidak ada yang istimewa dari penampilan mereka, apalagi aku sudah menonton penampilan yang ini jutaan kali di rumah. Kecuali Jeng Imas, yang panik karena microphone-nya tidak dapat menyala sepanjang lagu.

Pathetic...” desis seseorang di belakangku saat Sweet Strawberry selesai tampil dan sedang dikomentari juri. Aku menoleh dan menemukan Esel di belakangku. “Mestinya, loser stay loser. Nggak usah ngabisin tenaga berusaha ngelawan yang hot kayak girlband-nya I...”
Suit yourself.” Aku mendengus dan berjalan ke arah tenda.

Esel langsung menjajariku, berjalan seperti orang paling cantik di dunia, sambil mengibas-ngibaskan rambut wangi alpukatnya. Dia menatapku sinis. Senyumannya penuh arti.

“Kenapa, dear? Udah ngerasa kalah duluan?”
For God’s sake... Aku bahkan nggak ikutan girlband fight itu, kenapa kamu sewot sih?”
Esel cekikikan. “Suka gitu deh, you...”

Aku menghiraukannya. Masuk ke dalam tenda dan mengambil sekaleng Pepsi yang ada di dalam box pendingin. Esel juga melakukan hal yang sama, tanpa tahu malu mengambil Pepsi sepertiku dan meminta sedotan pada salah satu hairstylist kami.

“Dengerin, Ikan Tongkol,” Esel menghentikanku. “I tahu, you deket lagi sama Cazzie Darling, tapi itu bukan berarti I tinggal diam. Emang si Derry Goblok itu ngerusak segalanya, dan sekarang Cazzie ngejauh lagi dari kami...”

Aku mendengarkan dengan seksama.

“Tapi I... I tetep bakal ngerebut lagi Cazzie dari tangan you... karena sampai kapan pun juga, you tuh nggak pantes jalan bareng Cazzie. Do you know that? Nggak match... kayak... Ashton Kutcher dipasangin sama Eli Sugigi... dan tentunya, you yang jadi Eli Sugiginya. Ngerti, you?”

Aku sama sekali nggak peduli dengan hinaan itu. Dari tadi aku tertarik dengan fakta bahwa “Derry ngerusak segalanya”. Memangnya apa yang dirusak? Memangnya apa yang mereka rencanakan? Dan bagaimana bisa mereka bersatu?

“Derry ngerusak apa emangnya?” tanyaku, tanpa basa-basi.
You mau tau aja, deh.” Kibas rambut. “Kepo.”
“Iya, aku mau tau aja. Emang sejak kapan kamu sama Mahobia bersatu?”
“Bukan urusan you.”

“Emang ada apa di antara—“
Sorry, I cabutz dulu. Tenda ini angker, ya? Kenapa? Oh, karena ada you. Bye-bye, Bitch.”

Esel pun melenggang pergi dan lenyap di kerumunan orang. Aku memerhatikan, ternyata Sweet Strawberry sedang berjalan menuju tenda, makanya Esel kabur. Tapi berhubung aku juga masih sebal sama Granny, aku kabur dari tenda.

-XxX-

Ronde kedua sudah terlewati, dan kini sedang memasuki lagu ketiga. Itchy Bitchy tampil memukau dengan lagu Jai Ho-nya Pussy Cat Dolls, mengenakan kostum India dan melakukan tari India yang enerjik. Semua penonton bersorak. Sweet Strawberry pun akhirnya mendapat banyak tepuk tangan karena membawakan lagu Judas, Lady Gaga.

Awalnya mereka mau menampilkan Over The Rainbow yang slow itu, tapi aku sempat mencegahnya dan menyarankan sesuatu yang lebih anak muda dan masa kini. Kusarankan Lady Gaga, yang kupikir akan dipilih lagu Born This Way atau Just Dance. Nyatanya yang dipilih Judas. It’s so Granny. So pemuja setan.

“Bos! Lihat si Dicky?” Zaki menghampiriku ketika Sweet Strawberry turun panggung dan seorang bintang tamu naik untuk mengisi acara berikutnya. “Ini Bu Dewi udah ada di sini, mau ketemu si Dicky.”

“Aku belum ngelihat Bang Dicky dari tadi. Mana Bu Dewi?”

Zaki menuntunku keluar dari kerumunan, menuju salah satu stand minuman dan diantarkan ke seorang wanita berbaju put... ini... ini kan wanita misterius itu.
“Bu Dewi, ini Agas. Cucunya si Nenek.” Zaki mengenalkanku pada wanita itu.
“Kamu yang kemarin itu, ya?” tanyanya ramah.
“Oh, udah ketemu?” Mata Zaki membelalak kaget. “Kapan?”
“Ah, udah lama. Waktu saya nyari Dicky.”

Nyari Dicky? Dia bohong. Dia sama sekali nggak nyari Dicky. Dia tahu di mana Dennis, tapi dia malah membahas perjanjian, dan meminta Granny menyerah. Ya Tuhan, sekarang semuanya masuk akal. Mungkin maksud dari wanita ini tempo hari adalah Granny terlalu banyak membuat perjanjian. Dan dia bermasuk menolong Granny.

Tapi yang jelas dia nggak nyari Dicky.

“Ya udah kalo gitu, sekarang kita nyari si Dicky?” Zaki dengan bersemangat mengajak kami keluar dari area acara.
Wanita itu mengangkat tangan, menolak. “Saya baru aja sampai di sini, masa udah pergi lagi. Boleh saya lihat-lihat dulu? Kalian nggak terburu-buru, kan?”

Terburu-buru sih, batinku. I mean, dia kan tahu di mana Dennis. Dia TAHU. Mestinya dia ketemu dengan setan itu dan menunjukkan Dennis yang sebenarnya. Ya Tuhan, jangan-jangan wanita ini juga sama-sama pemuja setan. Teman seperjuangan Granny di sekte setan apa gitu.

“Oh, mau lihat-lihat dulu?” Zaki menggosok-gosok dagunya. “Bisa aja, sih. Ya udah, kalo gitu saya aja yang ke rumah, kali aja si Dicky ada di sana. Entar saya bawa Dicky ke sini.”
“Ide bagus,” jawab Bu Dewi dengan anggun.

Zaki berlari pergi dan Bu Dewi tiba-tiba pamit. “Permisi,” katanya.
“Eh, Bu Dewi mau ke mana?” sergahku.
“Saya mau lihat-lihat.”
“Bu Dewi kan tahu di mana Dennis, kenapa nggak bilang dari awal sih?!”

Wanita itu nampak tersinggung. Mungkin nada bicaraku barusan terkesan seperti menyentak. Dia langsung melipat tangan di depan dada, bersikap defensif. Kedua alisnya bertaut. “Ya, betul. Saya tahu di mana Dennis. Dan saya tahu kalian semua sedang mencari Dennis. Saya juga tahu alasan kalian mencari Dennis apa. Bahkan, saya tahu di mana Cazzo, temanmu itu.”

Apa?! Dia tahu?
Jantungku berdegup kencang dan tubuhku berguncang, paduan antara terkejut dan senang.

“Tapi saya rasa ada baiknya bicara dengan ramah saat minta bantuan seseorang...”
“Oh, maaf,” kataku dengan nada menyesal.
Bu Dewi menghelas napas lalu memegang pundakku. Tangannya hangat sekali. Dan damai. Seolah hanya dengan disentuh saja, tiba-tiba hatiku tenang dan pikiranku jernih. Semua tekanan yang kurasakan di bahu dan dadaku hilang untuk sementara. Yang ada hanyalah ketenangan. “Saya tahu kamu lagi tertekan, Agas. Tapi semua butuh waktu. Sekarang, saya butuh waktu saya untuk berkeliling. Ada seseorang yang mau saya temui. Tapi sayang, kamu nggak bisa ikut. Boleh saya permisi?”

Aku mendongak menatapnya dan memohon. Please, take me everywhere asal jangan ke pinggir panggung dan menonton dua girlband itu bertarung lagi.

“Nanti kita ketemu lagi di sini kalau udah ada Dicky.” Wanita itu pun melenggang pergi meninggalkanku, menyusup masuk ke dalam kerumunan. Aku menjejak kaki karena kesal. Sambil kemudian bertanya-tanya, siapa sebenarnya Bu Dewi itu?

Kenapa dia tahu soal semuanya? Dia tahu Dennis, dia tahu Cazzo, dia tahu aku sedang tertekan... Dan kenapa dia memesan banyak bingkai pada Bang Dicky? Apa dia cuma bercanda? Mempermainkan kami semua di sini? Apa hubungannya Bu Dewi dengan semua ini?

Tapi khususnya sih, di manakah Cazzo dan Dennis? Wanita itu tahu segalanya tapi dia malah tenang-tenang saja, berjalan memasuki kerumunan dan mungkin sekarang sedang jingkrak-jingkrakan bersama artis di panggung. Apa dia juga tahu keadaan Cazzo hingga bisa sesantai itu? Dalam bayanganku nih, ya... Cazzo disekap sebuah gua penuh stalakmit-stalaktit lembap, dan Cazzo diikat, dan mungkin banyak kurcaci-kurcaci yang sedang menyiapkan kuali besar berisi air rebusan... Intinya, aku nggak mungkin membayangkan Cazzo sedang santai-santai di hotel Bintang 5.

Meski aku senang ada kehadiran Bu Dewi, tapi somehow aku sebal juga sama dia. Sebab dia santai banget ngadepin ini semua. Oh, mungkin karena ini bukan masalahnya dia. Jadi ini bukan prioritasnya.

“Haaaiii, Agaaassss...”
Jeng Nunuk?
“Gimana kostum Kakak? Bagus, kan? Mirip Adele nggak?”

Wow, lumayan. Maksudku, kostum sih mirip, tatanan rambut juga mirip. Tapi kalo suara dan kecantikan, jelas beda dunia. Jeng Nunuk dengan sengaja keluar dari kerumunan Itchy Bitchy dan tergesa-gesa menghampiriku. In fact, dia menggusurku ke salah satu belakang stand, sehingga tak seorang pun kecuali penjaga stand, yang menyadari kami ada di sini.

“Sini bentar, Kakak mau ngomong sama kamu...”
“Apa lagi? Brosur lagi?”

Jeng Nunuk tergelak sambil mengibaskan tangannya. “Oooh, nggak usah khawatir. Kakak udah ikutan milis penyembuhan gay. Kakak udah invite email Agas, kok. Jadi tenang aja.”

Oooohhh... jadi jalang ini yang terus menerus memasukkan aku ke milis sialan itu?!

“Ini soal lain,” ujarnya, dengan nada seorang pebisnis. Mungkin mestinya dia juga membawa koper, biar tampak seperti wanita karir. “Cuma mau nawarin agreement.”
Nah, kan. Memang bisnis.


to be continued







0 comments:

Post a Comment