DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Collin & Kenneth Page 4

Page 4
by GoodFriend

Sekitar setengah jam kemudian Collin keluar dari ruangan ayah Tobi dengan wajah lega.
“Bagaimana ??” tanya Tobi dan Thessa yang dari tadi menunggu di depan ruangan sampai bosan.
“Well…” kata Collin pelan.
“Well ?” tanya Thessa tidak sabar.
“Ayah kalian banyak tanya juga ya.. aku kelimpungan harus berbohong bagaimana lagi tadi..” jawab Collin.
“Apa penyamaranmu ketahuan ?” tanya Tobi cemas.
Collin menggeleng.
“Dia tidak curiga sama sekali, kerja kalian benar-benar bagus dan rapi..” katanya sambil tersenyum, mau tak mau Tobi dan Thessa pun ikut tersenyum.
“Jadi bagaimana ? seharusnya kalau dia tidak curiga kau sukses dong ?” tanya Tobi lagi.
Collin menatap kedua kakak beradik di hadapannya dengan tatapan serius, wajah keduanya tampak sangat cemas dan ketakutan.
Collin kemudian tersenyum.
“Kau diterima ???” tanya Thessa.
Collin mengangguk.
“AAAaaa….” Thessa berteriak senang, Tobi menghela napasnya dengan lega.
“Baguslah..” kata Tobi senang.
“Ya. ayahmu memintaku untuk datang jam 3 siang setelah aku pulang sekolah sampai jam 9 malam, aku bisa mulai besok siang, dan dia menyuruhmu untuk mencarikan seragam pelayan yang pas untukku di gudang, oh iya, dan aku dibayar per minggu.” kata Collin dengan senangnya.
“Well, baiklah..” kata Tobi menanggapi permintaan ayahnya untuk mencarikan seragam untuk Carol.
“Selamat Coll..” kata Thessa sambil memeluk Collin.
“Ya. terima kasih..” kata Collin sambil tersenyum.
“Ayo kita cari seragammu..” ajak Tobi.
Ketiganya kemudian pergi menuju gudang untuk mencari seragam bagi Carol, beruntung ternyata ada sisa seragam yang kebetulan pas sekali dengan ukuran tubuh Collin.
Setelah mendapat seragam dan sedikit… ehhm… banyak penjelasan mengenai segala hal yang berhubungan dengan café dari Tobi dan Thessa, Collin berpamitan pulang dan berjanji akan datang setengah jam sebelum waktu yang telah disepakati besok.
Collin berjalan pulang menuju rumahnya, ia lega karena ia bisa mendapat jalan keluar untuk masalah adiknya, yang harus ia lakukan sekarang adalah banyak-banyak belajar mengenai bagaimana cara berperilaku seperti perempuan untuk bisa memantapkan penyamarannya.
Di tengah jalan menuju rumahnya tiba-tiba sebuah motor berhenti tepat di depannya, Collin kenal motor itu, pengemudi motor itu melepas helmnya, Collin berjalan menghampirinya.
“Dari mana kau ?” tanya Kenneth.
“Ahh… aku baru saja dari café Arlochrion… ehhmm… cari makan..” jawab Collin, menurutnya bukan ide yang bagus bila memberitahu Kenneth tentang masalah Elliot dan pekerjaan barunya, reaksinya pasti akan berlebihan.
“Ibumu belum pulang ?” tanya Kenneth lagi.
Collin menggeleng.
“Kau baru pulang ?” Collin balas bertanya, ia memandang Kenneth yang masih menggunakan kaos tim basket sekolahnya dan kelihatan berkeringat.
Kenneth mengangguk.
“Ayo naik, kuantar kau pulang.” katanya.
Collin mengangguk kemudian menaiki motor Kenneth, rumah mereka memang searah, jadi Collin tidak merasa merepotkan Kenneth.
Kenneth kemudian menjalankan kembali motornya menuju rumah Collin.
Sesampainya di rumah Collin,
“Thanks.” kata Collin setelah turun dari motor Kenneth.
Kenneth tersenyum,
“Ahh iya, Collin..” katanya.
“Ya..” kata Collin.
“Minggu depan tim basket kita akan mengikuti kompetisi basket antar sekolah sekota, jadi selama seminggu ke depan tiap pulang sekolah kami harus latihan intensif, aku takutnya tidak bisa mengantarmu pulang..” kata Kenneth.
Kebetulan !! pikir Collin, jadi selama seminggu ke depan Kenneth tidak akan bingung-bingung mencarinya sepulang sekolah, iapun bisa bekerja di café dengan tenang tanpa dicurigai Kenneth.
“Ahh.. ya.. tidak apa-apa… aku bisa jalan kaki..” kata Collin sambil menyembunyikan kelegaannya.
“Benar tak apa-apa ? atau kau bisa pulang pakai motorku, akan kuberikan kuncinya padamu..” kata Kenneth lagi.
“Lalu kau pulang pakai apa, idiot ? benar tak apa-apa kok, lebih baik kau memfokuskan pikiranmu pada timmu daripada memikirkan hal-hal sepele macam itu..” kata Collin.
“Well, aku bisa jalan ke rumahmu mengambil motor, setelah itu aku pulang ke rumahku pakai motor..” kata Kenneth sungguh-sungguh.
“Jangan mengusulkan ide bodoh padaku, kubilang tidak apa-apa ya tidak apa-apa !!” kata Collin sedikit berteriak.
“Ya.. ya.. baiklah… aku tidak mau bertengkar denganmu hanya gara-gara masalah sepele..” kata Kenneth akhirnya menyerah.
“Ya sudah lebih baik sekarang kau pulang, mandi, makan kemudian tidur, jangan sampai kau kelelahan, kau harus menjaga kesehatanmu untuk pertandingan minggu depan, kau dengar aku ??” tanya Collin.
“Iya, bapak dokter..” kata Kenneth, ia merasa senang mendengar nasihat Collin, ia senang karena Collin mempedulikannya.
“Bagus.” kata Collin.
Kenneth tertawa,
“Ya sudah aku pulang dulu, sampaikan salamku untuk Ibumu…” kata Kenneth akhirnya.
“Akan kusampaikan..” kata Collin.
Kenneth menyalakan mesin motornya.
“Sampai besok.” katanya.
“Sampai besok.” balas Collin.
Kenneth kemudian berlalu pergi meninggalkan Collin di depan rumahnya.

Esok harinya, sepulang sekolah.
Collin membereskan buku-bukunya dengan tergesa-gesa,
“Kenapa buru-buru sekali ?” tanya Julian yang duduk di sebelahnya.
“Hah ? ohh aku ada urusan, jadi harus buru-buru pulang..” kata Collin.
Julian mengangguk.
“Ahh kalau kau bertemu Kenneth katakan padanya untuk jangan lupa latihan basket.” kata Julian, ia salah satu anggota tim basket inti di sekolahnya.
“Baiklah… aku pulang duluan..” kata Collin setelah barang-barangnya beres.
“Yep. Hati-hati Col..” kata Julian.
Collin mengangguk sambil bergegas meninggalkan kelas.
Collin sedang berlari sepanjang koridor menuju pintu gerbang sekolah ketika seseorang memanggilnya,
“Collin !!!”
Collin menoleh, ternyata Kenneth yang memanggil, ia sedang berjalan setengah berlari menuju ke tempat Collin.
“Buru-buru sekali… ada apa ?” tanya Kenneth bingung.
“Tidak ada apa-apa… aku ada perlu di rumah, jadi harus buru-buru pulang…” jawab Collin sedikit terengah.
“Ohh… tadi aku ke kelasmu, kata Julian kau sudah pulang, jadi aku buru-buru mengejarmu..” kata Kenneth.
“Ada apa ?” tanya Collin.
“Tidak, tadinya aku mau menanyakan apa kau mau lhhat aku latihan, tapi karena kau sedang ada perlu, ya sudah…” jawab Kenneth sedikit kecewa.
“Maafkan aku, Ken… tapi urusan ku sangat penting, mungkin nanti… entah kapan..” kata Collin.
Kenneth tersenyum,
“Ya sudah tak apa-apa, kau urus saja dulu urusanmu itu… besok-besok juga bisa..” katanya.
Collin mengangguk.
“Baiklah, aku latihan dulu, kau pulanglah… “ kata Kenneth.
“Ya… aku pulang dulu kalau begitu, kau juga setelah selesai latihan langsung pulang dan istirahat..” kata Collin.
“Iya.” kata Kenneth.
“Aku pulang sekarang ya..” kata Collin kemudian beranjak pergi.
“Hati-hati..” kata Kenneth.
Collin melambaikan tangannya, ia kembali berlari menuju gerbang sekolah.
Collin terus berlari hingga akhirnya ia tiba di café Arlochrion.
Collin bergegas masuk ke dalam café, saat itu café sedang sepi, hanya ada sedikit pengunjung yang sedang bersantai sambil minum kopi.
“Aku sudah datang.” katanya ketika sampai di meja kasir.
“Cepat ganti baju di kamarku, perlengkapannya sudah ada di sana semua... ada Thessa juga yang akan membantumu berdandan.” kata Tobi.
Collin kemudian pergi menuju kamar Tobi, setelah ia menggunakan wig dan seragam pelayannya, dan sedikit berdandan dibantu oleh Thessa, Collin kembali ke ruang utama café.
Seragam café Arlochrion berwarna hijau lumut dengan sentuhan warna krem di kerah dan lengan bajunya, dan lambang café Arlochrion di bagian dada, Collin (atas saran Thessa) memadumadankan seragam tersebut dengan rok berbahan jeans berwarna krem selutut.
“Dengan pelayan secantik dirimu, aku yakin pelanggan café akan bertambah dua kali lipat dengan cepat..” kata Tobi begitu ia melihat Collin.
“Ha-Ha.” tawa Collin.
“Jangan lupa cara berjalan dan berbicaramu, Carol..” kata Thessa.
“Iya..iya..” jawab Collin dengan suara ditinggikan sehingga terdengar seperti suara perempuan.
“Ya sudah, untuk permulaan kau ambil pesanan pelanggan yang baru datang di meja 5 sana..” kata Tobi.
“Baiklah..” kata Collin kemudian beranjak menuju meja nomor 5.
Hari pertama Collin bekerja di café bisa dibilang cukup sukses, ia berhasil mengerjakan semua tugasnya dengan baik, penyamarannyapun sempurna, tidak ada satupun pelanggan yang curiga, malah, banyak pelanggan laki-laki yang memperhatikannya dengan pandangan terkesima, Caroline memang terlihat sangat cantik, bahkan mungkin lebih cantik dari perempuan asli.
Tobi dan Thessa tersenyum melihat Collin melakukan pekerjaannya, keduanya merasa senang bahwa keadaannya lancar-lancar saja, semoga begitu terus sampai selanjutnya.
Tak terasa sudah lewat 6 jam Collin bekerja melayani pelanggan, jam di café sudah menunjukan pukul 9 malam, café sudah siap-siap akan tutup.
“Kau lelah ?” tanya Tobi, saat ini ia, Thessa dan Collin sedang beristirahat di meja konter dekat kasir.
“Lumayan.. tapi cukup menyenangkan juga..” jawab Collin sambil menyeka keringat di dahinya.
“Minum ini..” kata Thessa sambil menyodorkan segelas coklat panas pada Collin.
“Thanks..” kata Collin sambil mengambil gelas yang disodorkan Thessa.
“Setelah ini kau ganti baju, kemudian pulang, sesampainya di rumah beristirahatlah..” kata Tobi.
Collin menangguk.
“Ahh iya, mulai besok kau masuk lewat pintu belakang ya, karena kalau lewat pintu depan pelanggan café pasti akan curiga bila mereka melihatmu masuk ke dalam kamar mandi dan keluar dalam wujud Caroline..” kata Tobi.
“Baiklah..” kata Collin.
Setelah Collin menghabiskan coklat panasnya, ia kemudian berganti pakaian dan berpamitan pulang pada Tobi, Thessa dan pelayan café yang lain.

Keesokan siangnya Collin kembali bergegas menuju café Arlochrion setelah sebelumnya berpamitan pulang pada Kenneth, kali ini ia mengikuti saran Tobi untuk masuk lewat pintu belakang, setelah ganti baju dan berdandan ia baru masuk ke ruangan utama café untuk mulai bekerja melayani pelanggan café yang datang, kali ini ia menggunakan celana jeans biru panjang milik Thessa, karena tinggi badan Thessa sama dengan Collin, maka celana Thessa pas dipakai oleh Collin.
Sama seperti kemarin, hari ini Collin mengerjakan pekerjaannya dengan baik, semua lancar-lancar saja sampai 2 jam setelah ia bekerja terjadilah hal yang tidak diinginkan,
Pintu café terbuka, segerombol anak laki-laki memasuki café kemudian menduduki meja di tengah ruangan.
Collin memandang ngeri pada gerombolan tersebut, itu adalah anggota tim basket inti di sekolahnya, dan itu berarti ada Kenneth di situ.
Benar saja, rambut pirang Kenneth tertangkap mata Collin, walaupun jaraknya jauh tapi ia bisa memastikan kalau itu adalah Kenneth.
“Ambil pesanan anak-anak itu, Carol..” kata Tobi.
“Ta.. tapi Tobi, itu anak-anak dari sekolahku, bagaimana kalau mereka mengenaliku ?” bisik Collin pada Tobi.
Tobi menatap gerombolan tersebut dengan seksama, sebelumnya ia tidak begitu memperhatikan kalau itu adalah murid-murid dari sekolah Collin.
Tobi memandang sekeliling mencari pelayan lain yang sedang istirahat, tapi ternyata semua pelayan sedang sibuk melayani pelanggan lain, ia sendiri sedang sibuk membuat pesanan pelanggan.
“Sudah tak apa-apa, bersikaplah wajar, percaya diri saja, jangan gugup, mereka tidak akan mengenalimu…” katanya akhirnya, walaupun ia sendiri merasa sedikit ragu.
“Kau yakin tidak apa-apa ?” tanya Collin ragu.
Tobi mengangguk.
Collin kembali memandang teman-temannya, memandang Kenneth, ia kemudian menghela napas.
“Baiklah..” katanya meyakinkan diri sendiri, ia kemudian berjalan dengan sedikit gontai menuju meja gerombolan tersebut.
“Ma.. mau pesan apa ?” tanya Collin setibanya di meja yang dituju.
Anak-anak anggota tim basket menatapnya, termasuk Kenneth, hal ini membuat Collin menjadi gugup dan berkeringat dingin.
“Aku baru pertama kali melihatmu, kau baru, ya ?” tanya salah satu anak.
“Ahh.. ehh.. i.. iya, aku baru mulai bekerja di sini sejak kemarin..” jawab Collin gugup.
“Siapa namamu ?” tanya anak yang lain sambil tersenyum, yang lain menyorakinya.
“Na.. namaku Caroline, teman-temanku biasa memanggilku Carol..”jawab Collin masih dengan nada gugup, sekilas pandangannya bertemu dengan mata Kenneth, ia cepat-cepat mengalihkan pandangannya.
Anak- anak tampak berbisik sambil tersenyum.
Collin memalingkan wajahnya agar tidak lama-lama terlihat oleh teman-temannya.
Anak-anak anggota tim basket kemudian mulai ribut memilih pesanan mereka.
Kenneth masih menatap Collin, Collin yang merasa ditatap menundukan kepalanya, berusaha menutupi wajahnya, hal ini malah membuat Kenneth curiga.
“Kau pesan apa, Kenneth ?” tanya salah satu anggota.
“Ahh.. apa ?” tanya Kenneth yang dari tadi sibuk memandangi Collin.
Kenneth kemudian membaca menu makanannya.
“Aku pesan nasi goreng udang satu porsi..” katanya sambil menyerahkan buku menu tersebut pada Collin.
Collin mengambil buku menu dari Kenneth dengan sebisa mungkin tidak bertatapan dengan Kenneth.
“Itu saja ? ada lagi yang lain ?” tanya Collin dengan gugup.
“Ya, itu saja.” jawab salah satu anggota.
“Baiklah, silahkan ditunggu pesanannya..” kata Collin kemudian beranjak meninggalkan meja tersebut dengan keringat dingin.
Collin menyerahkan pesanannya pada Tobi, ia menghela napas lega.
“Aku mau ke kamar mandi..” kata Collin kemudian pergi menuju kamar mandi.
Sesampainya di kamar mandi Collin berdiri di depan westafel, ia memandang wajahnya yang berkeringat di cermin dengan lega.
“Untung tidak ketahuan..” katanya pelan, ia ketakutan sekali saat tadi bertatapan dengan Kenneth, ia takut Kenneth mengenalinya.
Ia kemudian membereskan rambutnya, setelah yakin rambutnya rapi ia kemudian keluar dari kamar mandi.
Begitu pintu kamar mandi dibuka, Collin terkejut setengah mati mendapati Kenneth berdiri di depan kamar mandi, bersender ke dinding.
“Ahh… “ erang Collin pelan.
Letak kamar mandi berada di belakang bangunan café, sehingga tidak tampak dari ruangan utama, saat ini hanya ada mereka berdua di situ, tidak ada orang lain.
“Silahkan..” kata Collin dengan suara perempuan yang sangat meyakinkan.
“Aku tidak tahu kalau kau punya hobi seperti ini..” kata Kenneth yang tidak beranjak dari tempatnya.
“Ahh.. ap.. apa maksudmu ?” tanya Collin gugup, masih dengan suara perempuan.
“Kau bisa membohongi mereka, tapi kau tidak bisa membohongi mataku, Col..” jawab Kenneth.
Collin terdiam lemas, mulutnya menganga sambil menatap Kenneth.
“Tenang saja, kalau kau tidak mau mereka tahu aku akan tutup mulutku kok..” kata Kenneth lagi.
Collin menghela napas.
“Bagaimana kau bisa tahu ?” tanyanya, kali ini dengan suara laki-lakinya yang biasa.
Kenneth tertawa.
“Aku tidak pantas menjadi sahabatmu kalau aku tidak bisa mengenalimu, Collby..” katanya.
“Kau tidak marah karena aku tidak memberitahumu tentang ini ?” tanyanya takut.
“Harusnya sih aku marah… tapi kemudian kuurungkan niatku, kupikir kau pasti punya alasan sendiri sampai tidak memberitahukannya padaku..” jawab Kenneth enteng.
Collin tersenyum.
“Sekarang apa kau mau memberitahuku kenapa kau melakukan ini ? ahh… jangan bilang kalau ini benar-benar hobimu, karena kalau memang benar begitu aku akan langsung memutuskan persahabatan kita saat ini juga..” kata Kenneth.
“Cuma bercanda..” tambahnya lagi.
“Tentu saja bukan..” kata Collin, “Aku ada alasanku sendiri..”
“Beritahu aku kalau begitu… aku penasaran apa yang membuatmu mau repot-repot menjatuhkan harga dirimu sampai serendah ini..” kata Kenneth lagi.
Collin kemudian menceritakan semuanya pada Kenneth, tentang masalah Elliot dan idenya.
Keduanya terdiam sejenak setelah Collin selesai bercerita,
“Berapa biaya perbaikannya ? biar aku yang bayar..” kata Kenneth kemudian.
“Sudah kuduga kau akan bereaksi seperti ini begitu kau tahu… inilah alasannya aku tidak memberitahukannya padamu..” kata Collin sambil menepuk kepalanya$2C sebelumnya ia sudah memikirkan kemungkinan ini, Kenneth memang berasal dari keluarga yang kaya, ia tentu bisa membayar biaya perbaikan mobil yang baginya pasti tidak seberapa.
“Ayo beritahu aku berapa biayanya, Coll..” paksa Kenneth.
“Tidak, Ken… aku tidak mau kau membantuku..” tolak Collin.
“Kenapa ? aku sahabatmu… wajar jika aku membantumu..” kata Kenneth.
“Aku tidak mau merepotkanmu… aku tidak mau merepotkan orang lain, terutama orang-orang di dekatku…” kata Collin.
“Jangan sungkan denganku, Collin… masalahmu masalahku juga…” kata Kenneth masih bersikeras.
“Tidak Kenneth… jangan sampai kita bertengkar gara-gara ini..” ancam Collin.
Kenneth terdiam.
“Sudahlah ya… upahku bekerja sebagai pelayan pasti akan cukup untuk membayar biaya perbaikannya…” kata Collin meyakinkan.
“Tapi akan lebih mudah bila aku membantumu, setidaknya kau tidak harus berlama-lama menyamar menjadi perempuan dan bekerja sebagai pelayan, walaupun… ehhmm… penampilanmu sekarang tidak jelek juga sih… tapi coba bayangkan kalau nanti ada yang menggodamu ?? kalau ada yang melecehkanmu ?? bagaimana Collin ???” tanya Kenneth histeris.
“Kau membayangkannya terlalu jauh, Kenneth.. ” kata Collin.
“Bagaimana kalau para pelanggan laki-laki itu berbuat sesuatu yang tidak sopan padamu Coll ?? bagaimana kalau.. ”
“Kau lupa ya kalau aku laki-laki ??” tanya Collin memotong perkataan Kenneth.
Kenneth memandang Collin dengan kaget.
“Maaf.” katanya pelan.
“Aku bisa jaga diri Ken… “ kata Collin.
Kenneth masih tampak ragu.
“Lagipula kalau nanti ada yang macam-macam denganku, kan ada kau...” kata Collin sambil tersenyum, mau tak mau Kenneth ikut tersenyum mendengar perkataan Collin.
“Tapi jadi pelayan..” kata Kenneth.
“Pelayan kan profesi yang halal… tidak ada yang salah dengan menjadi pelayan..” kata Collin.
Kenneth menatap Collin dengan seksama, ia tahu untuk kali ini ia kalah berdebat dengan Collin, ia bisa melihat kesungguhan di mata Collin.
Kenneth menghela napas menyerah.
“Baiklah… terserah kau saja.. ” katanya.
Collin tersenyum.
“Thanks Ken.” katanya.
Kenneth ikut tersenyum.
“Tapi ingat satu hal.. ” katanya.
“Apa ?” tanya Collin.
“Jika nanti di pertengahan kau merasa tidak sanggup dan ingin berhenti, kau tahu harus minta bantuan pada siapa… aku masih belum menutup tawaranku untuk membantumu membayar biaya perbaikan mobil ayahmu.” jawab Kenneth.
“Iya aku tahu.” kata Collin.
Keduanya saling tersenyum.
“Ya sudah, aku ke depan dulu, kalau terlalu lama aku takut anak-anak akan curiga..” kata Kenneth.
“Ya. aku juga mau kembali bekerja.” kata Collin.
Kenneth berjalan duluan menuju ruangan utama, tapi di tengah jalan ia berhenti dan berbalik,
“Kau tahu…. menurutku rambut panjang itu cocok untukmu, kau benar-benar terlihat cantik, malam minggu nanti kau mau jalan denganku sambil memakai wig itu ??” tanya Kenneth iseng.
“Diam kau !!” jawab Collin.
Kenneth tertawa terbahak-bahak, keduanya kemudian berjalan kembali ke ruangan utama café.

Sudah sekitar 5 hari Collin bekerja sebagai pelayan di café Arlochrion, gosip bahwa ada pelayan baru di café tersebut yang adalah seorang perempuan cantik sudah tersebar ke seluruh sudut kota, tepat seperti dugaan Tobi, pelanggan café bertambah jumlahnya beberapa kali lipat dari jumlah biasa semenjak kehadiran Caroline, dan sebagian besarnya adalah laki-laki.
Gosip adanya seorang pelayan baru yang cantik di café Arlochrion menyebar sama cepatnya dengan gosip bahwa pelayan baru tersebut sudah punya seorang kekasih. Para pelanggan sering melihat seorang pemuda berambut pirang datang ke café dan duduk di konter dekat kasir, di mana biasanya pelayan café beristirahat, pemuda itu berbicara dan bercanda dengan pelayan baru tadi dengan akrabnya, seperti layaknya sepasang kekasih, dan hal ini berlangsung setiap sore selama 5 hari terakhir ini.
Seperti sore ini misalnya, pemuda pirang tersebut terlihat sedang menyeruput kopi pesanannya di meja konter sembari menunggu kekasihnya melayani pesanan pelanggan.
“Besok setelah selesai latihan lebih baik kau jangan ke sini dulu, langsung pulang saja, siapkan staminamu untuk pertandingan lusa nanti..” kata Collin ketika ia kembali ke meja konter.
“Lalu siapa yang akan menjagamu di sini ?” tanya Kenneth sambil mengaduk kopinya dengan sendok.
“Ada Tobi kan..” kata Collin.
“Tobi kan tidak bisa mengawasimu setiap menit, ia juga kan ada pekerjaan yang harus dilakukan..” balas Kenneth.
“Ah sudah jangan mulai lagi…” kata Collin.
“Ya jangan mulai lagi… jangan buat para pelanggan senang…” kata Tobi yang baru saja selesai mengantar pesanan pelanggan.
“Apa maksudnya ?” tanya Kenneth bingung.
Tobi tertawa jahil,
“Kalian tahu tidak kalau para pelanggan itu mengira kalian pacaran ? mereka senang kalau melihat kalian bertengkar, mereka mengharapkan kalian putus… agar mereka punya kesempatan untuk mendekati Caroline..” jawabnya.
“Apaa ???” tanya Kenneth dengan kaget.
Tobi mengangguk.
Kenneth mengedarkan pandangannya ke seluruh café, terlihat beberapa pelanggan laki-laki curi-curi pandang ke arah mereka, kebanyakan tampak puas sekali melihat mereka berdua bertengkar tadi.
Kenneth kemudian memandang Collin, memang selama 5 hari ini Caroline tampak semakin cantik dan semakin sempurna saja penyamarannya sebagai seorang perempuan.
“Sudahlah biarkan saja… mereka tidak akan berani bertindak lebih dari ini…” kata Collin dengan santainya sambil mengecek kembali pesanan di note nya.
“Collin benar Ken, tenang saja…” kata Tobi.
Kenneth menghela napas tanda pasrah, ia kembali menyeruput kopinya,
“Jadi, lusa jam berapa ?” tanya Collin.
“Ahh iya, pertandingannya mulai pukul 4 sore.. di gedung olah raga di pusat kota… kau pasti datang,kan ??” tanya Kenneth.
“Ehhmmm… bagaimana ya… kau tahu kan aku masih bekerja di jam segitu…” jawab Collin.
“Kau kan bisa ijin…” kata Kenneth.
Collin menatap Tobi, meminta pendapatnya,
“Ijin bisa-bisa saja sih… tapi tidak mungkin seharian, mungkin hanya beberapa jam saja, dan itu berarti upahmu akan dipotong…” kata Tobi.
Collin terdiam tampak menimbang-nimbang, di satu sisi ia ingin sekali melihat Kenneth bertanding, tapi di sisi lain ia juga tidak mau upahnya dipotong.
“Kalau kau mau, kuberi kau waktu sekitar 3 jam…setengah 4 sampai setengah 7… bagaimana ?” tawar Tobi.
Collin menatap Kenneth.
“Ayolah Coll, kau kan belum pernah melihatku bertanding, aku janji begitu aku selesai aku akan langsung mengantarmu kembali ke sini pakai motor..” kata Kenneth dengan sedikit memaksa.
Collin kembali menatap Tobi, Tobi memberi pandangan yang dapat diartikan bahwa ia mendukung Kenneth.
“Baiklah… aku akan datang…” katanya kemudian.
“Bagus..” kata Kenneth senang.
“Hanya jika kau berjanji besok sesudah latihan kau tidak akan datang ke sini dan langsung pulang…” sambung Collin.
“Tapi…”
“Tidak ada janji, aku tidak akan datang…” kata Collin memotong kata-kata Kenneth.
“Baiklah, aku janji..” kata Kenneth menyerah.
“Bagus.” kata Collin, ia kemudian beranjak menuju meja pelanggan yang baru saja datang untuk menanyakan pesanan mereka.
Kenneth menatapnya berjalan sebentar kemudian kembali menyeruput kopinya.
Tobi memperhatikan kedua anak tersebut dengan seksama, ia tersenyum, ia menyadari ada sesuatu diantara kedua anak tersebut yang lebih dari hanya sekedar persahabatan, terlepas dari keduanya menyadari atau tidak.
Esok harinya sesuai dengan janji Kenneth, ia absen menyantroni Collin ke café, begitu latihan basket terakhirnya sebelum pertandingan selesai, ia langsung memacu motornya menuju rumahnya, sesampainya di rumah ia mandi, makan malam kemudian langsung beristirahat guna mempersiapkan staminanya untuk pertandingan besok.
Sementara Collin yang sedang bekerja di café dikerubungi para pelanggan laki-laki yang menggunakan kesempatan absennya Kenneth di café untuk mendekati Caroline, malam itu meja konter dipenuhi pelanggan laki-laki, Collin meladeni mereka dengan sabar dibantu Thessa dan Tobi.

Esok siangnya,
Collin melayani pelanggan dengan tidak tenang, setiap ada kesempatan ia selalu melirik jam dinding café, ia menunggu pukul setengah 4 tiba agar ia bisa ijin kemudian bergegas menuju gedung olah raga di pusat kota yang memakan waktu tempuh sekitar setengah jam dengan kendaraan umum.
Jam dinding menunjukan pukul 3 lebih 15 menit ketika pintu café terbuka, tampak seorang pemuda chinesse memasuki café kemudian duduk di tempat di mana Kenneth biasa duduk. Dari tampangnya nampaknya ia seumuran dengan Kenneth dan Collin, wajahnya yang oriental tak kalah tampan dengan mereka berdua, kulitnya putih dan mulus khas kulit orang China.
Begitu ia duduk ia terdiam sambil menunduk, Collin memperhatikannya sejenak, kemudian menghampirinya.
“Mau pesan apa ?” tanyanya.
Pemuda itu mengangkat wajahnya menatap Collin, Collin sempat terkejut melihat wajah pemuda itu begitu pucat.
“Beri aku apapun yang bisa menenangkan pikiran…” kata pemuda itu.
Keduanya saling tatap kaku, Collin menatapnya dengan kebingungan.
“Ehh… bagaimana dengan secangkir coklat panas ? sepengetahuanku coklat bisa menenangkan pikiran…” usul Collin.
Pemuda itu mengangguk pasrah.
“Baiklah, tunggu sebentar ya, akan kubuatkan..” kata Collin kemudian beranjak menuju dapur.
Beberapa menit kemudian Collin kembali dengan secangkir coklat panas.
“Ini dia…” katanya sambil meletakkan cangkir tersebut di depan pemuda itu.
“Terima kasih..” kata pemuda tersebut dengan pelan.
“Sama-sama..” balas Collin, ia kemudian beranjak akan pergi,
“Tunggu dulu..” kata pemuda itu sambil menahan lengan Collin.
“Ada apa ?” tanya Collin bingung.$0D
“Maukah kau menemaniku sebentar di sini ?” tanya pemuda tersebut.
Collin menatap pemuda tersebut dengan bingung, wajah pemuda itu tampak begitu pucat, tangannya yang menahan lengan Collinpun terasa dingin.
Collin mengedarkan pandangannya ke seluruh café, saat itu café sedang sepi, hanya ada sedikit pelanggan, menurutnya tidak akan jadi masalah jika ia menemani pemuda ini sebentar, ia juga menatap jam dinding, masih ada 10 menit sebelum pukul setengah 4.
“Baiklah..” katanya kemudian duduk di hadapan pemuda tersebut.
“Kau kenapa ? kau tampak pucat…” katanya lagi.
Pemuda itu mengaduk coklat panasnya dengan sedikit gemetaran,
“Ak… aku sedang gugup…” jawabnya.
“Gugup karena ?” tanya Collin.
Pemuda itu menghela napas panjang,
“Aku adalah kapten dari tim basket di sekolahku, baru saja diangkat menjadi kapten, dan sejam lagi timku akan bertanding, pertandingan pertama dengan aku sebagai kaptennya… aku… aku gugup… maka dari itu aku ke sini dengan maksud untuk menenangkan diri.. ” jawabnya terbata.
Collin menatapnya dengan seksama, ia memang kelihatan sangat gugup dan ketakutan sekali, tangannya masih gemetaran mengaduk coklat panasnya.
“Rileks saja… jangan terlalu dipikirkan, lakukan saja… hasilnya serahkan saja pada kemampuanmu dan anggota timmu… ” kata Collin.
“Tap… tapi aku takut… aku takut mengecewakan anggota timku… bagaimana kalau kami kalah gara-gara aku tidak bisa memimpin dengan benar ??” tanya pemuda tersebut kalap.
“Anggota timmu memilihmu sebagai kapten pasti karena mereka percaya padamu dan kemampuanmu… percaya saja pada dirimu… ” kata Collin lagi, berusaha menyemangati.
Pemuda itu terdiam sambil meminum coklat panasnya sedikit.
“Yang membuatmu gugup adalah karena kau terlalu memikirkannya, sudah tak usah dipikirkan, jalani saja, tanpa kau sadari tahu-tahu semuany` sudah selesai… ” tambah Collin lagi.
“Sulit sekali untuk tidak memikirkannya… ” kata pemuda itu.
“Memang, tapi coba saja… aku juga waktu pertama kali bekerja di sini gugupnya setengah mati, aku takut melakukan kesalahan ini dan itu… tapi aku mencoba untuk tidak memikirkannya, aku lakukan saja, tidak peduli setakut dan segugup apapun… dan hasilnya, aku berhasil menjalani hari pertamaku dengan cukup baik, dan aku juga semakin percaya diri.. ” kata Collin.
“Ahh ya… aku baru pertama kali melihatmu di sini… ” kata pemuda itu.
“Iya, aku memang baru bekerja di sini sejak seminggu yang lalu... ” kata Collin.
“Pantas..” kata pemuda tersebut, ia kembali terdiam selama beberapa saat, tampak sedang memikirkan perkataan Collin.
“Kau benar… aku tidak boleh memfokuskan pikiranku hanya pada ketakutanku itu…” katanya akhirnya.
“Betul sekali..” dukung Collin, ia menatap jam dinding, pukul setengah 4 kurang 5 menit.
“Kau pandai sekali menenangkan orang ya…” kata pemuda itu lagi.
Collin tertawa,
“Terima kasih.” katanya.
Wajah pemuda itu berangsur-angsur kembali ke warna normal, tangannyapun sudah berhenti gemetaran.
“Namaku Daniel..” kata pemuda itu sambil mengulurkan tangan kanannya.
“Aku Collin.” balas Collin kelepasan sambil menjabat tangan Daniel.
“Siapa ?” tanya Daniel ragu.
“Caroline… orang-orang biasa memanggilku Carol..” koreksi Collin dengan cepat dan meyakinkan.
“Ohh… kau bekerja dari jam berapa ? beberapa hari yang lalu aku datang ke sini pagi-pagi tapi aku tidak melihatmu..” tanya Daniel lagi.
“Ya, pagi-pagi aku sekolah, aku mulai bekerja dari jam 3 sore sampai jam 9 malam…” jawab Collin.
“Ahh.. kau sekolah di mana ?” tanya Daniel.
Collin menyebutkan nama sekolah Thessa.
“Ohh.. kau temannya Thessa ?” tanya Daniel.
“Ya, aku teman sekelasnya..” jawab Collin.
“Berarti kita seumuran..” kata Daniel senang.
“Benarkah ??” tanya Collin sambil melirik jam dinding, pukul setengah 4 pas.
Daniel mengangguk,
“Ahh maafkan aku, Daniel… tapi aku harus pergi sekarang, ada keperluan yang sangat penting..” kata Collin sedikit tergesa,
Daniel tampak sedikit kecewa.
“Ahh… baiklah kalau begitu..” katanya.
Collin berdiri hendak pergi,
“Kapan-kapan aku boleh datang dan ngobrol lagi denganmu ?” tanya Daniel.
“Tentu saja.” jawab Collin sambil tersenyum.
Daniel balas tersenyum.
“Aku permisi dulu..” kata Collin kemudian beranjak pergi.
“Ahhh terima kasih sarannya tadi…” kata Daniel.
Collin melambaikan tangannya, Daniel tersenyum.

to be continued




0 comments:

Post a Comment