DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Collin & Kenneth Page 3

Page 3
by GoodFriend

Malam harinya, di rumah Kenneth.
Kenneth berasal dari keluarga yang cukup berada, rumah yang ia tempati sendirian ini cukup besar untuk ukuran normal, besar dan mewah, dan hanya ditempati satu orang.
Kenneth baru saja tiba bersama Collin beberapa menit yang lalu, kini keduanya sedang berada di kamar Kenneth yang terletak di lantai 2 rumah tersebut, kamar Kenneth hampir sama seperti kamar remaja laki-laki kebanyakan, berantakan, baju kotor di mana-mana, poster-poster grup band dan tim sepak bola banyak tertempel di dinding, ruangannya cukup luas, sebuah meja belajar diletakkan di salah satu sudut kamar, dengan lemari pakaian yang cukup besar di sebelahnya, di tengah ruangan terdapat meja persegi rendah dan di seberangnya terdapat sebuah tempat tidur ukuran single dengan sprei berwarna hitam dengan gambar The Nightmare Before Christmas.
Collin dan Kenneth duduk di karpet saling bersebrangan di kedua sisi meja persegi.
“Jadi… ayo kita mulai saja…” kata Collin lalu mengeluarkan buku-buku pelajaran dari tasnya.
Kenneth mengangguk.
“Kau sudah makan malam ?” tanya Kenneth.
Collin menggeleng.
“Sebentar kucari cemilan dulu di dapur..” kata Kenneth kemudian beranjak pergi menuju dapur.
Collin duduk diam sendirian di dalam kamar Kenneth, ia mengedarkan pandangan ke sekeliling, tidak pernah ia bayangkan sebelumnya kalau ia akan bisa masuk ke dalam kamar Kenneth, yang selama ini adalah musuh bebuyutannya, sekali lagi Collin menyadari bahwa sifatnya dan Kenneth cukup berlawanan, hal ini bisa dilihat dari keadaan kamar Kenneth yang berlawanan dengan kamar Collin yang rapi, bersih, dan harum.
Beberapa menit kemudian Kenneth kembali dengan membawa setoples keripik kentang dan 2 kaleng coca-cola dingin.
“Hanya ini yang ada di dapurku..” katanya.
“Keripik kentang dan coca-cola oke kok…” kata Collin.
Keduanya kemudian memulai rencana belajar mereka, salah satu keuntungan yang bisa didapat Kenneth dari persahabatannya dengan Collin sekarang adalah ia akhirnya mendapatkan guru privat yang bisa membimbingnya belajar, karena Kenneth selama ini cukup kesulitan mengikuti nyaris semua mata pelajaran di sekolahnya, bukan karena ia bodoh, tapi karena… entahlah… ada sesuatu yang membuat otaknya tidak bisa mencerna pelajaran-pelajaran di sekolahnya dengan baik.
Dengan Collin sebagai gurunya, Kenneth ternyata mampu mencerna pelajaran dengan cukup baik, semua yang diajarkan Collin ternyata bisa diserap oleh otaknya dengan cepat.
Tak terasa sudah 2 jam lewat mereka belajar, jam dinding di kamar Kenneth sudah menunjukan pukul 11 malam.
Collin menguap untuk yang kesepuluh kalinya.
“Kita sudahi saja ya… aku sudah cukup paham kok…” kata Kenneth.
“Baiklah…” timpal Collin, keduanya kemudian membereskan buku-buku pelajaran dan sampah makanan mereka.
Kenneth memandang tempat tidurnya, kemudian menatap Collin, Collin balas menatapnya.
“Err… tempat tidurku terlalu sempit untuk kita berdua, kau tidurlah di tempat tidur, biar aku tidur di karpet…” kata Kenneth.
“Apa ? tidak, aku,kan tamunya, jadi biar aku saja yang di karpet…” sanggah Collin.
Kenneth tertawa.
“Kau ? seorang Collin yang terkenal rapi dan sangat menjaga kebersihan mau tidur di karpet ?? yang benar saja…” kata Kenneth.
“Ohh diamlah…” kata Collin seraya mengambil bantal kemudian meletakkannya di karpet di sebelah tempat tidur.
“Ini kamarku, jadi aku yang berhak menentukan segalanya di sini, dan aku ingin kau tidur di atas tempat tidur.” kata Kenneth lagi.
Keduanya saling pandang.
Seperti biasa Collin menyadari bahwa ia tidak akan bisa menang berdebat dengan Kenneth.
“Ayo kita tidur di atas tempat tidur sama-sama..” katanya akhirnya.
“Ap… apa ??” tanya Kenneth kaget, wajahnya kembali bersemu merah seperti biasa.
“Ayo cepat… aku sudah ngantuk..” kata Collin kemudian merebahkan tubuhnya di sisi tempat tidur dengan menyisakan setengah bagian tempat tidur untuk Kenneth.
Pemandangan Collin di atas tempat tidur benar-benar membuat Kenneth gugup, ada sesuatu di hatinya yang bergejolak.
“Ehh… ba… baiklah…” katanya.
Kenneth kemudian berjalan ke sisi tempat tidur yang sudah disisakan Collin dengan canggung.
Kenneth kemudian melepas kaos yang ia pakai sehingga kini ia bertelanjang dada, Collin terperangah menatap tubuh bagian atas Kenneth, dadanya yang bidang dan perutnya yang rata six pack menunjukan bahwa Kenneth benar-benar olah ragawan sejati, selain itu kulitnya yang mulus dan putih menjadi nilai tambah bagi Kenneth, tanpa sadar wajah Collin bersemu merah, tubuh sempurna seperti itu ditambah wajah yang tampan membuat Collin tidak heran kenapa banyak perempuan tergila-gila pada sahabatnya ini.
“Aku biasa bertelanjang dada kalau tidur, you ok with that ?” tanya Kenneth.
Collin menyadari kalau dari tadi ia terus memandangi tubuh Kenneth,
“Ahh.. uhh… yeah… I’m ok with that.” kata Collin tergagap.
“Good.” kata Kenneth, ia kemudian merebahkan dirinya di sebelah Collin, kondisi tempat tidur yang sempit membuat keduanya saling bersentuhan, muka keduanya bersemu merah, jelas keduanya merasa canggung, keduanya tidur dengan saling membelakangi.
Mata Collin terpejam, tapi ia belum benar-benar tidur, ia bingung karena semenjak tadi*ia melihat tubuh Kenneth sampai sekarang entah kenapa jantungnya terus berdetak kencang, dan ini membuatnya senang, ada perasaan nyaman di balik debaran jantungnya ini.
“Masa iya aku berdebar-debar dengan Kenneth ??” tanya Collin dalam hati.
Di sebelahnya Kenneth juga merasakan hal yang sama.
Keduanya baru bisa tidur sejam setelahnya.

Keesokan harinya keduanya berangkat ke sekolah bersama-sama dari rumah Kenneth.
Kenneth mengerjakan tesnya dengan cukup optimis, setelah diajari Collin tadi malam Kenneth memang jadi memahami konsep dari materi yang akan diteskan.
Bel tanda istirahat baru saja berbunyi, Collin bergegas menuju ke kelas Kenneth, ia berdiri di depan kelas Kenneth sementara murid-murid beramai-ramai keluar dari dalam kelas, Kenneth menjadi yang paling akhir keluar dari dalam kelas.
“Bagaimana ?” tanya Collin was-was.
Kenneth mengangkat bahunya,
“Kita lihat saja hasilnya nanti..” katanya.
“Tapi kau bisa menjawab soal-soalnya,kan ?” tanya Collin masih was-was.
“Yahhh… lumayan sih… sudahlah… ayo kita ke kantin…” ajak Kenneth.
Keduanya hendak berjalan ke kantin ketika seorang murid perempuan berjalan menghampiri lereka dengan malu-malu, untuk ukuran remaja, perempuan ini cukup termasuk golongan perempuan yang cantik dan manis, pasti banyak laki-laki yang berebut ingin menjadi pacarnya.
“Ehhmmm… Kak Kenneth..” kata anak perempuan itu masih dengan malu-malu.
“Ya.” jawab Kenneth.
“Ehhmm… na.. namaku Stella.. aku adik kelasmu…” kata anak perempuan itu.
“Ehhmm…. ya… ada perlu apa ya ?” tanya Kenneth ramah.
Collin memperhatikan kedua orang tersebut, dia tahu betul tentang apa ini, dia sudah sering berada dalam posisi Kenneth sekarang, entah kenapa ada sesuatu dalam dirinya yang bergejolak melihat pemandangan ini, ada sesuatu dalam dirinya yang tidak menyukai ini, tapi ia belum bisa mendeskripsikan apa itu, yang ia tahu ia ingin perempuan di depannya itu cepat-cepat pergi darinya… dan Kenneth.
“Ahh.. a.. aku… aku hanya mau memberikan ini padamu..” jawab Stella terbata sambil menyerahkan sepucuk surat pada Kenneth dengan gugup, mukanya merah seperti sedang direbus.
Kenneth mengambil surat itu, begitu suratnya diambil, Stella langsung berlari pergi menghilang dari hadapan Kenneth dan Collin.
“Hei tunggu !!” panggil Kenneth, tapi perempuan itu sudah keburu menghilang.
“Sudah biarkan saja.” kata Collin.
Kenneth memandangi surat yang ada di tangannya, keduanya melanjutkan kembali berjalan menuju ke kantin.
Sesampainya di kantin keduanya duduk di bangku yang biasa mereka tempati.
“Apa isinya, ya ?” tanyanya.
Collin tersenyum,
“Surat cinta.. tentu saja..” katanya yakin.
“Ap.. apa ?” tanya Kenneth ragu pada Collin.
Collin mengangguk.
“Aku sering dapat yang seperti itu.. coba saja buka kalau tidak percaya..” katanya lagi.
Kenneth kemudian membuka surat itu kemudian membacanya, semakin ia baca wajahnya semakin memerah.
“Betulkan tebakanku…” kata Collin enteng.
Kenneth mengangguk pelan masih tidak percaya.
“Lalu apa katanya ?” tanya Collin tidak begitu tertarik.
“Dia bilang dia sudah lama memperhatikanku, dan dia… dia menyukaiku… semua yang ada padaku… dia bilang juga dia tidak minta aku untuk membalas perasaannya, hanya dengan aku tahu saja… itu sudah cukup baginya…. semoga kita bisa berteman baik, itu kalimat terakhir di suratnya.” jawab Kenneth masih dengan nada tidak percaya, ia kemudian mengulurkan surat itu pada Collin.
Collin mengambil surat tersebut dari tangan Kenneth kemudian membacanya sepintas.
“Lalu ?” tanya Collin setelah ia selesai membaca surat tersebut.
“Ehh… lalu apa ?” Kenneth balik bertanya.
“Apa yang akan kau lakukan dengan anak ini ?” tanya Collin.
Kenneth mengangkat bahunya lalu mengambil kembali suratnya dari tangan Collin.
“Entahlah… apa yang biasanya kau lakukan bila kau dapat surat cinta ?” tanyanya.
“Apa kau juga menyukai anak ini ?” tanya Collin.
Kenneth terdiam sejenak,
“Kau kan tahu aku sudah menyukai orang lain..” jawab Kenneth.
“Kau masih menyukainya sampai sekarang ?” tanya Collin lagi.
“Bahkan lebih dari sebelum-sebelumnya…” jawab Kenneth, mukanya mulai memerah.
“Dan kau masih belum mau memberitahuku siapa orangnya ?” tanya Collin.
“Aku masih belum siap.” jawab Kenneth.
Collin menghela napasnya, fakta bahwa Kenneth menyukai seseorang dan tidak mau memberitahukan pada dirinya membuatnya sedikit tidak senang.
“Baiklah… dia kan hanya minta berteman denganmu, jadi yaa… bertemanlah dengannya.” kata Collin.
Kenneth mengangguk.
“Ya sudah, selesai kan masalahmu… ayo kita pesan makanan.” usul Collin, keduanya kemudian memesan makan siang mereka.
“Ehhmm… surat-surat cinta yang ditujukan padamu itu… kau apakan semua akhirnya ?” tanya Kenneth sambil memakan makanan pesanannya.
“Kutolak semua.” jawab Collin enteng.
“Apa ? kenapa ?” tanya Kenneth kaget.
“Tidak ada yang cocok denganku..” jawab Collin lagi.
“Se.. sebelum ini… apa kau pernah pacaran ?” tanya Kenneth.
Collin menggeleng,
“Aku belum bertemu yang cocok.” jawabnya.
“Belum pernah sama sekali ?” tanya Kenneth yang mendadak jadi bersemangat.
“Ya. kenapa memangnya ? tidak punya pacar juga hidupku tidak akan berakhir,kan..” kata Collin.
Kenneth tersenyum senang.
“Ya… ya.. kau benar…” dukungnya.
“Kau sendiri… sudah pernah punya pacar ?” Collin balas bertanya.
“Belum. Aku juga belum pernah punya pacar.” jawab Kenneth.
“Woww.. cukup mengejutkan, padahalkan wajahmu tampan, banyak perempuan yang tergila-gila padamu..” kata Collin.
Wajah Kenneth langsung bersemu merah seketika.
“Me.. menurutmu aku… aku ta… tampan ?” tanyanya terbata.
“Ya. menurut mataku sih kau cukup tampan..” jawab Collin sambil meminum jus jeruk pesanannya.
“Uhhmm… makasih.” kata Kenneth pelan.
Collin mengangkat alisnya.
Keduanya kemudian menghabiskan makan siang mereka, makanan mereka habis bertepatan dengan bunyi bel tanda jam istirahat telah selesai, keduanya lalu kembali ke kelas mereka masing-masing dan melanjutkan sisa pelajaran mereka hari itu.

Siang harinya, Kenneth harus mengikuti latihan basket jadi ia tidak bisa mengantar Collin pulang, Kenneth adalah ketua tim basket di sekolahnya, alhasil Collin pulang dengan berjalan kaki seperti dulu biasa ia lakukan sebelum berteman dengan Kenneth.
Ketika Collin berjalan melewati café Arlochrion ia berhenti sebentar, di kaca etalase café tersebut terpampang pengumuman tentang lowongan kerja sebagai pelayan, ia tersenyum, di tempat inilah ia dan RedHawk dulu janjian untuk bertemu, dan di tempat ini juga ia tahu bahwa RedHawk ternyata adalah Kenneth, musuh bebuyutannya.
Collin kemudian melanjutkan perjalanannya pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah ia terkejut mendapati adiknya sedang duduk di dapur.
“El ?” tanyanya bingung.
Elliot, adik laki-laki Collin satu-satunya, tampilan fisiknya mirip dengan Collin, hanya saja warna rambut coklat Elliot sedikit lebih cerah daripada rambut coklat Collin yang kehitaman, warna matanya coklat terang, sama dengan warna mata ibu mereka.
“Collin !!” kata Elliot, ia tampak sedang kebingungan dan mencemaskan sesuatu, ia berdiri kemudian menghampiri Collin.
Collin menyadari ada yang tidak beres dengan adiknya.
“Ada apa ? kupikir kau sedang ada di tempat ayah..” katanya.
“Aku pulang tadi pagi.. Collin aku.. aku sedang ada masalah… “ kata Elliot.
Mau tak mau Collin jadi ikut cemas melihat adiknya.
“Kau terlibat masalah apa ?” tanyanya.
Keduanya kemudian duduk di ruang tengah rumah mereka, Elliot menceritakan masalahnya pada Collin dengan terbata-bata.
“Apa ???? kau menabrakan mobil ayah sampai rusak ??” tanya Collin kaget.
Elliot mengangguk ketakutan.
“Apa ayah tahu ?” tanya Collin.
Elliot menggeleng,
“Ayah, Tante Merilyn dan Jenifer sedang liburan ke luar negri, jadi mereka belum tahu, yang tahu hanya aku, kau, dan Jordan..” jawab Elliot.
Jenifer adalah adik tiri Collin dan Elliot yang berumur 5 tahun, Jordan adalah saudara tiri mereka yang umurnya sama dengan Collin sedangkan Tante Merilyn adalah ibu Jenifer dan Jordan yang juga adalah ibu tiri Collin dan Elliot.
“Kau sudah memberitahu ibu tentang ini ?” tanya Collin lagi.
“Belum, aku tidak berani, dia bahkan tidak tahu kalau aku ada di sini sekarang.” jawab Elliot lagi.
“Bagus. Jangan beritahu dia… biar kita urus sendiri masalah ini, ibu sudah cukup kerepotan memikirkan urusan di kantornya tanpa harus ditambah dengan masalah ini..” kata Collin bijak.
Elliot mengangguk.
“Seberapa parah kerusakannya ?” tanya Collin.
“Cukup parah, aku sudah bertanya tentang biaya perbaikannya dan ternyata sangat mahal, uang tabunganku tidak cukup untuk membayarnya, Jordan mau membantu dengan memberikan setengah dari tabungannya tapi tetap tidak cukup.” kata Elliot lagi.
“Akan kutambahkan dengan uang tabunganku..” kata Collin.
“Aku tahu uang tabunganmu ada berapa, tapi tetap tidak cukup, Collin, aku tidak tahu harus bagaimana lagi… aku bingung…” kata Elliot.
“Tenang… kita pikirkan jalan keluarnya sama-sama..” kata Collin mencoba menenangkan adiknya.
Collin memeras otaknya untuk mencari jalan keluar dari masalah adiknya,
“Kapan ayah pulang dari liburan ?” tanyanya.
“Mungkin sekitar 2 bulan lagi..” jawab Elliot.
“Baiklah, sekarang sebaiknya kau kembali saja dulu ke tempat ayah, kalau kau ada di sini nanti ibu akan curiga, sisa kekurangannya biar aku yang cari, nanti kalau sudah ada kukabari, lebih baik sekarang kau temani Jordan.” kata Collin.
“Bagaimana kau akan mendapatkan kekurangan uangnya ?” tanya Elliot.
“Aku punya rencana, sudah tak usah khawatir ya..” kata Collin lalu tersenyum sambil mengacak rambut Elliot.
Elliot memandang wajah kakaknya dengan penuh sayang, ia merasa beruntung karena mempunyai kakak seperti Collin.
“Thanks brother..” katanya.
“Anything for you..” balas Collin.
Keduanya lalu berpelukan.
Elliot kemudian bergegas pulang kembali ke rumah ayahnya sebelum ibu mereka pulang.
“Well, semoga rencanaku berhasil..” kata Collin pada dirinya sendiri, ia kemudian pergi menuju café Arlochrion.

Café Arlochrion.
“Jadi ?” tanya Collin penuh harap.
“Entahlah Collin…” jawab Tobi.
Tobi adalah anak dari pemilik café Arlochrion, dia juga bekerja sebagai salah satu pelayan di café itu, umurnya 3 tahun lebih tua dari Collin, ia dan Collin sudah saling kenal sejak lama, selain karena Collin merupakan salah satu pelanggan tetap di café tersebut, tapi juga karena dulu mereka bertetangga, sebelum akhirnya Tobi dan keluarganya pindah ke daerah yang lebih dekat ke pusat kota, jadi mereka sudah saling kenal sejak kecil, mereka sudah saling menganggap saudara pada satu sama lain.
“Apa masalahnya ?” tanya Collin.
“Kami mencari pelayan perempuan, Coll…” jawab Tobi.
“Sama saja kan… ayolah..” bujuk Collin.
“Ini keinginan ayahku, Collin… kau tahu bagaimana dia kan… semua keputusannya mutlak tidak bisa diganggu gugat…” kata Tobi.
Collin merengut,
“Kau laki-laki, tapi kau boleh bekerja di sini..” katanya mencari pembelaan.
Tobi menghela napasnya,
“Aku anak pemilik café ini, ingat ??” tanyanya.
“Ayolah Tobi… aku butuh sekali pekerjaan ini… aku tidak tahu lagi harus bagaimana…” jatanya.
Tobi menatap iba pada Collin.
“Aku mau sekali membantumu dan El… seandainya aku yang memutuskan, aku pasti akan langsung menerimamu bekerja di sini tanpa banyak omong… tapi masalahnya semua tergantung pada ayahku…” katanya.
Collin terdiam,
“Apa tidak ada cara lain agar aku bisa diterima di sini… akan kulakukan apapun agar bisa diterima…” katanya lagi.
Tobi menatap Collin, tampak sedang menimbang-nimbang sesuatu.
“Sebetulnya kalau dilihat-lihat… ada satu cara sih…” katanya sambil tetap memandang Collin dari ujung kepala hingga ke ujung kaki.
“Apa ?? bagaimana ??” tanya Collin bersemangat.
“Tapi aku tidak yakin kau mau melakukannya..” kata Tobi sambil mengelus-elus dagunya.
“Kau tidak mendengarku ya ? akan kulakukan apapun agar aku bisa diterima… apapun, Tobi… apapun !!!” kata Collin ngotot.
Tobi terdiam sambil tetap memandang Collin.
“Kau yakin ?” tanyanya ragu.
“Bahkan bila aku disuruh berdandan seperti perempuanpun aku mau !!!” kata Collin mantap.
Tobi tersenyum,
“Kau membaca pikiranku..” katanya.
“Apa ?” tanya Collin bingung.
“Itu satu-satunya cara yang terpikir olehku..” kata Tobi.
“Ehh ?” tanya Collin masih bingung.
“Kau berpura-pura menjadi seorang perempuan… itu cara terbaik yang terpikir olehku… pasti akan berhasil, well, jangan tersinggung ya.. tapi postur tubuhmu pas sekali untuk menjadi seorang perempuan, dan wajahmu… untung bagimu karena wajahmu tanpa didandani saja sudah cukup cantik, yang perlu kita lakukan hanya menambahkan rambut palsu dan mengajarimu cara berjalan dan cara bicara ala perempuan..” jelas Tobi dengan penuh semangat, ini akan sangat menarik pikirnya.
Collin ternganga mendengar penjelasan Tobi.
“Kau sudah bilang mau,kan… ingat, kau butuh sekali pekerjaan ini…” kata Tobi.
Collin masih terdiam, bila dengan begini ia bisa dapat uang untuk membayar biaya perbaikan mobil ayahnya, well, maka ia akan melakukannya.
“Baiklah…” katanya.
“Bagus !! sekarang ayo kita persiapkan dirimu sebelum kau wawancara dengan ayahku…” kata Tobi.
Collin menghela napas.
“Thessa akan membantu kita mencari baju dan segala macamnya, kupanggil dia dulu..” kata Tobi kemudian berjalan menuju belakang café, tempat kumpul para pelayan dan pekerja, beberapa saat kemudian ia kembali dengan seorang anak perempuan seusia Collin yang tampangnya sangat mirip dengan Tobi, dia adalah Thessa, adik perempuan Tobi.
“Tobi sudah menceritakan semuanya, kau bisa pakai bajuku, sekarang ayo kita cari wig untukmu..” katanya.
“Ahh… aku punya wig yang cocok denganmu, ayo kita ke kamarku…” kata Tobi.
Akhirnya siang itu Tobi dan Thessa sibuk mempersiapkan Collin untuk wawancara dengan ayah mereka, mulai dari baju, cara bicara, cara berjalan, dan segala macam diajarkan pada Collin untuk lebih meyakinkan.

 2 jam kemudian.
Tobi dan Thessa berdiri bersampingan sambil menatap Collin yang sudah didandani seperti perempuan dengan sangat puas.
“Cantik sekali.” kata Thessa kagum.
“Ya.” dukung Tobi.
Collin menatap bayangan dirinya di kaca, ia menggunakan wig panjang dengan warna yang sama dengan warna rambut aslinya, coklat kehitaman, terusan berwarna putih bunga-bunga dan sepatu sandal datar milik Thessa, harus ia akui, ia memang kelihatan cantik, sama sekali tidak terlihat kalau sebetulnya dia adalah laki-laki.
“Kalau aku tidak tahu bahwa ini kau, aku pasti sudah mengajakmu kencan..” kata Tobi.
“Diam kau..” kata Collin.
Tobi dan Thessa tertawa.
“Kau sudah siap untuk menemui ayahku ?” tanya Tobi.
Collin menatap Tobi, ia masih sedikit ragu dan juga takut, ia takut penyamarannya ketahuan, tapi demi adiknya, ia harus memantapkan hatinya.
“Ya.” katanya mantap.
“Oke. Ikut aku..” ajak Tobi kemudian beranjak keluar dari kamarnya, Collin mengikutinya dari belakang.
“Good luck.” kata Thessa.
“Thanks.” balas Collin.
Tobi dan Collin kemudian berhenti di depan pintu ruangan pemilik café.
“Ingat yang sudah Thessa dan aku ajari tadi, jangan sampai ada yang salah, dan oh iya, selama kau menjadi perempuan, namamu adalah Caroline, panggilanmu Carol, kalau ayahku bertanya, bilang saja kau teman sekelasnya Thessa… kau mengerti ?” tanya Tobi.
Collin mengangguk, kadang-kadang ia kagum dengan keahlian Tobi yang bisa mengarang cerita bohong dengan cepat dan tepat.
“Baiklah… aku masuk dulu sebentar, kau tunggu di sini..” kata Tobi, kemudian masuk ke dalam ruangan ayahnya, beberapa saat kemudian ia keluar.
“Kau boleh masuk.” katanya.
Collin menghela napasnya, kemudian berjalan memasuki ruangan pemilik café.
“Good luck, brother..” kata Tobi.
Collin mengangguk.
Tobi berdiri sendirian di depan ruangan ayahnya, ia benar-benar cemas,
“Semoga berhasil.” katanya pelan.

to be continued




0 comments:

Post a Comment