-chapter 9- (4)
by MarioBastian
Ruangan ini, jujur saja, makin lama makin menyeramkan. Bayangkan ini:  nggak ada jendela sedikitpun, ada lubang ventilasi kecil di dinding  sebelah sana, tapi ruangan ini tetap terasa lembap, seperti berada dalam  gua penuh lumut. Ada peti mati besar menempel di dinding, dan di  seberangnya diletakkan kursi goyang tua yang sudah dihiasi jaring  laba-laba. Great. Sekarang aku benar-benar ada di film horror!  Di sudut lain ruangan kecil itu ada beberapa meja kecil, dan rangka  ranjang besi tanpa kasur, seperti ranjang rumah sakit, tapi minus kasur.  Di dindingnya pun terletak beberapa foto berpigura cantik, yang untuk  kali ini tidak kukenal siapa modelnya. 
Aku mengelilingi ruangan  itu dengan jantung berdebar kencang. Rasa takutku seimbang dengan rasa  penasaranku. Sebagian otakku memerintahkan untuk berlari, sementara  sebagian lagi berteriak, “Tunggu sebentar lagi! Mungkin kamu bisa  menemukan petunjuk!” Aku meraba ranjang itu, dingin. Menatap meja-meja  kecil di sekitarnya, dan akhirnya penasaran dengan apa yang ada di dalam  peti mati itu.
Di sana nggak ada mayat, kan?
I mean,  nggak mungkin ada mayat dibiarkan membusuk di sana tanpa ada bau  bangkai sedikit pun di seantero rumah. Mungkin itu peti mati yang  disiapkan Granny atau apa gitu, mungkin peti mati itu disimpan di sini  karena tempat ini dianggap gudang.
“Udah, biar aku yang gantiin.”
Tiba-tiba  kudengar suara anak kecil masuk dari pintu. Aku berbalik dan jantungku  mencelos. Tubuhku langsung bergidik ngeri sampai-sampai aku mematung  ketakutan. Kedua hantu anak kecil yang sering muncul di kamarku kini ada  di depan pintu. Anak kecil yang memakai baju lengkap dan yang hanya  bercelana pendek saja.
Mereka tampak ketakutan. Si anak tukang  nangis masih tetap terisak-isak, menyusut hidung dengan kaus Power  Ranger-nya dan dengan panik menoleh ke belakang berkali-kali. Sementara  si anak topless menarik tangan anak berkaus ke arah kursi goy—
Tunggu!
Interior ruangan ini sudah berubah!
Aku  memekik tertahan ketika menyadari aku sudah berada di dunia lain! Ya!  Ini bukan tempat yang kukunjungi sepuluh detik lalu! Ini tempat lain!
Luas  ruangannya masih sama, hanya saja ada dua jendela di ujung sebelah  sana. Jendela itu begitu terang sampai-sampai aku nggak bisa melihat ke  luarnya. Lalu peti mati tadi sudah lenyap, digantikan ranjang besi yang  dipasangi kasur dan ada seprai Pokemon membalutnya. Kursi goyang tadi  posisinya masih sama, hanya saja tanpa jaring laba-laba. Lalu di sudut  ruangan berdiri lemari kayu jati yang kokoh, dengan cermin besar di  pintunya, dan aku....
... aku nggak bisa melihat bayanganku di cermin lemari itu!
“Gimana tadi si Bapak bilang?” tanya si topless. 
“Ya kayak biasa, disuruh ke belakang aja.” Anak yang berkaus mengusap-usap pipinya, menghapus bekas airmata. “Aku takut.”
“Kamu tenang aja,” topless memeluk anak berkaus dengan erat, “kalo si Bapak masuk ke sini, aku yang gantiin kamu.”
Anak berkaus menggeleng. “Jangan! Kamu nggak tau rasanya kayak gimana!”
“Nggak  apa-apa,” tukas si topless. “Dulu aku sering disiksa sama tetangga aku  kalo aku nakal ama ayam-ayam mereka. Aku bisa lah, ngadepinnya. Aku juga  suka diajarin pencak silat sama pak Kiyai, kalo-kalo ada yang nggak  beres entar.”
Si anak berkaus masih menggeleng-geleng tak rela.
Aku  mengepalkan tanganku, ketakutan dan kebingungan. Kedua anak kecil itu  berada hanya satu setengah meter dariku. Keduanya sedang bersembunyi di  balik kursi goyang dan keduanya gemetaran. Mereka tampak lebih hidup  sekarang, nggak pucat seperti biasanya. 
Ketika aku baru hendak menyapa mereka, tiba-tiba seseorang masuk ke dalam ruangan ini.
DEG!
Sial.
Itu Pak Darmo!
“Ooh, jadi kalian suka sembunyi di sini, ya?” katanya.
Jantungku  rasanya sudah copot. Aku mengucurkan keringat dingin di sekujur tubuhku  dan berjalan mundur perlahan-lahan. Pak Darmo tampak lebih menyeramkan  dibandingkan sebelumnya. Matanya berkilat-kilat dan dia tampak bengis.  Bukan seperti Pak Darmo yang dengan nelangsanya mencari-cari Dennis.
“Tolong jangan ganggu dia, om!” Si anak topless dengan heroik maju ke tengah ruangan, menantang Pak Darmo. “Kalo mau, aku aja yang gantiin dia.”
Anak  itu sebenarnya gemetaran ketakutan. Tapi dia rela menggantikan posisi  anak berkaus... meski aku kurang yakin posisi apa yang sedang  diperbincangkan di sini. 
“Jadi kamu mau juga, hah?” sergah Pak Darmo.
“Boleh! Tapi lepasin dulu dia!” Si anak topless menunjuk ke anak berkaus.
Pak  Darmo menatap kedua bocah itu satu persatu. Kemudian menyeringai puas.  “Kenapa harus lepasin dia?” katanya. “Kalo saya bisa pake kalian  berdua.”
Tiba-tiba saja Pak Darmo menerkam si anak topless,  yang kini meronta-ronta minta dilepaskan. Satu-satunya hal yang  membalut anak itu, celana berwarna merah, dikoyaknya dan dirobeknya. Dan  hal berikutnya yang terjadi adalah.......
... lenyap.
Semuanya tiba-tiba lenyap.
Peti mati itu kembali ke ruangan... jendela terang itu hilang... kursi goyang itu dipenuhi jaring laba-laba...
Semuanya kembali seperti semula.
-XxX-
“Dia  pikir dia bisa ngalahin Nenek?” Granny muncul di pintu depan dengan  berang. Jambul Jembatan Layang Pasupatinya sudah hancur, sudah rusak  sebelah dan dari sini kelihatan agak miring. Aku juga melihat lipstick Granny yang tercoreng beberapa senti dari bibirnya, yang mengindikasikan ada pertarungan gladiator di acara party tersebut. “Kalo dia masuk neraka, Nenek pastiin dia masuk neraka bintang lima!”
“Kenapa  lagi sekarang, Granny?” Aku duduk di sofa ruang tengah, menenangkan  diriku yang gemetaran dan sebisa mungkin bersikap wajar saja. Bersikap  seolah aku nggak pernah masuk kamar terlarang sore tadi. 
“Si Nunuk Blekuk nantang Nenek buat Girlband Fight!” Granny mendengus. “Emangnya Nenek nggak bisa, apa?!”
“Girlband?”
“Iya,  kayak Cherrybelle!” Granny melepaskan jambulnya dari kepala dengan  geram. Zaki masuk beberapa detik kemudian, melempar-lempar kunci mobil  lalu meletakkannya di atas meja. “Lihat aja ya, Blekuk! Gueh bakal ngalahin eloh!”
Zaki cekikikan. “Hajar terus, Nek!” sahutnya. “Entar saya vote buat Nenek deh...”
“Ini  sebenernya ada apa sih, Granny?” Aku menarik Granny agar duduk di  sampingku dan menceritakan apa yang terjadi. Granny meremas-remas sisa hair extension-nya dengan gemas, menatap ke arah teve seolah-olah di situ ada Jeng Nunuk. 
“Biasa, deh. Dia suka cari gara-gara.”
“Kak Nunuk pake Jambul Pasupati juga!” potong Zaki buru-buru sambil cekikikan.
“Zaki, shut down!” pekik Granny. “Biar Nenek yang cerita!”
“Oke-oke-oke, Sorry.” Zaki mengangkat tangannya, masih cekikikan. “Saya bikin orange juice dulu di belakang.”
Zaki berlalu ke dapur, meninggalkan aku dan Granny yang kini saling bertatapan.
“You know, Darling, Nenek bersyukur kamu berantem ama si Esel.  Itu jadi ngebuka mata Nenek akan beberapa hal. Khususnya si Nunuk Blekuk  itu.”
“Ya udah, Granny ceritain dong ada apa tadi di party-nya Jeng Rokayah?”
Bagus,  deh. Dengan begini nggak perlu ada pembicaraan soal kamar terlarang,  kan? Bello itu memang kadang-kadang lebay. Barusan kami berdua berdebat  soal aku yang menerobos masuk ke kamar terlarang. Dia mengancam akan  mengadukannya pada Granny, tapi tentunya aku juga mengancam akan  mengadukan Bello ke Granny, bahwa dia selama ini muncul sebagai cupid di  depan mataku. Dan juga suka ngintip tetangga ML.
Untung deh,  sekarang ada isu yang lebih menarik. Bisa dipastikan Granny nggak akan  pernah curiga soal kamar terlarang sampai seratus tahun ke depan. 
Dari yang aku dengar, ternyata Jeng Nunuk mengenakan jambul yang sama persis dengan Granny. In fact, mereka menggunakan hairdresser yang sama. Dan si fucking-hairdresser ini nggak ngelapor kalo Jeng Nunuk juga pake jambul yang sama. (Besok pagi Granny mau panggil pengacara, nuntut si hairdresser untuk pencemaran nama baik, dan nuntut Jeng Nunuk untuk kejahatan copycat—entah maksudnya apa ini, hanya Granny yang tahu.)
Katanya  Jeng Nunuk panik karena Granny tahu dia mau bikin Jambul Terowongan  Casablanca. Jeng Nunuk nggak mau idenya itu dicontek Granny, untuk  itulah Jeng Nunuk pake alternatif lain, yang entah kenapa jatuh ke  Jambul Jembatan Layang Pasupati. Ketika mereka berdua bertemu di pesta  itu, mereka jadi pusat perhatian. Bayi yang jadi alasan syukuran party pun nggak mendapat spotlight apa-apa, kalah ama pertarungan Gladiator antara Granny dan Jeng Nunuk.
Zaki  masuk ke ruang tengah dan membantu Granny bercerita. Katanya  berantemnya mirip James Bond, ada meja penuh gelas yang ditindih, ada  meja yang terguling, ada lempar-lemparan orang, ada soundtrack film action yang diputar di speaker, dan tentunya ada security hotel  yang langsung memisahkan kedua nenek-nenek ini sejauh lima meter. Di  situlah mereka mulai perang kata, saling menghina satu sama lain, Jeng  Nunuk parah banget dance-nya lah, Granny jelek banget suaranya lah, yang intinya mereka saling nantang bikin girlband paling keren.
Beberapa minggu dari sekarang mereka bakal bikin panggung di taman komplek, bikin girlband fight.  Pemenangnya bakal divoting lewat sms dan yang kalah mesti menyerah dan  minta maaf. (Juga mengembalikan semua koleksi mug Sm*sh, serta di-banned dari acara mingguan: nonton bareng Cinta Cenat Cenut.) 
“Udahlah,  yang penting kita usaha aja,” sahut Granny di akhir ceritanya. “Besok  siang Sweet Strawberry bakal bikin pertemuan pertama ngebahas lagu apa  yang bakal dipake. Kalau perlu kita bakal panggil mas Anang buat latihan  vokal. Atau Ahmad Dhani. Siapapun, lah.”
“Melly Goeslaw,” saran Zaki.
“Apa itu Sweet Strawberry?” tanyaku.
“Itu  nama Girlband Nenek, Darling. Membernya ada Jeng Novi, Jeng Yanti, Jeng  Odah, Jeng Susie, Jeng Imas, sama Jeng Dedeh, yang waktu itu pernah  main ke sini lho Gas. Jeng Dedeh itu jagonya pitch control. Kalau bukan karena umur, Jeng Dedeh pasti udah juara satu Akademi Fantasi Indosiar.”
Oh, Tuhan. Ternyata grup girlband-nya udah terbentuk.
“Oke, mana henfon Nenek? Nenek mau ngemention  anggota Sweet Strawberry supaya kumpul besok siang.” Granny  mengaduk-aduk tasnya. “Menurut kamu, Gas, bagus nggak kalo Nenek  sekalian pengumuman juga di Facebook sama Youtube? Biar si Nunuk baca,  gitu. Biar dia sirik.”
Pukul sebelas malam, kehebohan conference call Sweet  Strawberry akhirnya berakhir. Setelah menelepon mereka satu persatu,  entah kenapa Granny tiba-tiba membawa laptop ke ruang tengah dan  memintaku menyetel video conference melalui Skype. Can you believe it?  Enam kotak bergambar wajah nenek-nenek mengenakan piyama menghiasi  laptop Granny, dan mereka semua berbincang-bincang seru seolah mereka  ada di ruang yang sama. 
Untungnya mereka nggak conference call semalaman. Aku sempat khawatir itu bakal terjadi mengingat sekarang malam minggu. 
Pukul sebelas lewat lima belas, kedua bocah hantu itu muncul lagi di kamarku. Kali ini skenarionya lain. Si anak topless sekarang  memakai kaus dalam warna putih, sementara anak tukang nangis mengenakan  baju ksatria baja hitam. Kedua bocah itu berpegangan tangan,  bersembunyi di belakang komputerku dan sesekali menengok ke arah pintu.  Untuk lima menit pertama, mereka diam tak bicara. Aku bahkan sempat  berpikiran untuk menyapa mereka, meskipun aku tahu mereka nggak akan  merespon. 
“Kamu nggak perlu ngelakuin itu padahal,” ujar anak berbaju Ksatria Baja Hitam.
“Udah aku bilangin, nggak apa-apa. Daripada kalian kena masalah, coba?”
“Tapi itu kan bukan gara-gara kamu.”
“Iya,  aku tahu.” Anak berkaus dalam mendesah. “Lagian aku nggak pinter-pinter  amat di sekolah. Nggak kayak kamu. Kalo kamu putus sekolah, sayang  negeri ini. Entar Indonesia kehilangan anak pinter kayak kamu.”
Anak berbaju Ksatria Baja Hitam terharu. Bola matanya berkaca-kaca dan dia menggenggam tangan kawannya lebih erat.
Astaga, romantis sekali. Mereka baru tujuh atau delapan tahun, kan? Mereka bukan pasangan gay, kan?
“Pokoknya, sepanjang hidupku, aku bakal ngajarin kamu apa yang aku pelajarin dari sekolah,” ujar baju Ksatria Baja Hitam.
“Nggak usah mikirin itu sekarang,” kaus dalam menoleh ke arah pintu. “Kayaknya sekarang udah aman. Yuk, kita pergi.”
Kedua  bocah itu berlari melintasi ruangan, menembus pintu, dan lenyap. Dan  aku nggak perlu repot-repot mengejarnya lagi karena aku tahu,  paling-paling mereka muncul di kamar terlarang.
Pop! Bello muncul di atas lemari, mengayun-ayunkan kakinya tapi untung saja dalam bentuk cupid, bukan kuntilanak.
“Mereka udah pergi?” tanyanya.
Aku mengangguk. “Kenapa sih kamu benci sama mereka? Mereka kan cuma residual energy. Cuma pengulangan kejadian yang pernah terjadi di masa lampau—aku udah nge-google soal ini, dan mereka itu 100% harmless.”
Bello  mengangkat bahu. “Aku tetep nggak suka. Mereka itu... suka nyari  perhatian orang-orang tiap tahun. Suka bikin suara-suara berisik dan  nyanyi lagu-lagu jelek. Warna tone astral mereka juga jelek banget. Bagusan aku waktu jadi kunti.”
Oh, Gosh... justru menurutku mereka lebih imut-imut dibandingkan kuntilanak nggak jelas kayak si Bello ini. 
“Mereka cuma residual energy, they don’t even notice that you’re exist.” Aku turun dari ranjang dan mengenakan sandal rumahku. “Aku mau pipis dulu. Kamu mau nunggu di sini?”
“Nggak.  Aku mau duduk-duduk di atas genteng, jadi kuntilanak. Akhir-akhir ini  aku males masuk rumah. Pokoknya sampe hantu bocah itu udah nggak  ngulangin lagi aktivitasnya, aku baru aktif di rumah.”
“[background=]For God’s sake[/background], Bello. Kamu pernah mukul kepala Pak Darmo pake teflon, the real ghost of Pak Darmo. Kenapa sekarang kamu takut ngadepin residual energy doang?”
“For God’s sake, Agas, bukan urusan kamu!” Bello menghilang lagi. 
Aku  bergegas menuju kamar mandi sambil memutar bola mata. Cupid yang satu  ini memang nggak bisa ditebak jalan pikirannya. Kadang apa yang kita  anggap wajar, Bello anggap impossible. Begitu pula sebaliknya.
Aku  menyelesaikan pipis dalam waktu lima menit, diiringi gosok gigi dan  membaca keterangan pencuci muka baru milik Granny yang diletakkan di rak  peralatan mandi. Ketika aku berjalan keluar kamar mandi, aku mendengar  suara-suara dari arah belakang. Ini bukan hal yang normal terjadi,  meskipun udah nggak aneh lagi. Semua lampu di dalam rumah sudah  dimatikan, kecuali ruang tengah yang dibiarkan temaram dengan lampu  berdiri. Aku kira Granny sudah tidur. Tapi kenapa aku masih mendengar  suaranya dari arah belakang?
Aku berjalan melintasi dapur,  menemukan pintu belakang terbuka sedikit. Secercah cahaya muncul  menerangi dapur. Dari situ aku bisa melihat bayangan seseorang di teras  belakang, sedang duduk-duduk di sofa tua dari rotan yang biasa kugunakan  untuk santai-santai sore.
“Menurut kamu Agas udah lihat?” Itu suara Granny.
Tidak ada balasan.
Granny sedang ngobrol dengan siapa, ya? Dengan Bello? Nggak mungkin. Bello kan lagi seneng-senengnya menclok di atas genteng. 
“Ini bakal jadi bulan yang berat,” desah Granny. “Berat karena sekarang kita harus ngelindungin Agas.”
“Agas pasti baik-baik aja, Nek.”
Itu suara Zaki!
Beberapa  detik mereka terdiam, suara jangkrik dari kebun halaman belakang mulai  meramaikan obrolan mereka. “Dicky sekarang lagi rapuh. Mudah-mudahan  kamu nggak ikut kebawa emosi, Zaki. Kamu kan ganteng. Lebih ganteng dari  Dicky, jadi kamu mesti maklum.”
Zaki tergelak kecil lalu kulihat  bayangan dirinya menggelengkan kepala. “Dari dulu juga saya mah suka  maklum, Nek. Semua orang punya kelebihan dan kekurangan.”
“Tapi kamu nggak capek, Zaki?”
Zaki  menghembuskan napas lelah. Namun kemudian menggelengkan kepalanya.  “Untuk orang-orang yang saya sayang, saya nggak pernah capek, Nek.”
“Oooh, so sweet. Sini, peluk Nenek. Besok pagi kita jogging bareng ya, ke Tegalega. Nenek mau pamerin kamu, Zaki. Mudah-mudahan orang mikir kamu itu brondongnya Nenek.”
Oh, Gosh... Yang bener aja deh, Granny.
Mereka  terdiam beberapa saat... sampai akhirnya Granny menghela napas dan  mulai bicara lagi. “Pak Darmo masih sembunyi di rumahnya Dicky?”
“Masih, Nek. Si Kitty juga ada di sana.”
“Kucing jelek itu?” Granny tergelak. “Astaga... Nenek nggak pernah tau kucing itu matinya kayak gimana.”
“Kan ikut kekubur waktu itu...”
“Oh,  iya, lupa! Nenek baru inget. Aduh, kayaknya Nenek udah pikun sekarang.  Kemaren aja Nenek lupa gimana caranya bikin lotek! Untung kamu bisa  bikin lotek, Zaki.”
Memangnya Granny pernah bikin lotek?
“Ah, masakan mah masih enakan A Dicky, Nek. Kan pernah ikut kursus masak. Saya mah cuma sempet diajarin bikin oriental food doang.”
“Ya  nggak apa-apa, yang penting halal masakannya dan si Dicky tetep  bagi-bagi ilmu ke kamu.” Granny tergelak kecil. “Nah, kalo kamu SMA,  kamu mau sekolah di mana? Di CIS?”
Zaki mendengus tertawa. “Nggak  ah, Nek. Saya takut nggak sanggup jajannya. Mahal-mahal. Si Agas aja  sekalinya makan ngabisin ratusan ribu buat Sushi, buat pancake,  buat apalagi sih kemarin itu? Ngng... buat Iga Bakar.” Awas ya kamu,  Zaki! Aku cekik kamu karena bilang-bilang soal jajanan aku! “Saya kalo  SMA pengennya di jurusan pilot. Sekarang saya udah jago maen FSX yang di  komputernya Agas itu lho, Nek. Jadi nanti Nenek tinggal beli pesawat  Cessna, saya yang nyetirin, Nenek yang jadi penumpang.”
Granny  tergelak kecil. Agak getir kedengarannya. Seolah itu tawa yang  diselimuti sendu. “Kamu pengen jadi pilot?” desah Granny. “Sama kayak  almarhum suami Nenek dong, ya. Berarti kamu harus sekolah di STPI  Bogor.”
“Oh, iya ya. Kakek tuh kan pilot. Berarti darah Kakek  nurun dong ke Agas ya, makanya Agas suka maen game pesawat terbang  segala?”
Granpa seorang pilot?
Kenapa aku nggak pernah tahu soal ini?
“Oooh,  bukan soal pesawat lagi. Semua-muanya mirip si Kakek. Rasa penasarannya  sama, keberaniannya sama, peduli dan nerima orang lain apa adanya...”  Kemudian Granny terisak-isak dan Zaki merangkulnya dengan lembut.
Granny  merebahkan kepalanya ke bahu Zaki selama beberapa menit, membiarkan  suara jangkrik menghiasi isak tangisnya yang pilu. Granny pasti teringat  Granpa yang sudah meninggal jauh sebelum aku lahir. Berhubung sejak  kecil aku sudah tinggal di U.S dan nggak diperkenalkan dengan sosok grandparents, aku nggak begitu peduli soal Grandpa and Granny-ku. 
Granny yang ini adalah ibu dari Mom. Sementara Granny dan Granpa dari Dad sudah meninggal beberapa tahun lalu. Maka dari itu custody jatuh ke tangan Granny.
“Jadi kapan kamu kawin, Zaki?” tanya Granny, mencoba menghentikan kesedihannya.
Zaki  tergelak. “Ah, jangan mikirin itu dulu dong, Nek. Sayanya juga masih  muda.” Aku bisa membayangkan Zaki nyengir dan wajahnya memerah.
“Nenek cuma nggak mau kamu terus-terusan berada dalam kubangan yang sama. Nenek pengen kamu punya kehidupan kamu sendiri.”
“Iiih,  nggak apa-apa kok, Nek. Saya mah justru seneng masih bisa deket ama  Nenek, bisa ikut nonton teve di sini atau makan makanan enak.”
Mereka berdua tertawa.
“Nenek jadi keingetan, waktu pertama kali Agas ninggalin Indonesia buat tinggal di Amerika...”
“Ah, sayanya lagi nggak ada waktu itu,” rutuk Zaki. “Saya nggak ikut ke bandara.”
“Kalo bukan karena penjara dan rehabilitasi itu—“
“Yeee, udah Nek, nggak usah dibahas. Itu masa lalu,” sela Zaki.
Penjara dan rehabilitasi?
“Si Agas lucu banget. Dia suka banget pake sweter pink waktu itu. Waktu mau naik pesawat pun pengennya pake sweter pink kesayangannya. Berapa sih umurnya waktu itu? Lima? Enam, ya? Jaket army yang Nenek beliin buat si Agas ditolaknya. ‘No, Geni! No!’  katanya waktu itu. Hahaha. Si Agas emang udah diajarin bahasa Inggris  sama Ibunya, dua tahun sebelum mereka berangkat ke Amerika. Imut banget,  waktu itu... Dan sekarang dia udah gede aja. Haduuuh... Kira-kira Agas  masih suka sweter warna pink nggak, ya?”
Pink?!
Oh my God... I can’t believe I loved pink when I was a child!
“Nggak lah, Nek... dianya juga udah gede.”
“Dan  udah jadi anak yang pinter!” Granny berdecak kagum. “Waktu itu si Nunuk  baru pindah ke komplek ini, kan? Dia sempet ketemu Agas nggak sih waktu  itu?”
“Pernah mungkin. Nggak tau, saya mah. Kan saya lagi nggak di sini.”
Granny mendesah. “Menurut kamu kita perlu kasih tau Agas yang sebenernya?” tanya Granny.
“Jangan Granny,” jawab Zaki. “Kata saya mah nggak usah. Lagian itu bukan hal yang penting-penting amat, kok. Agasnya mungkin nggak peduli.”
Yang sebenernya apa, sih?
Granny  memeluk Zaki lagi. “Kamu tau, Zaki... Meskipun kamu bukan anak yang  paling pinter...” Granny menarik napas. “Kamu itu anak yang kuat. Untuk  ukuran orang yang nerima cobaan sebesar itu, kamu termasuk hebat. Nenek  bakal selalu bangga sama kamu. Walaupun nggak ada darah Nenek mengalir  di tubuh kamu, tapi kamu tetap cucu Nenek.”
-XxX-
Dear Cazzo,
Aku  sama sekali GAK pacaran sama Zaki. AT ALL. Dia bilang gitu bwt  nglindungin aku, biar Derry takut sm Zaki & akhirnya Derry ngjauhin  aku. Itu tindakan defensif yg tujuannya bwt nglindungin aku dr  bullyingnya Derry. 
Jadi aku bukan “manusia tukang khianat suka  nusuk dari belakang” spt yg pernah kamu tulis di status facebook kamu  kemarin2, atau “tukang bikin patah hati orang lalu sengaja tampil di  publik biar orangnya makin sakit hati” seperti yg kamu bilang di twitter  pagi ini. 
Aku. Bukan. Orang. Kayak. Begitu. Dan SEKALI LAGI,  aku ciuman karena Zaki minta diajarin ciuman. That’s it! Dia punya  pacar, namanya Zaenab, dia pengen ngasih ciuman yg bagus, tapi ga tau  mesti latihan sm siapa, jadi dia ngajak aku latihan, dan kebetulan waktu  itu kamu datang, lalu semuanya salah paham.
Pintu ga kekunci  bukan berarti aku “sengaja biar orang2 nerobos masuk, mergokin, lalu  sedunia tau” seperti yg kamu bilang di status BBM kamu—Yanto ngasih tau  aku soal status BBM kamu yg ini, berhubung aku ga punya BB. Pintu ga  kekunci berarti “aku ga ada apa2 sm Zaki, saking ga ada apa2nya, aku  biarin pintu kebuka!”
Ini udah PM kesejuta yg aku kirim ke kamu. I  know you read this. I know you read every single letter I wrote to you.  Dan sekarang aku ga akan ngirim2 lagi. Aku udah capek minta maaf.  Terserah mau dibales atau ga. Terserah masih mau kenal aku atau ga. Im  nothing to lose now.
Sincerely,
Yang terinjak2 dan disalahpahami.
Aku nggak ngerti maksud Cazzo apa bikin twit macam  begitu. Dia pikir aku mengharapkan digencet Derry ya, sambil  mengumumkan ke seluruh dunia kalau aku pacarnya Zaki, lalu sengaja bikin  timing yang tepat supaya kejadiannya berlangsung pas Cazzo lewat? For God’s sake, aku bahkan nggak tau kalau Cazzo masih ada di sekolah waktu kejadian itu berlangsung. 
Aku  udah capek memohon-mohon, jadi aku putuskan untuk berhenti minta maaf  sama dia. Yang barusan adalah PM Facebook-ku yang terakhir buat dia. Aku  nggak akan ngirim apa-apa lagi. Mungkin sekarang dia bahagia, karena inbox nya  udah nggak akan dipenuhi PM dariku yang memohon-mohon dan meminta maaf.  Aku udah capek ngurusin masalah yang satu ini. Sebab Cazzo pun nggak  ngasih respon yang signifikan. Semua usahaku sia-sia.
Lagipula  hari ini aku ada rencana yang lebih penting dan lebih berkontribusi  daripada ngurusin soal Cazzo. Aku mau menyelidiki soal kehidupan masa  kecilku di rumah ini!
Ya. Sejak aku mendengar percakapan Granny  dan Zaki semalam, pikiranku dirasuki berbagai macam pertanyaan. Kenapa  aku nggak ingat Zaki waktu kecil? Kenapa aku nggak ingat pernah main ke  sini waktu kecil? Kenapa aku suka sweter pink? Apakah aku anak  kandung Mom? Aku bukan Putri Yang Ditukar seperti di sinetron itu, kan?  Ya Tuhan, jangan-jangan Zaki adalah anak kandung Mom, sementara aku  ditemukan di dalam tong sampah dan dibesarkan karena Mom kasihan! Kami  lalu ditukar dan semua orang nggak pernah tahu bahwa Zaki adalah anak  yang sebenernya! Mungkin sebetulnya aku ditemukan Mom di Penjara dan  Rehabilitasi! Mungkin aku anak napi! Anak haram, seperti kata Derry. 
Makin  aku memikirkan itu, makin frustasilah aku. Imajinasiku sudah melantur  kemana-mana. Sampai-sampai aku berpikir bahwa mungkin aku ini  reinkarnasi seseorang di zaman Dinasti Míng dari abad ke-15. Tapi aku  keburu menepis pikiran melantur itu dan mulai fokus pada rencanaku hari  ini.
Aku akan mencari kisah masa lalu itu melalui orang yang bisa dipercaya. I mean,  Granny dan Zaki dalam sejuta tahun pun nggak akan pernah ngasih tahu  aku yang sebenernya—pembicaraan semalam bisa menjelaskan semuanya. Jadi  aku akan mencari sumber lain. Sumber yang menurutku bisa membantuku  memberi petunjuk. Yaitu—
Eh, bentar. Cazzo nge-sms.
—Jgn ge-er ya! Emgnya itu smua buat lo?!—
Aku mendengus dan memutar bola mata.
—At, last! Ngbales jg. Of corz, itu smua bwt aq. Who else? Knp pas aq blg g akn ngrim2 lg, kmu bru ngbales?—
—Itu buat pacar gw, tau! Jgn sok ge-er deh lo!—
—Oh,  udh pny pacar? Congratz! Akhrnya pny se2org yg bisa diajak brg dlm suka  & duka. Pantesan g prnh bls pm dr aq. Udh pny pnggantinya toh...  siapa?—
—Bukan urusan lo!—
—Sip! Sorry udh ganggu. Salamin aja bwt pacar barunya.—
—Ngpain? Gwnya jg udh putus. Makanya gw bkin status2 itu jg.—
Dasar pembual rendahan. Sejak kapan pula dia punya pacar? Jangankan cowok ya, pacar cewek pun nggak ada kabarnya tuh.
—What a pity... ya udah deh, good luck. Smoga k depannya bsa lebih baik lg. Amin.—
—Jgn suka ikut campur urusan orang deh!—
—Siapa yg ikut campur?! I’m prayin 4 u, 4 Gods sake! Trserah kmu aja, deh...—
—Gw ini orgnya skrg mandiri! Ga perlu bantuan org lg!—
Suit yourself, batinku. 
Aku  melemparkan ponsel ke atas ranjang dan membiarkan sms tersebut nggak  dibalas. Kalau dibales, entar bakal merentet panjang. Aku tahu kok Cazzo  lagi nyari perhatian aku. Dia sengaja manas-manasin aku biar aku  memohon-mohon lagi padanya seperti yang aku lakukan selama dua minggu  terakhir. Dia nggak mau kehilangan pesan-pesan facebook dariku yang  biasanya dikirim sehari sekali.
Biarin aja, deh. Sekarang aku mau fokus sama rencanaku. Aku mau mewawancarai seseorang hari ini. Well,  tepatnya sih tanya-tanya soal kehidupan di sini sekitar sepuluh tahun  yang lalu, atau kalau bisa sebelum-sebelumnya. Dan narasumber yang cocok  adalah...
... Jeng Nunuk!
Terdengar musik ingar-bingar  begitu aku tiba di rumah Jeng Nunuk. Aku beralasan pergi ke warung waktu  Granny memergokiku mengendap-endap di teras rumah mencari sandal. Jadi  aku hanya akan menyelesaikan urusanku di sini sekejap saja. Paling hanya  bertanya satu atau dua hal tentang Granny. Dan mungkin pura-pura  tertarik dengan seminar-seminar gay-nya Jeng Nunuk supaya dia mau  bekerja sama denganku.
Ketika aku membuka pagar Jeng Nunuk, bergegas menuju teras rumah kolonialnya yang disulap jadi modern (dengan penambahan waterfall-wall antara teras dan garasi... ya Tuhan, aku harus punya waterfall-wall itu!) aku mendengar suara ramai orang-orang dari ruang tamu. Suara musik membahana keras sampai ke jalanan.
 ... Soon as I step on the scene
I know that they’ll be watching me...
Watching me...

Ketika aku tiba di depan pintu rumah Jeng Nunuk, memang ada banyak orang di ruang tamu. Semua sofa sudah disingkirkan menempel ke tembok.
 ...Imma be the hottest in this spot
There ain’t no stopping me...
Stopping me...

Ada sekumpulan nenek-nenek sedang mengenakan kaus sleeveless dan hot pants dari bahan katun. Semuanya sedang menari mengikuti Esel, sang instruktur.
TO BE CONTINUED....





1 comments:
artikel menarik, komentar juga ya ke blog saya www.belajarbahasaasing.com
Post a Comment