DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Kadang Cupid Tuh Tolol! Chapter 9 (3)

-chapter 9- (3)
by MarioBastian


“Aku... tadi... barusan ada...” Dengan bingung aku mencoba menjelaskan situasiku. Sayangnya ada dua pendapat berbeda di benakku. Haruskah aku mengatakannya pada Zaki atau aku diam saja karena bisa jadi itu hanya penampakan tak berarti atau paling parah adalah halusinasiku.

Kalau memang hantu itu ada, dan bersembunyi di bawah ranjangku selama ini, kedengarannya mengerikan. Tapi tinggal di rumah ini sih mesti siap sama hal-hal tak masuk akal macam begitu. I mean, siapa yang bisa menjelaskan tentang Pak Darmo? Berkali-kali aku bertanya, aku hanya mendapat jawaban seadanya saja. Aku memang akhirnya tahu sedikit sejarah tentang hantu itu. Tapi orang-orang di sini memberikan kesan seolah “Pokoknya jauhin hantu itu dan jangan banyak tanya lagi”.

Nah, bisa jadi dua hantu anak kecil itupun nggak ada bedanya dengan Pak Darmo. Bisa jadi aku mestinya diam saja, jangan banyak tanya. Dan mungkin menunggu “waktu yang tepat” seperti kata Granny, which might be in the next million years. Atau aku bisa menanyakannya, nothing to lose, paling-paling mereka akan membual lagi, mencari-cari alasan kesana kemari dan akhirnya aku nggak mendapatkan jawaban yang memuaskan.

“Sebenernya tadi aku—“
“Besok pulang sekolah saya yang jemput ya Bos!” potong Zaki tiba-tiba sambil kembali merapikan untaian-untaian hair extension di atas meja. Dia juga nyengir malu-malu. “Kebetulan saya lagi libur.”
“Oh...”
“Mau bandrek lagi?”

-XxX-

Sudah dua puluh menit aku bertengger di kedai sushi, beberapa meter dari sekolah. Tapi sudah dua jam sejak bel pulang dikumandangkan. Aku melirik lagi jam di ponselku dan geleng-geleng kepala. Kalau tau begini kan aku bisa naik angkot saja.

Aku menangkupkan tanganku di atas meja, memainkan Salmon Maki terakhirku yang tidak dimakan karena perutku eneg. Pesan apa lagi nih sambil nungguin? Apa ya sushi yang gampang dibikin? Ada di mana Zaki sekarang? Katanya dia mau menjemputku. Satu jam lalu dia bilang dia sudah “by the way” (instead of on the way) tapi sampai sekarang idung bangirnya yang menggemaskan itu belum nongol juga.

Oke. Mungkin aku pesan Kappa Maki saja. Yang itu gampang banget dibikin, kan? Lagipula mentimun rasanya segar. Itung-itung bikin perutku nggak eneg—oh, sial. Ada segelintir Mahobia sialan baru keluar dari gerbang sekolah.

Bukannya aku takut atau apa, ya. Aku hanya sedang menghindari mereka saja. Menghindari konfrontasi nggak penting yang menghabiskan tenaga. Jangan anggap aku pengecut dan nggak bisa berdiri sendiri. Tapi lebih baik menjaga bumi ini tetap damai, betul? Tenang tanpa ada perselisihan antar murid SMA. Mungkin aku akan membayar semua pesananku sekarang saja, melupakan Kappa Maki, dan buru-buru pergi dari sini. Berjalan santai kok, bukan berlari seperti yang barusan sempat terlintas di benakku. Dan mungkin sekali-sekali aku mau mencoba berjalan melewati gang-gang kecil itu, bukan berarti aku mencari jalan tikus dan bersembunyi. Aku cuma... yah, jalan-jalan sore aja.

Tapi ketika aku sedang membayar pesananku, anak-anak Mahobia itu sudah dekat dengan kedai sushi. Sial. Kenapa mereka nggak naik mobil, sih? Biasanya kan mereka ke CIS naik mobil mewah!

Kalau begini, aku bisa ketahuan sewaktu keluar dari kedai. Hanya ada tiga orang, tapi leader mereka, si Fucking Derry, ada di antara tiga orang itu. Mereka terbahak-bahak sambil bercerita sesuatu, mungkin tentang anak homo di CIS yang ketahuan ngondek atau apa gitu padahal dia sudah menyembunyikannya dengan rapi.

“Bukan, Anjing! Si Ontohod mah nggak pernah pake kolor! Lo liat ga pas pelajaran renang kemaren? Hahahaha...” Gelak tawa Derry terdengar makin jelas.
Astaga, memangnya mereka sudah dekat, ya? Secepat apa sih mereka berjalan dari gerbang sekolah ke kedai sushi ini? Dan kenapa si petugas kedai ini lama amat ngasih kembalian?!

“Nggak ada uang kecil ya, Mas? Bentar ya, saya tuker dulu.”

For God’s sake, hanya tiga belas ribu rupiah saja susah amat ngasihnya!

Aku baru hendak mengatakan, “Ambil aja kembaliannya,” lalu memutuskan untuk melompat ke balik mobil yang sedang parkir di dekat kedai. Tapi Derry keburu melihatku. Bahkan meski aku memunggungi mereka, Derry tetap mengenaliku.

“Eh-eh, itu Queen of Maho ada di situ!”
Sial.

Perutku mulas seketika dan aku urung menggunakan mobil itu untuk bersembunyi. Sudah terlambat. Bukan berarti aku takut atau apa, ya. Aku hanya... yah... nggak mau terlibat konfrontasi aja sore ini. Aku hanya ingin melewati sore ini dengan tenang.

“Baru tau sushi tuh makanan homo! Lu jangan makan di sini lagi, Bray,” sahut Derry pada Eric, salah satu Mahobia, “entar ketularan homo!”
Ember, Bos!”
Lalu ketiganya tertawa terbahak-bahak.

Jantungku serasa ditikam dan lututku lemas. Aku benci Mahobia. Kenapa mereka bisa begitu kejam, sih? Aku sumpahin, kalau mereka punya anak laki-laki entar, semua anaknya homo. Banci ngondek yang pengen ganti kelamin, kalau bisa. Bukan berarti aku merendahkan transgender, ya. Cuma pengen mereka menghormati homoseksual saja!

Petugas kedai muncul lagi dari dapur dengan uang kembalian yang receh dan lecek. Buru-buru aku masukkan uang itu ke saku celana dan pergi dari situ. Dan tentunya aku mengabaikan Mahobia yang (seperti kuduga) membuntutiku. Derry masih saja mengejekku ketika aku lewat. Dia mengatakan sesuatu tentang bata, cendol, Ryan Jombang (again), Olga Syahputra, taman lawang, Agaswati, desainer homo yang mati di kamar mandi, lalu Eric sempat menyebutkan Rafael Sm*sh. Mereka terus saja berkicau, mengejekku, membanding-bandingkanku, yang pada intinya aku ini manusia yang terkutuk yang mestinya lenyap dari muka bumi.

Aku begitu mendidih sampai-sampai aku berharap aku ini tuli di depan mereka. Kalau kututup telingaku, mereka pasti akan senang. Kalau kuhadapi dan kubalas ejekan mereka, mereka makin merasa menang, seolah mendapatkan Grammy Award. Satu-satunya cara ya mengabaikan mereka... which is extremely difficult.

“Si Agaswati ini termasuk anak haram. Lu tau kan anak haram tuh ada jenis-jenisnya?”
“Apa aja, Bos?”
“Yang brojol gara-gara maksiat, kayak si Miranda. Bonyoknya kan MBA. Yang brojol tau-taunya anak babi, bukan anak bayi, kan haram tuh!” Derry cekikikan dulu bersama dua temannya. “Udah gitu yang banci abis, segala-gala takut en cengeng, kayak si Cazz-chong! Dan ini nih yang terakhir, pasangan si Cazz-chong juga, yang brojol jadi homo kayak si Agaswati.”
Dan mereka tertawa lagi.

Darahku mendidih. Tapi aku nggak sanggup melawan mereka. Itu sama saja menuruti kemauan mereka. Mereka maunya aku mengamuk, kan? Mereka maunya aku memohon-mohon supaya mereka diam, lalu aku berteriak-teriak, atau menjambak rambut seperti yang biasa kulakukan kalau berantem dengan Esel, sehingga sore ini mereka punya alat sparring yang menyenangkan dan menghibur.

“Kasih memek si Nurbayani, Bos! Kali aja sembuh,” usul Eric.
Apa? Nurbayani? Dia nerd student yang bahkan straight guy dan lesbian pun nggak nafsu menatapnya telanjang.
Apalagi gay.

“Jangan, entar si Nurbayani jadi lesbian. Saking jijiknya ama si Agaswati.”

Aku terus berjalan menyusuri jalan kecil menuju jalan raya, menghiraukan kumpulan bajingan-bajingan ini. Ke mana Zaki?! Kenapa belum sampai juga? Dia sebenarnya lewat mana, sih? Lewat Bulgaria dulu, hah?

“Kita mandiin aja di got! Kali aja sembuh!” Tiba-tiba tanganku dicengkram Derry dan aku dibuatnya berhenti. Ketiga Mahobia itu sudah mengelilingiku sekarang. Perutku mulas, seperti ada kupu-kupu di dalamnya. Mereka mau apa sekarang? Kurang puaskah mengejekku secara verbal sedari tadi?

“Mau apa lagi, sih?” tanyaku ketus.
“Mau bikin lu seger, Cong.”

Kemudian kedua tanganku digenggam erat oleh ketiga Mahobia itu. Aku didorongnya mundur, meski aku mencoba bertahan dan melawan, tapi kekuatan mereka terlalu besar. Otot-otot lengan Derry bahkan bikin pameran. Dengan kaki yang kadang berpijak dan kadang nggak, karena aku banyak diangkat oleh ketiganya, aku meronta-ronta dan menendang-nendang.

“Kalian mau ngapain!” seruku panik.

Gerbang sekolah sudah agak jauh, begitu juga kedai sushi. Sebentar lagi kami memang sampai di jalan raya, tapi sekarang tepatnya sedang ada di kebun kecil yang penuh semak-semak. Di dekat semak-semak tersebut ada selokan besar, dengan air kotor yang mengalir dengan tenang, dan sekotak sampah di atasnya yang belum diangkut dan dibersihkan. Kelihatannya aku mau di...

BYUR!

Argh!” Aku mengerang kecil saat menyadari tubuhku terjatuh ke dalam selokan itu. Aku tercebur sebadan-badan, seluruh seragamku basah oleh air selokan yang kotor dan baru. Di ujung selokan aku melihat bangkai tikus, YUCK! Buru-buru aku melompat keluar dan bergidik ngeri membayangkan air selokan yang kini membasahi tubuhku ternyata sudah dicemari bangkai tikus.

Uek.
Aku mau muntah. Literally!

“Nah, kan, begini cocok!” sahut Derry gembira. “This is the place that belong to you!”
Mereka bertiga tertawa-tawa lagi.

Aku rasanya mau menangis. Aku berlutut di atas aspal, membiarkan beberapa anak CIS yang lewat menatapku dengan kasihan. Aku mengeluarkan semua barang yang ada di saku celanaku, dompet, ponsel, catatan pelajaran Kimia, lalu kujejerkan di atas aspal karena semuanya basah. Derry malah makin terbahak-bahak melihat ponselku ternyata ikut kecemplung juga.

“Aduh, kasihan banget ini anak... nggak bisa nelepon mamanya buat curhat...” Derry berkacak pinggang sambil geleng-geleng kepala kasihan. “Tapi tenang aja... Nyokap lo pasti ngerti, kok. Ini kan buat kebaikan lo juga.”
Lalu Derry mendengus cekikikan.

Mataku terasa panas. Tenggorokanku tercekat. Bisa-bisanya ada orang sekejam Derry! Orang tuaku saja nggak pernah memperlakukanku seperti ini! Bahkan Tuhan pun nggak pernah menceburkan aku ke selokan karena aku gay! Aku benci Derry! AKU BENCI! Aku kutuk dia jadi banci dan selama-lamanya nggak ada yang nafsu sama dia!

Sambil terisak-isak, aku menunduk menatap dompet dan ponselku yang basah. Tanganku gemetaran. Bahuku berguncang. Bukan soal ponsel yang basah yang aku yakin pasti sekarang rusak. Tapi penghinaan yang dilakukan mereka padaku, benar-benar keterlaluan. Apa sih salahku sama mereka? Apa sih yang udah aku perbuat ke mereka sampai aku pantas menerima ini? Kenapa mereka masih menyalahkan aku karena aku gay? Sudah kubilang, salahkan saja Tuhan! Karena Tuhan lah yang menciptakan aku begini. Mengapa aku, yang sudah menjadi korban karena diciptakan gay, menjadi korban pelecehan harga diri juga?!

BUUUKKK!!

Tiba-tiba aku mendengar suara hantaman keras. Ketika aku mendongak, aku sudah melihat Zaki sedang menghajar Derry hingga cowok itu tersungkur ke atas aspal. Kedua Mahobia sisanya langsung membantu Derry bangun, dan ketiganya shock melihat Zaki mengepalkan tangan.

“Apa-apaan nih?” sahut Derry sambil terduduk ketakutan.
Manéh sorangan nanaonan, hah?!” bentak Zaki kasar, dalam bahasa Sunda, yang artinya kurang lebih sama dengan apa yang ditanyakan Derry. “Tong kurang ajar ka budak batur, Njing!”

Yang kalau nggak salah artinya, “Jangan kurang ajar sama anak orang lain, Puppy!”

Napas Derry memburu. Dia melirik sesekali ke arahku, lalu ke arah Zaki, sambil memutar otak mau membalas apa lagi. “Apa urusannya, lu?” tantang Derry.
“Kamu sendiri urusannya apa?!” sentak Zaki.
“Jangan sok ikut campur, lah!” Derry bangkit dan tanpa pikir panjang langsung meninjukan tangannya ke arah Zaki... yang ternyata sudah dapat diantisipasi.

Zaki menghindar sedikit lalu menyikut Derry perut. Derry membalas dengan menghantam punggung Zaki, yang kali ini kena, lalu mencoba menendang perut Zaki dengan lututnya. Yang ternyata kena juga. Tapi Zaki masih bertahan karena dia juga berhasil meninju Derry lagi hingga tersungkur, entah bagaimana caranya. Dua mahobia yang lain mencoba menghajar Zaki juga. Eric malah mengambil batu yang agak besar dan dilemparkannya ke arah Zaki... dan kena bahunya.

Tapi Zaki jadi membabi buta. Dia menendang salah satu Mahobia, lalu menginjaknya saat tersungkur. Dengan dorongan yang kuat diapun berhasil mendorong Eric hingga terjatuh ke dalam selokan seraya menerima tonjokan lain dari Derry. Kali ini Zaki yang tersungkur ke atas aspal, nyaris menindih ponselku yang basah.

Dengan gerakan kilat, Zaki bangkit lagi, menarik kerah baju Derry dan menonjoknya. Mereka lalu baku hantam sekitar dua menit, membuat beberapa orang berhenti untuk menyaksikan, satupun nggak ada yang berani melerai. Ada beberapa motor yang berhenti, takut terlibat dalam perkelahian. Mungkin dipikirnya ini tawuran anak SMA.

BRRRUUUKKK!!
Tanpa terduga, Zaki dengan ganasnya membanting Derry hingga menabrak mobil pick-up Zaki yang entah sejak kapan ada di belakangku. Ada darah mengalir di wajah Derry dan Zaki, dan kelihatannya Derry kelelahan. Aku baru hendak melerai mereka berdua ketika Zaki untuk terakhir kalinya menarik kerah baju Derry, mengangkatnya, meraih linggis dari dalam pick-up-nya, lalu mengacungkannya tinggi-tinggi ke arah Derry. Dalam satu detik saja, linggis itu bisa dihantamkan ke kepala Derry sampai mati.

Derry memejamkan mata ketakutan. Begitu pula aku. Tak sanggup melihat adegan it.....

Tapi lima detik sejak Zaki mengacungkan linggis itu tinggi-tinggi... Aku nggak mendengar suara apapun. Yang kudengar hanyalah suara napas memburu dari Derry dan Zaki, juga pekikan tertahan dari beberapa pejalan kaki maupun pengendara motor yang sedang menonton kami.

Zaki nggak menghantamkan linggis itu di kepala Derry.
Zaki masih hanya... mengancamnya...

“Jangan sok jadi orang!” sentak Zaki, tapi lebih pelan. “Orangtua udah mahal-mahal biayain sekolah di sini, tapi kamu sia-siain pake ngelabrak macam begituan! Kamu nggak ngehargain orangtua kamu sendiri, hah?!”
“Bukan urusan lu!” Derry meludah di wajah Zaki.

Zaki buru-buru mengangkat linggis itu tinggi-tinggi dan mulai mengayunkannya ke arah kepala Derry. Kali ini lebih serius. Karena Zaki mengayunkannya dengan...

... aku nggak mau lihat....

... oh, oke. Ternyata Zaki masih bercanda. Linggis itu mendarat tepat lima senti dari wajah Derry.

“Ngapain kamu nyeburin Agas ke selokan, hah?!” sentak Zaki.
Derry membuka matanya yang ketakutan, lalu lega setelah melihat linggis itu ternyata masih menggantung di sana, bukan di kepalanya. Dia lalu mendengus dan memalingkan wajah ke arahku.

“Gua alergi sama laki-laki homo kayak si Agas! Jadi gua ceburin dia ke got! Kenapa lu? Nggak suka, hah?”

Zaki mendengus geli mendengar alasan Derry. Dengan otot-ototnya yang kuat, Zaki menyeret Derry ke tepi selokan, lalu membanting cowok itu ke dalamnya. Derry tercebur. Hanya saja lebih beruntung, karena dia berhasil berdiri sehingga cuma sepatu dan sebagian celananya saja yang basah.

“Ya! Saya nggak suka!” sahut Zaki sambil manggut-manggut marah. “Bukan urusan kamu laki-laki itu homo atau nggak! Emang dia udah ngelakuin apa ke kamu, hah?!”

Mereka berdua terdiam. Derry dan Zaki saling bertatapan, dengan pandangan bengis. Satu motor akhirnya lewat dan memutuskan untuk nggak menonton drama ini. Sementara sisanya masih asyik melihat kelanjutan Kisah Heboh Di Sore Hari.

“Sekali lagi saya denger kamu ngapa-ngapain si Agas,” lanjut Zaki, dengan nada marah dan mengancam yang paling menakutkan, “linggis ini nggak cuma melayang kayak barusan, tapi bakal saya tanemin di otak kamu, biar kamu MIKIR!”
“Siapa lo?!” Derry masih saja menantang. Memangnya dia nggak bisa menyerah, apa?

“Siapa saya?” tanya Zaki balik, sambil mendengus ingin tertawa. “Saya PACARNYA Agas! Puas, hah?! Lain kali saya lihat kamu, saya bakal sodomi kamu! Terus saya MUTILASI! Terus saya goreng dan saya jadiin kamu tutut!”

Derry tersentak kaget. Dia nggak bisa berkata apa-apa.
Sementara itu Zaki menoleh ke satu anak Mahobia, yang aku belum tahu namanya (saking banyaknya anak Mahobia), yang masih berdiri di atas aspal, sambil menunjuk dengan linggisnya. “Heh, kamu! Masuk!” Linggis itu pun dikedikkannya ke selokan.

Anak itu menurut dan dengan sukarela langsung masuk ke dalam selokan. Jongkok ketakutan di sana.
Kini semua anak Mahobia itu sudah sama-sama basah sepertiku. Bau air comberan dan air bekas tik—oh, Astaga, jangan diingat-ingat lagi, aku jadi pengen muntah lagi. Begitu pulang ke rumah aku bakal mandi susu!
Bukan. Aku bakal mandi minyak wangi. Akan kutumpah minyak wangiku ke dalam bathub, ditambah dettol dan alkohol, dan aku akan berendam di dalamnya selama dua jam.

Bukan. Dua hari.

Drama itu berakhir. Beberapa orang memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mereka meski sebagian masih saja ada yang penasaran dengan kelanjutan ceritanya. Zaki membantuku berdiri dan membawakan ranselku yang juga basah. Aku pun berdiri, memungut semua ponsel dan dompetku, lalu...

DEG.

... oh, tidak.
Sialan.
Sial sial sial.

Salah satu dari motor yang berhenti itu adalah motornya Cazzo. Dia dengan motor besarnya yang sudah dibetulkan sejak dulu, berhenti beberapa meter dariku, membuka kaca helm full-face-nya, menatap padaku dengan pandangan nggak percaya, dan mungkin saja melihat semua drama itu termasuk kata-kata Zaki bahwa aku adalah pacarnya Zaki...

... yang berarti artinya...

... oh, tidak...

... aku mulas memikirkannya.

“Bos, nggak apa-apa, Bos?” bisik Zaki, menarik tanganku dan menggenggamnya dengan lembut. Yang kalau dipikir-pikir jadi mirip seorang kekasih yang sedang membantu kekasihnya berjalan menuju mobil. Sialan.

Cazzo pun menutup lagi kaca helm-nya. Menarik gas motor. Melewatiku. Dan lenyap di jalan raya tanpa sedikit pun menoleh.

-XxX-

Sudah lima hari sejak sore yang menghebohkan itu. Aku melewati hari-hari sekolahku dengan lebih tenang, nggak ada ancaman secara fisik yang dilakukan Mahobia. Kecuali delikan-delikan benci itu. Dan sindiran-sindiran sarkatis yang diteriakkan Derry dari jauh. Dan kejadian mading itu...

Oke, mungkin sebetulnya masih sama parah. Derry memaksa salah satu anak mading untuk membuat berita tentang aku dan Zaki. Berita itu dipajang di mading, tepat sehari setelah kejadian itu, lalu seisi CIS menjadi heboh. Aku sekarang mirip Kurt Hummel di McKinley High, semua orang tahu aku gay. Bahkan mungkin dalam radius lima ratus meter dari CIS juga tahu aku gay. Dan parahnya, mereka menganggap Zaki adalah pacarku.

Kini makin banyak anak cowok yang bikin distance denganku, rata-rata mereka memilih untuk memutar jalan daripada harus berpapasan denganku di koridor. Yang cewek malah makin banyak yang pedekate denganku. Mereka percaya aku bisa jadi fashion advisor... or their fag hag... or something, tapi yang jelas aku tolak mereka semua.

Beberapa guru mulai gerah dengan isu tersebut. Katanya aku terlalu banyak tingkah. Aku dipanggil beberapa kali ke ruang BP, diberikan banyak brosur gimana caranya jadi straight, diberikan alamat perkumpulan Healed Gay Bandung (yang sudah dapat kuduga isinya bullshit), diwajibkan ikut ekstrakurikuler sepakbola biar aku jadi straight (which is questionable, karena aku pikir olahraga nggak menyangkut sama sekali dengan orientasi seksual), dan guru matematikaku kapan itu menyebut-nyebut soal kamp militer.

Aku membela diri karena jelas banget bukan aku yang membuat isu itu menjadi heboh. Kalau memang aku yang memasang berita itu di mading, berarti aku masalahnya. Tapi ini kan orang lain. Dan aku bahkan nggak meminta siapapun untuk mempublikasikan kehidupan pribadiku. Jadi mestinya guru-guru itu jangan menyalahkanku. Dan hari Jumat kemarin aku bahkan membentak Guru Agamaku, bahwa kalau mau menyalahkan kondisi ini, salahkan saja Tuhan, jangan aku, yang ujung-ujungnya berakibat aku diskors dari mata pelajaran Agama selama dua kali pertemuan sampai aku berpikir bahwa gay adalah murni kesalahanku, bukan Tuhan.

Dan jangan tanya soal DIGEOLS dan DIGOYANGS. Mereka mengirimku banyak sekali Private Message di Facebook dan Twitter, memberikan dukungan moral (secara sembunyi-sembunyi), dan bahkan mereka mengaku memberikan standing ovation karena aku berani membuka diri.

Isu ini tentu dilahap nikmat oleh Esel, yang langsung membawa copy-an artikel mading itu ke Jeng Nunuk, yang langsung disampaikan Jeng Nunuk ke Granny. Well, Granny langsung mendamprat Jeng Nunuk saat itu juga, karena aku sudah menjelaskan kejadian sebenarnya ke Granny di hari aku diceburkan ke selokan (bahwa Zaki membelaku yang sedang dibully, dan Zaki terpaksa membual soal menjadi pacarku biar tukang bully itu takut pada kami, dan Granny mengerti, dan sepanjang malam itu Granny memutar lagu Senyum Semangat-nya Sm*sh dari VCD, bermaksud menyemangatiku biar nggak depresi).

Dan, ya. Perang mereka makin panas sekarang.

“Gimana jambul Nenek?” Granny mematut-matut dirinya di depan cermin. “Mungkin bentar lagi Nenek bakal jadi trendsetter. Mungkin anak-anak muda bakal nyontek gaya Nenek.”

Sampai sejuta tahun pun nggak akan pernah, batinku.

“Bisa tolong kamu ambilkan bros emas di situ, Sayank? Di dalem laci paling atas.”

Jambul Granny memang dinamakan Jambul Jembatan Layang Pasupati. Tapi buatku sama sekali nggak mirip Jembatan Pasupati. Oke, sih, memang usaha yang dilakukan Granny patut diacungi jempol. Dia memanggil salah satu expert di salon depan komplek, memintanya membangun jambul yang sudah didesain Granny sbelumnya. Jambul itu melintang dari kanan ke kiri. Di bagian tengahnya ada satu sumpit tebal berwarna merah, yang berdiri vertikal ke atas, yang kemudian ditopang dengan beberapa jumput rambut ke sepanjang rambut yang melintang, sehingga nyaris mirip tugu tinggi di pertengahan Jembatan Layang Pasupati.

Dan setelah melihat penampilan Granny keseluruhan... Granny kelihatan kayak mau pergi ke pesta Haloween.

Ketika aku mengambil bros Granny, aku menemukan G-string merah itu masih di sana, beserta kunci kamar terlarang tergeletak rapi di dalamnya. Selintas benakku teringat kejadian Pak Darmo beberapa minggu lalu. Dan aku jadi teringat Pak Darmo yang bersembunyi di rumah Bang Dicky, mungkin mencari Bang Dicky di situ padahal Bang Dicky ada di Cimahi. Lalu kemudian aku juga teringat dua hantu anak kecil yang setiap malam—note this: SETIAP malam—selalu muncul dan melakukan hal yang sama.

Saking seringnya, aku sudah hafal apa saja yang mereka lakukan. Malam kemarin malah aku menunggu di kolong kasurku, mengintip mereka sedang berbaring berdua di bawah, membicarakan tentang “bersembunyi”, sampai akhirnya mereka berlari keluar dari kamarku dalam empat detik, dan voila! Mereka sama sekali lenyap, nggak muncul di ruang tengah atau ruang manapun.

Dan Bello nggak tau sama sekali soal dua hantu itu. “Aku nggak tau siapa mereka. Tapi mereka selalu ada setiap tahun,” ujarnya semalam. “Dan biasanya di workshop belakang juga suka ada. Dan di dapur juga kadang-kadang.”

“Dan mereka melakukan hal yang sama berulang-ulang?”

Bello mengangguk. “Ya! Dan memang biasanya di sekitar bulan-bulan ini mereka muncul. Tapi aku selalu sebel sama mereka. Itu artinya pertunjukan kuntilanakku jadi ada saingan, kan?”

“Mana, Gas?” Granny membuyarkan lamunanku.
Aku langsung menutup laci dan bergegas memberikan bros itu pada Granny.
“Granny berangkat jam berapa?” tanyaku.
“Bentar lagi, Darling. Nunggu si Zaki datang. Dia ngisiin bensin dulu di mobil Nenek. Deket kok, yang pom bensin Setiabudhi deket Borma itu, lho.”

Lima belas menit kemudian, Zaki datang dan Granny akhirnya pergi. Aku ditinggal sendiri di rumah, menikmati hari Sabtuku dengan menonton Ethnic Runaway dan memutuskan untuk ngefans Rio Dewanto, yang saat ini hanya memakai sarung saja di acara itu. Oooh, I like his tattoo.

Tapi jujur saja, pikiranku hanya bertahan lima menit menatap Rio Dewanto topless di acara itu (selain kadang-kadang Lia Waode kebetulan mendapat giliran tampil). Otakku entah kenapa teringat kunci kamar terlarang yang tergeletak di dalam laci Granny. Awalnya hanya selintas saja teringat, mungkin karena aku tadi nggak sengaja melihatnya. Tapi lama-lama aku jadi terobsesi. Pikiranku melantur kemana-mana membayangkan aku mencuri kunci itu lagi dan masuk ke dalam kamar terlarang.

Maksudku, Pak Darmo ada di rumah Bang Dicky, kan? Sama si Kitty malah. Berarti kamar terlarang itu aman, kan?
Apakah aku boleh masuk sekarang?

Memikirkannya saja aku sudah deg-degan. Mungkin aku kerasukan si Kitty atau apa gitu sampai-sampai punya pikiran untuk masuk lagi ke kamar terlarang. Tapi aku jadi teringat dua anak kecil yang selalu muncul setiap malam di kamarku, yang terus menerus mengulangi hal yang sama. Bagaimana kalau anak kecil itu sebetulnya muncul di kamar terlarang? Maksudku, aku nggak pernah melihat kemana kedua bocah itu pergi setelah lenyap dari kamar tidurku. Bisa jadi kan mereka tiba-tiba muncul di kamar terlarang. Mungkin saja pintu kamar tidurku adalah portkey. Seperti dalam Harry Potter.

Tanpa kusadari, aku sudah masuk ke kamar Granny dan berdiri di depan laci meja tidur. Jantungku berdegup kencang, tapi rasa penasaranku makin lama makin kuat.

POP!!
“Kamu ngapain?” sahut Bello, yang tiba-tiba muncul dan melayang di atas ranjang Granny.
“Aku nggak ngapa-ngapain!” balasku.
“Tapi kamu berdiri di depan laci!”
“Emang kenapa kalo berdiri di depan laci?”

Bello menyipitkan mata, menatapku curiga. “Kamu mau masuk kamar terlarang lagi, ya?”
“Nggak, kok!” sergahku defensif. “Aku mau lihat G-string-nya Granny!”
“Tapi di situ ada kunci kamar terlarang!”
“Aku nggak tahu di sini ada kunci kamar terlarang,” dustaku. “Dan sekarang aku jadi tahu. Oh, mungkin sekalian aku masuk kamar terlarang.”

“Nggak boleh!” pekik Bello.
“Kenapa nggak boleh?”
“Karena...” Bello memutar otak. “Karena nggak boleh.”
“Bukan alasan bagus. Aku bakal tetep masuk!”

Aku membuka laci dan mengambil kunci kamar terlarang. Lalu secepat kilat aku bergegas ke bagian belakang rumah, dibuntuti Bello yang melayang dengan cepat.
“Jangan masuk! Nanti aku bilangin Nanny, lho!”
Well, nanti aku bilang Granny kalo kamu selama ini selalu nampakin diri kamu di depan aku. Mestinya kan aku nggak tahu soal kamu.”
For God’s sake, itu nggak adil!”

Aku sudah tiba di depan kamar terlarang. Entah kenapa kalau sedang dipacu adrenalin begini, semua-muanya terasa lebih cepat. Tanganku gemetaran, tapi kunci itu sudah ada dalam genggamanku. Tinggal satu langkah lagi. Tinggal menunggu cukup keberanian dalam diriku untuk memasukkan kunci ke dalam lubangnya, lalu terbukalah pintu kamar terlarang itu.

“Kalau aku sih nggak bakal mau masuk ke situ,” ujar Bello, persis sama seperti berminggu-minggu lalu, waktu aku mau masuk kamar terlarang, waktu Bello belum menampakkan diri seperti sekarang.

“Kenapa nggak bakal masuk?”
“Karena di dalamnya banyak energi negatif.” Bello mengangkat dagu dengan sombong. “Makanya, sering-sering nonton Dunia Lain.”
“Kan energi negatifnya udah keluar. Energi negatifnya ada di rumah Bang Dicky!”

Bello kebingungan. Buru-buru aku menjelaskan, “Energi negatifnya kan Pak Darmo.”
“Tapi masih ada energi negatif lain.”
“Masih ada hantu lain?”
“Ngng...” Dengan gugup Bello memainkan jemarinya. “Nggak juga sih. Tapi pokoknya energi negatif, deh.”

Aku memutar bola mata dan tanpa pikir panjang, cekrek! membuka pintu kamar terlarang. Sudah tanggung berdebar-debar. Membatalkan niat ini bakal sia-sia saja. Mumpung nggak ada orang di rumah, mumpung Pak Darmo nggak ada di sini, mumpung Bello bersamaku—I mean, kalo terjadi apa-apa, Bello bisa melayang keluar dan mencari bantuan, kan?

Kamar terlarang itu masih sama seperti terakhir kali aku memasukinya. Ada satu dinding penuh foto-foto, dan aku bergidik ngeri melihat banyak sekali foto Pak Darmo di situ. Dan ibunya Bang Dicky juga! Wanita yang kutemui di Cimahi kemarin itu. Hanya saja di foto-foto ini wanita itu tampak lebih waras.

“Udah masuk, kan? Ayo keluar!” panggil Bello dari luar. Dia melongokkan kepalanya ke dalam, tapi nggak berani masuk. Matanya sibuk jelalatan ke segala penjuru ruangan, seolah sedang waspada akan sesuatu.

“Aku belum selesai,” sahutku. Aku berjalan menuju pintu kecil di pojok ruangan, yang dulu sempat kumasuki, tapi kemudian aku keburu kabur. Pintu itu tertutup rapat. Tapi begitu aku mencoba memutar kenopnya, pintu itu langsung terbuka.

Sungguh deh, kalo ini memang area “terlarang”, kenapa pengamanannya minim sekali? Siapapun bisa masuk dengan cantiknya ke area terlarang ini.

“Jangan masuk!” kecam Bello. Dia masih saja berdiri di depan pintu.
Aku mendengus. “You know what, makin kamu larang, aku makin pengen masuk!”

Dan tanpa pikir panjang, aku pun masuk ke dalam ruangan gelap itu.

Aku meraba-raba dinding di dekat pintu, mencari tombol lampu. Butuh sekitar dua menit sampai akhirnya sebuah lampu pijar keemasan menerangi ruangan kecil itu. Detik pertama begitu lampu menyala, sekujur tubuhku langsung dijalari rasa takut. Aku terkejut melihat di pojok ruangan terletak sebuah coffin besar berwarna coklat.

Peti mati yang kulihat tempo hari, batinku. Dan kelihatan seperti dirawat.


TO BE CONTINUED.... 


0 comments:

Post a Comment