DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Kadang Cupid Tuh Tolol! Chapter 9 (2)

-chapter 9- ( 2 )
by MarioBastian



“Kenapa aku nggak boleh datang ke rumah Bang Dicky?” tanyaku sambil melepaskan genggaman Zaki dari pergelangan tanganku.

“Karena... karena Bang Dicky nggak ada di situ.” Zaki menelan ludah. “Jadi ngapain juga bos ke situ?”
“Karena di situ ada hantu Pak Darmo?!” tembakku.
Zaenab berjengit mendengar kata hantu sementara Zaki terlihat agak panik.

Zaki melemparkan pandangannya ke arah lain, seolah sedang mencari kekuatan untuk mengatakan sesuatu padaku. Dia menghembuskan napas berkali-kali, berjalan konstan keluar dari gang kampung kota ini. “Karena...” Akhirnya Zaki bicara. “Karena kita nggak mau kejadian minggu kemaren keulang lagi. Kita nggak mau dia lepas lagi, kan?”

-XxX-

Mobil pick-up milik Zaki, yang kabarnya baru akan lunas cicilannya dua tahun lagi, melaju santai di sebuah tanjakan lurus daerah Cimahi. Yang kulihat di sekitar hanyalah pepohonan, rerumputan, pegunungan yang diselimuti awan, dan kalau aku menengok ke arah kanan aku bisa melihat kota Bandung dengan jelas. The whole city.

Beberapa rumah bertengger manis di tepi jalan, seolah sedang menyambut kami. Di beberapa kesempatan aku melihat pabrik susu murni dan selintas aku berpikiran untuk meminta Zaki berhenti lalu membeli susu.

Astaga. Dingin juga ya di sini.

“Dingin, Bos?” tanya Zaki saat melihat aku memeluk tubuhku sendiri. Zaki mendongak ke atas, menatap gumpalan awan kelabu di langit dan nyengir kecewa pada cuaca. “Matahari muncul aja, di sini selalu dingin, apalagi mendung begini.”

I’m fine,” jawabku. “Ini sih nggak ada apa-apanya dibandingin New Jersey.”
At all, tambahku dalam hati.

Tapi tiga detik kemudian aku melihat Zaki menggeliat. Dia berusaha keras keluar dari jaketnya, mencoba menarik setiap tangannya dari lengan jaket lalu meloloskan seluruh jaket itu keluar dari kepalanya. Kini Zaki hanya memakai kaus basket tak berlengan bertuliskan Panasia Indosyntec, yang kelihatannya kedodoran karena dari pinggir aku bisa melihat puting susunya. Sialan. Aku benci kalau sudah begini. Gara-gara Zaki aku jadi punya banyak fetish. Aku suka ketiaknya, aku suka putingnya, kakinya, bahkan kapan itu aku horny melihat pinggangnya. (Apalagi pas Zaki pipis, aku bisa onani dibuatnya.) Dan sekarang dia membuka jaketnya, pamer kulit lengannya dan sengaja membuatku melirik ke rambut-rambut halus di ketiaknya.

“Pake ini Bos, biar nggak kedinginan.”
Dan dia menawarkan jaketnya?!

“Ah, nggak usah. Aku nggak apa-apa. Aku udah biasa sama suhu dingin kayak begini. Di Amerika malah lebih dingin daripada ini.”
“Nggak apa-apa, Bos, pake aja.”
“Ih, dibilangin nggak usah. Lagian lebih parah Bang Zaki dong, cuma pake kaus sleeveless macam begitu.”
“Saya mah nggak apa-apa, Bos. Udah biasa ngeronda.”

“Aku juga!” sahutku. “Maksudnya, bukan ngeronda. Tapi kedinginannya.”
Apa itu ngeronda?

Kami terdiam beberapa saat, tapi tangan kiri Zaki masih terulur ke arahku, dengan jaket hitam belel yang disodorkannya. “Pake Bos, entar masuk angin. Entar si Dicky marahin saya lagi...” Saat Zaki mengatakan hal tersebut, rahangnya kembali mengeras dan pandangannya dilempar ke arah kanan. Terdengar nada cemburu dari pernyataannya.

“Iiih, nggak usah,” tolakku. “Udah, Bang Zaki pake aja. Bang Zaki lebih kedinginan tuh, kulitnya kemana-mana. Aku sih nggak apa-apa.” Aku mendorong jaket itu menjauh dariku, tapi Zaki tetap bergeming.

“Yaaah, Bos. Nggak apa-apa, kok,” kukuh Zaki. Kepalanya menoleh sesekali dari menatap jalan, pandangannya memelas. Dan dengan wajah ganteng begitu, mestinya aku luluh. “Please...” tambah Zaki. “Entar si Dicky—“

“Kenapa sih aku mesti pake jaket?” potongku. “Apa hubungannya sama Bang Dicky bakal marahin Bang Zaki kalo aku nggak pake jaket?”
Zaki mendengus. “Karena saya diamanatin ama Dicky buat jagain bos. Jadi saya nggak mau Dicky marah gara-gara bos masuk angin.” Zaki pun melemparkan jaketnya ke pangkuanku.

Lima belas menit kemudian kami sampai di sebuah perkampungan yang dingin. Zaki bilang ini Cisarua, sekitaran Parongpong. Letaknya di sebuah pegunungan yang hijau di mana kita bisa melihat banyak menara stasiun televisi untuk wilayah Bandung dan sekitarnya. (Zaki lah yang bilang itu menara stasiun televisi—aku sih nggak tahu.)

Udaranya memang dingin. Nggak sedingin New Jersey, tapi untuk ukuran Bandung memang cukup dingin. Ada satu jalan besar yang menjadi satu-satunya akses, namanya jalan Kolonel Masturi, di mana rumah-rumah di perkampungan ini berdiri di pinggir-pinggirnya. Kami bahkan melewati sebuah rumah sakit jiwa yang luas, yang bagiku nggak kelihatan kayak rumah sakit jiwa. Dan Zaki bilang, beberapa kilometer ke depan ada Curug Cimahi yang sekarang sedang direnovasi.

Tapi exactly, I have no idea where the hell is this...
Oh, lihat! Ada Indomart!
Sudah ada peradaban modern di sini.
Thank God.

“Rumah siapa ini?” tanyaku saat mobil pick-up Zaki belok ke sebuah pekarangan rumah yang luas. Di ujung pekarangan ini terdapat rumah mungil yang di pinggir-pinggirnya ditumbuhi pepohonan. Dan kalau kita berfoto sekitar dua puluh meter di depan rumah itu, background gunung yang tinggi bisa masuk ke dalam gambar.

“Ini, ngng...” Zaki menarik tuas rem dan masih menimang-nimang untuk menjawab pertanyaanku atau nggak. “Lihat aja sendiri, deh.”
“Jadi Bang Dicky ada di sini?”

Zaki menjawab pertanyaanku dengan menunjuk ke arah depan rumah. Aku menoleh dan melihat seseorang sedang berdiri di sana. Benar. Itu Bang Dicky! Dia berdiri di teras rumah, tampak sehat dan gagah. Atau mungkin karena aku kangen amat sangat jadinya dia tampak sangat menawan.

Aku turun dari mobil lalu berjalan menghampiri Bang Dicky. Tidak. Kurang tepat kalau dibilang berjalan. Aku ‘melayang’.
Kakiku terasa begitu ringan sehingga langkah-langkahku sebetulnya lebih lebar daripada biasanya. Dalam dua detik aku sudah berada dua meter di hadapan Bang Dicky, masih bingung apakah harus memeluk Bang Dicky, seperti yang terjadi di film-film, atau mungkin kami harus saling menatap dulu dengan puas, baru setelah itu memeluk, seperti sepasang kekasih yang sudah berpisah selama dua puluh tahun...

Tunggu.
Kenapa alis Bang Dicky mengerut seperti itu? Aku hafal kerutan itu! Itu kerutan tidak senang.

“Agas kenapa ke sini?” bisiknya.
Aku terperangah kaget melihat nada bicaranya yang terdengar ketus.
“A-aku pengen ketemu Bang Dicky.”

Bang Dicky menyipitkan matanya, kelihatan tidak percaya. Aku jadi salah tingkah dibuatnya. Tanganku kuremas-remas. Sementara itu Zaki berjalan perlahan-lahan menghampiri kami, menggosok tengkuknya dan nggak berani menatap Bang Dicky.

“K-kita... kita cuma mampir bentar, kok. Kebetulan lewat,” aku Zaki.
“Zaki ngapain bawa Agas ke sini?” sahut Bang Dicky ketus. “Kan Dicky udah bilang jangan dulu bawa-bawa Agas buat sementara—“
“Ini kepengen aku!” potongku sesegera mungkin. “Aku yang maksa Bang Zaki!”

Tapi Bang Dicky nggak mengacuhkanku. Dia tetap menatap Zaki dengan pandangan marah. Rahangnya mengeras, urat-urat di lehernya bermunculan. Sorot mata yang dipancarkan Bang Dicky adalah sorot mata yang tak pernah ingin kulihat. Sorot mata penuh kesal. Dengan alis bertaut kencang dan telinga berkedut-kedut.

“Zaki nggak bisa pegang janji...” desis Bang Dicky.

Zaki memasukkan kedua tangannya ke saku celana, tertunduk merasa bersalah. Sesekali dia melirik Bang Dicky dengan ketakutan, tapi dia tetap berdiri tegar di sana. Siap disemprot atau apa, lah.

Baru saja aku mau bilang, “Jangan nyalahin Bang Zaki. Ini semua ide aku!” Tapi Bang Dicky keburu menampar Zaki.
PLAK!
Yes, you’ve heard it right. Zaki ditampar!

Aku terkejut bukan main saat telapak tangan Bang Dicky melayang dan jatuh di pipi Zaki. Cowok itu tersungkur satu langkah ke belakang, tapi tetap tertunduk, seolah ditampar barusan adalah sesuatu yang pantas dia dapatkan.

“Bang Dicky!” pekikku marah. “Bang Dicky ngapain sih?!”
Aku menarik Bang Dicky mundur, tapi hanya berhasil membawanya satu langkah ke belakang. Bang Dicky memandang Zaki dengan pandangan bengis. Bola matanya memerah dan berair. Dan urat-urat di lehernya makin terlihat menyeramkan.

“Jangan nyalahin Bang Zaki! Ini semua ide aku!” Akhirnya aku mengatakan juga kalimat itu. Tapi Bang Dicky kelihatan nggak begitu peduli. Dia tetap menatap Zaki dengan tajam. Dengan sorotan tanpa maaf.

“Yang minta ke sini tuh aku, bukan Bang Zaki. Aku yang maksa Bang Zaki. Jadi jangan nyalahin Bang Zaki.” Aku bahkan melompat ke hadapan Bang Dicky, berdiri face-to-face dengannya, berusaha menarik perhatiannya. Kepalaku kumiringkan agar pandangan Bang Dicky jatuh di wajahku, bukan menatap dengan bengis cowok yang nggak punya salah apa-apa. “Bang Dicky ngedengerin aku, nggak sih?”

Bang Dicky mendengus. Agak melunak, tapi masih memamerkan urat-urat marah di lehernya.

“Aku yang maksa Bang Zaki buat nganterin aku ke sini, jadi jangan sekali-sekali nyalahin Bang Zaki,” ulangku. “Aku cuma pengen tau gimana kabar Bang Dicky, itu aja. Bang Dicky udah ngilang dua minggu, and I have no idea where the fuck are you! At least... meskipun Bang Dicky emang nggak mau aku ketemu Bang Dicky, at least Bang Dicky bilang sama aku, jadi aku nggak akan maksa-maksa Bang Zaki.”

“Diem, Gas! Agas nggak tau apa-apa,” sahut Bang Dicky dengan ketus.

Aku terkejut saat mendengar Bang Dicky mengatakan hal tersebut. Matanya langsung melirik mataku, menyorot tajam, dengan alis bertaut benci dan napas memburu. Aku bisa melihat urat di pelipisnya sekarang. Dialiri keringat dan emosi.

Well, then tell me if I knew nothing!” pekikku.
“Agas tolong jangan ikut campur,” tegas Bang Dicky. “Ini urusan Dicky, urusan Zaki, dan urusan beberapa orang, tapi bukan urusan Agas. Jadi mending Agas sekolah aja yang bener, jangan ngurusin yang beginian.”

Apa?
Aku mematung. Terkejut bukan main mendengar Bang Dicky mengatakan hal tersebut.

Too late, Bang. Sekarang ini udah jadi urusanku!” tantangku. “Aku nggak percaya Bang Dicky bisa kabur begitu aja dari masalah Bang Dicky! Aku tahu, kok. Aku tahu ini pasti berhubungan sama aku yang buka pintu di kamar belakang itu!”

“Agas nggak tahu apa-apa!” Bang Dicky mengangkat telunjuknya memperingatkan. “Agas masih terlalu kecil. Agas mendingan nggak usah ikut campur!”

Aku masih anak kecil?!
Aku tersinggung. Bisa-bisanya Bang Dicky mengatakan itu tepat di depan wajahku! Seseorang yang selama ini kupuja-puja, yang kucintai dan kukhawatirkan keberadaannya dua minggu terakhir ternyata bilang begitu padaku?!

“Aku bukan anak kecil! Aku udah tau semuanya! Aku tahu soal Pak Darmo! Aku tahu soal masa lalu Bang Dicky! Aku tahu semuanya!”

Bang Dicky terperangah kaget. Napasnya kembali memburu dan matanya menyipit menyelidiki wajahku seolah aku melontarkan omong kosong.
“Agas tahu semuanya apa?” Bang Dicky menelan ludah.

“Aku tahu soal kenapa bisa ada hantu Pak Darmo di rumah Granny! Aku tahu penyebabnya! Semuanya!” Meskipun of course, aku belum tahu secara detail, dan bahkan aku masih ragu akan kebenarannya (khususnya soal Bang Dicky membunuh ayahnya sendiri). Tapi yang penting aku tahu akar permasalahannya. Aku tahu Bang Dicky pasti ketakutan karena masa lalu menghantuinya kembali. And literally: “menghantui”. A real haunt, not just bad memories. Dan aku bukan anak kecil yang hanya bisa disuruh pergi ke kamar untuk tidur lalu melupakan segalanya seolah aku ini hidup di negeri dongeng, tapi aku sudah terlanjur mengetahui semua ini jadi aku juga ingin terlibat.

Aku ingin membantu Bang Dicky.

“A-agas... Agas tahu dari mana?” Bola mata Bang Dicky berkaca-kaca, suaranya bergetar dan ada nada pilu muncul dalam kalimatnya.
“Aku tahu dari mana-mana.” Aku menarik napas dan berusaha menenangkan diri. “Aku tahu dari Bang Zaki, aku tahu dari kejadian—“
“Apa?” potong Bang Dicky. “Zaki?”

Mata Bang Dicky menoleh ke arah Zaki, yang masih berdiri beberapa meter di belakangku. Pandangannya bengis kembali. Lebih bengis dari lima menit lalu. Aku bisa mendengar napasnya memburu tidak senang, aku bisa meramal bahwa ini bukanlah kabar baik.

Buru-buru aku menjelaskan, “Jangan nyalahin Bang Zaki lagi! Aku juga tahu dari lain-lain. I did some research—“ tapi Bang Dicky keburu mendorongku ke pinggir dan melewatiku.
Ya. Dia menarik bahuku dan melemparkannya ke samping. Aku tersungkur beberapa langkah tapi berhasil mempertahankan posisiku dengan seimbang. Ketika aku menoleh, melihat apa yang dilakukan Bang Dicky sampai harus mendorongku segala...

... ternyata Bang Dicky sedang menghajar Zaki.

BUUKKK!!
Satu pukulan keras mendarat di wajah Zaki. Cowok berkaus basket itu tersungkur ke tanah, tubuhnya telungkup dan hanya dalam dua detik saja lengan-lengan Bang Dicky yang kokoh sudah menarik kausnya ke atas, membuat Zaki berdiri, dan menghajarnya lagi.
BUUUKKK!!

Kali ini Zaki berhasil menangkis sebentar, sehingga kepalan tangan Bang Dicky hanya menyentuh lengannya. Zaki langsung mengangkat kedua tangannya, mencoba bertahan. Sedikit pun dia tidak membalas pukulan Bang Dicky, dia hanya terdorong mundur perlahan-lahan karena Bang Dicky memukul Zaki dengan membabi buta.

“ANJING, ZAKI!! SETAN, ZAKI!” teriak Bang Dicky sambil meninju Zaki terus menerus. Dalam pekikan marah Bang Dicky aku bisa mendengar getir sedih yang memilukan. Bahkan dari tempatku tersungkur, beberapa detik sebelum aku menghampiri mereka untuk melerai, aku bisa melihat setetes airmata jatuh dari sudut mata Bang Dicky. “ANJING! ANJING!”

“Bang Dicky!” pekikku, menghampiri mereka dan mencoba melerai.
Tapi, BUUKKK! BUUUKKK! Pukulan-pukulan itu tetap melayang ke arah Zaki dan Zaki hanya bisa terdiam pasrah menerimanya. Zaki merapatkan kedua hasta lengannya, meletakkannya di depan dada dan sebisa mungkin menutup wajahnya. Sementara itu Bang Dicky berkali-kali meninju Zaki, dari samping dari depan, barusan sekali dari perut, dan sesekali mendorong Zaki sampai cowok itu terjatuh lagi, lalu memukulnya lagi.

“Bang Dicky! Berhenti!” Aku menarik-narik lengan Bang Dicky yang kokoh, mencoba menghentikannya dari pukulan membabi-buta pada Zaki. Tapi aku tak sekuat yang aku kira. Bang Dicky masih sanggup menepis cengkraman tanganku dan bahkan sekali waktu mendorongku agar mundur, aku kembali tersungkur ke belakang.

BUUUKKKK!! BUUUKKK!

Kenapa Bang Dicky bisa seperti monster? jeritku dalam hati. Kenapa dia melakukan itu?!

Air mataku jatuh saat melihat Zaki tak berdaya menerima pukulan dari Bang Dicky. Sedikitpun tak ada perlawanan dari Zaki dan sedikitpun tak ada tanda-tanda Bang Dicky bakal berhenti menghajar Zaki. Dengan emosi Bang Dicky terus menerus meninju, bahkan meski aku menjerit-jerit minta berhenti, cowok itu nggak berhenti. Dia terus memukul Zaki.

“Bang Dicky! STOOOP! Pleaseee...!”
BUUUUKK!

Dengan ngeri aku membayangkan sampai kapan ini semua akan berakhir. Ini tidak sesuai dengan rencanaku. Aku pikir aku akan reuni gembira dengan Bang Dicky, akan memeluknya dengan penuh kasih, lalu aku bilang kangen padanya, lalu dia berbisik padaku, minta maaf karena sudah menghilang selama dua minggu, dan berjanji akan kembali secepatnya, dan kami bisa bersama lagi, membuat bingkai-bingkai cantik di workshop belakang rumah Granny...
Sedikitpun harapanku nggak terkabul. Aku malah bertemu monster yang menganggapku masih anak kecil dan dengan penuh emosi menghajar kawannya sendiri.

Bagaimana bisa ini terjadi?!

BRAAAKKK!!

Tiba-tiba dari belakangku muncul seorang wanita mengenakan daster kusam motif bunga-bunga. Dia membawa sepotong kayu besar dan tanpa pikir panjang menghantamkan kayu itu ke kepala Bang Dicky. Kami semua terkejut. Bang Dicky bahkan lebih terperangah melihat wanita itu muncul di hadapannya, memukulnya hingga tersungkur menjauh dari Zaki, sambil mengenakan sandal jepit beda warna yang baru kusadari tiga detik kemudian.

Wanita itu berkulit pucat. Separuh baya. Banyak bekas luka di lengannya dan di betis kirinya ada bekas luka bakar. Rambutnya berantakan tapi berusaha dia ikat menjadi satu, meski sebagian tetap jatuh di bahunya. Aku mengenal sorot mata wanita itu. Alis wanita itu yang bertaut tidak senang. Juga tatapan marahnya yang sama persis dengan... Bang Dicky.

“Anak nggak tahu terima kasih!” pekik wanita itu, berusaha memukul lagi kepala Bang Dicky tapi keburu ditangkisnya. “Anak nggak tahu diri!”
“Ampuun Ibuu...” rengek Bang Dicky kemudian, berbalik 180 derajat dari seekor monster yang membabi buta menghajar kawannya menjadi seorang anak yang takut dengan ibunya.

“Ibu nggak pernah ngajarin kamu buat kurang ajar!!” pekik wanita itu sambil menangis, dan kembali memukulkan kayu itu ke kepala Bang Dicky, hanya saja Zaki keburu berdiri dan menahan wanita itu. “Ibu nggak pernah ngajarin kamu... buat mukul... orang... yang...”

Kata-katanya terpotong oleh tangisan. Wanita itu berhenti sejenak, memandang Bang Dicky dengan marah, dan membiarkan Zaki menahannya beberapa saat. Aku terperangah menatap wanita itu. Wanita yang kuduga melahirkan Bang Dicky dari rahimnya. Yang selama ini kuanggap gila karena Bello mendeskripsikannya begitu. Dan melihat sandalnya saja yang beda warna, lalu penampilannya yang berantakan, memang pantas disebut gila.

Tapi apa yang diteriakkannya tadi... buatku jauh dari gila. Dia adalah ibu yang normal. Yang sedang mendidik anaknya untuk nggak berbuat nakal.

Kalau dipikir-pikir lagi, sekarang kondisinya mirip Sangkuring, sebuah cerita legenda yang pernah kubaca di perpustakan CIS. Dengan background Gunung Tangkuban Perahu, dengan seorang ibu yang memukul kepala anaknya....

Kayu di tangan wanita itu terjatuh. Zaki memungutnya dan melemparkannya sejauh mungkin ke belakang. Aku baru menyadari sekarang lengan Zaki lebam-lebam, dan ada goresan darah sedikit di wajahnya.

“Ampun, Bu...” Bang Dicky terduduk di atas tanah, mundur perlahan-lahan sambil mendorong tubuhnya menjauh. Dia menangis. Seperti anak kecil. Dan tubuhnya gemetaran ketakutan, persis seperti yang kulihat dua minggu lalu setelah kejadian Pak Darmo itu.

“Kalian pulang!” titah wanita itu tegas, tanpa menoleh sedikitpun. “PULANG!” pekiknya liar.

Zaki buru-buru membawaku pergi dari situ, membukakan pintu mobil untukku, dan dalam hitungan detik kami sudah menyusuri turunan berbatu menuju jalan Kolonel Masturi. Aku sempat melihat Bang Dicky dan ibunya masih di tempat yang sama, terduduk di atas tanah, saling menatap satu sama lain, saling menangis, lalu pandanganku tertutup pohon besar dan aku nggak melihat mereka lagi.

-XxX-

“Kamu mau bandrek?” Granny masuk ke kamarku dan meletakkan segelas penuh minuman berwarna coklat yang wangi jahe. “Enak, lho. Apalagi dingin-dingin kayak begini. Dulu Mama kamu suka minum bandrek juga. Nenek suka bawa si Mama ke pusat kota buat nyari bandrek. Barusan kebetulan ada tukang bandrek lewat, jadi Nenek panggil aja ke sini.”

Aku tersenyum tulus karena Granny baru saja menyebut sesuatu tentang Mom. Well, seumur hidup, aku bukan fans dari bandrek. Aku pernah mencobanya beberapa kali, tapi nggak pernah menyukainya. Tapi karena hari ini hujan, dan kamarku terasa lebih dingin dari biasanya, lalu lututku masih perih oleh Betadine, aku meneguk juga bandrek hangat itu melewati kerongkonganku.

“Lukanya nggak apa-apa?” tanya Granny. “Mau dikasih Betadine lagi?”
“Ah, nggak usah. Nggak apa-apa kok. Cuma luka kecil aja.”

Aku baru menyadari lututku terluka saat aku tiba di rumah. Mungkin terantuk batu waktu didorong Bang Dicky siang tadi. But that’s fine. Bukan luka serius macam memar-memar yang dialami Zaki.

“Kalo butuh kapas, Nenek simpen di meja teve, ya?” Granny lalu berjalan melintasi ruangan, duduk di depan meja rias. “Weekend ini Nenek mau party. Jeng Rokayah bikin syukuran cucu kelimabelasnya di Grand Preanger. Pokoknya rambut palsu nenek mesti heboh.”

“Rambut palsu apaan Granny? Kenapa pake rambut palsu?”
“Sebab si Nunuk Blekuk itu pake rambut palsu, tadi Jeng Novi cerita kalo dia mau pasang jambul Terowongan Casablanca buat pergi ke pestanya Jeng Rokayah, kayak punyanya Syahrini itu lho.”
“Terus Granny mau bikin jambul Terowongan Casablanca juga?”

“Ya nggak lah,” tukas Granny, seperti tersinggung. “Nenek bakal bikin yang beda. Nenek bakal bikin, jambul Jembatan Layang Pasupati.”

Aku memutar bola mata. Nggak bisa meramalkan akan sepanjang apa jambul tersebut.
“Kapan sih Granny berhenti perang ama Jeng Nunuk?”
“Ooohh... ini nggak akan pernah berakhir. Sampai kapanpun!” tegas Granny. “Kecuali dia mau minta maaf, dan mau ngakuin cucunya si Esel itu payah, dan mau ngembaliin mug Morgan punya Nenek yang Nenek yakin dia ambil bulan kemaren. Itu kan mug kesayangan Nenek.”

“Tapi kan Granny masih punya sebelas mug Morgan yang lain!”
“Nggak bisa, Darling. Yang dia curi tuh yang kesayangan Nenek. Yang gambar Morgannya pake kaus lekbong warna abu-abu...”
“Jadi yang sebelas sisanya bukan kesayangan?”
“Sama kok, itu kesayangan Nenek. Semua-muanya kesayangan Nenek.” Granny mendengus. “Orang boleh kan punya kesayangan lebih dari satu? Lagian masih mending Morgan kan Gas, daripada Rafael. Apaan tuh Rafael. Dia nggak ada waktu di video klip I heart you. Nenek masih nggak ngerti, kenapa si Nunuk Blekuk suka sama si Rafael.”

“Terus kenapa Granny suka Morgan?” tantangku.
“Karena dia Prince Charming!” Kata-kata Granny terputus oleh Zaki yang tiba-tiba melongokkan kepala di kamarku.
“Air panasnya udah mendidih tuh, Nek,” katanya.

“Oh, iya... air panas. Nenek mau mandi dulu ya, Gas. Kalo ada apa-apa panggil Zaki aja. Ayo Zaki, bantuin ngangkat embernya.”

Pintu kamarku tertutup lagi dan aku sendirian lagi. Aku merebahkan tubuhku di atas ranjang, berpikiran bahwa aku manja juga ya, hanya karena luka di lutut tapi malas turun dari kasur. Sementara Zaki yang babak belur masih siap sedia menolong Granny. Tapi mungkin memang Zaki dibayar untuk itu. I mean, selama ini bisa jadi Zaki tuh domestic housekeeper yang di-hire Granny buat bantu Granny hidup sendirian di rumah ini. Kalau Mom and Dad nggak meninggal kan kemungkinan besar Granny malam ini sedang sendirian.

Atau bisa aja sih sedang bercengkrama dengan Jeng Nunuk.

Huhuhuhuhu...”
Tiba-tiba kudengar suara seseorang menangis.
Huhuuu huuu...”
Suaranya seperti suara anak kecil. Agak sayup-sayup, tapi jelas sekali ini suara seseorang menangis.

“Bello?” panggilku. Betul juga. Sudah berapa jam aku nggak ketemu Bello. “Kenapa kamu nangis, Bello? Kamu di mana?”

Huhuhu...”
Masih saja menangis.

Aku memasang telingaku lebih tajam untuk mencari sumber suara. Kemungkinannya cuma dua, kan. Bisa jadi itu Bello, atau tetangga sebelah yang punya anak kecil, dan anak kecilnya menangis. Tapi anak kecil mana yang sedang menangis? Aku jarang melihat anak kecil di sekitar sini. Bahkan kalau dipikir-pikir, suara anak kecil ini seperti suara Bello.

“Aman sembunyi di sini?”
Tiba-tiba kudengar suara lain. Suara anak kecil lain.
“Nggak tauuu... huhuhuhu...” Si anak kecil menangis itu membalas.

“Bellooo?” panggilku. “Kamu lagi ngobrol ama siapa?”

“Coba geser, kamu sebelah situ. Aku mau masuk juga.”
Huhuhuhu...”

Akhirnya aku turun dari ranjang, berjalan tertatih-tatih menuju jendela dan melihat ke luar. Nggak mungkin kan itu suara hujan? I mean, jelas banget mereka lagi mengobrol.

“Bello?” Aku memanggil lagi.

“A-aku... t-takut... huhuhu...” kata si anak yang menangis.
“Iya sama, aku juga. Pasti sakit pisan, kan?”
“Kalo si Aa nggak ada... hiks hiks... pasti aku yang kena...”
“Udah, ssshhh! Jangan nangis terus. Entar ketahuan kita sembunyi di sini.”

Dengan penasaran aku membuka lemariku. Mencari-cari anak kecil yang bersembunyi di situ. Jelas banget mereka berdua sedang mengobrol, sesuatu tentang sembunyi, dan lain-lain, dan kalaupun mereka makhluk halus, aku ingin tahu mereka sedang di mana.

Bahkan, aku yakin itu Bello yang sedang main BP-BP-an. Kapan itu dia menunjukkan kertas-kertas karton bergambar perempuan dengan beragam pilihan pakaian, lalu dia membangun tembok-tembok virtual dengan bungkus rokok, membentuk denah rumah, dan tiba-tiba saja memainkan boneka itu seperti sedang bermain Barbie. Pokoknya mirip main The Sims. Tapi versi kertas karton dan kamu harus merangkai dialog antar pemain. Dia bilang ini permainan tradisional zaman dahulu. Dan karena Bello bukan manusia, dia jago membuat suara-suara berbeda saat berdialog.

“Bello, kamu di mana?” Aku membuka laci tapi nggak menemukan “siapapun” di situ.

“Kamu janji kan nggak akan ninggalin aku?” Si anak menangis bicara lagi.
“Nggak, atuh. Lagian kan kita temen.”

“Bellooo... kamu lagi maen BP-BP-an di manaaa?” Aku terduduk di meja rias. Sesekali menengok ke arah cermin, mencari di dalam cermin, barangkali cupid tolol itu sedang main di dunia cermin di dalam sana.

“Tapi kita pasti ketahuan kalo sembunyi di sini,” ujar si kawan.
“Nggaaakkk...” tukas anak yang menangis. “Aku setiap kali suka sembunyi di sini.”
“Aku tahu tempat yang lebih aman.”

“Hey-hey, kalian berdua,” panggilku. “Kalian ada di mana?”
Lama-lama tubuhku merinding. Aku pikir hantu di rumah ini hanya Pak Darmo saja. Dan si Kitty. Tapi kenapa sekarang ada dua suara gaib anak kecil di sini. Dan kenapa baru muncul sekarang?

“Ya udah. Kita pindah!” sahut si anak yang menangis.

Di mana sih mereka?
Aku memicingkan mata, menatap langit-langit dan menoleh ke arah koperku di atas lemari. Semua tempat yang dulu pernah digunakan Bello waktu menyamar jadi kuntilanak, sudah kusapu bersih. Tapi sedikit pun tidak ada tanda-tanda makhluk halus di sana. Bahkan di pojok ruangan. Atau di kusen jendela. Aku curiganya sih—

ARGH!”
Tubuhku melompat kaget ke belakang hingga aku terjatuh dari kursi riasku. Saat itu aku sedang memicingkan mata menatap ranjangku sendiri, tiba-tiba muncul dua orang anak kecil dari kolong kasurku!
Ya! Dua anak kecil yang sosoknya nggak jelas... seperti mereka itu hologram. Atau Casper.

Kedua anak itu merayap-rayap keluar dari kolong kasur. Anak yang topless, hanya mengenakan celana pendek warna merah saja, keluar pertama dan langsung menarik temannya dari kolong kasur. Anak yang kedua berbaju lengkap, dengan gambar Power Ranger jamannya Jason dan Kimberly, dan tubuhnya begitu kurus. Dia juga menggosok-gosok pipinya, menghapus air mata.

Jadi mereka...

Kedua anak kecil itu dengan kilat berlari keluar dari kamarku. Menembus pintu dan lenyap. Kejadiannya hanya empat detik saja. Detik pertama aku terjatuh karena kaget melihat si anak setengah bugil muncul dari dalam kasur, detik kedua mereka berdua benar-benar muncul, detik berikutnya berlari dan akhirnya lenyap.

Dan aku bahkan masih terduduk di atas lantai, dengan kursi rias tergeletak jatuh. Napasku memburu. Kaget setengah mati. Apa itu? Hantu apa barusan? Kenapa ada di sini? Kenapa ada hantu anak kecil muncul dari bawah kasurku? Apa Bello sekarang sanggup membelah diri seperti amoeba dan membuat penampakan seperti itu?

Karena penasaran, aku bangkit dan berjalan terhuyung-huyung menuju pintu. Luka di lututku mendadak terasa ngilu, tapi aku menepis rasa sakitnya. Di otakku hanya ada bayangan empat detik barusan. Wajah-wajah anak kecil itu... yang kuduga berumur tujuh, atau delapan tahun, yang terlihat ketakutan dan pucat. Dan somehow keduanya kelihatan menarik, entah kebetulan entah apa, tapi yang topless itu agak punya “bangsawan” look.

“Bos, ada apa Bos?” Zaki ada di ruang tengah ketika aku tertatih-tatih mengejar penampakan dua anak kecil itu. Dia sedang merapikan kumpulan extension hair warna hitam yang mengerikan.

Astaga. Granny benar-benar akan membuat jambul Jembatan Layang Pasupati.


TO BE CONTINUED....




2 comments:

Unknown said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

Kak ini lanjutan nya dmna ya aq cari d blog ini kok gug ada

Unknown said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

Kak ini lanjutan nya dmna ya aq cari d blog ini kok gug ada

Post a Comment