DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Kadang Cupid Tuh Tolol! Chapter 9 (1)

-chapter 9- ( 1 )
by MarioBastian
 
Okay. Jangan panik. Seburuk-buruknya bullying di sekolah, nggak akan sampe mengancam nyawaku. Lagipula aku sudah siap mental, kan, selama ini? Aku sudah digunjingkan gay di sana sini, aku sudah dikurung di WC dan dilempari ular, aku bahkan sudah diskors dari sekolah, what could be worse than that?

Stay away, man...” dengus Derry sambil mengangkat tangannya. “Lo bisa ketularan homonya dia, kayak si Cazz-chong kemaren.” Sebagian kawannya langsung terkikik mengejek dan sebagian lagi mendengus tidak suka.

Setengah mati aku memutar ingatan di otak, mengingat film tentang remaja gay yang dibully di sekolahnya. Barangkali aku bisa mencontek si tokoh gay dalam menyelamatkan diri? Apakah mereka melawan balik? Menghilang seperti genie? Oh, kenapa yang ada di otakku hanya Kurt Hummel dan slushie-nya!

“Kita perkosa aja, Bos?” sahut Akbar sambil mengepalkan tangannya.
“Ya nggak, lah! Entar dia yang seneng, Bahlul!” sentak Derry. “Lu homo ya pake mikir perkosa segala?”
“Ah, si Abay mah emang homo!” seru cowok yang mengenakan kalung rantai sambil tertawa. Candaan itupun disambut cekikikan geli anggota Mahobia lainnya.

Aku menelan ludah dan masih pura-pura berani seperti tadi. Kutunjukkan wajah tegar, setengah mati menyembunyikan perasaan takut yang berkecamuk dalam hati. Demi Tuhan, aku deg-degan. Aku nggak pernah dibully oleh orang sebanyak ini. Bahkan di New Jersey pun, aku hanya dibully oleh empat atau lima orang idiot, bukan dua lusin cowok homophobic yang memasukkan tangan ke saku celananya hanya karena mereka pikir itu cool.

Derry menatapku lagi dengan pandangan menghina. Salah satu alisnya diangkat dan salah satu sudut bibirnya naik. Aku menghela napas. Menyesal karena pergi ke kantin lewat jalur ini. Mestinya aku ingat kalau ini tempat nongkrongnya Mahobia. Mestinya aku memutar ke perpustakaan, mencari jalan aman yang banyak orang. Sekarang aku terjebak dengan segerombolan pembenci gay yang sedang haus darah.

“Orang kayak lo tuh kenapa mesti ada sih? Bikin kotor dunia, tau?” sahut Derry padaku.

Aku menegarkan diri dengan ikutan memasukkan tangan ke saku celana. Mencoba santai. “Bukan kepengen aku kayak begini,” jawabku klise.

“Terus kenapa kayak gitu? Tolol, lo!” Derry dan dua lusin gerombolannya tertawa mengejekku. “Kalo lo nggak pengen, ya jangan jadi kayak gitu! Maho tuh selain najis ternyata stupid juga, ya?”

Dan lagi-lagi mereka tertawa.
Terbahak-bahak seolah aku ini orang idiot yang mencoba kelihatan pintar. Dalam hatiku terasa sengatan perih yang merobek dan mengiris perasaanku. KENAPA PARA HOMOPHOBIC INI SELALU SOK TAU DAN MERASA DIRINYA BENAR?!

Aku gemetaran, antara takut dan marah. Aku menunduk menatap lantai, mencoba menahan diri untuk nggak bertindak ceroboh, bahkan kalau bisa, aku terima ejekan-ejekan itu dengan lapang dada. Karena mau gimana lagi? Mereka lusinan. Aku satu orang. Di lihat dari sudut manapun, aku kalah telak.

“Lo tuh najis! Haram!” sentak Derry kemudian. “Alergi gua ngeliat orang macem lo! Hiii... lo tuh mestinya dibantai abis! Lo tuh ngerusak keseimbangan alam!”
“Bantai aja, Der!” timpal yang lain. Beberapa malah menyahut, “Mutilasi! Mutilasi!”

Aku menghela napas, dan sekali lagi—mungkin untuk kesejuta kalinya—menenangkan diriku yang panik. Selintas aku berpikiran untuk kabur, tapi melihat Mahobia cungkring di belakangku, dan arah kabur satu-satunya yang menuju toilet, which means: jalan-buntu-dan-sama-aja-boong, membuatku urung untuk kabur dari bullying menyebalkan ini.

Aku harus bertahan, tegarku dalam hati. Aku harus bertahan.

“Ini nih, yang bikin Aceh kena tsunami!” lanjut Derry sambil meludah ke kakiku. “Gua nggak abis pikir, bisa-bisanya ada cowok yang napsu ama cowok lagi! Otak lu tuh konslet atau apa, hah? Lu kesurupan?!”

Mahobia tertawa terbahak-bahak. Sebagian menggodaku dengan ejekan bernada banci, “Aiiih, jangan gitu dong Mas Boy... eike kan jadi tatuuutt...”

Aku menelan ludah. Geram. Hatiku membatu dan rasanya perih sekali. Tanganku sudah terkepal di dalam saku, tapi aku nggak bisa berbuat banyak. Entah kenapa sepertinya semua kekuatan yang pernah kumiliki, hilang. Semua rasa beraniku lenyap ditelan bumi. Aku hanyalah anak lemah yang sedang dibully dan menerima saja pelecehan ini.

Ya Tuhan...
Kuatkan aku melewati masa-masa bullying ini. Jam istirahat masuk berapa menit lagi, sih? Kenapa tiba-tiba terasa lama? Biasanya jam istirahat tuh kerasa bentar.

“Lu tuh sakit!” lanjut Derry, dengan nada berkuasa dan sok bijak. “Pikiran lu tuh kotor! Penuh racun! Nggak bisa bedain mana yang bener mana yang salah! Bonyok lu tuh ngajarin apa sih sama lu? Ngisep kontol, hah?”

Hatiku makin panas. Ini sudah keterlaluan. Kenapa dia mesti bawa-bawa orang tua segala, sih? Sudah cukup aku dicaci karena aku gay, jangan bawa-bawa Mom and Dad dalam urusan ini! Mereka nggak ada hubungannya sama sekali! Mereka bahkan udah nggak ada di sini!

Tenggorokanku tercekat dan mataku terasa panas. Oh, Tuhan... Jangan nangis! Jangan tunjukin kamu itu lemah, Agas. Jangan biarkan kamu hancur setelah diinjak-injak. Mereka boleh saja menginjak-injak harga dirimu, tapi jangan sampai—sial. Satu butir airmata terlanjur mengalir di pipiku.

“Dia mewek, Bos!” sahut seorang Mahobia sambil cekikikan. “Kasih balon! Eh, jangan, kasih kontol Bos, biar nggak mewek lagi!”
Derry mendengus sambil tertawa mengejek. “Alah, udah nggak aneh ada maho mewek. Kalo dia nggak mewek, baru aneh!”

Dan tetes airmata kedua mengalir. Ketiga. Berhenti! Berhenti! Berhenti! Kenapa aku nggak bisa menghentikan airmataku sendiri?! Biasanya aku nggak secengeng ini, kok! Aku bahkan belum pernah menangis saat dibully, kecuali sekarang!

“Sini mana kresek, nya?” Derry menoleh ke arah salah satu anggotanya. “Kita beresin pelajaran hari ini secepetnya. Entar kalian ketularan homo lagi kayak dia. Hiii...”

Aku mendongak dan melihat Derry menerima sekantung plastik hitam dari salah satu Mahobia berambut mohawk di belakang. Kantung plastik itu berukuran sedang, jelas berisi sesuatu. Bisa jadi kotoran, sampah, ulat-ulat putih, atau apapun itu yang mengerikan demi membuatku tertekan.

Aku sedang menebak-nebak isi dari kantung plastik itu saat Derry berkata, “Lu lagi untung, Cong, sebab gue lagi baik ama lu hari ini,” lalu mengangkat kantung plastik itu tinggi-tinggi, “gue lagi bagi-bagi doorprize. Spesial buat lu!” Mahobia cekikikan. “Gue yakin lu pasti suka banget dah ama hadiah ini.”

Dan ‘hadiah’ itupun akhirnya disiramkan ke atas kepalaku. Aku memejamkan mata dan sempat mencoba mundur, tapi si Mahobia cungkring di belakangku menahanku, dia mendorongku tetap stay di depan, sampai semua isi dari kantung plastik itu habis disiramkan ke atas tubuhku. Lalu saat aku membuka mata, aku menemukan...

... lusinan kondom warna bening kekuningan (beberapa berwarna pink dan ungu), berserakan di sekitar kakiku. Semua kondom itu terbuka... dan semua kondom itu berisi cairan. Beberapa tetes cairan ada yang tumpah ke wajahku, beberapa otomatis meninggalkan noda di seragam sekolahku. Dan dari baunya yang pekat dan kukenal ini...

Cairan itu air mani.

“Nah, makan tuh pejuh!” sambut Derry sambil terbahak-bahak. Mahobia yang lain ketularan tergelak mengejek sambil sedikit demi sedikit berjalan meninggalkanku. Termasuk Derry. “Lu suka kontol, kan? Lu juga suka pejuh, kan? Tuh gue kumpulin pejuh spesial buat lu. Bebas mau dijilat ato diisep kayak sabu-sabu. Selamat menikmati makan siang!”

Dan rombongan brengsek itupun pergi meninggalkanku. Si Cungkring bahkan sempat menabrak bahuku, membuatku tersungkur ke tembok dengan salah satu kondom masih menggantung di dahiku.

Sial! Sial! Sial!

Selama dua menit ke depan aku menahan diri untuk nggak menangis. Bahuku berguncang beberapa kali, tapi aku berhasil menguasai diri. Saat tenggorokanku tercekat lagi, aku mengatur napasku. Dadaku terasa sakit. Seolah ada yang meremasnya kuat-kuat dan membuat darahku berhenti mengalir. Sesering mungkin aku mengelap airmataku dengan tangan agar tidak ada orang yang melihatku menangis seperti ini.

Kenapa sih bisa ada orang yang sekejam itu? Kenapa bisa-bisanya mereka berbuat begitu? Aku kan nggak mengganggu mereka! Apa salahku?
Apa gara-gara aku gay jadi aku pantas menerima semua ini?
Apa mereka pikir aku INGIN seperti ini?
Kenapa semua orang kelihatannya menyalahkanku—atau setiap gay—karena memilih untuk menjadi gay? For God’s sake! Kami bahkan nggak memilih untuk menjadi seperti ini! Jangan salahkan kami!
Salahkan saja Tuhan!

Aku menarik napas dalam-dalam, untuk terakhir kalinya mengelap airmataku dengan lengan kemejaku dan menghisap lagi ingus yang nyaris keluar dari hidungku. Mataku nggak merah, kan? Mataku nggak sembap, kan? Oh, sial. Setelah ini pelajaran Kimia. Mrs Ivanka orangnya suka pengen ikut campur urusan orang lain. Dia pasti bakal banyak nanya kalau aku kelihatan habis menangis seperti ini.

Aku bergegas meninggalkan tempat itu, membersihkan kondom-kondom berlendir dari kepalaku dan memastikan tidak ada kondom yang nyangkut di seragamku. Aku melompati kumpulan kondom basah itu. Sebisa mungkin menendang-nendangnya ke pinggir, takut ada guru yang melihat kekacauan itu dan mengira aku yang menyebabkannya.

Kakiku melangkah agak berat, sedikit kesemutan sih, menuju toilet terdekat. Lututku gemetaran dan beberapa kali aku nyaris terjungkal karena nggak kuat menahan rasa sakit ini. Tapi kamu harus bisa bertahan, Agas. Kamu bisa. Sekarang tinggal mengecek wajahmu di cermin, lalu—

Langkahku terhenti.
Baru saja dua meter aku meninggalkan TKP, aku melihat Cazzo sedang berdiri di hadapanku. Hanya beberapa meter saja. Dia terlihat dingin seperti seminggu terakhir, menyelipkan kedua tangan ke dalam sakunya, menatapku tanpa ekspresi. Aku menduga dia bersembunyi di balik dinding itu dari tadi dan menonton semua pelecehan yang kualami.

“H-hai...” sapaku terbata-bata.
Tapi Cazzo nggak menjawab. Matanya masih menatap dingin ke arah mataku, rahangnya mengeras, dan... aku rasa dia kelihatan pucat.

Ya Tuhan, aku kangen sekali saat-saat berdua dengan Cazzo seminggu lalu.
“K-kamu udah mau... ngomong ama aku?” tanyaku.
Ekspresinya tetap dingin. Lalu beberapa detik kemudian mendengus. “Nggak,” jawabnya ketus. “Gue cuma pengen bilang betapa pantesnya lo digituin barusan.”

Dan Cazzo pun berbalik, menyusuri koridor, meninggalkanku sendiri di sini.

-XxX-

Baiklah, lupakan soal Cazzo. Perutku selalu mulas setiap membayangkan Cazzo, atau saat ada yang menyebut namanya. Jantungku seperti merosot ke lantai dan badanku lemas. Dan parahnya, aku merasakan hal tersebut seminggu penuh. Bayangkan itu, aku galau selama tujuh hari!

Lupakan-lupakan-lupakan! Hapus bayangan tentang Cazzo dan mulailah jalani hidup baru. Aku harus fokus dengan rencanaku kali ini. Rencana yang sebetulnya lebih penting. Sebetulnya lebih prioritas dibandingkan masalah Cazzo-salah-paham ini. Aku harus lebih fokus pada Bang Dicky. Orang yang jelas-jelas kucintai dan sedang kucari keberadaannya sekarang.

Aku turun dari angkot dan membayar seribu rupiah pada sopirnya. Kemudian aku menyusuri sebuah gang kecil di jalan Cihampelas, melewati perkampungan kota yang padat, di mana salah satu rumah kontrakan mungil sedang membuka pintunya lebar-lebar dan di ruang tamunya ada teve besar dan teve-nya sedang menayangkan iklan Gerry Chocolatos. Mammamia Lezatos. Dengan setting Italia. Dan Italia itu adalah... setengah dari kebangsaannya Cazzo.

Oh, sial. Kenapa aku kepikiran Cazzo lagi, sih?

Sejak kejadian kepergok ciuman dengan Zaki, aku nggak pernah mengobrol lagi dengan Cazzo. In fact, kata-kata kejamnya barusan di sekolah, waktu dia bilang aku “pantas mendapat perlakuan itu” adalah kata-kata pertamanya padaku yang diucapkan secara oral. Sisanya adalah ucapan-ucapan ketus di sms dan sebagian twitter.

Aku sudah seperti film-film waktu aku bilang, “Aku bisa jelaskan semua ini,” lalu Cazzo menampik dengan bilang, “Nggak ada lagi yang perlu dijelaskan,” dan ujung-ujungnya aku kelihatan kayak jalang tukang selingkuh yang nggak bisa menghargai perasaan orang.

Ya ampun, perutku mulas lagi membayangkannya.

Padahal aku sudah mengirim jutaan permintaan maaf pada Cazzo, lewat twitter, sms, email, kapan itu aku sengaja menulis surat di atas kertas dan menyelipkan surat itu di ranselnya Cazzo waktu dia lagi keluar. Tapi aku belum dapat respon apapun dari Cazzo. Sudah satu minggu! Bello bilang manusia nggak boleh berantem lebih dari tiga hari. Nanti rezekinya dipotong. Atau jodohnya. Entahlah, pokoknya dipotong.

Pop!
Tiba-tiba Bello muncul dan membuyarkan lamunanku. Dia mengacungkan dua lembar kain putih dengan bahan paling lembut yang pernah kulihat.
“Dewi Venus ngundang aku makan malem bareng ratusan Cupid lainnya. Menurut kamu, aku pakai baju yang mana?”

Aku mengeluarkan ponsel dan pura-pura menelepon. “Dua-duanya kelihatan sama, Silly!”
“Beda!” sahut Bello. “Yang ini putih gemilang... kalo yang ini... putih cemerlang.”
Aku memutar bola mata. “Yang putih cemerlang aja.”

Bello mengerutkan alisnya memandang kain putih cemerlang. “Nggak, ah. Jelek. Aku mau pake yang putih gemilang aja.” Pop! Kedua kain itu tiba-tiba lenyap dari tangan Bello. “Kamu ngapain di sini? I mean, ini kan jalan ke rumah Bang Zaki. For God’s sake, kamu masih ngebet sama dia, ya?”

“Aku nggak ngebet sama dia!” sahutku membela diri. “Aku mau nyari Bang Dicky. Dan cuma Bang Zaki yang tahu, jadi aku mau nanya sama dia. Lagian dia punya banyak utang padaku.”

Sejak kejadian kepergok ciuman itu, aku jadi sebal sama Zaki. Aku mengusir Zaki dari kamarku dan kami belum bicara lagi sampai dua hari kemudian. (Di mana ternyata Zaki sedang ke luar kota—mengantarkan kayu bekas ke sebuah kota di Jawa Timur menggunakan truk.) Aku meneleponnya dan dia bilang baru pulang lagi ke Bandung hari Senin, which means today, jadi aku sangat-sangat menunggu momen ini.

Selain menyesal karena telah mencium Zaki dan ditonton oleh Cazzo, aku juga menyesal karena mengusir Zaki saat itu juga. Mestinya aku menahannya dulu, melupakan segala amarahku dan menagih janjinya memberitahu Bang Dicky ada di mana. Tapi dasar aku lagi emosional, aku nggak sempet mikirin ke arah situ.
Tapi sudahlah, toh aku sudah janjian dengan Zaki sore ini. Dia akan membawaku ke tempat di mana Bang Dicky berada dan jangan sampai Granny tahu aku sedang mencari-carinya.

Oh, iya. Si mulut besar tukang melayang ini harus diajak kerjasama juga.
“Dan kamu, Bello, jangan ngomong apapun sama Granny!”
Bello mendengus. “Emangnya aku kelihatan kayak tukang gosip, hah?” Kemudian aku teringat waktu dia menggunjingkan suami-istri tetangga sebelah yang punya fetish sado-masokis, dan Bello setiap malam menonton mereka berhubungan intim. Bello kelihatannya baru ingat akan hal itu. “Kecuali Pak Kusno sama Bu Tris tetangga kita itu. Itu pengecualian. Mereka sih pantes digosipin.”

Aku berbelok melewati sebuah gang kecil, menuju lapangan besar tempat berdiri deretan rumah kontrakan kecil yang salah satunya merupakan rumah Zaki.

“Mestinya kamu nggak nyari Bang Dicky. Mestinya kamu nurut sama Nanny,” gumam Bello.
“Mestinya kamu ngasih tahu aku di mana Bang Dicky,” tukasku. “Aku berhak tahu, kok! Setelah semua kejadian yang aku alamin.”
“Tapi Nanny bilang ini bukan waktunya.”
“Terus kapan waktunya?”

Bello nggak menjawab. Dia melayang-layang di sekitarku lalu memutuskan untuk pergi. “By the way, aku nggak suka aura-aura di sini, aku mau pergi,” katanya. “Nanti kita ngobrol lagi.”

Sedikitpun aku bahkan nggak meminta dia untuk mengobrol bersamaku saat ini. Dasar cupid tolol. Aku benci dia. Apalagi kalau aku mengingat-ingat ceritanya tentang bagaimana dia berusaha memisahkan aku dan Cazzo, aku makin benci Bello. Mestinya aku jangan menyalahkan Zaki waktu itu, sebab ini semua kan gara-gara Bello juga.

Tapi lama kelamaan, aku nggak bisa nyalahin Bello juga, sebab dia melakukan itu kan atas permintaanku. Dan kalau sudah begitu perutku mulas lagi. Ini semua salahku, kan? Ini semua gara-gara ketololanku.

(Kadang-kadang aku tetap menyalahkan Bello karena dia nggak ngasih tau kalo Cazzo datang... but still...)

Ketika aku sampai di depan rumah Zaki, ada seorang wanita sedang duduk di teras. Wanita itu mengenakan daster bunga-bunga dan rambut yang digelung sembarangan. Dia sedang menghisap rokoknya kuat-kuat, lalu menghembuskan asap di sekitar teras. Aku kenal wanita itu. Aku bahkan sudah melihat tubuh telanjangnya di hape.

Dia Zaenab. Cewek yang selalu mesum dengan Zaki.

“Misi...” sapaku. “Bang Zakinya udah pulang belum?”
Zaenab kaget melihatku menghampirinya. Dia buru-buru mematikan rokoknya dan membersihkan udara di sekitar kami, seolah aku sama sekali tidak melihat dia merokok barusan. “Jangan bilang-bilang Zaki kalo aku ngerokok, okeh?”

Aku mengernyit. “O... kay. Jadi Bang Zaki udah pulang?”
“Belum, Kasep. Masih di jalan, cenah.” Dia lalu meneliti wajahku. “Kamu téh Agas, ya? Cucunya si Nini Lampir itu?”
“Nini lampir?”
“Eh, punten... maksudnya si nini-nini yang suka nitah-nitah Zaki?”

Baru dua detik aku mengobrol dengannya, aku langsung tidak suka dengan cewek ini. Apalagi ternyata dia lebih jelek di aslinya dibandingkan di hape. Mungkin karena di hape tuh gambarnya kotak-kotak, jadi jelek-jeleknya si Zaenab nggak keekspos. Aku heran kenapa Zaki bisa jatuh cinta ama cewek macam begini?

“Iya. Aku cucunya. Aku janjian sama Bang Zaki buat ketemu jam empat sore.”
“Aku juga,” ujarnya, sambil mempersilakan aku duduk di kursi di sebelahnya. “Kamu téh yang sekolah di school international di Pasteur itu, bukan? Gaya euy...”

Aku meringis dan nggak merespon kata-katanya. Aku baru saja duduk dan sekuat tenaga mencari napas di antara kepulan asap rokok yang masih menyelimuti teras.

“Jomplang pisan sama si Zaki. Dia cuma lulusan SD. Itupun nggak lulus. Kadang dia suka curhat soal kamu yang bisa sekolah tinggi di sekolah bagus. Pengen pisan katanya sekolah kayak kamu,” ujar Zaenab. “Aduh, sorry nggak nyuguhin minum. Akunya nggak bisa masuk. Biasanya konci rumahnya diselipin di sana, di kusen, tapi sekarang mah dibawa sama dia ke Jawa.”

“Oh, nggak apa-apa, kok.”
Zaki cuma lulusan SD? I mean, bahkan SD-pun nggak lulus? Aku baru tahu lho fakta ini. Aku pikir Zaki sudah pernah menginjak SMA. At least dari curiousity-nya pada bahasa Inggris dan betapa cepatnya dia mencerna sesuatu yang baru, mestinya dia sudah pernah SMA. Aku bahkan yakin pernah mendengar seseorang bilang kalau Zaki pernah menginjak SMA.

“Jarang-jarang si Zaki banyak job kayak begini,” lanjut Zaenab. “Biasanya dia ngubeeeek mulu di sekitar sini—atau Pagarsih buat nyari kayu. Setiap aku ke sini, dia pasti ada. Atau kalo nggak ada juga, kalo aku sms, dia pasti nyamperin.”

Aku nggak mengomentari pernyataannya. Sedang sibuk menepiskan kabut asap rokok yang entah kenapa tak kunjung lenyap.

“Biasanya kita ngentot,” sambung Zaenab sambil menoleh. “Eh, kamu mah udah gede, kan ya? Is okay kalo ngomongin ngentot?”

Apa-apaan, sih. Dasar wanita kampung. Dari dandanannya yang kampungan, dari bahasa dan attitude-nya, nggak heran wanita ini bisa selancang barusan. I mean, manusia mana yang ngomongin soal “ngentot” dengan orang yang baru pertama kali diajak mengobrol? Nggak heran kalo dia terus menerus di-“entot” Zaki dengan gratis. Yang masih mengherankan adalah: mau-maunya Zaki ngentot dia.

“Biasanya jam segini Zaki nongkrong di pos,” sambung Zaenab, sama sekali nggak menungguku memberikan respon. “Tapi sejak sohibnya ngilang, dia jadi susah ditemuin.”

“Apa itu sohib?” tanyaku.
“Sobat,” sahutnya. “Oh, iya, kamu téh orang Amrik, ya? Sohib tuh Best Frin! Best Frin is are sahabat karib.”

Frin?

Tiba-tiba saja Zaenab berbicara dengan Bahasa Inggris begitu menyadari aku pernah tinggal di Amerika. “The best frin is the Dicky. The laki-laki from masih kecil, frin-frinan sampai big like this.” Dan dagunya mendongak, percaya diri dengan Bahasa Inggrisnya. “You know, lah... the Dicky, is the people security in house Nini Lampir... eh, nini you.”

“Aku juga ke sini emang mau ketemu Bang Dicky, barengan Bang Zaki,” kataku kemudian, sebelum dia mulai introducing herself in English—seperti yang kebanyakan The Jandaz lakukan saat pertama bertemu denganku. “Katanya Bang Zaki tau di mana Bang Dicky.”

So pasti knowing, lah. They is best frin,” sambut Zaenab. “Tapi I, apa sih? Night yesterday, ya? I night yesterday dengar ada suara-suara di house si Dicky. Kayaknya si Dicky is in the house.
“Suara?”
“Iya. Orang lamp-nya juga on. Aku kan tetanggaan ama dia.”

Tiba-tiba aku tertarik dengan apa yang dikatakan Zaenab. Di rumah Bang Dicky ada suara-suara? Suara apa? Bangsat? Tikus? “Suara-suara kayak gimana, mbak?”
“Yaaah... suara-suara lah. Suara teve. Suara panci. Kamu punya korek?” Zaenab mengambil lagi rokok yang sudah dimatikannya dan berusaha mencari sesuatu di saku dasternya. “Punya aku ketinggalan di rumah kayaknya.”

“Aku mau ke rumah Bang Dicky dulu!” seruku tanpa pikir panjang, bangkit dari kursi dan bergegas meninggalkan teras. Mendadak ada rasa gembira membuncah dalam hatiku. Meski tentu saja, apa yang dikatakan wanita itu belum tentu benar. Bisa jadi itu suara teve tetangganya Bang Dicky atau suara panci dari dapur Zaenab sendiri. Tapi mendengar cerita itu, aku merasa ada sedikit harapan.

Bagaimana jika selama ini Bang Dicky justru bersembunyi di rumahnya? Maksudku, aku memang beberapa kali mengunjungi rumah itu selama dua minggu terakhir, tapi aku kan nggak berhasil masuk ke dalam rumahnya. Bisa jadi Bang Dicky punya loteng... atau ruang bawah tanah, lalu dia hanya muncul malam hari sambil menonton teve dan membunyikan panci. Semua masuk akal, kan? Justru seminar tentang kayu di luar kota yang pernah dibilang Granny itu yang nggak masuk akal. Masa ada seminar lamanya sampai dua minggu? Memangnya luar kotanya di mana? Cumbria?

Aku harus pergi ke rumah Bang Dicky sekarang! Nothing to lose.

“Jadi kamu nggak bawa korek?” teriak Zaenab dari teras.
Aku nggak memedulikan seruan Zaenab. Kakiku melangkah ringan melewati lapangan kecil, menyusuri lagi gang-gang yang tadi kulewati, dan lagi-lagi mendengar iklan Gery Chocolatos dari salah satu rumah di kampung kota itu. Memangnya nggak ada saluran lain selain GlobalTV, hah? Aku jadi mual lagi nih... teringat Cazzo.

Aku memotong jalan melewati gang kecil, tembus di gang lain yang berujung di kawasan Babakan Siliwangi, tubuhku seperti melayang, sampai akhirnya masuk ke gang kecil lain menuju rumah Bang Dicky. Hanya butuh dua menit bagiku untuk tiba di rumah itu. Napasku ngos-ngosan tapi aku bahkan nggak mempedulikannya.

Ketika aku sampai, rumah itu masih tampak menyeramkan seperti biasa. Kanan kiri rumah Bang Dicky nggak berdempetan dengan rumah tetangga, tetapi ada sedikit halaman kosong yang ditimbun jutaan kayu. Rumah itu seperti berdiri sendiri—seperti dijauhi oleh rumah yang lain. Salah satu plafonnya bolong dan aku sempat berpikiran bahwa mungkin Bang Dicky sembunyi di situ...
... eh, lupakan. Nggak mungkin Bang Dicky muat lewat situ.

Aku memerhatikan lampu teras yang masih menyala. Terakhir aku ke sini lampu itu memang menyala, mungkin memang dibiarkan menyala. Tetapi... ya! Lampu dalam rumah juga menyala! Memang nyaris nggak kelihatan sih, karena ini masih siang. Tapi ketika aku menyipitkan mata menatap ke ventilasi di atas pintu, aku bisa melihat pendar neon berwarna putih yang menerangi ruang tamu.

Berarti ada seseorang di dalam!

Aku langsung melompat menghampiri pintu, mencoba membuka kenopnya... terkunci. Aku mengetuk-ngetuk dan memanggil nama Bang Dicky, tapi tak ada jawaban. Aku lalu mengintip dari jendela, mencoba melihat ke dalam rumah meski terhalang tirai renda warna putih. Dengan tidak sabar, aku bahkan mengelilingi rumah, menaiki kayu-kayu di pinggir rumah dan kembali mengintip dari jendela.

Aku sudah tidak peduli jika kakek-kakek di seberang rumah itu mulai menatapku curiga. Mungkin aku dikiranya bangsat yang mencoba mencuri sesuatu dari rumah mungil ini. Apalagi aku memang sering banget datang ke sini. Bisa jadi orang-orang di sekitar sini sudah memberiku julukan, “Bocah Tukang Ngintip Di Kediaman Dicky.”

“Gerry chocolatos... Mammamia lezatos...”
Sialan. Iklan itu lagi. Dari tadi selalu saja iklan bernuansa Italia itu yang muncul. Kenapa sih nggak ada iklan Walls Dung Dung atau apa gitu? Aku kan—
Tunggu.

Tunggu sebentar.

Suaranya seperti dari dalam...
rumah Bang Dicky.

Aku mematung di tempatku, memasang telinga lebih kuat seperti kelinci. Sayup-sayup memang kudengar suara teve dari dalam rumah Bang Dicky. Quite clear.
Perlahan-lahan, dengan sedikit harapan, aku kembali ke teras depan, mengintip sekali lagi ke jendela, menembus tirai renda putih yang mengganggu itu.

Oh! Aku melihat bayangan!

“Bang Dicky!” Buru-buru aku mengetuk pintu dan memanggil namanya lagi. “Bang Dicky!”
Untuk memastikan dia menghampiri pintu depan, aku kembali mengintip lewat jendela. Dan setelah...

Ada yang berdiri di depan jendela! Tepat di depanku. Di balik dinding ini. Orang itu telanjang dan...

“Dennis?”

Aku melompat mundur karena kaget. Sosok itu masih berdiri di balik jendela, hitam besar dengan siluet yang mengerikan. Untuk sesaat, tubuhku membeku. Jantungku seperti ditarik dengan kencang dan mendadak bulu kudukku merinding. Mataku masih tak bisa lepas dari siluet hitam itu, sosok pria bertubuh gempal... berdiri hanya satu meter dariku, dipisahkan tembok berjendela...

Miaw.”
Sebuah suara kucing malah menambah kaget jantungku. Dengan ngeri aku berhasil menoleh dan menemukan si Kitty, kucing sialan yang pernah membuatku membuka pintu terlarang, sedang duduk dengan santai di depan pintu rumah Bang Dicky.

A-a-apa yang mereka lakukan di sini?
Miaw.” Kitty menatapku dengan pandangan tajam, pupil matanya menipis hingga membentuk garis vertikal yang mengerikan. Kucing itu lalu berdiri, meregangkan tubuhnya, dan mulai mengendus-endus kusen pintu depan.

Aku gemetaran melihat situasi ini, tapi aku hanya bisa mematung. Tubuhku seperti dibekukan oleh es sehingga aku nggak bisa bergerak. Panggilan-panggilan nama “Dennis” diucapkan berulang-ulang oleh sosok hitam besar dari dalam rumah. Sementara itu, Kitty mulai memanjat kusen pintu, membenamkan cakar-cakarnya di kayu dan merayap naik seperti monyet!

Dasar kucing tolol. Kalau kemarin bisa menembus pintu, kenapa sekarang nggak melayang aja, sih?

Kitty melompat dari kusen pintu menuju meteran listrik yang ada di dekatnya. Dia lalu mengendus-endus tutup meteran itu kemudian menatapku penuh harap. “Miaw,” ujarnya. Aku menyipitkan mata dan nggak mengerti maksudnya, lagipula sosok di balik jendela itupun masih saja memanggil nama Dennis, membuatku merinding ketakutan.

Miaw-miaw,” ujar Kitty.
Aku tetap membeku... dengan keringat dingin mengalir di punggungku.
“Dennis?”

Itu Pak Darmo, kan? jeritku panik di dalam hati. Kenapa dia ada di rumah Bang Dicky? Mau apa dia di situ? Apa ini alasannya Bang Dicky menghilang dua minggu terakhir? Apa Bang Dicky bersembunyi dari hantu mesum yang nyari-nyari Dennis ini? Dan lihat itu Pak Darmo, dia masih aja telanjang!

MIAAWW...” geram Kitty. Dia kelihatan marah sekarang. Pita suaranya bergetar dan muncul geraman mengerikan seperti yang biasa kucing lakukan kalau sedang bertengkar. Kaki depannya menunjuk-nunjuk ke dalam meteran listrik seolah memintaku untuk membukanya.

Aku menelan ludah. Ribut dengan pikiranku sendiri antara pergi dari sini atau membuka meteran listrik itu. Siapa tau di situ aku bisa menemukan petunjuk soal Bang Dicky, betul? Bisa jadi si Kitty tau di mana Bang Dicky dan dia bermaksud memberitahuku. Mungkin di dalam meteran listrik itu ada kartu yang bertuliskan, “Maju sepuluh langkah ke arah barat, lalu belok kiri...” Dan tahu-tahu aku bertemu Bang Dicky. Seperti dalam Treasure hunt.

Setelah dua menit menimang-nimang, dan ini bukan waktu yang sebentar karena rasanya seperti seabad lamanya, aku akhirnya melangkahkan kakiku ke arah meteran listrik itu. Aku penasaran dengan apa yang hendak ditunjukkan si Kitty. What could be worse? Di dalam meteran listrik itu nggak mungkin disimpan bom, kan? Paling banter cuma—

“BOS!”
Tiba-tiba suara Zaki yang familier menghentikan langkahku. Aku menoleh dan menemukan Zaki sedang berlari menghampiriku, terengah-engah. Di belakangnya ada Zaenab yang juga ikut berlari sambil mengeluh. “Ngapain bos di sini?!” serunya.

“Aku... aku nyari Bang Dicky,” ujarku panik.
“Dicky nggak ada di sini!” Zaki lalu menghampiri jendela dan mengintip ke dalamnya. Dan baru saja aku mau bilang, “Jangan lihat! Di situ ada Pak Darmo!” Mendadak kusadari bahwa Pak Darmo sudah lenyap dari situ. Bahkan Kitty pun sudah menghilang.

“Bos mestinya jangan ke sini!” seru Zaki sambil menarikku pergi dari halaman rumah Bang Dicky. “Kan kita sekarang mau ke tempat si Dicky. Bukan di sini tempatnya.” Zaki terlihat frustasi. Rahangnya mengeras dan dia jelas nggak suka dengan aksiku berkunjung ke rumah ini.

“Tuh, kan... padahal udah aku bilang jangan ke sana. Bocah ini nggak mau nurut!” sahut Zaenab ke Zaki, sambil menggelendot manja di sikunya. “Berkali-kali aku bilang, tunggu aja di rumah kamyu... tapi dia malah kabur.”

Apa?
Dasar wanita jalang.

TO BE CONTINUED....

0 comments:

Post a Comment