DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Kadang Cupid Tuh Tolol! Chapter 9 (5)

-chapter 9- ( 5 )
by MarioBastian

:balet:
... I know life is a mystery
I’m gonna make history
I’m taking it from the staaart...

:balet:


Badan mereka berputar, bahu naik turun, kaki melaju dua langkah, dan pinggang diputar...

:floating:
... Call an emergency...
I’m watching the phone ring...
I’m feeling this is in my heeaaaarrtt...
My heeaaaarrrttt...

:floating:


“Siaaap... tangan kanan di kuping kiri, tangan kiri lurus ke kanan...” seru Esel. “B-bring the boys out!


... Girls Generation make ‘em feel the heat
And we do it and we can’t be beat...


B-bring the boys out...” senandung semua nenek-nenek itu.


... We’re born to win
Better tell all your friends
Cause we get it in...


You know the girls?” sahut Jeng Nunuk.
B-bring the boys out!” timpal yang lainnya.

Argh!” tiba-tiba seorang nenek di situ menjerit ketika melihatku berdiri di depan pintu. Buru-buru yang lainnya berhenti dan Esel pun mematikan tape.

You ke sini mau mata-matain kita, ya?!” jerit Esel sambil memicingkan mata. “Dasar Sweet Strawberry busuk! Cara yang kalian lakuin rendahan banget!”
Like I care...” timpalku. “Aku ke sini bukan untuk ngurusin girlband fight. Aku mau ngobrol sama Jeng Nunuk.”
“Ah, dasar munafik!”

Kumpulan nenek-nenek itu langsung berbisik-bisik sambil melirik ke arahku. Beberapa dari bisikannya dapat kudengar, misalnya, “Ini kan cucunya si Allya yang gay Jombang itu ya?”

“Aku udah sms Jeng Nunuk pagi tadi. Aku ada janji jam segini sama Jeng Nunuk,” ujarku. “Tanya aja Jeng Nunuknya.”

Jeng Nunuk menyeringai lebar ke arah Esel. Kelihatannya dia lupa kalau dia mau ketemuan denganku sepuluh menit sekitar jam sepuluh pagi.

I nggak percaya!” sahut Esel. Dia langsung menghampiriku dan terciumlah ‘harum’ keringatnya. “Kami Itchy Bitchy nggak akan bisa kalian kalahin apapun caranya. I tahu kok, you ke sini mau nyontek koreo kita. Ngaku aja, deh. Ini persis film Bring It On yang pertama. Oh my God, persis banget. Dan you adalah pihak yang suka nyontek-nyontek koreo. But sorry, Itchy Bitchy nggak akan semudah itu kalian contek!”

Itchy Bitchy? Aku harus segera bicara dengan Granny menyangkut nama girlband-nya. Dilihat dari mana pun juga nama Sweet Strawberry kalah telak dengan nama Itchy Bitchy. Mungkin aku akan menyarankan nama WhorEver. Atau Slutty Slushie. Kadang Granny harus belajar untuk jadi gadis nakal sekali-sekali.

Whatever, Itchy Bitchy Bitch. I don’t give a shit. Seperti yang aku bilang, aku ada urusan sama Jeng Nunuk. Aku sama sekali nggak peduli sama koreo kalian. In fact,” Aku memberikan tatapan menantang, “we’ve done better.”

Aku sebetulnya nggak tahu lagu apa yang bakal Granny pake buat Girlband Fight-nya. Yang pasti, aku bakal memastikan pilihan Granny lebih bagus daripada Itchy Bitchy Busuk ini.

“Oh, sorry Baby... I nggak bakal percaya sama omongan Tumila.”

Astaga. Sekarang Esel sudah punya nickname baru untukku. Sialan.

I don’t care, Kecebong. I just wanna talk to Jeng Nunuk, okay Bong?”

Kami bertatapan untuk beberapa detik. Akhirnya Jeng Nunuk muncul dan melerai kami. Dia langsung menyeringai malu ke arah Esel dan mengedipkan mata padaku. “Sayang, kamu lanjutin aja latihannya gih, Kakak mau ngobrol dulu sama Agas sebentar.”

“Kakak yang bener deh, masa Kakak ngobrol sama Agas sih? Itu kayak Britney Spears ngobrol ama Ayu Ting-Ting, nggak pantes.”
“Nggak apa-apa, Darling. Kakak emang ada urusan bentar aja, kok, ama Agas. Bukan menyangkut Girlband Fight, tapi hal lain.”
“Janji ya Kakak nggak bakal ngebocorin selection list Itchy Bitchy kita?”
“Ya nggak dong, Honey... perang tetep lanjut.”

“Oke kalo gitu,” Esel dan Jeng Nunuk cipika-cipiki dulu sebelum akhirnya berpisah. “Jangan lupa telepon 911 kalo si Agas mulai desek-desek Kakak soal selection list kita entar.”

For God’s sake, emangnya NYPD bakal terbang ke Bandung kalau Jeng Nunuk nelepon 911?

Aku dibawa Jeng Nunuk masuk ke rumahnya, melewati ruang tengah, dapur, dan tiba di teras belakang. Wow, Jeng Nunuk jelas punya selera bagus dalam mendekorasi rumah. Ada halaman berumput rapi yang terhampar luas, dengan tanaman-tanaman khas berdaun ungu tua dan tumbuhan paku-pakuan. Di ujung halaman ada kolam ikan besar dengan tumbuhan semak mengelilinginya.

Suara musik di ruang tamu kembali membahana hingga teras belakang, tapi aku dan Jeng Nunuk sudah duduk di sebuah ayunan dari besi tua, berwarna putih dengan cat yang mulai mengelupas. Jeng Nunuk dengan gembira langsung mengeluarkan semua brosur yang pernah dia bawa, yang tadi diambilnya waktu kami melewati ruang tengah. Pagi tadi aku sudah meng-sms-nya untuk mengajak ketemuan, membicarakan “sesuatu” lalu menyebut-nyebut tentang seminar anti-gay. Otomatis Jeng Nunuk setuju. Tapi tentu saja tujuanku bukan itu.

“Kamu bisa datang ke seminar yang ini. Mereka punya software pencuci otak yang bagus, efeknya tahan lama.”

Pencuci otak? Astaga, memangnya ini Korea Utara, hah?

“Aku ambil semuanya aja, entar di rumah aku pilih-pilih lagi.” Buru-buru aku rebut semua brosur itu sambil nyengir. “Aku ada hal lain yang mau ditanyain.”
“Oh, iya, kalo kamu datang ke Program Penyembuhan Ketergantungan Seksual yang di jalan Riau itu, kamu bisa dapat T-shirt gratis ramah lingkungan.”

Ketergantungan Seksual? Keterlaluan. Apa saja sebenarnya yang sudah digosipkan Esel ke Jeng Nunuk?

Okay-okay, listen, Jeng Nunuk—“
“Kakak,” ralat Jeng Nunuk. “Kamu tau Gas, ada dokter yang bilang kalau kita selalu berpikiran muda, kita bakal tampak lebih muda. Makanya Kakak lebih seneng dipanggil Kakak. Ke laut deh semua produk-produk penambah awet muda itu.”
Okay, Kakak... Aku punya beberapa pertanyaan menyangkut... masa lalu.”

“Masa-masa waktu Kakak masih SMA?”
Apa? “Sooner than that. Nggak sejauh itu.”
“Oh. Waktu Kakak mau nikah?”
“Ini bukan soal Jeng Nu—I mean, Kakak. Ini bukan soal Kakak, okay? Aku mau nanya soal apa yang terjadi sekitar sepuluh tahun lalu di sini. Di komplek ini. Tepatnya di rumah Granny.”

“Oh.” Jeng Nunuk langsung melemparkan pandangannya ke arah lain dan mengingat-ingat. “Waktu pertama kali Kakak pindah ke sini?”
Exactly!”
“Oh, waktu Kakak pertama kali ketemu Agas waktu masih bayi? Waktu pake sweter pink gambar kelinci itu?”

Astaga. Gambar kelinci pula?

“Ya, yang itu. Bisa tolong ceritain kejadian waktu itu? Misalnya, hal-hal heboh apa yang terjadi waktu itu?”
“Oh, bisa Darling, Kakak inget banget hal-hal heboh yang terjadi waktu itu. Soeharto lengser, Jakarta panik, teve-teve cuma nampilin demo mahasiswa, atau jembatan Semanggi, satu Dollar tujuh belas ribu Rupiah. Serem banget waktu itu. Makanya Kakak pindah ke Bandung dan tinggal di sini. Semua-muanya, sekeluarga.”

“Bukan itu, Kakak. Bukan hal-hal heboh yang... seheboh itu. Nggak perlu se-Indonesia. Sekomplek ini aja.”
“Tentang komplek ini?” Jeng Nunuk mengingat-ingat lagi. “Sebetulnya sebelum Nike Ardila meninggal, dia dikabarkan lewat komplek ini sebelumnya.”
Siapa pula itu Nike Ardila?

“Bukan tentang orang lain, tapi tentang Granny. Apa ada yang heboh terjadi di keluarga Granny?” seruku, frustasi karena Jeng Nunuk nggak ngerti juga. Padahal di awal aku sudah menyampaikannya dengan jelas!

Telinga Jeng Nunuk memerah waktu aku menyebut nama Granny. Kelihatannya dia nggak suka aku membahas tentang Granny. Kelihatannya dia pikir aku benar-benar ingin sembuh dari gay waktu aku meminta dia ketemuan. Tapi Jeng Nunuk kemudian melirik-lirik panik ke arahku, seolah sedang menyembunyikan sesuatu.

“Pasti ada sesuatu, kan?” desakku.

Jeng Nunuk menelan ludah. Mendelik sekali lagi ke arahku, bimbang antara menceritakannya atau tetap diam. Aku melihat tangannya gemetaran dan gugup. Berkali-kali dia menggosok tangannya, seolah apa yang barusan kutanyakan adalah rahasia besar FBI.

“Yah, ada beberapa hal sih...”
“Nah, itu!” sahutku bersemangat. “Apa itu?”
“Tapi Kakak mestinya nggak nyeritain ini. Nanti Allya marah.”
For God’s sake, you two are fighting right now! Kenapa masih mikir kalo Granny bakal marah? It won’t make any difference!”

Jeng Nunuk masih ragu. “Ini sebenernya topik sensitif. Sampe sekarang Kakak juga masih nyelidikin apa yang terjadi.”
“Nyelidikin?” ulangku. “Apa maksudnya?”
“Ya, nyelidikin. Investigasi. Kayak FBI itu.”
“Emangnya apa yang mau diselidikin?”

Jeng Nunuk menelan ludah. “Kakak lagi nyelidikin...” Kepalanya lalu mendekat, berbisik, seolah di sekitar kami sedang ada mata-mata dan kami harus bicara sepelan ini supaya nggak ketahuan. “... sebuah misteri.”
“Misteri apa?”
“Ya sebuah misteri. Kakak nggak tahu misteri apa. Kalo Kakak tahu misterinya apa, berarti bukan misteri lagi,dong?”

“Maksudnya, hal apa yang diselidikin ini? Pasti ada alasannya dong sampe ‘misteri’ itu muncul?”
“Oooh, tentunya. Ini tentang kematian tukang kebunnya Allya, Pak Darmo. Polisi sih udah nganggap kasus ini ditutup, tapi Kakak belum. Kakak masih yakin ada yang nggak beres sama kasus ini. Kamu tau Pak Darmo, Gas?”

“Ya, sedikit. Makanya aku di sini mau nanyain juga. Lanjut, Kak...”

“Waktu Kakak pertama kali pindah ke sini, ada kasus heboh. Tukang kebunnya Allya meninggal tragis di belakang rumah Allya. Kakak sih belum kenal deket sama Allya, tapi gara-gara kasus itu Kakak jadi sering datang ke rumah Allya, bareng-bareng The Jandaz yang lain, waktu itu clique ini baru terbentuk.”

Clique? Astaga, memangnya mereka anak SMA?!

“Ada satu orang yang sempet jadi tersangka. Dia juga sempet dipenjara. Tapi karena masih dibawah umur, dia nggak dihukum terlalu lama dan malah akhirnya diketahui bahwa pembunuhan itu sifatnya pertahanan diri, bukan pembunuhan berencana. Kamu tahu lah siapa orangnya.”

Bang Dicky? batinku.
Aku agak terkejut mendengar cerita tersebut. Apakah itu artinya Bang Dicky pernah dipenjara semasa kecilnya?

“Nah, yang Kakak heranin, kenapa anak itu masih diterima di rumahnya Allya? Kenapa malah dibesarkan sampai sekarang dan dikasih ini itu dan malah dijadiin suruhan? Kalau Kakak sih bakal usir anak itu karena udah bunuh tukang kebun Kakak, tapi Allya malah sayang sama anak itu.”

Setengah hati aku mendengarkan cerita dari Jeng Nunuk. Sejak aku menyadari bahwa Bang Dicky pernah dipenjara, pikiranku langsung buyar. Aku langsung membayangkan Bang Dicky meringkuk di balik teralis besi, dalam gelap, kedinginan dan kelaparan, lalu disiksa oleh teman satu selnya... lalu mungkin setiap hari memecah batu dengan kaki terikat bola besi. I mean, sebelum zaman Millenium, bisa jadi penjara macam begitu masih eksis, kan?

“Di situlah misterinya muncul. Kakak curiga sebetulnya Allya yang bunuh Pak Darmo.”
“Apa?”
Jeng Nunuk manggut-manggut mantap. “Kamu pikir dong secara logika, Gas. Tukang kebun kamu dibunuh sama anak kecil, anak itu jadi tersangka dan dipenjara, dan begitu keluar langsung kamu terima lagi di rumah kamu? Gimana kalo anak itu jadi anak liar? Gimana kalo dia disodomi di penjara dan jadi bandar narkoba?”

Bang Dicky jadi anak liar?
Aku nggak sanggup membayangkannya, tapi melihat apa yang Bang Dicky lakukan di Cimahi kemarin... well, memang dia jadi anak liar. Tapi aku menganggap dia frustasi. Apapun itu yang terjadi di masa lalu, seiyanya benar Bang Dicky membunuh Pak Darmo, aku percaya itu karena pertahanan diri. Nggak mungkin Bang Dicky jadi anak durhaka yang dengan dinginnya membunuh ayahnya sendiri. Pasti ada alasan di balik itu semua.

“Bisa jadi Allya pengen nyingkirin tukang kebun itu,” lanjut Jeng Nunuk. “Bisa jadi karena tukang kebun itu jelek atau minta gaji tinggi atau apa gitu, maka dia suruh anak-anak itu ngebunuh biar si Allya nggak dipenjara. Lagipula anak-anak pasti kebal penjara,kan? Anak-anak dibawah umur biasanya susah masuk penjara. Rencana si Allya ini emang brilian.”

“Buat apa Granny bunuh tukang kebunnya sendiri?!” tukasku. “Itu nggak masuk akal.”
“Itu masuk akal,” sahut Jeng Nunuk dengan nada bijak. “Maka dari itu Kakak sampe sekarang masih mencari tahu misteri di balik matinya si tukang kebun. Kakak malah namain ini: The Garden People Die Project.”

“Jadi itu alasannya Kakak sama Esel masuk ke rumah kami waktu Granny ke Jakarta?”
Jeng Nunuk menyeringai malu. “Hehe...” desahnya. “Y-yaa... salah satunya sih itu. Tapi Kakak juga penasaran sama kuntilanak itu, kok. Malah, bisa jadi kuntilanak itu tuh hantu gentayangannya Pak Darmo. Ini masuk akal, kan?”

Aku terdiam dan terpana mendengar apa yang dikatakan Jeng Nunuk. Otakku terlalu kaget menerima informasi baru itu. Apakah yang dikatakan Jeng Nunuk benar? Ataukah dia hanya ingin menjelek-jelekkan Granny saja di depanku? I mean, mereka berdua kan sedang bermusuhan.

“Jadi, Agas,” lanjut Jeng Nunuk, “kira-kira kamu mau ikut seminar yang mana? Kakak bisa bantu pilih yang bagus, lho.”

-XxX-

Ketika aku tiba di rumah, ada banyak motor matic parkir di carport kami. Pasti Granny sudah berkumpul bareng girlband Sweet Strawberry-nya. Ingar bingar musik juga membahana dari dalam rumah. Tapi untung ketika aku masuk, nggak ada sofa yang dipinggirkan atau rombongan nenek-nenek yang sedang latihan menari.


... One-two-three-four!


Lalu terdengar intro musik yang nge-beat dan Granny bersama Sweet Strawberry sudah berdiri di ruang tengah, menggenggam microphone beserta selembar kertas.


I want youuu...
I need youuu...
I love youuu...
Di dalam benakku..
Keras berbunyi irama myu-u-ji-i-ku..
Heavy... Rotation...


Mereka semua lalu bertukar posisi. Berpose genit dan berputar-putar. Berlari crossing satu sama lain, melompat seperti balerina, dan berputar lagi. Finally, Granny maju ke depan dan mulai menyanyi solo.


... Seperti popcorn...
Yang meletup-letup...
Kata-kata suka menari-nari...


“Agas sini!” panggil Granny di tengah nyanyiannya.


... Wajahmu suaramu...
Selalu kuingat...
Membuatku menjadi tergila-gila...


Lalu mereka semua maju dan menyanyi bersama.


... Oooh, senangnya miliki prasaan ini...
Ku sangaaat...
Merasa beruntung...


Astaga.


... I want youuu...
I need youuu...
I love youuu...
Bertemu denganmu...
Semakin dekat jarak di antara kita...
Maximum High Tension...


Aku duduk di sofa dan menonton mereka menyanyi. Sepanjang lagu aku geleng-geleng kepala. Jelas banget mereka kalah telak. Pertama, nama Sweet Strawberry udah pertanda kekalahan mutlak. Kedua, song selection-nya nggak se-chic pilihan Itchy Bitchy. Gimana caranya Granny bisa menang?

“Gimana, Sayank?” tanya Granny ketika lagu sudah selesai dan semua anggota Sweet Strawberry langsung mengambil segelas punch di meja makan. “Kita emang belum pake koreo, tapi yang penting kita tahu konsepnya apa.”

For God’s sake, Granny. Itu lagu Pocari Sweat!” seruku.
“Itu emang soundtrack-nya, Darling. Tapi itu lagu JKT48. Lagunya nge-beat dan asyik. Dan semua orang tahu lagu itu.”
“Tapi Jeng Nunuk lagunya lebih bagus lagi! Mereka pake lagu Girls Generation yang English version!”

Granny menatapku dengan heran. Oh, sial. Aku keceplosan.
“Dari mana kamu tahu lagunya si Nunuk Blekuk?”
“Eh... kebetulan, tadi waktu pergi ke warung, kan lewat rumah Jeng Nunuk. Aku denger mereka nyetel lagu ini keras-keras. Kayaknya mereka lagi latihan koreonya.”

Granny terperangah kaget. “Mereka udah latihan koreonya?!” Buru-buru Granny menghampiri anggota Sweet Strawberry yang lain dan menyerukan sesuatu. Semua nenek-nenek itu menjerit panik, seolah kami sedang mengalami gempa bumi atau gunung meletus. Semuanya beringsutan mencari tas masing-masing, meraih kunci motor, dan mencuri kue-kue tradisional warna hijau yang di atasnya ditaburi kelapa ke dalam tas mereka, lalu serombongan nenek-nenek itu keluar dari rumah Granny.

“Kita mesti cepet-cepet pergi ke studio! Latihan koreo! Kurang ajar si Nunuk Blekuk itu! Dia udah curi start!” jerit Granny.

Curi start? Bukankah kompetisinya sudah dimulai sejak semalam? Bagian mananya yang curi start?

“Granny mau ke mana?”
“Nenek mau ke daerah Dago sayang, ke tempat latihannya Wannabe Dancer. Katanya Jeng Imas kenal sama si Gege, dancer terkenal dari Bandung itu. Nenek tadi pagi emang udah booking dia buat ngasih koreo Sweet Strawberry. Sekarang kita mau latihan tari ama dia. Kamu mau ikut, Sayank?”
“Nggak, ah! Ngapain? Aku mau jaga rumah.”

Granny manggut-manggut nggak peduli. Dia sudah setengah jalan menuju teras depan. “Jangan lupa angkatin jemuran, ya!”
“Emang Bang Zaki ke mana?” teriakku.
“Kerja! Seperti biasa! Jaga rumah, Darling!”

Rrrrrmmmm... Rrrrmmmm...!!


Dan sekumpulan nenek-nenek itupun lenyap berombongan menaiki motor matic cantik mereka, seperti mafia yang hendak menyerbu suatu lokasi. Salah satu dari mereka bahkan ada yang membawa bendera warna biru, tulisannya: Wasit Goblog!

Aku menepuk dahi dan geleng-geleng kepala dari teras depan. Kututup pintu dan mencoba melupakan betapa gilanya nenek yang kumiliki. Aku penasaran, di dunia ini ada berapa cucu yang memiliki nenek periang macam Granny? Tentunya banyak, betul. I mean, Granny dan teman-temannya saja jumlahnya sudah sepuluh. Berarti ada puluhan cucu yang pusing dengan tingkah laku nenek mereka.

Aku mengambil segelas punch dan membawanya ke teras belakang. Aku duduk di atas sofa rotan yang semalam digunakan Zaki dan Granny untuk mengobrol. Dari sini aku bisa melihat banyak tanaman anggur merambat meliliti rangka bambu, dan di balik tetumbuhan itu, aku bisa melihat workshop tempat Bang Dicky biasa membuat frames.

Hmmh, Bang Dicky.
Aku masih nggak percaya Bang Dicky pernah dipenjara. Bahkan mungkin saja direhabilitasi, karena semalam aku denger banget Granny nyebut soal rehabilitasi, tapi karena aku terlalu shock di rumah Jeng Nunuk tadi, aku lupa menanyakannya.

Sekelam itukah masa lalu Bang Dicky? Itukah alasannya dia selalu tampak aneh? Tampak gemetar, ketakutan, seperti seseorang yang seumur hidup mengalami trauma. Pantas saja Lita nggak mau nikah sama Bang Dicky, mungkin sebetulnya dia sudah tahu masa lalu Bang Dicky yang kelam dan kotor... oke, berlebihan disebut kotor, mengingat aku sama sekali belum tahu alasan Bang Dicky membunuh Pak Darmo itu apa.

Masa gara-gara diperkosa ayahnya sendiri?

Sejak aku sering melihat residual energy di rumah ini, aku sampai pada suatu kesimpulan, bahwa bisa jadi Bang Dicky membunuh Pak Darmo karena sering diperkosa ayahnya tersebut. I mean, aku nyaris melihat “perbuatannya” itu, kan di kamar terlarang? Emang sih, aku belum melihat dengan pasti “perbuatan” apa yang terjadi, tapi ciri-cirinya jelas banget. Kalau seseorang mengoyak celana orang lain sampai merobek-robeknya, pasti itu maksudnya pemerkosaan.

Tapi apakah aku yakin anak kecil topless itu Bang Dicky? Jujur aja, kedua bocah residual energy itu nggak mirip sama sekali dengan Bang Dicky. Aku memang merasa pernah melihat mereka, mungkin matanya mirip dengan mata siapa gitu, tapi aku nggak ingat pernah melihatnya di mana. Bocah-bocah itu terlalu muda. Masih tujuh atau delapan tahun, jadi kalau sekarang mereka berusia dua puluh delapan tahun seperti Bang Dicky, ciri-cirinya bakalan hilang.

“Dicky... Dicky...!”

Tiba-tiba kudengar sebuah suara dari arah workshop. Suaranya sayup-sayup. Sangat keciiilll. Seperti suara seseorang yang berteriak dari jarak satu kilometer. Tapi jelas banget aku mendengarnya.

“Dickyy...! Dickyyy!!”

Suara itu diiringi dengan ketukan-ketukan di kayu tapi aku nggak bisa menentukan di mana tepatnya suara itu berasal. Mungkin ini residual energy lain yang muncul di rumah ini. Jarang-jarang kan aku dapat residual energy di halaman belakang? Ya Tuhan, sepertinya aku mesti sering-sering keliling rumah Granny untuk mencari semua residual energy yang muncul akhir-akhir ini.

Bello bilang kejadian ini berulang setiap tahun pada tanggal dan bulan yang sama. Dan parahnya, pada jam yang sama. Hanya terjadi sekitar dua mingguan saja. Kadang sampai satu bulan. Aku percaya bahwa semua residual energy ini merupakan petunjuk akan sesuatu.

“Dickkyyy...!!”

Suara itu muncul lagi. Memanggil-manggil nama Bang Dicky. Aku bangkit dari sofa dan langsung mengenakan sandalku. Kutelusuri rangka bambu tanaman anggur dan mencari di semak-semak. Semakin aku dekat dengan workshop, semakin jelas suara itu terdengar. Tapi aku nggak bisa menemukan residual energy apapun di sini. Hanya ada suara sayup-sayup nama Bang Dicky dipanggil, tapi suara itu pun terdengar lemah, seperti tenggelam dalam sesuatu, dan nggak ada satupun visualisasinya.

Bukan berarti aku sekarang berani menghadapi hantu. Hanya karena keseringan melihat sosok residual energy kedua bocah itu, aku jadi terbiasa. Ditambah lagi Bello juga masih sering berpenampilan seperti kuntilanak. Makanya lama kelamaan aku sudah terbiasa melihat sosok hantu. Bahkan mungkin jika mata batinku dibuka, aku sudah siap melihat dunia lain.

Tapi bukan berarti aku menginginkan mata batinku dibuka, ya.

Hihihi...” Tiba-tiba kudengar suara cekikikan anak kecil dari arah lain. “Jangan ngumpet di situ, Ki! Entar ketahuan!”
“Nggak apa-apa! Aku mah udah ketutupan sama pohon jambu!”

Pohon jambu? Secepat kilat aku meneliti halaman belakang rumah Granny. Yang mana di antara jutaan vegetasi di sini yang merupakan pohon jambu? Kenapa sih halaman belakang Granny nggak kayak Jeng Nunuk aja? Di sini terlalu banyak jenis tumbuhan.

“Kata kamu pohon belimbing ini aman, nggak?”
“Aman, lah, aman. Nggak akan ketahuan.”
Lalu mereka pun tergelak bersama.

Tunggu.
Mereka kedengarannya sedang bersembunyi. Tapi kenapa mereka tertawa-tawa?
Bukankah akhir-akhir ini mereka bersembunyi sambil ketakutan dan menangis?

Tiba-tiba aku melihat Granny muncul dari pintu belakang. Dia mengenakan dress tanpa lengan yang panjangnya selutut. Dress itu bercorak bunga-bunga besar dan agak ketat di bagian pinggangnya. Granny bahkan kelihatan lebih fresh dengan rambut lurus diurai dan keriput yang nggak terlalu banyak seperti sepuluh menit lalu. Di tangannya ada dua cone ice cream rasa vanilla dan cokelat.

Granny berjalan menghampiriku. Berdiri tepat di hadapanku tapi matanya melirik ke sana kemari.
“Granny! Kenapa udah balik lagi? Ada yang ketinggalan?” tanyaku. “Dan kapan Granny ganti baju? Rambut Granny juga jadi lurus! Emangnya tadi ke salon, ya? Katanya mau latihan koreo!”
“Anak-anak!” panggil Granny.
“Granny?”

Memangnya Granny nggak melihat aku di hadapannya? Kenapa dia dari tadi menoleh ke sana kemari.

“Granny... hello... can you see me?” Aku melambaikan tanganku di depan wajahnya. “Itu eskrim buat aku?”
“Anak-anak!” panggilnya lagi.

Tunggu... masa sih, Granny...

“Kalo nggak keluar juga, es krimnya nggak jadi dikasihin nih!” Granny mengacungkan kedua cone eskrim itu. “Ini Indoeskrim Meiji, lho! Yang bentuknya Monas itu. Yang iklannya Rano Karno!”
Seorang bocah tiba-tiba muncul dari bawah rangka tanaman anggur. “Mauuuu!” pekiknya sambil berlari ke arah Granny. Dia langsung merebut es krim itu dan menjilatinya dengan puas.

Bocah itu si tukang nangis berbaju Power Ranger.

“Iiih, curang!” Tiba-tiba si anak topless muncul dari bawah semak-semak dekat workshop. “Nenek ngerayu pake eskrim segala!”
“Ah, tapi kamunya juga mau, kan?” Granny tertawa. “Udah sini kamu, makan aja es krimnya. Kita udahan dulu main petak umpetnya. Itu anak Nenek udah datang, kalian sapa dulu mereka.”
“Yang punya bayi itu?”
“Iya, yang punya bayi itu.”

“Baju Nenek baru ya?” tanya anak berbaju Power Ranger.
“Iya dong Sayang, ini Baju Tersanjung. Tadi Nenek kan ke Pasar Baru dulu. Oh, Nenek juga beli Topi Tersayang buat kalian!”
“Aku topinya Dion! Cup!” klaim anak topless.
“Jadi aku dapetnya topi si Mayang?” Anak berbaju Power Ranger menyipitkan mata. “Nggak bisa! Aku duluan ya Kila!” Anak itu pun berlari ke arah rumah, menjerit-jerit takut dikejar, mendului si anak topless yang sedang sibuk membuka tutup plastik eskrimnya.

“Udah, ayo kita masuk!” sahut Granny sambil tergelak.

Tunggu.
Nggak mungkin kan ini fenomena residual energy?
Kenapa ada Granny?
Kenapa Granny bisa menjadi fenomena residual energy?!
Granny kan masih hidup!

-XxX-

Oh, ternyata yang masih hidup pun masih bisa menjadi residual energy. Mungkin untuk alasan-alasan khusus, entahlah. Intinya kan residual energy adalah rekaman aktifitas manusia yang terjadi di masa lalu, yang direkam oleh objek-objek di sekitarnya, yang kemudian diulang lagi di masa depan dengan bentuk dan format yang sama. Granny kan termasuk manusia masa lalu dan masa sekarang, jadi wajar dia punya residual energy sendiri.

“Gimana tempatnya?” Zaki menoleh ke arahku sambil nyengir. Dia kelihatan ganteng dan menggoda hari ini. (Atau mungkin ini efek aku belum jack-off berhari-hari sehingga Zaki tampak seksi?)

“Gimana caranya Bang Zaki dapet tempat ini?”
“Ini punya temen saya, Bos. Kemaren waktu lagi nganterin kayu, buat bangun pondok di sana tuh, kelihatan nggak? Saya tuh ngobrol-ngobrol ama dia, dan katanya boleh pake tempat ini dua jam aja hari ini. Ya udah, sekalian aja ajak bos ke sini.”

Ini adalah sebuah komplek pemandian air panas di daerah Ciater, Subang. Tempatnya berupa vila-vila kecil menghadap ke lereng bukit, dengan balkon-balkon pribadi yang dilengkapi outdoor jacuzzi, sehingga siapapun bisa menikmati berendam di alam terbuka tanpa perlu khawatir diintip orang lain.

Ketika bel pulang sekolah berbunyi, tiba-tiba saja kutemukan mobil pick-up Zaki sudah parkir di depan sekolahku. Dia langsung membawaku menelusuri Lembang, melewati Gunung Tangkuban Perahu, dan akhirnya tiba di Kabupaten Subang. Aku masih nggak mengerti alasan Zaki membawaku ke sebuah vila kecil dengan halaman luas, membawaku masuk ke dalamnya, melintasi ruang tengah, tiba di balkon kecil dengan jacuzzi, dan dia sibuk menuang orange juice yang tadi kami beli di minimarket ke dalam gelas berkaki yang cantik.

“Jadi, ngapain kita di sini?” tanyaku.
“Ya berduaan dong...” Zaki tiba-tiba membuka kausnya. “Liburan.”

Oh, sial. Sekarang dia sudah telanjang dada. Dan entah kenapa hari ini otot-otot dadanya kelihatan menggiurkan. Dengan puting gelapnya yang mungil itu, perut berlekuk-lekuk dan kulit terang mulus yang masih kupertanyakan kenapa bisa semulus itu untuk ukuran pekerja kuli.

“Masa liburan cuma dua jam?” sindirku, sambil memalingkan muka ke arah lain dan berusaha menahan godaan.
“Jadi bos maunya semaleman?”
“Bukan itu maksudnya... I mean, liburan kan mestinya berhari-hari. Pergi ke luar kota dan nikmatin waktu senggang.”

Zaki memutar otak. “Tapi saya cuma diizinin pake ini dua jam aja, Bos. Kalo pengen berhari-hari mesti nyewa... meskipun pasti dapet discount, sih.”
Doesn’t have to be here, Dude...”

Ketika aku menoleh lagi ternyata Zaki sudah telanjang.
Bulat.
Dia sedang merapikan snack di atas meja dan membiarkan little-jack-nya yang literally little berayun ke sana kemari. Otomatis aku jadi bergairah dan mukaku merah. Buru-buru aku menepi ke pagar balkon, mencoba melupakan fakta bahwa ada laki-laki menggoda sekitar tiga meter di belakangku.

“Ayo masuk, Bos!” BYUR! Beberapa cipratan air hangat mengenai kulit lenganku. Aku masih belum sanggup menoleh tapi aku yakin Zaki sedang menikmati jacuzzi dengan air hangat, yang di bagian bawahnya ada air menyembur seperti air mancur, yang rasanya pasti nikmat sekali seperti dipijat. “Bos?”

“T-tunggu bentar... a-aku lagi lihat... pemandangan.”
“Di sini aja lihatnya, Bos. Lebih enak.”

Selintas aku menoleh ke arah Zaki, bukan karena penasaran dan nafsu, tapi karena formalitas saja. I mean, nggak mungkin kan aku ngobrol sambil terus memunggunginya. Sesekali aku harus menatap ke arah matanya... oh, lihat! Dia menggoda sekali!

Zaki bersandar di jacuzzinya, meletakkan kedua tangan di pinggiran jacuzzi dan membiarkan otot-otot lengannya berkumpul. Rambut ketiaknya basah sehingga warnanya jadi gelap dan putingnya tiba-tiba kemerahan di bawah air hangat jacuzzi.

Okay, Agas. Palingkan kepalamu ke arah lain.
Bukan!
Bukan ke arah little jack-nya! Tapi ke arah lain!

“Ayo, Bos!” panggil Zaki dengan suara menggoda. Astaga, aku nggak habis pikir kenapa si Zaenab suka melecehkan Zaki. Padahal cowok ini begitu memukau... ya kecuali ukuran kejantanannya sih. Tapi sisanya kan memukau.

“A-aku nggak bawa baju ganti,” kataku.
“Saya juga, Bos. Makanya baju Bos lepas aja semuanya.”
“Ini pasti modus,” sahutku. “Modus biar aku telanjang dan Bang Zaki bisa pegang-pegang badan aku.”
“Emang iya,” Zaki tertawa. “Jadi Bos nggak mau?”

Apa? Dia sudah gila, ya, pake bilang aku nggak mau? Cuma gay nggak normal yang nggak mau. Aku sih yakin straight pun rela telanjang berdua bareng Zaki.

“Tunggu bentar...”
Aduh, gimana ini? Apakah aku harus telanjang dan masuk ke dalamnya? Masalahnya, yang sekarang lagi ngegantung di bawah perutku tiba-tiba berdiri tegak, menyesak celana seragamku, dan bisa-bisa dianggap rudal nuklir yang siap ditembakkan kalau aku membuka celanaku.

Well, Zaki sih sebetulnya nggak masalah sama itu. Dia malah selalu terpukau melihat punyaku itu. Tapi aku jadi malu sendiri.

Tiba-tiba aku teringat Cazzo, lalu mendadak aku dapat ide. “Tapi aku lagi kedinginan,” kataku. “Jadi si ‘Joni’-nya lagi berdiri.”
“Sama Bos, saya juga. Nih si Ucok lagi nantang langit!” Zaki tergelak.

Aku melirik ke arah little jack Zaki, dan memang benar, si Ucok sedang “menantang langit”. Hanya gara-gara ukurannya yang mungil saja yang membuatku nggak sadar kalau si Ucok sudah berdiri dari tadi.

Aku akhirnya melepas semua seragamku dan buru-buru masuk ke dalam jacuzzi dalam kondisi telanjang. Joni tentunya sama-sama menantang langit, dan Zaki menyeru “Uuuhh..” saat melihatnya. Tapi Zaki langsung menarikku ke pelukannya, membuatku bersandar di bahunya dan didekap dengan salah satu tangannya.

Oh, nikmat sekali. Pertama, ada jacuzzi, air hangat, dan pemandangan perbukitan yang menakjubkan. Kedua, ada cowok seksi, telanjang, dan menggiurkan. Ketiga, aku didekap oleh cowok seksi tersebut, leherku sesekali diendus dan kepalaku diusap-usap. What could be romantic (yet exciting) other than that?

“Bos kenapa dari tadi ngelamun aja?” tanya Zaki setelah kami berpelukan selama sepuluh menit. Atau mungkin tiga puluh menit, entahlah, rasanya sudah lama sekali.
“Kapan aku ngelamun?”
“Waktu di mobil, waktu mau ke sini.”
“Oh, aku lagi mikirin pelajaran di sekolah.”

Which is bullshit, karena aku justru lagi mikirin Bang Dicky yang pernah dipenjara dan masuk rehabilitasi. Oke, aku mestinya berhenti membayangkan Bang Dicky terlibat narkoba dan masuk rehab. Sebab belum ada statement menguatkan yang bilang Bang Dicky pernah masuk rehab.

Tapi aku masih penasaran dengan misteri Bang Dicky dan lain-lain. Mungkin aku akan memulai proyek rahasia juga, seperti Jeng Nunuk, mencari petunjuk-petunjuk layaknya Steve McGarret di Hawaii Five-0, dan mungkin melibatkan alat-alat canggih, lalu menemukan jawaban atas masa lalu yang terjadi di rumah Granny.

I mean, kenapa juga residual energy itu hanya muncul di periode-periode tertentu? Kenapa harus pada bulan yang sama setiap tahun, kenapa nggak terjadi di bulan yang lain? Memangnya residual energy punya kalender?

“Tuh, kan, ngelamun lagi.” Zaki mencubit hidungku dan membuyarkan pikiranku.”Mikirin apa sih, Bos?”
“Nggak kok, nggak mikirin apa-apa.” Buru-buru aku memainkan si Ucok untuk mengalihkan perhatianku. Zaki otomatis menggelenyar menikmati usapan tanganku.

“Yah, Bos.... jangan dikocok... aaahhh... nanti muncrat dong isinya.”
“Emang itu kan kepengen Bang Zaki?”
“Ya tapi nggak sekarang. Entar aja, di akhir-akhir, biar nikm—aaahhh... Lagi Bos yang barusan!”

Akhirnya, aku dan Zaki mesum-mesuman lagi. Kali ini lebih jauh daripada biasanya. Kami seperti pasangan suami istri yang sedang honeymoon dan melakukan hubungan sex romantis di depan panorama alam. Ya. Kami melakukan penetrasi lebih jauh. Kami melakukan anal sex!
Dua menit sejak aku memainkan si Ucok, kami mendadak berciuman. Kali ini nggak perlu pake alasan latihan ciuman segala. Aku yang memulai ciumannya karena aku udah nggak tahan lagi. Rasanya nikmaaat banget. Dan oke, mesti Zaki pencium yang buruk, karena dia hobi sekali menjilat-jilati bibirku daripada memainkan lidahnya di dalam mulutku, tapi aku tetap merasa bergairah menikmatinya. Ketika hembusan napas Zaki yang hangat menerpa wajahku, atau saat tangan-tangan Zaki yang besar menelurusi setiap lekuk tubuhku...

Pokoknya itu ciuman terlama yang pernah kulakukan. Menit-menit berikutnya kami isi dengan blowjob, saling mengoral. Aku nyaris orgasme kalau saja aku nggak menghentikan kuluman Zaki yang tiba-tiba terasa nikmat itu. Huh, aku mesti sering-sering onani nih setiap hari. Aku nggak mau mengalami ejakulasi dini gara-gara aku jarang melatih si Joni di bawah sana.

Nah, bedanya mesum kali ini dengan mesum biasanya, berhubungan ini tempatnya romantis dan wonderful banget, kami memutuskan untuk melakukan hal yang lebih jauh lagi. Aku nggak akan menceritakannya lebih detail, biarkan itu menjadi sensasi yang bisa kukenang sendiri. Tapi intinya kami saling melakukan anal sex. Awalnya aku yang dipenetrasi.

“Udah belum, Bang?”
“Udah Bos! Dari tadi udah masuk. Udah masuk semuanya.”
“Oh, masa sih?” Sebab aku pikir yang masuk ke dalam lubangku adalah jempolnya Zaki, bukan alat kelaminnya.

Bagian tusuk menusuk ini bagian yang cukup mendebarkan. Zaki mengalami orgasme ketika masih menggauliku di dalam. Which means, kalau aku wanita, aku sudah hamil besok pagi. Air mani Zaki muncrat di dalam tubuhku dan aku sama sekali nggak merasakan cairan itu mengalir keluar. Dan saat itulah aku baru teringat kondom dan HIV AIDS... which is too late now.

Gimana kalau Zaki terinfeksi penyakit menular dari cewek-ceweknya? I mean, dia kan rajanya mesum di sekitar rumahnya.

“Sekarang giliran Bos!”
“Apa?”
“Mau dimasukin nggak?”
Are you sure? With this size?

Zaki mengerutkan alisnya. Memutar otak. “Sure dong Bos. Why not?”
“Entar Bang Zaki kesakitan. Punya aku kan kegedean.”
Zaki tergelak. “Kalo saya nggak kesakitan, Bos mesti jadi pacar saya. Deal?” tantangnya.
“Itu mah kepengen Bang Zaki!”

“Emang iya, kok! Kan udah pernah bilang, kalo saya sayang Bos dan pengen ada di sisi Bos terus.” Zaki buru-buru memposisikan tubuhnya di atas diriku dan dengan ahli menempatkan lubangnya di atas Joni-ku. “Siap, Bos?”

Tunggu. Kenapa Zaki bisa sepercayadiri itu? Apa dia pernah disodomi sebelumnya?

Ketika punyaku memasuki tubuhnya, nggak ada hambatan sama sekali seperti yang kupikir bakal kualami dengan alat kelamin segede ini. Entah karena Zaki barusan mengoleskan banyak sekali V-Gel di Joni-ku, entah memang dubur Zaki didesain untuk disodomi. Who knows. I mean, seperti di film-film bokep Amerika, kelihatannya gampang banget nyodomi orang. Seolah-olah memasukkan sesuatu ke dubur tuh sesuatu yang nikmat. Seolah-olah tanpa rasa sakit sedikit pun. Padahal kan kenyataannya nggak seperti itu. Jadi aneh aja ketika Zaki bisa melakukannya dengan lancar.

“Kenapa, Bos? Kesempitan?” Zaki mendongak di sela-sela gerakan pantat naik-turunnya.
“Oh, nggak kok. Justru semuanya udah pas.”

Okay, aku nggak akan menceritakan detail lebih lanjut. Intinya sih aku orgasme juga di dalam usus besar Zaki dan kami tertawa-tawa sambil kemudian menikmati lagi pemandangan di hadapan kami. Masih ada lima belas menit lagi sebelum waktu kami di sini habis. Dan kami menghabiskannya dengan saling berpelukan, saling mengecup satu sama lain lalu membahas rencana bagus untuk Sweet Strawberry di girlband fight.

Sampai akhirnya aku teringat lagi soal penjara dan rehabilitasi itu.
Tapi tentunya aku nggak akan bertanya ke Zaki soal penjara dan rehab. Apalagi secara spesifik bertanya, “Jadi Bang Dicky pernah masuk penjara dan rehab, ya?” Zaki kan nggak tahu kalau aku menguping pembicaraannya dengan Granny tempo hari. Dan kayaknya turn off banget mengungkit soal itu di tengah suasana menggairahkan macam begini.

Mungkin aku akan bertanya lain kali saja, saat kondisinya tepat. Aku mesti berhenti memikirkannya untuk beberapa jam saja. Sampai kami tiba di rumah atau apa gitu.

Atau mungkin aku akan menanyakannya selintas saja. Yah, membuat percakapan yang menjurus ke sana. Misalnya, “Bang Zaki tahu Mrs Puff di Spongebob? Lucu, ya. Dia sering banget masuk penjara. Oh, omong-omong soal penjara, Bang Dicky juga pernah masuk penjara, ya?” Semacam itulah, nggak terlalu kentara ataupun mendesak.

Aku menarik napas dan memeluk Zaki lebih erat lagi. Kemudian dengan hati-hati, aku menyinggung-nyinggung soal penjara. “Jadi Bang Dicky pernah masuk penjara dan rehab, ya?”

Oh, sial. Aku lupa menyebutkan “intro”-nya. Bukan berarti aku nggak sabaran sampe-sampe langsung bertanya sespesifik itu.

Zaki menoleh dan mengerutkan alisnya. Jelas dia terkejut dengan pertanyaanku. “Hah? Siapa yang bilang Bang Dicky masuk penjara?”
“Ada deh, yang bilang. Aku udah tahu semuanya,” kataku percaya diri. “Nggak semuanya, sih. Tapi lumayan banyak, lah.”

“Tahu apa? Dari mana?” Zaki mengerutkan alisnya dan benar-benar heran.

For God’s sake, masa sih dia masih pura-pura aja?

“Ya pokoknya, tahu. Bukan berarti aku suka nguping atau apa ya. Aku ini kebetulan pernah research...”
Zaki masih menatapku dengan pandangan heran. Memang kelihatan cute, sih. Tapi dia tetap penasaran, aku ini lagi ngomong apa?

Sepuluh detik Zaki menatap mataku, menimang-nimang, lalu dia memutuskan untuk mendesah dan melemparkan pandangannya ke arah lain. “Terus, yang mau Bos bicarain apa soal penjara itu?”
“Nggak ada apa-apa, kok, aku cuma...” Astaga, benar juga. Apa yang mau aku bicarain tentang penjara itu, ya? Kenapa aku tiba-tiba mengungkitnya barusan? “Aku cuma mau ngasih dukungan aja. Aku ngerti kondisi di masa lalu, sampe-sampe ada yang mesti dipenjara segala. Aku nggak akan ngejudge orang yang masuk penjara sebagai orang yang nggak baik atau gimana.”

“Bener?” Zaki menoleh sambil nyengir.
“Ya!” sahutku menantang. “Aku percaya, kok, Bang Dicky masuk penjara juga pasti karena alasan yang masuk akal. Nggak mungkin Bang Dicky bisa sejahat itu ngebunuh orang. Pasti ada alasan-alasan kuat kenapa kejadian itu mesti terjadi.”

Zaki melamun sambil menatapku beberapa saat. Kemudian dia bangkit dan keluar dari jacuzzi. “Udah abis waktunya, Bos. Pulang, yuk?”

-XxX-

Esoknya, aku berencana memberi kejutan pada Zaki. Bukan kejutan heboh semacam birthday surprise, hanya mau membalas kebaikan Zaki saja yang sudah mau menemaniku selama Bang Dicky nggak ada, dan tentunya karena telah mengajakku berendam (then hookup) dengan latar belakang bukit-bukit hijau.

Aku mau memberinya dua majalah dan satu buku ensiklopedia. Satu majalah Airliner World versi British (karena aku tahu Zaki sekarang bercita-cita jadi pilot dan dia masih terobsesi belajar bahasa Inggris), satu majalah FHM versi english (yang penuh gambar-gambar wanita berbikini di dalamnya—dan dalam bahasa Inggris juga—tapi aku tetap menyiapkan majalah Playgirl di rumahku, andai Zaki sudah berubah haluan menjadi homosexual... I mean, who knows, kan? Videonya hook up dengan cewek udah bejibun tapi melihatku telanjang juga tetap “on”. Mestinya Zaki jadi gigolo. Bisa jadi dia sudah kaya raya sekarang), dan terakhir satu buku pengetahuan besar tentang hewan-hewan marsupilia Australia (karena kapan itu aku pernah denger Zaki pengen punya Koala di rumahnya).

Terlebih sih karena aku tahu, Zaki pengen banget sekolah lagi—Zaenab kan bilang begitu waktu itu. Jadi at least dengan ngasih ensiklopedia, aku udah ngasih sedikit kontribusi buat pendidikan Zaki.

Kesemua hadiah itu aku bungkus dalam kado dan kuletakkan di lokerku di perpustakaan. Kebetulan setelah ditumpuk seperti itu, jadinya berat, dan aku nggak mau menaruhnya di ranselku lalu menggendongnya kemana-mana.

“Siap pulang?” sapanya ketika tiba di CIS sambil menaikkan salah satu alis. “Nggak ada anak nakal yang gangguin lagi?”
Aku tergelak. “Nggak kok, Bang. Udah aman semuanya. Bang Zaki turun dulu, yuk? Anterin aku ke dalem.”

“Ke mana?” tanya Zaki bingung. “Bos ada pensil yang ketinggalan?”
“Ya nggak, lah. Ngapain juga ketinggalan pensil mesti ngajak Bang Zaki ke dalam. Udah yuk, sini ikut aja.” Aku membuka pintu mobil dan menarik Zaki turun. “Aku mau ngasih sesuatu buat Bang Zaki.”

TO BE CONTINUED....


next chapter
 
 

0 comments:

Post a Comment