DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Kadang Cupid Tuh Tolol! Chapter 9 (6)

-chapter 9- ( 6 )
by MarioBastian


Zaki terlihat berbinar-binar. “D-di sini, Bos? Aduh, saya belum mandi, nih!”
Aku mematung dan berbalik. “For God’s sake, Bang Zaki, emangnya Abang pikir aku mau ngasih apa? No sexual content, here. Jadi nggak usah cemas kalo belum mandi.”
“Oh.” Sekarang dia kelihatan kecewa.

Dasar ya, cowok. Prioritas utama tuh sex. Nggak peduli straight, bi, atau gay. Selama kebutuhan biologis terpenuhi, maka hidup berlangsung normal.

Tapi mungkin aku akan memberikan blowjob sebagai kejutan tambahan. Hanya blowjob saja.

“Beneran Bos, saya masuk juga?” tanya Zaki ketika kami melewati gerbang CIS dan mengendap-endap ke koridor kosong di utara gedung. “Gimana kalo kepergok? Saya kan nggak pake seragam!”
“Tenang aja. Semua guru udah pulang. Murid-murid juga udah pada nggak ada, paling anak-anak yang lagi ekstrakurikuler aja.”

Kami tiba di perpustakaan CIS semenit kemudian. “Aku punya kunci cadangan buat ruangan ini, dan sekarang giliran piket aku. Di dalem nggak ada siapa-siapa.” Aku membuka pintu perpus dan mengajak Zaki masuk.

Perpustakaan itu begitu hening dan sepi. Aroma kayu, debu, dan buku langsung menusuk hidung. Tidak ada orang, tidak ada petugas perpus, yang ada hanya jutaan buku, lounge baca, karpet pakistan cantik dengan bantal-bantal cushion, perapian yang bisa dinyalakan karena menggunakan electric fire... Lama-lama tempat ini lebih cocok digunakan mesum daripada untuk membaca buku

“Rental buku?” tanya Zaki.
“Oh, bukan. Ini perpustakaan. Bukan rental buku.” Aku menarik Zaki ke lorong loker anggota perpustakaan, yang terletak di sebuah sudut yang gelap.
“Jadi di sini nggak bisa minjem buku?”
“Ya bisa dong, asal dikembaliin tepat waktu.”
“Berarti ini rental buku,” ujar Zaki percaya diri.

Terserah, deh. Aku membuka lokerku, mengeluarkan sebuah kado, dan tanpa basi-basi langsung menyerahkannya pada Zaki. “Kejutaaaannn!!” Okay, mungkin ini kejutan paling garing yang pernah ada, tapi who cares. Toh yang penting kan apa yang bisa kuberikan.

“Bos!” Zaki terheran-heran. “Saya nggak lagi ulang tahun, Bos!”
“Emang kenapa kalo nggak ulang tahun? Emang mesti ulang tahun dulu buat nerima kado?”
“Iya, Bos. Biasanya kado kan buat ulang tahun.”

Zaki membolak-balik kado itu, sesekali mendengar isi di dalamnya, barangkali dia bisa mendapat petunjuk atau apa gitu. “Ini jam dinding, ya?” tanyanya. “Atau pigura?”
“Enak aja. Buka aja sendiri kalo pengen tahu.”

Zaki cekikikan sambil merobek kertas kado. “Biasanya sih, kalo bentuknya begini, isinya jam dinding atau pigura.” Dia berhasil menarik kotak kardus yang barusan terbungkus kertas kado. “Tuh, kan. Ada kardusnya. Saya pernah ngebantuin si Memet, tetangga saya yang kawin pas bulan Maret kemaren, rata-rata yang bentuknya gini tuh jam dinding.”

“Ini bukan jam dinding,” sahutku sambil membawanya ke lounge baca.

Zaki mengeluarkan isi kotak kardus itu dan terpukau dengan majalah yang pertama kali ditariknya. “Bos! Ini majalah pesawat! Pake bahasa Inggris!” Zaki berseru girang dan mendahuluiku duduk di atas bantal-bantal cushion di lounge baca. “Ada banyak gambar pesawat, Bos!”

Ketika dia melihat majalah berikutnya, FHM, dia makin berteriak-teriak girang. “Eduuun, Bos! Bisa dapet majalah Playboy!”
“Itu bukan Playboy.”
“Ini Playboy, Bos! Lihat nih, gambar depannya cewek cuma pake kutang sama cangcut doang!”
“Itu bikini!” Eeerrgghh...
Aku baru hendak menunjukkan tulisan FHM di cover depan tetapi Zaki sudah sibuk membuka-buka majalah. Apalagi ini edisi baru. Jadi Zaki pasti lagi semangat-semangatnya.

Selama lima menit pertama, Zaki nggak bisa diganggu. Aku mengambil minum dari dispenser, mengecek siapa petugas piket untuk besok, lalu kembali ke lounge baca dan duduk di samping Zaki. Dia sudah nyaris tamat mengagumi gambar model berbikini yang sedang berpose di bathub.

“Makasih Bos, buat kadonya.” Zaki nyengir dan tanpa pikir panjang langsung mengecup bibirku.
“Ngapain kamu?” Aku mendorong kepalanya ke belakang. “Ini di sekolah, jangan ngelakuin adegan mesum, deh.”
“Tapi Bos kan pacar saya sekarang!” Zaki nyengir.
“Sejak kapan?”
“Sejak saya nggak kesakitan waktu Bos tusuk kemaren...”
“Apa?”

Memoriku memutar lagi ingatan sewaktu... Oh, tidak. Aku dan Zaki memang pernah bikin deal soal itu. Kalau Zaki nggak kesakitan pas aku “tusuk”, dia bakal jadi pacarku. Tapi kupikir itu hanya basa-basi semata. Sebab Zaki nggak membahasnya setelah kami pulang. Aku bahkan lupa dengan deal itu.

“Tapi itu kan cuma basa-basi,” kataku sambil tergelak. “Bang Zaki nggak serius waktu itu.”
“Aku serius.” Zaki meletakkan majalahnya di atas karpet dan mulai menatapku dengan serius.

Astaga, aku benci tatapan seperti itu. Apalagi dari mata Zaki. Dia kan biasanya penuh ketololan dan gairah seks. Melihatnya memandangku penuh keseriusan seolah aku sedang ditatap oleh Kepala Sekolahku.

“No, Bang Zaki. Abang nggak serius. Itu kan konteksnya bercanda.” Aku masih berusaha menjelaskan yang sebenarnya. Setidaknya, apa yang kupikir adalah sebenarnya.
“Saya mah nggak bercanda, Bos. Saya kirain sejak kemaren kita udah pacaran, Bos. Saya kirain Bos ngasih ini buat hadiah pacaran kita.”
“Nggak kok...” tukasku. “Aku ngasih ini karena aku mau berterima kasih sama Bang Zaki, karena udah nemenin aku selama Bang Dicky nggak ada, karena udah ngajak aku maen ke Subang kemaren itu, lah...”
“Oh.” Zaki patah hati. Aku bisa melihat dari kilatan matanya.

“Bang Zaki—“
Zaki menyelaku dengan mengangkat tangannya. Dia lalu membereskan dua majalah yang ada di karpet, meletakkannya kembali ke dalam kotak kardus, dan tangannya gemetaran.

“Nggak apa-apa, Bos, saya udah ngerti, kok,” ujarnya lirih. Untuk beberapa detik pertama, dia mencoba menghindar dari tatapanku, membuang mukanya jauh-jauh sampai akhirnya berani menatapku lagi, nggak benar-benar menatapku sih tapi lumayan dekat lah, memberikan tatapan kosong ke arah langit-langit dan kulihat bola matanya berair. “Ini semua soal si Dicky lagi, kan? Saya emang nggak pernah bisa ngalahin si Dicky... Selalu dia aja yang dapet semuanya.”

Aku mendongak dan berniat membantah, bahwa ini nggak ada hubungannya dengan Bang Dicky, tapi tak satupun kata keluar dari mulutku.

“Selalu si Dicky yang jadi pusat perhatian. Selalu si Dicky yang dipilih semua orang. Masakannya, lah. Beres-beresnya, lah. Apa karena saya mah cuma kurir kayu, gitu? Karena saya lebih miskin?”
“Ya nggak, lah,” sanggahku. “Apa-apaan sih Bang Zaki ngomong kayak gitu? Aku temenan sama orang bukan karena hartanya, jadi nggak pantes Bang Zaki ngomong soal itu.”

“Tapi Bos tetep milih si Dicky, kan? Karena dia lebih ganteng, kan?”
For God’s sake, Bang Zaki. Antara Bang Zaki sama Bang Dicky masih lebih gantengan Bang Zaki. Aku nggak milih orang karena kegantengannya juga.”
“Saya lebih ganteng? Lalu kenapa nggak milih saya juga? Saya mesti lebih jelek dari si Dicky, gitu?”

Aku menghela napas. “Aku... aku belum siap untuk ini.” Beberapa detik jeda dan kami hanya terdiam. “Lagipula aku pikir, Bang Zaki nggak mungkin bisa cinta sama aku.”
“Saya cinta, Bos!” tukas Zaki buru-buru. “Kenapa Bos mikir kayak gitu?”
“Karena aku tuh laki-laki, Bang! Dan aku yakin Bang Zaki normal. Aku yakin Bang Zaki sebenernya suka perempuan, I mean, lihat aja jumlah video bokep Bang Zaki sama cewek-cewek se-Kelurahan, pasti jumlahnya jutaan. Satupun nggak ada video bokep sama laki-laki. Sementara aku ini laki-laki. Jadi kesannya... nggak normal aja. Ini bukan yang Bang Zaki cari.”

“Tapi saya pengennya ama, Bos. Saya nyamannya sama Bos.”
“Yang kita lakuin selama ini cuma have fun, Bang. Abang seneng sama aku karena punyaku gede, lalu Abang kagum ngeliatnya, lalu Abang suka main-mainin karena Abang nggak punya yang segede aku, tapi bukan berarti Abang berubah jadi... suka cowok juga. Ini semua cuma sugesti Abang aja.”

“Sugesti?” ulang Zaki dengan nada tersinggung. “Saya tahu kok Bos, apa yang ada di hati saya. Apa yang ada di hati sama apa yang ada di sugesti saya tuh, beda.”

Aku kehabisan kata-kata. Tiba-tiba saja semua hal yang sebelumnya pernah kupikirkan tentang Zaki, lenyap begitu saja dari otakku. Bersembunyi dalam sebuah folder nun jauh di sana yang nggak bisa kujangkau dan kumuntahkan di depan Zaki.

“Udah, Bos. Saya nggak mau debat sama Bos. Lagian saya tahu kok endingnya gimana. Pasti Bos tetep pilih si Dicky.”
“Aku nggak pilih siapa-siapa.”
“Ya tapi nantinya bakal pilih si Dicky.” Zaki mendengus. “Oh! Atau temen Bos yang imut-imut itu, yang ganggu itu. Si Kejo? Si sangu. Kejo kan artinya nasi, Bos. Berarti kalo nggak ada si Dicky, pilihan kedua mah si Kejo. Udah ketebak. Saya mah nggak pernah ada di daftarnya, Bos.”

Zaki membereskan hadiahnya, lalu merapikan kertas kado yang sudah dirobeknya. Jemarinya masih gemetar saat melipat-lipat kertas kado barusan. Pandangannya pun sering kosong. Kepalanya terus menerus menunduk... dan aura charmingnya lenyap.

Dia benar-benar patah hati.

“Tapi tenang aja, Bos,” kata Zaki kemudian. “Dicky pasti pulang ke rumah Nenek sekitar dua minggu dari sekarang. Setiap tahun selalu begitu. Jadi bos udah bisa ketemu Dicky sebentar lagi.” Zaki berdiri dan berjalan meninggalkan karpet pakistan di lounge baca. “Pulang yuk, Bos?” Astaga, lihat lututnya yang gemetaran.

Zaki sedang menahan rasa sakit. Dia sedang menahan tangis.

“Bang Zaki tunggu!”

Tanpa pikir panjang aku langsung berlari menghampiri Zaki, memutarnya, menjinjitkan kakiku... dan mulai mengecupnya. Bukan, aku mencumbunya. Aku menarik kepala Zaki mendekat ke arahku, meletakkan bibirku di bibirnya, mendesak mulut itu agar membuka dengan lidahku, dan mulai menelusuri rahang mulutnya sambil mengecup-ngecup bibirnya. Aku menutup mataku. Merasakan sensasi hangat dari deru napas Zaki.

Aku nggak suka membuat orang begitu kecewa. Apalagi ini Zaki. Siapapun yang kupilih, sebetulnya aku sayang Zaki. Mungkin tidak sebesar sayangku pada Bang Dicky, tapi bagaimanapun juga, Zaki adalah salah satu orang yang pernah menghiasi perjalanan hidupku. Dia telah memberikanku banyak petualangan baru. Dia telah mengajariku banyak hal.

Aku nggak mau mengecewakan Zaki. Aku nggak mau membuatnya patah hati. Aku nggak mau membuatnya sedih. Apapun yang terjadi, sebetulnya aku sayang Zaki.

“Bos?” Zaki melepaskan kecupanku. “Ngapain, Bos?”
“Aku sayang Bang Zaki. Please, jangan kayak yang patah hati gitu, aku nggak tega ngeliatnya.”
“Tapi ini kan di sekolah, Bos. Jangan mesum-mesuman.”
“Who cares! Nggak ada yang ngelihat ini, kok.”

Zaki mengerutkan alisnya. “Sebenernya ada, Bos.” Dia lalu mengedikkan kepalanya ke belakang dan dengan ngeri aku menoleh....

DEG.
Sial!
SIAL SIAL SIAL!!

Ada Cazzo di situ!

Tubuhku langsung merinding ketika menyadari Cazzo sedang berdiri di pintu perpustakaan, menggenggam ranselnya yang disampirkan di bahu dan menatapku dengan tatapan dingin. Kami bertatapan selama sekitar sepuluh detik sampai akhirnya Cazzo berbalik dan meninggalkan perpustakaan.

FOR GOD’S SAKE!! Kenapa harus selalu ada Cazzo?!
Kenapa dia selalu muncul di saat-saat yang tidak tepat?!

Tanpa pikir panjang aku langsung berlari keluar perpustakaan, meninggalkan Zaki sendirian. Aku menghampiri Cazzo yang berjalan tergesa-gesa di sepanjang koridor, pikiranku langsung melantur kemana-mana membayangkan skenario terburuk. Bisa jadi Cazzo melihatku berlari menghampiri Zaki dan dengan romantis menciumnya, sesuatu yang sekalipun nggak pernah aku dan Cazzo lakukan kecuali ciuman pemaksaan waktu di bandara. Dan sial, mungkin dia juga mendengar kata-kata “Aku sayang Bang Zaki” yang setelah dipikir-pikir kelihatan sangat tulus sekali, bukan sekedar orang yang sayang pada orang lain sebagai teman atau sahabat.

Perutku langsung mulas membayangkannya. Makin runyamlah hubunganku dengan Cazzo. I mean, bukannya aku mengejar-ngejar dia atau apa, tapi kan aku nggak mau seseorang menganggapku brengsek gara-gara aku cium sana cium sini. Lagipula aku orangnya nggak tegaan. Aku nggak bisa ngelihat orang patah hati gara-gara aku.

Astaga, cepat sekali Cazzo jalannya! “Cazzo! Tunggu!”

Dulu Adam pernah bilang, dia iri dengan diriku karena didekati tiga cowok ganteng dan semua-muanya straight act, dan semua-muanya perfect. Hidupku sebagai gay katanya sempurna! Well, sekarang, masih irikah dia kalau tahu kondisinya kayak begini? Yang satu jadi orang gila dan ngumpet bareng ibunya, yang satu salah paham melulu dan selalu berada di tempat yang salah, dan yang satu kurang percaya diri ditambah aku nggak cinta-cinta amat ama dia.

Jadi sekarang, bagian mana yang sempurnanya?

“Cazzo!” Aku berhasil mendahuluinya dan mendorongnya ke dinding, membuatnya berhenti. Cazzo memang berhenti tapi dia malas melihat mukaku. Aku membuka mulutku, kemudian... kemudian... apa yang mau aku bicarakan sebenarnya?

Cazzo mendelik sekilas ke arahku, sinis. Dan aku hanya menganga saja, masih meramu kalimat apa yang mesti kulontarkan dalam kondisi seperti ini. Selintas aku menyesal, kenapa juga aku harus mengejarnya? Memangnya apa yang mau kujelaskan?

It’s over, Bro,” ujar Cazzo kemudian, getir. Aku melihatnya menelan ludah dan dia sekuat tenaga menahan tenggorokannya yang tercekat. “Gue udah nyerah, kok. Gue nggak pernah bisa jadi orang dewasa seperti yang lo pengenin.”

“Siapa yang pengen orang dewasa, emangnya?” tukasku.
“Itu, buktinya! Lo emang cuma bisa sayang ama yang lebih tua daripada lo. Bukan yang seumuran ama lo.” Cazzo menelan ludah lagi. “Seumuran yang bahkan lebih childish daripada umurnya.”

Cazzo mencoba tersenyum di tengah kegetirannya. Dan aku makin merasa bersalah. “Gue datang barusan karena gue pikir... gue pikir masih ada harapan antara gue ama lo... gue pikir gue bisa percaya ama apa yang lo coba buat jelasin selama ini... kalo yang kemarin tuh cuma latihan, lah... kalo lo tuh nggak ada apa-apanya sama... dia, lah...”

“Aku emang nggak ada apa-apa—“
“Masih nyangkal juga?” Cazzo mengerutkan alisnya dan dia tampak tertekan. “Gue denger banget apa yang lo bilang tadi, Bro. Sekarang lo mau bilang apa lagi? Lo mau bilang kalo tadi pun cuma latihan?”

“A-aku...”
Cazzo mengangkat tangannya.
“Seperti yang gue bilang, it’s over.” Cazzo mendesah dan memalingkan mukanya. “Lo nggak usah khawatir lagi sekarang, nggak usah ngirim-ngirim message lagi buat ngejelasin apapun, gue udah bisa nerima. Sorry kalo gue ngebikin lo ngirim ratusan message cuma buat minta maaf ama gue, sementara guenya malah cuek ama lo.”

“Tapi aku—“
Please, Bro.” Cazzo meletakkan jemarinya di depan mulutku. “Nggak usah ngomong apa-apa lagi. Biarin gue belajar buat nerima apa yang gue dapet. Biarin gue belajar buat ngadepin perasaan gue sendiri.”

Cazzo menatapku serius. “Gue juga sekali-sekali pengen belajar buat dewasa, nggak melulu ngikutin kata hati gue. Gue juga sesekali mesti belajar ngorbanin perasaan gue. Gue kan ngefollow kata-kata bijak di twitter, katanya kadang manusia mesti belajar buat menghilangkan sesuatu.”
“Kehilangan,” ralatku.
“Nah, itu. Jadi please, tolong biarin gue sendiri dulu, oke Bro?”

Cazzo mendesah meletakkan tangannya di bahuku. “Gue nggak akan marah ama lo, kok. Gue bakal belajar buat nerima lo apa adanya, seperti yang lo lakuin ke gue selama ini. Lo tetep temen gue. Dan thank you udah ngebiarin gue jadi diri sendiri di depan lo.”

Cazzo melangkah perlahan meninggalkanku. Menoleh selintas, melontarkan senyum getir, lalu berkata, “Mungkin lain kali gue lebih beruntung?” dan tergelak. Beberapa langkah kemudian, kulihat bahunya berguncang.

-XxX-

Tepat sekali saat Granny menyebutku galau begitu aku sampai di rumah. Granny sedang latihan bersama Sweet Strawberry-nya di ruang tengah, memutar lagu soundtrack Pocari Sweat itu berulang-ulang dan melatih pose Jeng Imas agar nggak kaku lagi. Sebuah pose inappropriate, karena mengharuskan nenek-nenek ini menunggingkan pantatnya sambil membungkuk. I mean, nggak ada pose lain yang lebih Nenek-siawi, gitu?

“Pasti gara-gara Esel lagi, kan?” tanya Jeng Novi saat Granny bilang aku sedang galau. “Kita mesti bener-bener ngalahin Itsy Bitsy itu! Saya juga sebenernya nggak suka sama cucunya Jeng Nunuk yang itu. Terlalu lebay, dan terlalu... mencolok.”
“Bener banget, Jeng Novi,” sambut Jeng Imas. “Kapan itu si Esel jajan di warung saya dia pake hot pants sama kaus lekbong. Belum lagi rambutnya dikucir lima belas. Astagfirullah, mau jadi apa coba dia? Tata Dado?”

Aku, yang sedang galau, langsung mengganti seragamku, mandi, dan duduk-duduk di bangku semen depan workshop. Bandung kebetulan cerah malam itu. Langit penuh bintang dan bulan bulat sempurna. Sayangnya suasana hatiku nggak seindah malam itu. Perasaanku gundah gulana. Seolah ada orang yang baru saja merenggut nyawaku dan aku ini zombie yang berjalan-jalan tanpa roh.

Menyebalkan sekali kalau sudah merasa bersalah seperti ini.

Aku melamun menatap vegetasi halaman belakang Granny. Selintas berharap ada pertunjukan residual energy yang menghibur, misalnya dahulu kala ada pertunjukan drama di sini atau apa gitu. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, nggak ada gunanya juga pertunjukan drama. Aku bakal tetap merasa galau.

Aku masih tak dapat melupakan wajah Cazzo yang tersakiti sore tadi. Bagaimana tatapan matanya mencoba tegar menghadapi cobaan padahal dapat kulihat kilatan rasa perih di bola matanya. Dan saat bahunya berguncang, entah bagaimana, hatiku ikut teriris. Aku merasa bersalah sekali. Aku merasa tolol sekali.

Aku sudah tiba di sebuah fase di mana mati bukanlah ide buruk. Aku serius. Hatiku rasanya hampa mengingat-ingat lagi pemandangan itu. Maksudku, untuk apa lagi aku hidup? Image-ku sudah buruk karena seantero dunia sudah mencapku gay. Aku sudah nggak mungkin menikah dengan perempuan karena mereka semua sudah tahu aku cuma suka laki-laki. Nenekku perang, dan itu semua gara-gara aku. Dan yang kulakukan dalam hidupku hanya membuat kalut perasaan orang lain saja? Membuat banyak orang patah hati sementara orang yang kukejar bahkan nggak menginginkan aku ada di sampingnya?

Masuk akal, bukan, kalau aku menyusul Mom and Dad? Jelas-jelas aku bisa berkumpul bersama mereka di alam baka sana. Aku nggak perlu mikirin lagi soal cinta, soal sekolah, soal semua tetek bengek kehidupan yang hanya membuat kepalaku frustasi. Mungkin di alam baka justru aku bisa hidup tenang. Mungkin bahkan semua masalah-masalah duniawi ini bakal lenyap kalau aku masuk ke alam baka.

Sekarang tinggal mikirin gimana caranya biar aku bisa mati.

“Dickyyy!!”

Nah, kan, residual energy halaman belakang udah mulai bermunculan. Dan anehnya, aku nggak ngerasa takut sedikitpun. Mungkin karena aku sedang galau, jadi kalau tiba-tiba muncul pocong pun aku bakal biasa-biasa saja. Bukan berarti aku mengharapkan ada pocong di depanku atau apa, ya.

“Dickyyy!!”
Suara itu masih sayup-sayup kudengar. Saking sayupnya, aku malas mencari sumbernya.

Aku sudah membuat beberapa kesimpulan dari residual energy yang muncul di rumah Granny. Pertama, aku yakin banget anak tukang nangis itu adalah Bang Dicky. Wajahnya mirip banget dengan salah satu anak di foto-foto kamar terlarang, dan kalau kamu melihat alisnya, kamu pasti setuju dengan pendapatku. Apalagi ternyata residual energy Granny pun sanggup muncul, which means, dua orang anak itu bisa jadi masih hidup saat ini.

Kedua, aku yakin Bang Dicky sering diperkosa oleh Pak Darmo dan itulah satu-satunya alasan dia membunuh bapaknya sendiri. Sesuatu hal yang memang pantas dilakukan, sebetulnya. Gara-gara kejadian itulah makanya Bang Dicky mendadak gila dan mengasingkan diri di saat residual energy itu banyak bermunculan di rumah Granny. Mungkin dia menderita trauma atau phobia sesuatu. Selain phobia-nya terhadap pemakaman, yang sampai saat ini masih misteri bagiku.

Ketiga, Bang Dicky punya teman bernama Kila yang kelihatannya heroik dan best friend banget. Dan si Kila ini dulu sering main ke sini, which means dia tahu banyak tentang masa lalu rumah ini, which means Granny kenal, which means aku bisa mencari keberadaan Bang Kila ini di mana pun itu, karena bisa saja Kila masih hidup, kan? Umurnya pasti seumuran Bang Dicky. Mungkin dia sudah menikah dan punya anak? Mungkin dia juga tinggal di Cimahi dan selama ini Bang Dicky keep in touch?

Tapi sungguh, deh, melihat kondisiku seperti ini, malas banget kalau mesti nyari di mana Bang Kila berada. Jujur aja, aku udah setengah nggak peduli dengan misteri rumah ini. Mungkin misteri memang ada untuk tetap menjadi misteri. Mungkin beberapa hal memang sebaiknya dibiarkan rahasia untuk kepentingan banyak pihak. Mungkin memang benar kata Granny, ini bukan waktuku untuk mengetahui semuanya.

Mestinya aku fokus dengan masa depanku. Mestinya aku bahkan nggak mikirin ini sama sekali. Aku punya cita-cita kembali ke New Jersey dan melanjutkan kuliah di sana, at least di Amerika nggak ada yang tahu aku gay, kecuali ada anak CIS yang move out ke sana dan menyebarkannya seantero United States. Aku ingin jadi pengusaha yang sukses. Aku ingin seperti ayahku yang bisa dipindahkan dari Indonesia ke Amerika karena prestasi kerjanya. Aku ingin banyak uang supaya aku bisa berfoya-foya.

“Dickyyy!!”
“Berisik!” desisku. Kenapa suara sayup-sayup itu tetap muncul, sih? Kenapa nama Bang Dicky dipanggil-panggil terus? Memangnya petunjuk apa yang mau dipertontonkan padaku? Beneran, deh. It is absolutely clueless.
“Namaku Dicky! Dickyyy!! Di sini!”

Oh, sekarang sudah ada kemajuan ternyata—setelah aku sindir dalam hati. Tapi tetap saja, it shows me nothing. Aku masih nggak tahu dari arah mana suara sayup-sayup itu muncul. Seperti berada... jauh, sekali. Seperti ada seseorang yang berteriak dari rumah Jeng Nunuk ke rumah Granny. Bukan, mungkin sekitar tiga rumah dari sini, dan yang berteriak itu seperti berada dalam sebuah kotak kaca di mana suara susah keluar. Intinya suara itu keciiiil sekali. Mungkin untuk beberapa orang, kedengarannya seperti suara tikus yang mencicit.

Eh, tunggu! Ke mana workshop Bang Dicky?

Ketika aku menoleh ke sana kemari mencari sumber suara itu, aku menemukan bahwa workshop yang selama ini ada di pojok halaman belakang tiba-tiba menghilang. Semuanya digantikan dengan taman bunga indah yang ada kolam ikannya.

Sial. Aku pasti sedang masuk dunia residual energy. Kenapa mesti sekarang, sih? Kenapa mesti di halaman belakang? Kenapa mesti malam-malam dan saat aku lagi galau?

Aku tetap duduk di bangku semen, menatap sekeliling taman dan mencoba mencari sebuah pergerakan yang signifikan. Tapi halaman belakang ini tetap sepi. Tidak ada aktifitas visual residual energy di sini. Yang ada hanyalah nama Dicky yang terus menerus dipanggil. Yang kelihatannya berasal dari Bang Dicky sendiri.

Lima menit. Sepuluh menit.
Ya Tuhan, mana penampakannya? Kenapa nggak ada yang muncul sedikitpun? Kenapa workshopnya belum kembali ke halaman belakang? Aku masih terjebak di dunia residual energy, kan?

Dengan kesal aku meninggalkan tempat itu. Biar saja halaman belakang tetap tampil dalam mode residual energy, toh aku tetap bisa masuk ke rumah dan tidur di kamarku. Aku perlu istirahat. Semua kegalauan ini menguras energiku. Mungkin aku butuh spa, atau Thai Massage, atau...

Tunggu. Kenapa dapur Granny seperti ini? Ini jelas bukan dapur yang biasanya. Ketika aku masuk dari pintu belakang, aku melihat posisi dapur yang 100% berbeda dari dapur biasanya. Kulkasnya berbeda, kompornya berbeda, kumpulan pancinya berbeda. Astaga... memangnya dapur Granny juga kena efek residual energy?

Memangnya aku masih ada di dunia lain?

Tiba-tiba rasa ngeri merayapi tubuhku. Entah kenapa otakku tiba-tiba teringat film Silent Hill yang pernah kutonton waktu aku masih SD. Itu salah satu film terseram yang pernah kulihat. I mean, siapa yang mau terjebak di dunia lain?

Sekarang aku seperti Rose Da Silva, wanita di Silent Hill yang terjebak itu. Sial. Jantungku berdebar kencang sekarang. Gimana caranya aku bisa kembali?

“Mau teh manis anget?” Tiba-tiba Granny menghambur masuk ke dapur, mengenakan dress bunga-bunga seperti yang pernah kulihat sebelumnya, tapi kali ini warnanya lebih cerah. Rambut Granny dipotong pendek. Mirip Princess Diana yang gambarnya pernah kulihat di buku ensiklopedia.

“Nggak usah, Bu. Ambilin piring kecil aja. Saya udah bawa termos dari rumah, kok!”

Tunggu. Suara itu kukenal. Suara itu seperti pernah kudengar sebelumnya... bahkan mungkin aku sering mendengarnya. Nggak mungkin itu...

Aku berlari secepat kilat menuju ruang tengah, yang tentunya memiliki dekorasi berbeda dibandingkan yang kuhuni sekarang. Tidak ada tirai putih kuntilanak di jendela, tidak ada gadget canggih seperti laptop dan sophisticated-speaker yang sebetulnya saat ini sedang digunakan Granny yang asli untuk latihan, tidak ada juga TV plasma besar yang biasanya nongkrong di ruang tengah.

Ruangan ini lebih lembut dan hangat, dengan sofa warna mocca dan cover lampu meja motif retro. Lemari dan meja kayu jati bertengger di sepanjang ruangan, dengan lampu warna warni berbentuk air mancur diletakkan di sudut ruangan.

Tapi jantungku langsung berhenti berdetak saat melihat siapa yang duduk di atas sofa mocca itu.

Itu..

Itu...

Mom...

Dan Dad...

Dan seorang balita berumur dua tahun yang berlari kesana kemari menabrak sofa, sambil mengenakan sweter pink bergambar kelinci.

Itu...

Itu aku.

“Mangkok segede gini cukup?” Granny muncul sambil membawa sebaki teh manis disertai mangkuk bayi plastik warna putih. “Kayaknya punya Agas ketinggalan waktu bulan kemaren ke sini. Udah Ibu cuci, kok.”

“Makasih, Bu.” Mom buru-buru mengaduk tasnya mencari sesuatu. “Agas, sini! Itu salam dulu sama Nenek!”
“Agas... cucu cakep kesayangan Neneeek...” Granny membentangkan kedua tangannya dengan lebar, tapi Agas kecil malah menatapnya dengan pandangan “Apa sih kamu?” lalu berlari menuju lampu hias air mancur itu.

Tubuhku gemetar melihat pemandangan itu. Itu aku. Diriku. Belasan tahun lalu saat aku masih berumur dua tahun?
Aku terduduk di salah satu sofa, terpana melihat residual energy yang terhampar di depan mataku. Nggak mungkin aku bisa melihat ini semua. Nggak mungkin. Pasti aku mimpi. Pasti aku—

Oh, Mom! Aku kangen!

Tanpa sadar aku memeluk Mom tapi tubuhku menembus sosoknya. Aku terduduk lagi di sofaku sambil meneteskan airmata. Sudah beberapa bulan aku nggak melihat Mom. Dan Dad! Ya Tuhan, Dad begitu muda dan ganteng. Dan sekarang mereka berdua ada di hadapanku. Tampak lively! Tampak muda! Dan tampak... bahagia.

“Si Agas ini suka banget sama Promina lho, Bu,” ujar Mom sambil mengaduk-aduk semangkuk bubur lembut warna merah muda yang sudah dicampur air hangat. “Susah banget dikasih makanan lain kecuali Promina. Apalagi kalo dikasih buah-buahan, iiihh, dia benci.”

Aku benci buah-buahan?!
For God’s sake! Residual energy ini mengada-ada! Aku cinta buah-buahan!

“Tapi kemaren dia makan melon, kok,” timpal Dad. “Sebetulnya kalo dikasih susu, bakal dimakan ama si Agas.”
“Tapi tetep aja rewel kalo ngelihat ada buah-buahan di atas meja.” Mom memutar bola mata. “Agas sini Sayang... mamam dulu...!”

Aku menangis terisak-isak melihat pemandangan itu. Melihat Dad mengawasi Agas kecil berlari ke sana kemari, dengan tatapan khasnya yang penuh keyakinan. Lalu melihat Mom memutar bola matanya... aku rindu saat Mom sering memarahiku karena menjadi remaja bandel dan yang dia lakukan hanyalah memutar bola matanya. Andai aku bisa kembali ke masa-masa itu, aku nggak akan berkedip sedikit pun demi bisa melihat Mom lebih lama lagi.

“Mungkin kalian bisa coba Buah Naga,” usul Granny. “Ada temen Ibu yang tinggal di Thailand, katanya ada buah-buahan bagus yang bentar lagi mau diimpor ke Indonesia. Namanya Dragonfruit. Kali aja Agas suka.”
“Saya juga pernah denger,” sahut Dad. “Di Vietnam. Tapi kalo nggak salah itu tanaman hias. Hey-hey, Agas! Jangan narik-narik tirai.”

Agas kecil mengerutkan alisnya dan ngambek ke ayahnya. Dia berlari ke arah Ibunya lalu memeluknya.

Astaga, itu pasti bukan aku! Bukan! Aku kan nggak secengeng itu!

Tapi sekarang aku iri. Andai aku ini residual energy, mungkin sekarang aku sudah bisa memeluk Mom dan Dad.

“Eh, Agas mau main sama Kila sama Dennis, nggak?” tanya Granny. “Mereka masih ada di sini, lho...”
“Emangnya belum pada pulang?” tanya Mom.
“Mereka nginep kayaknya. Bantuin pak Darmo bikin hiasan pagar buat kebun belakang.”

Kila dan Dennis?

“Tunggu bentar. Kilaaa? Denniiis?” Granny bangkit dan pergi ke kamar belakang. Meninggalkanku, Mom dan Dad, dan Agas kecil.

Aku terpana menatap keluarga kecil itu. Sebuah keluarga baru. Keluarga yang masih penuh senyuman. Dengan seorang anak balita tanpa dosa, yang sekarang sedang melempar-lemparkan bubur bayi ke arahku (untungnya hanya bayangan), lalu Mom marah dan menggendongnya... dan Dad malah asyik mencicipi bubur bayi itu.

“Mereka tuh jadinya diasuh sama si Ibu?” tanya Dad.
“Ah, nggak kok. Mereka juga pulang ke rumah,” jawab Mom. “Agas, jangan nakal! Jangan sampe Mama hukum Agas kayak malem kemarin waktu Agas mainin Lipstick Mama.”

Mukaku memerah. Astaga, sudah sejak kecil ternyata aku berbakat menjadi gay.

“Yang satu itu yatim-piatu kan, ya?” Dad menggelitiki Agas kecil yang nggak bisa diam. “Siapa sih, si Kila kan ya?”
“Iya. Dennis kan anaknya Pak Darmo. Anaknya tuh ada dua, yang paling gede tuh si Dicky.”

Dad merenung. Menatap Agas kecil yang merengek minta turun. Mendadak Dad manggut-manggut. Biasanya dia begitu kalau sedang mendapat ide. “Kalo kita bawa si Kila gimana?”
“Ke Amrik?”
“Yup. Nemenin si Agas.”
“Urusan administrasinya gimana? Kita mesti ngurus custody dulu, nggak?”

Dad mendesah. “Kita pikirin entar aja. Kita obrolin entar ama si Ibu. Lagian kita juga belum bilang soal itu.”

“Agaaasss!” Tiba-tiba dua bocah kecil yang akhir-akhir ini sering kulihat penampakan residualnya, muncul dari dapur. Granny berjalan di belakang mereka sambil tertawa-tawa. Anak yang biasa mengenakan baju Power Ranger langsung menggendong Agas kecil dan membawanya turun. Si anak topless pun dengan riang gembira langsung mencubit-cubit pipi balita itu.

Aku terperangah menatap pemandangan itu. Jadi bocah itu bukan Bang Dicky? Jadi itu adalah Dennis?
Orang yang dicari-cari Pak Darmo dan disayang Bang Dicky? Pantas saja dilihat dari mana pun, bocah itu nggak mirip Bang Dicky. Alisnya sih sama, dan caranya memberikan ekspresi lucu itu juga sama. Tapi dia bukan Bang Dicky.

“Main ke sana, yuk!” Dennis menggendong Agas kecil ke ruang makan. Kila dengan sigap menawarkan buah pisang yang ada di atas meja, dan Agas kecil langsung membuangnya ke lantai.

“Jadi kenapa nih, tumben malem-malem datang ke sini?” tanya Granny. Dia duduk di sofa dan meminum teh buatannya sendiri. “Mau ngambil celana-celana Agas yang ketinggalan di sini.”
“Ya nggak lah, Bu. Ada hal lain.” Mom menoleh ke arah Dad, dan Dad menoleh ke arah Mom, mereka berdua berpandangan, seolah sedang melakukan telepati di dalam hati mereka: “Kamu aja yang bilang”, “Nggak, ah, kamu aja yang bilang”.

“Melihat kondisi Indonesia yang kacau seperti ini,” Dad memulai, “Kemungkinan besar kami mau ke luar negeri.”
“Ke luar negeri? Ke mana? Thailand? Ibu punya temen lho di Thailand, mungkin kalian bisa mampir-mampir sebentar di sana.”
“Bukan, Bu. Bukan Thailand. Tapi lebih jauh dari itu.”
“Oooh, Ibu tahu.” Granny menjentikkan jarinya. “Pasti Jepang, kan? Nggak apa-apa kok, Darling. Meski Jepang pernah ngejajah negeri kita, tapi it’s okay kok kalo kalian ke sana.”

Dad menelan ludah. “Ngng... Bu, kami mau ke luar Asia. Kami mau pergi ke... Amerika.”
“Kalian mau liburan ke sana? Ke mananya? Disneyland?”
Mom menarik napas dan dengan hati-hati menjawab. “Kami mau pindah ke sana, Bu. Kami mau tinggal di sana.”

Kretek! Kretek! Tiba-tiba kudengar cangkir dan piring kecil yang dipegang Granny mengeluarkan bunyi. Granny terguncang. Tangannya gemetar dan napasnya seolah berhenti. Tapi kemudian Granny mencoba tergelak dan menganggap ucapan Mom barusan hanya lelucon saja. “Kalian pasti bercanda, kan?”

“Nggak, Bu, kami nggak bercanda. Kami mau pindah ke sana. Bukan dalam waktu dekat, sih, tapi kami bakal pindah ke sana,” ujar Mom.
Dad menambahkan, “Negara kita lagi krisis moneter. Ekonomi se-Asia nggak begitu stabil. Nilai tukar dollar udah terlalu tinggi dan perusahaan tempat saya bekerja mau narik semua sahamnya di sini lalu fokus dulu di negara asalnya, di Amerika. Di Indonesia bakal terjadi PHK besar-besaran, dan saya bisa jadi salah satu dari pegawai yang di-PHK, kecuali saya mau pindah ke Amerika dan menyelamatkan diri. Saya nggak bisa membuang kesempatan ini, Bu.”

Granny masih menunduk menatap cangkir tehnya, mencoba tegar, tapi tetap kelihatan terguncang. “Jadi kalian mau pergi dari hidup Ibu selama-lamanya?”

“Ya nggak lah, Bu,” Mom memutar bola mata. “Setiap tahun kami pasti pulang ke sini. Dan nggak usah khawatir, Agas pasti saya ajarin Bahasa Indonesia.”
“Kami berencana mudik ke Indonesia dua kali setahun,” tambah Dad. “Mungkin setiap lebaran dan setiap natal. Ibu juga boleh ngunjungin kami di sana, kok. Kami pasti nunggu kedatangan Ibu di sana.”

Granny masih terguncang. Mematung. “J-jadi... kapan kalian berangkat?”
“Itu kabar baiknya,” jawab Dad. “Kami nggak akan berangkat dalam waktu dekat. Kami berangkat sekitar dua atau tiga tahun lagi dari sekarang. Saya ditunjuk sama perusahaan buat ngurusin cabang di sini yang nyaris cease operation. Apakah nantinya bangkrut atau justru bertahan lewat dari tahun sembilan delapan ini, saya bakal tetep pindah ke Amerika. Semua dokumen udah diurus. Tinggal nunggu berangkat aja.”

Granny menyesap tehnya lagi, berusaha mengendalikan diri.

“Dan satu lagi,” ujar Dad, namun sebelumnya menoleh ke arah Mom minta dukungan, “tapi ini baru wacana aja, belum terlalu pasti. Rencananya kami pengen bawa Kila ke Amerika juga supaya Agas ada temen. Menurut Ibu gimana?”

“Kila yang itu?” sahut Granny sambil menoleh ke ruang makan. “Dia kan nggak bisa bahasa Inggris.”
“Agas juga belum bisa bahasa Inggris, Bu,” tukas Mom. “Ini bukan soal bahasa. Tapi gimana menurut Ibu kalau kita bawa dia ke Amerika?”

Granny merenung sebentar. Menatap ke langit-langit dan berpikir. “Yah... sebenernya kasihan juga si Kila itu, hidup numpang ke sana ke sini, tapi nggak pernah mau ngerepotin orang lain. Orang tuanya udah nggak ada. Ibu sih ragu dia mau ikut ke Amerika. Terakhir Ibu pergi ke Dufan, dia nggak mau ikut karena dia ngerasa nggak pantes aja. Aneh, kan? Padahal dia tinggal ikut, nggak usah bayar apa-apa.”

“Sounds like a good kid,” gumam Dad. “Tapi nggak usah terlalu dipikirin kok, itu cuma wacana aja.”
“Emang good kid,” sambut Granny. “Dan dia juga punya bibit-bibit ganteng. Mungkin kalo udah gede, Ibu mau kawin sama dia.”
“Ya ampun, Ibu... Ibu kan udah punya cucu!”
Lalu mereka semua tertawa.

Aku memutuskan untuk pergi ke ruang makan dan menonton Agas kecil bermain-main bersama Dennis dan Kila. Kakiku masih gemetar karena barusan aku melihat Mom dan Dad tampak sehat di hadapanku. Sudah berbulan-bulan aku nggak mendengar tawa mereka. Sudah berbulan-bulan aku nggak melihat Mom dan Dad duduk berdua, berdiskusi, melontarkan senyuman yang bikin rindu itu...

“Udah, aku aja yang gantiin.”
Ketika aku tiba di ruang makan, Agas Kecil sedang dibiarkan mengacak-acak kotak mainan di bawah meja. Dennis dan Kila berada satu meter di belakang Agas kecil, mendiskusikan sesuatu.
“Nggak usah, La. Udah cukup kamu bantuin aku terus.”
“Ngebantuin orang tuh nggak pernah cukup. Aku ikhlas, kok.”

Dennis menatap Agas kecil, lalu menatap Kila. Dia bimbang dan ragu. “Nggak usah, biar aku aja yang ke sana. Kila main ama Agas aja.” Dennis baru saja berbalik ketika Kila tiba-tiba menahan bahunya.
“Kamu gila ya?” seru Kila, tapi berbisik. “Masa depan kamu tuh lebih cerah. Jangan disia-siain demi hal kayak begitu.”

“Tapi itu bapak aku! Aku harus nurut kata-kata dia. Entar kata Pak Kiyai juga bisa durhaka kalo ngelawan orangtua. Entar aku dikutuk jadi batu kayak malin kundang!”
“Nggak mungkin! Yang bisa ngutuk tuh cuma ibu-ibu. Ibunya malin kundang, ibunya Sangkuriang si Dayang Sumbi, terus ibunya si Samosir. Lagian surga di telapak kaki ibu. Bukan di telapak kaki bapak. Udah kamu di sini aja sama Agas, aku yang ke sana.”

Belum juga Dennis merespon, Kila langsung mendorong Dennis ke arah Agas dan dirinya berlari keluar dari ruang makan. Kila lenyap dalam sedetik, meninggalkan Dennis menemani Agas kecil dengan perasaan hampa. Pikiran Dennis melayang ke sana kemari, tatapannya kosong. Bahkan saat Agas kecil melemparkan mobil-mobilan ke arah Dennis, anak itu masih saja merenung.

“Agas...” bisik Dennis. “Menurut kamu aku mesti gimana?”
“Ini! Ini!” Agas kecil menyuruh Dennis menerima boneka Barbie yang entah kenapa ada di kotak mainan itu.
“Aku pengen kabur, Gas. Aku boleh nggak tinggal di rumahnya Agas? Jadi tukang kebun kayak si Bapak juga boleh, lah.”
“Egang! Gang!” Sekarang Agas kecil menyerahkan sehelai dress Barbie yang mungil, kemudian dia kembali menyelusup ke kotak mainan mencari sesuatu.

“Aku udah nggak kuat, Gas.” Dennis terisak-isak. Sekuat tenaga dia menahan tangis. Sayangnya, nggak ada respon dari Agas kecil. Dia masih sibuk mencari sesuatu di kotak mainan. “Entar kalo Agas udah gede, udah banyak duit, bawa aku pergi, ya? Pokoknya jauh dari sini. Jadi pembantu juga nggak apa-apa.”

Dennis menunduk dan terisak-isak lagi. Sementara itu Agas kecil menjerit riang, “Naaaahh..!” sambil mengeluarkan boneka Barbie yang lain.

Astaga... orang lagi curhat kamu malah nyari boneka Barbie?!

Dennis mendongak dan langsung memeluk Agas kecil. Balita dua tahun itu berontak nggak mau dipeluk. Dia memukul-mukulkan boneka Barbie-nya ke kepala Dennis tetapi bocah itu tetap memeluk Agas tanpa peduli dengan barbie yang mengetuk-ngetuk kepalanya. Beberapa saat kemudian Dennis berbisik, “Kalo aku nggak ada, kamu janji ya bakal jagain Kila? Sebab aku sayang Kila, dan Agas juga pasti sayang Kila. Aku juga sayang Agas.”

“Agas? Agas?”

Mendadak dunia berubah gelap dan kepalaku pusing. Di telingaku terdengar suara-suara orang memanggil namaku. Bahkan dapat kurasakan bahuku diguncang-guncang.

Aku membuka mataku perlahan-lahan, membiasakan mataku dengan intensitas cahaya yang tiba-tiba masuk setelah dunia yang mendadak gelap barusan. Ketika pandanganku kembali jelas, aku melihat diriku terbaring di lantai, dikelilingi nenek-nenek Sweet Strawberry dan salah satu di antara mereka sedang menggenggam segelas air putih.

“Oh, Agas bangun!” pekik beberapa nenek.
“Minum ini,” sahut Jeng Imas. “Relax ya Sayang. Kalo kamu bisa duduk, cobain duduk. Kalo sesak napas, tidurin aja.”
“Kamu nggak apa-apa, Gas?” tanya nenek-nenek yang lain.
“Kamu tenang aja, Gas. Kamu berhasil ngelawan teluh jahat itu.”

Teluh jahat?

Lima menit kemudian aku sudah duduk di sofa ruang tengah, dikelilingi Sweet Strawberry yang langsung bergunjing ria.

“Keterlaluan mereka, pake cara mistik,” ujar salah satu di antaranya.
“Pantesan aku sering lihat si Esel nyabutin kembang dari kuburan,” balas yang lain.
“Hah? Esel suka nyabut kembang dari kuburan?”
“Iya. Bisa jadi dia dateng ke dukun santet, mungkin dia mau ngasih guna-guna ke rumah ini. Kayaknya kita pindah latihan aja ke rumahnya Jeng Dedeh, kan banyak lukisan kaligrafi Al-Quran tuh di dindingnya. Pasti kebal ngelawan santet. Buat amannya aja.”
“Boleh-boleh, tuh. Ide bagus. Supaya nggak ada korban kayak begini lagi.”
“Untung Agas bisa siuman, betul? Rendahan banget si Nunuk pake ngirim setan ke sini buat bikin orang-orang di sini kesurupan.”

Jadi mereka pikir aku kesurupan? Dan Jeng Nunuk lah yang membuatku kesurupan?

Aku mencari-cari Granny di antara Sweet Strawberry ini, tapi tak kutemukan batang hidungnya di manapun. Ketika aku menegakkan tubuhku, aku akhirnya menemukan Granny sedang duduk di salah satu kursi di ruang makan. Granny tampak terguncang. Pandangannya kosong.

Sedetik kemudian pandanganku dan Granny bertemu. Dan dari tatapannya aku bisa melihat bahwa Granny tahu kalau aku masuk ke dunia residual energy itu.

-XxX-

Kalau dipikir-pikir, aku seperti masuk ke Pensieve-nya Harry Potter. Hanya saja aku nggak bisa mengontrol adegan apa yang ingin kumasuki. Makin sini fenomena residual energy-nya makin parah. Mulai dari muncul tokoh-tokohnya saja, sampai akhirnya aku benar-benar masuk ke dalam dunia tersebut. Which is questionable, karena aku belum bisa menemukan di Google soal masuk ke dunia residual energy tersebut.

Sepanjang malam aku nggak bisa tidur. Aku terus memikirkan fenomena residual energy yang baru saja kualami. Pikiranku terus menerus berputar membayangkan adegan-adegan itu, kata per kata yang diucapkan Dad waktu bilang mau pindah ke Amerika, dan bagaimana mirisnya mendengar bocah tujuh tahun curhat tentang kepahitan hidupnya.

Dan dini hari tadi, sekitar pukul dua, saat Bello sedang asyik menggoda tukang nasi goreng yang lewat depan rumah, aku tersentak dari tidurku karena aku memimpikan sesuatu. Aku memimpikan saat pertama kali aku bertemu dengan Zaki.

“Saya Zakila,” kata Zaki, menjabat tanganku, “panggilnya Zaki aja, bos!”

Dan di situlah aku mulai menyadari sesuatu.
Can you see?
Nggak mungkin ini hanya kebetulan semata.

Aku yakin ada hubungan erat antara Zaki dan Kila. Which I think... is just the same person.

-XxX-

Sore itu aku begitu bersemangat saat menyusuri gang menuju rumah Zaki. Pertama, makin siang makin yakinlah aku kalau Kila adalah Zaki dan Zaki adalah Kila. Zaki dan Kila sama-sama yatim piatu. Coincidence? No. Lalu, Zaki nggak tamat SD dan kapan itu aku dengar Kila dan Dennis membicarakan tentang sekolah:

“Iya, aku tahu.” Kila mendesah. “Lagian aku nggak pinter-pinter amat di sekolah. Nggak kayak kamu. Kalo kamu putus sekolah, sayang negeri ini. Entar Indonesia kehilangan anak pinter kayak kamu.”

Dari situ JELAS ada salah satu anak yang dikorbankan untuk putus sekolah, meskipun aku nggak tahu gara-gara apa, tapi memang Zaki lah yang putus sekolah dan dia berharap Dennis tetap sekolah supaya jadi anak yang pinter. Mestinya waktu itu aku lebih aware sama kata-kata makhluk residual energy ini, karena di dalam percakapan mereka tersimpan petunjuk yang sangat jelas.

Misalnya soal topless itu. Kenapa aku nggak nyadar sih kalo Zaki di zaman sekarang pun masih suka bertelanjang dada kemana-mana? Bukankah aku pernah berdebat dengan Cazzo soal Zaki yang suka mengumbar-ngumbar bagian atas tubuhnya? Mestinya—

Astaga, aku jadi keingetan Cazzo, deh. Dan perutku mulas lagi. Lupakan-lupakan-lupakan!

Intinya, petunjuk bahwa Zaki adalah Kila, Kila adalah Zaki begitu banyak. Jadi hari ini aku bakal mendatangi Zaki dan menceritakan semuanya. Kalau perlu aku akan memeluk Zaki, seperti di film-film, membisikkan kata-kata seperti, “Aku udah tahu semuanya,” lalu kami berdua menangis, lalu Zaki akhirnya bercerita soal masa lalunya yang kelam, dan aku mendengarkan kisahnya dengan penuh seksama.

Mungkin pada akhirnya kami akan bersama. Maksudku, Dennis memintaku untuk menjaga Zaki. Jadi wajar kalau aku—misalnya—pacaran dengan Zaki. Lagipula Zaki jatuh cinta padaku, kan? Lagipula dia memang ingin sekali pacaran denganku. Apa salahnya, coba?

Harapanku dengan Cazzo sudah pupus, dan aku nggak bisa terus menerus berharap sama Bang Dicky. Kenapa aku nggak mengambil kesempatan yang ada di depan mata? Lagipula Zaki nggak jelek, kok. For God’s sake, dia malah lebih ganteng dibandingkan Cazzo dan Bang Dicky.

Gelombang rasa sayang langsung menyelimuti tubuhku saat aku teringat setiap adegan Kila di fenomena residual energy yang selalu kulihat. Bagaimana Kila menjaga Dennis dengan seksama, memberitahukan posisi sembunyi yang aman, atau saat dia dengan heroiknya menggantikan posisi Dennis (aku mesti bertanya ke Zaki, posisi apa sih yang diperbincangkan di sini? Memangnya apa yang Pak Darmo lakukan pada mereka? Pelecehan seksual?"Benar-benar" pelecehan seksual?).

Zaki sedang menepuk-nepuk keset ke pagar ketika aku datang. Dan ya, dia topless sekarang. In fact, dia hanya mengenakan celana basket warna merah yang sekarang jadi kelihatan jelas betapa miripnya Zaki dan Kila. Kenapa nggak dari awal aku curiga kalau Kila tuh Zaki? Padahal warna kulitnya sama, dan sebetulnya kalau dipikir-pikir, mata mereka juga sama.

“Bos?” Zaki mendongak, terkejut melihatku sudah ada di hadapannya. “Bos nggak apa-apa, kan? Denger-denger semalem Bos kesurupan.”
“Oh, itu. Tahu dari mana?”
“Dari Jeng Novi. Dia cerita katanya Bos tiba-tiba jalan ke ruang tengah kayak zombie. Pandangannya kosong, udah gitu dipanggil-panggil nggak nyahut-nyahut. Bos nggak apa-apa, kan?”
“Ah, nggak apa-apa, kok. Tenang aja.”

Aku menelan ludah. “Aku mau ngomong sesuatu ama Bang Zaki.”
“Saya juga, Bos.” Zaki merapikan keset di pagar lalu mengajakku duduk di kursi teras.
“Bang Zaki dulu yang bilang,” usulku. “Udah gitu aku.”
“Bos aja dulu...”
“Ah, Bang Zaki dulu. Yang aku ini penting banget!”

Sebab aku mau nembak Zaki jadi pacarku, jadi ini mesti spesial. Aku udah mikirin soal ini seharian, bagus jeleknya aku pacaran dengan Zaki. Salah satu bagusnya sih Zaki bisa jadi bodyguard-ku, jadi Mahobia nggak akan pernah macam-macam lagi. Jeleknya ya semua orang kayaknya makin yakin aku ini gay, sekeras apapun aku berusaha membantahnya.

Lagipula aku pengen banget nyenengin Zaki. I mean, setelah segala sesuatu yang dia alami waktu kecil, dia berhak buat hidup bahagia sekarang. Aku bakal mengajarinya bahasa Inggris. Kalau perlu, kalau memang ada uang sisa begitu harta warisan Dad jatuh ke tanganku, aku akan mengajak Zaki ke Amerika, dan mungkin saja menyekolahkannya di sekolah pilot. Nggak ada batasan usia untuk sekolah pilot. Yang penting dapet CPL maka bisa kerja di airline.

Lagian juga, berita apa sih yang mau disampaikan Zaki sampai-sampai beritaku harus duluan?

Zaki merenung mengambil keputusan. Belum juga dia mengatakan sesuatu, tiba-tiba dari rumah Zaki muncul Zaenab, hanya mengenakan daster tipis yang saking tipisnya aku bisa melihat puting payudaranya.

“Bebeb, ari panci anu—eeeh, ada si juragan!” Zaenab buru-buru menyodorkan tangannya dan aku dimintanya mencium tangannya. “Baru datang, kamu téh? Kenapa atuh nggak disuruh masuk?”
“Masuk, Bos?” Zaki mengedikkan kepalanya.

Sialan. Aku benci wanita ini.

“Ah, nggak usah, aku di sini aja.” Aku nyengir basa-basi ke arah Zaenab dan cewek itupun membalasnya dengan cengiran terlalu tulus.

“Bebeb,” Zaenab kembali ke Zaki. “Panci anu bekas masak mieh semalem téh disimpen di mana? Kenapa nggak ada di dapur?”
“Di belakang mungkin?”
“Oooh, yang konéng itu? Ooohh.. sugan téh Bebeb semalem pake yang héjo!”

Zaenab pun masuk lagi ke dalam rumah meninggalkan kami berdua di teras. Zaki menoleh perlahan-lahan ke arahku, lalu dengan malu-malu mulai membuka mulutnya. Awalnya dia ragu, apalagi dia melirik sekilas ke arahku, meyakinkan dirinya sendiri. Tapi kemudian Zaki mengatakan juga maksudnya.

“Itu yang mau aku bilangin, Bos.”
“Apa? Soal Zaenab?” Aku menyipitkan mata. “Bukannya udah sering si Zaenab ke sini?”

Zaki menarik napas dan mengumpulkan keberanian. “Aku mau nikah sama Zaenab, Bos. Aku udah ngelamar dia kemarin.”

-XxX-

Tanganku masih gemetaran ketika aku tiba di rumah. Aku nggak percaya beginilah rasanya patah hati. Well, aku nggak cinta-cinta banget sama Zaki, tapi mendengar kabar tersebut membuat jantungku serasa ditusuk dan tubuhku menggigil.

“Saya nggak mau bikin masa depan Bos jadi suram gara-gara saya,” ujar Zaki beralasan. “Lebih baik saya nikah sekarang aja, biar saya tahu saya punya tanggungan yang pasti. Lagipula saya sama Bos nggak akan pernah berhasil.”

Zaki terus saja mengoceh alasannya menikah dengan Zaenab, termasuk soal Zaenab merupakan satu-satunya cewek yang mau hook up ama dia jutaan kali regardless his tiny dick. Pikiranku melantur saat itu, aku bahkan nggak mendengarkan keseluruhan alasan Zaki karena aku terlalu shock mendengarnya.

Kenapa semua mesti berakhir seperti ini? Kenapa semua harus terjadi seperti ini? Mestinya kami berdua berpelukan, Zaki menjadi pacarku dan kami membahas panjang lebar soal Dennis dan masa kecilnya. Aku bahkan belum menyebut-nyebut soal Kila sampai aku pulang ke rumah. Itupun karena Zaenab menginterupsi kami melulu, katanya mereka berdua mau pergi ketemu orangtuanya Zaenab di daerah Antapani, mau ngebicarain soal perkawinan mereka, jadi Zaki nggak bisa bicara lama-lama.

Dengan gontai aku masuk ke kamar dan menghempaskan tubuhku di atas ranjang. Aku lelah sekali dan badanku masih menggigil mendapati semua rencanaku nggak berjalan dengan baik. Well, sekarang jelas sudah, nggak ada alasan lagi Adam bilang hidupku perfect. I mean, salah satu cowok yang sebetulnya bisa saja jadi pacarku sekarang mau menikah dengan seorang cewek.

Cewek kampung, to be exact. Aku masih nggak ngerti, kenapa harus Zaenab?

“Bang Dicky?”

Saat aku sedang asyik bergundah gulana di atas ranjangku, aku melihat Bang Dicky lewat dari ruang tamu menuju ruang tengah. Aku yakin banget itu Bang Dicky! Pintu kamarku terbuka lebar dan aku bisa melihat dengan jelas wajah Bang Dicky barusan. Apa dia sudah memutuskan untuk kembali? Apakah masalah-masalahnya sudah selesai?

Buru-buru aku turun dari ranjang dan menghambur ke ruang tengah. Bang Dicky sedang berjalan ke arah dapur. Tubuhnya kelihatan lebih kurus dari belakang. Dan badannya menggigil. Dia menyeret-nyeret kakinya lalu terjatuh lemas di depan pintu belakang. Aku berlari menghampirinya, bermaksud membantunya berdiri, tapi begitu aku mencoba menyentuh lengannya...

... tanganku menembusnya.

Ini bukan Bang Dicky.

Ini residual energy.

Bang Dicky perlahan-lahan bangkit, menyeret kakinya ke halaman belakang, bersembunyi di belakang workshop, lalu terduduk lesu. Aku mengikutinya sampai dia berhenti. Bang Dicky tampak pucat. Banyak sekali bekas luka di tubuhnya, beberapa bagian kausnya sobek. Meski Bang Dicky hanya sebuah bayangan, tapi aku bisa melihat keringat di wajahnya. Dan tatapan ketakutan itu. Tatapan yang sama yang terakhir kali kulihat di ruang tengah sebelum Bang Dicky menghilang berminggu-minggu.

Bang Dicky kembali gemetaran, memeluk lututnya. Dia kelihatan seperti orang gila. Cemas melihat ke sekitar, menggigil nggak keruan, menggemeretakkan giginya. Badannya bergerak maju mundur, seperti anak kecil gugup yang ketakutan.

“Bang Dicky?” panggilku perlahan. Which of course, sekeras apapun aku berteriak, Bang Dicky nggak akan menoleh.

Bang Dicky menoleh ke arah rumah Granny, lalu ke tanaman anggur, sesekali ke langit dan kembali ke rumah Granny. Dia seperti menunggu sesuatu. Dia pun seperti sedang dikejar sesuatu.

Aku memerhatikan setiap inchi dari Bang Dicky. Dia kelihatan seperti remaja akhir. Ada bekas jerawat di beberapa bagian wajahnya dan tubuhnya yang agak kurus membuatku merasa miris. Pipinya nggak sepadat biasanya. Bang Dicky kelihatan sangat... muda.

Dan rapuh.

“A Dicky!” seru seseorang dari rumah Granny. Aku menoleh dan melihat Kila sedang berlari ke arah kami. Kila kelihatan lebih tua sekarang, tubuhnya membesar dan lengan-lengannya lebih berisi. Dia juga kelihatan lebih fresh. Dengan gaya rambut baru, kulit terang mulus, dan pakaian yang layak. Aku menduga dia sudah sebelas tahun sekarang. Dua belas, lah. Masih kelihatan seperti anak kecil, tapi jelas dia ‘tumbuh’.

“Dennis ilang, La...” desah Bang Dicky dengan cemas. Dia langsung menarik Kila bersembunyi ke balik sesuatu apapun itu di masa lalu, yang jujur saja sekarang tidak ada lagi kecuali semak-semak kecil di sekitarnya.

“Iya, aku udah tau, A,” bisik Kila. Bocah itu kelihatan ragu tapi akhirnya dia mengatakan sesuatu, “Aku juga tau soal si Bapak.”

Bang Dicky mendelik ke arah Kila dan mengerutkan alisnya. “K-kamu tau apa?” Bang Dicky terdengar panik.

Kila menelan ludah dan dengan takut memandang Bang Dicky. “Aku tau soal... yah... apa yang Bang Dicky... lakuin, ke... si Bapak.” Kila menunduk dan menggigit bibirnya. Bersiap jika Bang Dicky tiba-tiba marah padanya.

Tapi Bang Dicky hanya mematung ketakutan, napasnya memburu. Tanpa respon apa-apa. Dia menatap Kila dengan tatapan kosong.

“J-jadi sekarang... kamu mau lapor... ke polisi...?”
Kila menggeleng mantap. “Nggak, A. Aku mah nggak akan laporin Aa ke polisi.” Kila menunduk lagi. “Aku tau kok alasan Aa nge... ngng...” Zaki ragu menyebutkan kata itu. “Yah itu, si bapak. Aku mah ngerti, A. Dan itu bukan salah Aa, kok.”

“Tapi ngebunuh orang itu dosa, La!”
“Ah, kata Pak Kiyai juga kalo kita lagi posisinya kayak begitu, ngebunuh pun jadi halal.” Kila tiba-tiba memeluk Bang Dicky. “Aa tenang aja, lah. Nggak usah mikirin apa-apa.”
“T-tapi...” Bahu Bang Dicky berguncang, dia terisak-isak menangis.

“Sekarang Aa mah santai aja. Bentar lagi kayaknya polisi ke sini, sebab udah banyak tetangga yang ngelihat jasad si Bapak. Kalo polisi datang...” Kila menelan ludah. “Aku yang bakal bilang ke polisi kalo aku yang bunuh si Bapak.”
Bang Dicky mendongak. “Kamu tolol, ya?”

“Iya, A, mumpung aku tolol,” jawab Kila. “Lagian sayang pisan atuh kalo Aa masuk penjara gara-gara si Bapak. Kata Nenek, kalo kita pernah dipenjara, kita nggak bisa ngelamar kerja kemana-mana. Katanya juga nggak bisa kuliah di kuliahan. Aa kan mau masuk kuliah sekarang.”
“Tapi kalo kamu masuk penjara—“
“Aku nggak peduli, A,” potong Kila. “Lagian aku mah kan udah nggak sekolah lagi. Nggak ngaruh, lah. Sekolah juga nggak akan dapet ranking satu kayak Dennis.”

Mereka berdua terdiam. Sementara aku gemetar mendengar informasi baru tersebut.

“Aa nggak usah khawatir,” bisik Kila. “Aku sayang Aa sama Dennis. Sekarang Dennis udah ilang, nggak tau kabarnya gimana. Aku nggak mau kehilangan Aa juga. Jadi biarlah aku aja yang ditangkep polisi, A. Aku mah ikhlas.”

Bang Dicky menggeleng. “Nggak, Kila, kamu nggak boleh gitu. Ini sama sekali bukan kesalahan kamu. Lagian bulan depan kamu mau ke Amerika bareng keluarganya Agas.”
“Aa aja yang ke Amerika. Aku mah nggak bisa Bahasa Inggris ah, A. Malu entar ngomongnya gimana.”

“Nggak bisa...” Bang Dicky tetap menggelengkan kepala dan terisak-isak. “Kamu nggak mesti nanggung ini semua.”
“Udah terlanjur, A...”
“Maksud kamu apa?”

Kila menarik napas. “Aku udah bilang sama Nenek kalo aku yang ngebunuh si Bapak.”

Bang Dicky terpana. Bahunya kembali berguncang dan dia tampak tertekan.

“Sekarang Aa fokus aja nyari Dennis, biar aku aja yang ikut sama polisi entar. Aku nggak takut kok ikut sama polisi.” Kila berdiri dan berjalan mundur. “Cari Dennis ya A!”

Bang Dicky mendongak dan berteriak. “Zakila! Tunggu!”

Aku berlutut lemas di atas tanah, tak percaya dengan apa yang baru saja kulihat. Bahuku berguncang. Mataku meleleh. Jadi beginikah yang terjadi selama ini? Jadi sejauh inikah pengorbanan yang sudah dilakukan Zaki untuk semua orang di sini? Jadi itukah yang dimaksud Granny cobaan yang besar?

Dadaku sesak dan napasku putus-putus. Sekelebat bayangan Zaki muncul di otakku. Bagaimana dia kecewa ketika dia tahu bahwa aku nggak mungkin milih dia waktu di perpus... Bagaimana dia kecewa ketika aku lebih memilih untuk mengejar Cazzo... Bagaimana dia akhirnya terpaksa menikahi Zaenab... Wajah polos Zaki itu... Yang selalu dengan jujur mengungkapkan apa yang dia inginkan... Yang dengan ikhlas selalu mengalah...

Yang menggantikan Bang Dicky untuk masuk penjara?

Sekarang aku ingin mati. Benar-benar ingin mati. Kenapa aku harus menyakiti hati banyak orang? Siapa lagi yang bakal jadi korbanku?


TO BE CONTINUED....





next chapter  

25 comments:

baang said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates
This comment has been removed by the author.
Dazz said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

@baang

Yang sabar....
kan bacanya gratis
hehehe

Anonymous said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

bakal sabar nunggu asal bner2 dselesein mpe TAMAT..hikss...kesian kila.. :'(

baang said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

iya nyadar diri kok ane......cuma baca gratisan tapi maksa...jadi silent reader aja dah

Dazz said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

@baang

hadoooh
kok ngambek sih
ga boleh jadi silent reader
kami membutuhkanmu, juga komentmu
maksa juga gpp
biar penulisnya cepet update
hehehe

baang said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

huhuhu udah ngambek nie.....

Anonymous said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

keren banget ceritanya,jd lupa makan mandi dan laenya,wajar kalo updatenya lama. makasih ya buat semuanya
-agus

Anonymous said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

o ya mo ngasih saran buat penulisnya bikin foto tiap karakternya donk kaya ninja next door gtu,biar makin asik bacanya.

Anonymous said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

makin kesini , gw makin tambah sayang ,ama si zaki euy , ,hahahaha ,ngarep.com
bwt writternya , : UPDATE UPDATE UPDATE GPL ,hehehehe

Dazz said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

@baang

dazz elus2 rambut baang
mau permen??

Dazz said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

Thanks banyak buat semua yang ninggalin komen
dan bersedia mampir di blog sederhana ini

Anonymous said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

Lanjuuuuuuuut...

Anonymous said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

kapan nih updatenya lg?kalo agas ga mau zaki ma gw aja.gpp dicknya kecil jga.
-agus

Anonymous said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

aduh bosen juga tiap hari buka nih blog,ga ada yg berubah,semangat ya updatenya
-agus

baang said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

hahaha maooo

Anonymous said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

i always check this site before i sleep,every day.
but there is no update story,how disapointed,but i never get bored,thx 4 a great story ever.
sincelery ur fans
-agus

arcclay said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

aq hampir nangis pas baca yg bag ini...awalx aq kira si zaki itu org bego yg yaachh...org bego biasa..ternyata........ emang bego bngt...terlalu bego T-T

Dazz said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

@Anonymous

terima kasih sudah tidak jadi bosan ^_^
ya kita kasih waktu buat penulisnya
karena selain menulis, mereka juga menggunakan waktunya untuk hal lain

Dazz said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

@arcclay

arcclay???
terima kasih sudah mampir
^_^

baang said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

bang dazz...kok gif tutup dah...Maintain ya???

Dazz said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

@baang

ya
ganti wajah baru

baang said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

maksudnya????

baang said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

huh updatenya lama ......greget dan daya tarik buat bacanya jadi berkurang

satria of love said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

Pleeaaseee deech lamaaa buuaangeeet

Tp sorRry ini udah kelamaan
(Maaf yaa)

Anonymous said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

Lanjutanya mana ??
Gw malah nemu udh chapter 10.
Gw minta link chapter 9 bagian 7.

Post a Comment