DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Ninja Next Door - Chapter 9

09
Stand Against
The Backfired Plan



Gambar    

by Coatwest


Samudera


Aku ketahuan nyuri mobil dan bikin Rion hilang ingatan, itu aja udah sangat buruk.

Apalagi sekarang ditambah sikap Rion jadi aneh.

Aku udah bikin Rion jadi cowok sakit. Secara mental.

Rion bilang sayang ama aku. Atau mungkin lebih tepatnya dia pikir dia sayang ama aku. Yeah .. sama AKU. Is that even possible? Dia cowok. Aku cowok. Dan bukannya dia punya cewek? Artinya dia normal dong, bukan gay. Tapi kenapa tiba-tiba jadi suka cowok. Trus kenapa AKU? Normalnya aku bakal langsung nolak tegas kalo ada cowok yang nembak aku. Tapi ini Rion. Aku nggak bisa bikin dia kecewa atau sedih. Apalagi keliatannya dia beneran suka, beneran sayang. Aku nggak tega ngehapus senyum dari wajahnya.

Lamunanku dibuyarkan oleh ketukan pelan di jendela. Aku melirik keluar.

Rion berdiri di luar jendela dan menunjuk kaca didepannya. Ia meniupkan nafasnya, membuat kaca itu berembun, lalu dengan telunjuknya dia melukis gambar hati disana, kemudian menulis tiga huruf didalamnya. SAM. Namaku.

Aku melongo sementara Rion melambaikan tangannya senang.

Lalu aku sadar, ngapain Rion diluar rumah? Udah hampir malem gini, ntar dia masuk angin, udara disini kan dingin.

“Rion. Cepet masuk,” seruku keras.

Rion tersenyum dan langsung berlari masuk. Melesat kearahku.

“Aku kira kamu istirahat. Kamu kan tadi bilang mau tidur,” kataku agak kesal.

Rion cemberut. “Aku bosan. Kamu nggak mau nemenin sih. Lagian aku capek pura-pura tidur terus.”

Aku menghela napas panjang.

“Eh liat deh,” Rion menunjuk lukisan hati yang dia buat di jendela. “Itu hatiku. Disitu ada kamu,” katanya tersenyum lebar.

Aku terlalu shock untuk bisa berkomentar.

“Jadi gimana? Kamu jawab apa? Mikirnya udah belum?” cerocos Rion lagi.

Sejak pulang dari jalan-jalan ke sungai, Rion selalu menanyakan itu tiap setengah jam. Di sungai dia mengusulkan untuk pulang ke asrama hari Senin besok tapi dengan syarat aku harus jadi pacarnya. Dan waktu itu aku jawab mau mikir dulu.

“Belum,” balasku singkat.

Rion merenggut kecewa. “Jangan lama-lama. Katanya kamu pingin pulang.”

Aku menoleh cepat.

“Iya aku pengen pulang. Tapi syaratnya itu berat. Aku harus mikir dulu.”

“Jadi mikirnya berapa lama lagi?” tanya Rion nggak sabar.

“Jangan tanya-tanya soal itu lagi oke? Aku janji sebelum hari Senin aku udah dapet jawabannya.”

Rion diam untuk beberapa saat, terlihat sedang berpikir. “Aku harus ngelakuin apa biar kamu nanti jawab ‘Iya’?”

Aku menelan ludah karena Rion tampak sangat serius.

“Rion!!” aku berdesis panik saat dia mulai mendekatkan wajahnya.

Rion berhenti. Dia nyengir. “Sori. Kalo udah mikirnya kasih tau aku ya.”

Rion berjalan santai ke kamar sambil bersenandung pelan. Keliatan bahagia kayak orang lagi ketiban cinta. Aku menatapnya putus asa. Dia terlihat sangat manis kalo bersikap seperti itu. Menggemaskan. Kayak anak kecil. Aku melirik gambar hati yang dibuatnya. Gambar itu terlihat lucu. Walau udara saat itu dingin tapi aku merasa kehangatan merasuk ke hatiku.

Dini nggak pernah melakukan hal seperti itu.

Dini .. Cewekku ..

Aku sampai lupa ama dia. Belakangan ini pikiranku selalu dipenuhi Rion .. Rion .. dan Rion. Semua ini gara-gara tugas sialan itu sih, hidupku jadi berantakan kayak gini. Aku jadi kejebak ama Rion.

“Sam!”

Aku terlonjak kaget, jantungku hampir copot. Muka Rion tiba-tiba ada didepanku. Dia nyengir.

“Ngelamun apa sih? Sampe nggak sadar aku dateng,” katanya geli.

“Kamu ngapain kesini lagi?”

Rion mengangkat bahu. “Bosannnn.”

Aku menghela napas.

“Aku istirahat disini aja ya,” dan tanpa menunggu jawabanku Rion langsung berbaring di sofa. Kepalanya bergerak pelan dipangkuanku. “Enak Sam. Empuk,” gumamnya senang.

“Sana kekamar aja.”

“Nggak mau. Aku bosan.” Rion menutup matanya, pura-pura tidur.

Aku menatapnya pasrah.

“Sam. Sejak kapan kamu suka aku?” tanya Rion masih dengan mata tertutup.

Aku mengernyit.

“Maksudnya?”

“Kan kamu duluan yang nyium aku. Sampe difoto segala. Artinya kamu yang suka duluan. Ayo cerita dong, aku kan lupa,” lanjutnya lagi.

“Orang nyium bukan berarti suka,” jawabku datar.

Rion membuka matanya. “Masa sih? Aku nggak bisa nyium orang kalo aku nggak suka ama dia.”

Aku diem aja.

Rion menutup matanya lagi. “Nggak apa-apa kalo kamu nggak suka aku. Yang penting aku tetep suka kamu.”

Suka huh?

Ada orang bilang kalo mereka suka hujan, tapi waktu hujan turun mereka make payung biar nggak kehujanan.

Ada orang bilang kalo mereka suka matahari, tapi waktu matahari bersinar terik mereka segera berteduh.

Ada orang bilang kalo mereka suka angin, tapi waktu angin berhembus kencang mereka masuk rumah dan menutup pintu.

Aku ragu kalo denger orang bilang suka sama aku.

Karena suka itu nggak selamanya. Cuman ada saat tertentu aja. Suatu waktu pasti hilang.

“Dulu ada cewek yang nyium aku,” aku menyeletuk.

Rion membuka matanya cepat sekali. Memandangku liar.

“Dia juga yang bilang sayang duluan. Aku kira dia suka ama aku, jadi aku coba pacaran ama dia,” lanjutku. “Tapi waktu aku terlanjur sayang ama dia, dia malah menjauh.”

“Dia bego,” komentar Rion.

Aku tertawa. “Aku yang bego.”

Kami terdiam cukup lama. Aku melirik keluar jendela, langit sudah mulai gelap. Rion masih melihatku dengan melamun. Apa dia nggak bosan ngeliatin aku terus?

“Kamu pengen cepet pulang ya Sam?” dia menanyaiku dengan nada serius.

Aku diam sesaat untuk berpikir. “Ya. Tentu aja. Tapi semua terserah kamu, kalo kamu bilang nggak mau pulang ya aku nurut.”

Rion menatapku dengan pandangan penuh penyesalan. “Sori.”

Aku balas memandangnya. “Apa? Jangan minta maaf. Aku yang salah. Semua jadi kayak gini itu gara-gara aku.”

“Janji ya Sam kamu akan terus nemenin aku sampai aku sembuh?”

Aku meliriknya dan mengangguk.

Rion tersenyum, keliatan sangat puas. “Janji kamu akan terus nemenin aku sampai ingatanku kembali?”

“Iya. Janji,” jawabku pelan.

Senyum Rion semakin lebar. “Sam. Aku nggak nyesel udah kecelakaan dan hilang ingatan seperti ini. Aku malah seneng bisa ngabisin waktu sama kamu.”

Aku menahan napas, kata-katanya membuatku terdiam, dan jantungku berdebar kencang.

Aku mengangguk pelan. “Yeah. Aku juga seneng.”

Malamnya aku nggak bisa tidur. Kata-kata Rion terngiang terus ditelingaku.

“Be mine.”

Kak Sam sedang pulang ke rumahnya, kalo hari Sabtu ama Minggu dia memang biasa pulang. Kamarnya jadi terasa sepi, tapi bagus kayak gini, jadi aku bisa mikir tenang. Rion sudah tidur di kamarnya sendiri. Sebelum tidur tadi dia nanya lagi jawabanku, iya atau tidak. Dan aku belum bisa jawab lagi.

Rion. Dia selalu buat aku pusing. Apa ini mimpi? Rion bener-bener pengen jadi pacarku. Aku nggak tau logikanya gimana tapi dia keliatan sungguh-sungguh waktu bilang sayang.

Rion. Presiden Mahasiswa kampus naksir cowok macam aku?

Dan itu gara-gara aku ngebikin dia hilang ingatan.

Mungkin itu yang membuat aku kuatir. Karena dia hilang ingatan. Semua yang dia bilang sekarang itu karena dia hilang ingatan. Kalau semua ingatannya sudah kembali, dia nggak akan semanis itu lagi.

Aku ngerasa capek, ngantuk banget dan aku belum kepikiran jawaban untuk Rion besok. Jujur, aku jadi mikirin dia mulu. Mungkin perasaan suka ada, aku suka liat dia senyum, aku suka caranya nyariin aku terus tiap kali dia butuh sesuatu, manggil-manggil namaku kayak anak ilang .. nggak nolak aku ditaksir ama cowok sebaik itu, manis lagi, ganteng .. tapi .. kalo sayang masih belum .. baru biasa-biasa aja .. nothing special.

Aku ingat lagi kata-kata Rion. “Aku nggak minta kamu suka ama aku ato sayang ama aku. Aku cuman minta kita pacaran. Itu aja. Biar kita bisa sama-sama terus.”

“Apa nggak bisa kita sama-sama sebagai teman?” tanyaku waktu itu.

Rion menggeleng. “Aku nggak mau. Pokoknya harus pacar.”

Seperti namanya. Rion. The King. Dia selalu bertingkah seperti raja, apapun maunya harus dituruti. Jadi aku harus pacaran ama dia cuman karena dia pengen aku jadi pacarnya? Sebenarnya nggak ada ruginya juga sih pacaran ama Rion. Kalo aku mau jadi pacarnya, kita akan balik ke asrama besok. Trus aku akan bantu dia biar ingat lagi, kalo dia udah ingat pasti aku bakal langsung diputus. Hmmmm .. mungkin pacaran ama Rion bukan ide yang buruk.

Damn ..

Are you crazy, he can't remember anything?!
Are you blind? You’re both guys.

Tapi ini rencana yang paling baik untuk sekarang.

Aku harus nerima Rion. Aku harus jadi pacarnya. Yeah .. paling enggak sampai dia ingat lagi semuanya.

Tenggorokanku terasa kering. Aku bangkit keluar kamar mencari air minum di dapur. Saat melewati kamar Rion aku mendengar suara. Aku mengernyit. Jadi dia belum tidur? Karena penasaran aku mendekat dan membuka pintu kamarnya sedikit.

“Minggu besok gw balik Yog, iya gw janji .. Tapi lo tolong gw ya. Bawain mobil dari rumah gw. Iya yang kuning itu. Gw udah bilang ama orang rumah kok, lo tinggal ambil aja. Ntar lo bareng Dennis jemput gw ..”

Yoga? Dennis? Itu anak Wisma Indah Lima kan?

Kenapa Rion ingat?

Perasaanku mulai nggak enak. Aku mengintip kedalam dan melihat Rion sedang menelpon seseorang. Sejak kapan Rion ngedapetin ponselnya?

“Gw butuh mobil. Mobil gw yg biru itu rusak, sekarang lagi diservis, tapi kelarnya masih lama, dan gw butuhnya besok .. “ suara Rion terdengar tidak sabar.

Aku membuka pintu dan masuk. Rion membelakangiku, jadi dia nggak sadar aku sudah didalam.

“Pokoknya gw nggak mau tau Yoga,” Rion jelas sedang bicara sama Yoga, dan dia terdengar marah. “Kamu harus ngejemput aku. Ajak Dennis juga.”

Lalu suaranya terdengar berbeda. Licik. “Dan aku mau nanti kita sandiwara sedikit. Ntar gw kasih tau skenarionya, pokoknya kalian ikutin aja ..”

Sandiwara? Aku sengaja menutup pintu keras-keras.

Rion berbalik. Matanya melihatku kaget lalu ia berkata pelan. “Udah dulu. Gw sambung ntar lagi.” Dia menurunkan ponsel dari telinganya dan menatapku tajam, menungguku untuk bicara duluan. Tapi aku tetap diam.

Kesunyian dalam kamar itu begitu mutlak. Aku dan Rion sama-sama terdiam, saling memandang satu sama lain.

Rion mengambil inisiatif untuk bergerak mendekatiku.

“Berhenti,” gumamku pelan.

Rion menghentikan langkahnya.

“Sejak kapan?” tanyaku dingin.

“Apanya?”

“Gak usah berlagak bego. Sejak kapan kamu ingat?” aku memandangnya tajam. “Atau jangan-jangan dari awal emang enggak ada yang namanya hilang ingatan. Kamu cuman pura-pura.”

Rion menarik napas panjang. “Aku ingat lagi semuanya dua hari setelah kecelakaan. Waktu itu Yoga nelpon aku, trus aku tiba-tiba ingat lagi.”

Pikiranku langsung kosong. Badanku bergetar hebat karena marah. Jadi selama ini aku dibohongi?

“Dan kamu pikir kamu bisa ngajak aku pulang ke asrama sambil terus pura-pura kalo kamu masih hilang ingatan?” kataku dingin, mencoba menahan diri untuk tidak langsung maju menyerangnya.

“Itu rencananya,” jawab Rion langsung.

Apa ini? Apa dia mau balas dendam? Apa ini caranya ngehukum aku karena udah nyuri mobilnya? Dengan pura-pura hilang ingatan, pura-pura suka, pura-pura sayang ..

Aku memaksakan diriku untuk tersenyum. “Well .. Rencanamu gagal ..”

“Bagaimana dengan rencanamu?” balas Rion tajam.

Aku mengernyit. “Apa maksudmu?”

Rion tertawa pelan. “Ayolah Sam. Aku sudah ingat. Semuanya. Kita berdua tahu kalo kamu nyuri mobilku. Jadi apa rencanamu?”

Wajahku memucat, dan tanganku basah oleh keringat dingin. Rion menatapku puas, menungguku menjawab sambil tersenyum ganjil. Seakan dia menikmati melihatku terpojok seperti ini.

Rion mencibir dan berdecak pelan. Dia melempar ponselnya keatas dan menangkapnya lagi. Tanpa ada setitik pun keraguan akan meleset.

“Kamu tahu nomor siapa ini?” dia menunjukkan contact di phonebook ponsel-nya.

Mataku melebar. Itu kan .. Caessar.

Rion tersenyum dingin. “Apa hubungannya Caessar ama kamu nyuri mobilku?”

Aku nggak menjawab.

“Apa aku tanya langsung dia aja?” ancam Rion.

“Maumu apa sih?” tanyaku putus asa.

“Aku mau kamu,” jawabnya santai.

Aku tertawa dingin.

“Aku serius Sam,” kata Rion lagi.

Aku merasakan api kemarahan menjilat-jilat dalam diriku, berkobar dalam kekosongan yang menyakitkan, memenuhinya dengan keinginan untuk menyerang Rion karena ketenangannya dan kata-kata kosongnya.

“Serius huh?” suaraku mendadak keras dan kuat. “Kamu bener-bener pinter bohong Rion. Kamu tau nggak aku sampai percaya kalo kamu suka aku.”

“Aku emang suka kamu,” kata Rion sangat pelan.

Ini sudah keterlaluan. Aku maju dan meraih kerah bajunya.

“Aku nggak mau denger kamu bilang itu lagi. Oke?” desisku murka.

Rion memandangku dengan sorot mata penuh dengan kekecewaan. Dia tampak sangat kecewa aku menganggap pengakuannya cuman bohong. Aargh .. bukan .. dia kecewa bukan karena itu. Dia kecewa karena aku nggak percaya ama kebohongannya. Jangan tertipu Sam. Dia cuman bohong. Semua yang dia katakan bohong.

Dia nggak benar-benar suka kamu Sam ..

Dia nggak benar-benar sayang kamu..

Dia cuman pura-pura ..

Tiba-tiba hatiku terasa sangat nyeri.

Astaga, kenapa aku merasa sesak? Aku begitu resah sampai ingin meninju sesuatu untuk melampiaskan kekesalanku sendiri. Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri, tetapi hal itu malah membuat hatiku terasa semakin sakit dan seolah-olah akan meledak.

Aku nggak nyangka aku akan sekecewa ini, aku nggak nyangka aku akan sesedih ini.
Rionaldi


Aku benar-benar suka kamu Sam ..

Aku benar-benar sayang kamu..

Aku nggak pura-pura ..

Kenapa kamu nggak percaya sih? Apa sulit untuk dipercaya kalo aku suka sama kamu?

Sam menatapku dengan kebencian yang memuncak. Hatiku sakit. Aku nggak terbiasa menerima kebencian darinya. Aku ingin melihatnya tersenyum. Aku memegang tangannya yang meremas kerah bajuku. Sam langsung menepisnya. Ia melempar pandangan sangat menghina dan berbalik, berjalan menuju pintu.

“Sam,” aku memanggilnya. “Kita jadi pulang besok kan?” Aku mencoba berbicara dengan nada yang lebih ramah. “Kamu udah mutusin mau ngejawab apa?”

Sam menoleh dan menatapku dingin.

“Enggak ada ‘KITA’ lagi mulai sekarang. Aku dan kamu jalan sendiri-sendiri,” nada suaranya sangat dingin.

“Terus jawabanmu?” tanyaku penuh harap.

“Ah,” Sam menatapku lurus.

Apa dia mau menjawab iya? Apa dia mau jadi pacarku?

“Enggak!!” desis Sam panas dengan mata berkilat bahaya. “Aku nggak mau jadi pacarmu. Dan aku nggak mau ada hubungan apa pun sama kamu. Kita sama sekali nggak ada urusan.”

DAMN. Aku merasa suara Sam bergetar, apa dia tadinya mau menjawab ‘iya’ ?

Bego. Kenapa tadi aku nggak kunci pintunya? Satu-satunya kesempatanku untuk ngedapetin Sam jadi hilang. Sial. Aku ngerasa sangat kesal pada diriku sendiri. Kalo gini caranya aku harus cari cara lain ..

We must play a different kind of game ..

Aku menarik napas, dan menatap Sam dengan ekspresi bosan.

“Kamu nggak akan ada urusan sama aku kalo kamu ada dipenjara,” gumamku pelan tapi jelas, aku memain-mainkan ponselku, melemparnya dan menangkapnya lagi.

Muka Sam menjadi pucat. Dia memandangku waspada.

“Dan mungkin nggak cuman kamu,” lanjutku santai. “Tapi Caessar juga .. Robin juga .. dan temen-temenmu yang lain. Yang ninja itu bukan cuman kamu kan?” aku menyeringai.

Sam mulai gelisah, wajahnya terlihat sangat cemas.

Aku nggak tahan melihat Sam menderita seperti itu. Aku mencengkeram erat tanganku sendiri, berusaha menahan diri untuk tidak menarik Sam kepelukanku. Oh God .. aku ingin sekali mengatakan padanya untuk tidak usah takut. Aku ingin sekali meyakinkannya kalau aku akan melakukan apa saja untuk membuat semuanya baik-baik saja.

Kamu nggak perlu takut apa-apa lagi selama kamu punya aku, selama kamu jadi milikku.

“Jadi maumu apa?” tanya Sam parau.

“Aku cuman .. mau kamu Sam,” sekali lagi aku mencoba menjawab, kali ini dengan nada paling lembut dan tulus yang aku bisa.

Sam mendengus tidak percaya. “Yeah.”

Dia masih nggak percaya? Dadaku jadi sesak. Kenapa jadi seperti ini?

Aku tertawa kecil. Sam menatapku hati-hati.

“Jangan bego. Kamu pikir aku beneran suka sama kamu?” aku menyeringai, melempar pandangan meremehkan ke Sam.

Sam tampak sangat terkejut. Seketika itu juga aku menyesal telah mengucapkan kata-kata tadi. Sam terdiam cukup lama sebelum dia berkata dengan dingin. “Jadi apa maksudmu?”

“Aku pengen ngerasain pacaran ama cowok,” jawabku cuek. “Aku bosan ama cewek terus.”

Mata Sam melebar kaget. “Apa?”

“Kenapa?” aku memandangnya bosan.

“Kalo kamu mau cowok, cari gigolo sana,” bentak Sam, tampak lebih marah daripada yang pernah kulihat. “Kenapa harus aku?”

“Aku nggak mau repot,” balasku sambil lalu. “Lagian banyak resikonya kalo pake cowok panggilan kayak gitu. Aku punya reputasi Sam. Aku harus jaga itu semua.”

“Aku bukan homo.”

“Itu malah bagus. Aku juga bukan homo. I just curious, cuman main-main aja.”

“Dan aku benci kamu,” sambar Sam panas.

“Justru karena itu. You’re just perfect Sam. Kamu benci aku, kamu nggak akan naksir aku, jadi kalo aku bosan kita bisa akhiri semuanya kapan saja. Anggap aja kita ini lagi fooling around. Nothing to lose.”

Sam memandangku tegang.

“Ah .. dan satu lagi,” aku menambahkan. “Aku juga butuh kamu untuk bikin Selina mutusin aku.”

“Selina cewekmu?”

Aku mengangguk. “Dia jadi tambah menyebalkan akhir-akhir ini. Kalo tau aku selingkuh ama cowok dia pasti langsung minta putus.”

Sam menggeleng tidak percaya. “Kamu benar-benar pengecut.”

Aku menaikkan bahu. “Terserah mau bilang apa.”

“Kalau aku setuju .. mobilnya ..” Sam mulai mengerti kemana arah pembicaraan kami.

“Mobilnya enggak dicuri,” aku menyelesaikan kalimat Sam dengan lancar. “Aku yang ngijinin kamu make mobilku. Terus kita kecelakaan. Simple. Dan nggak ada Caessar ato Robin yang terlibat. Dan temen-temenmu yang lain juga nggak ada hubungannya.”

Sam diam sementara dia berpikir. Wajahnya tampak berkerut samar.

Aku mendekatinya. Tanganku menyentuh pipinya lembut. “Kamu cuman perlu bilang ‘iya’ dan semuanya akan baik-baik saja.”

Sam memalingkan wajahnya. “Jangan sentuh aku.”

Hatiku sakit mendengar nada dalam suara Sam. Dia takut padaku. Dia takut.

Aku memejamkan mata. Lalu aku membukanya lagi dengan semangat baru. Aku harus menyelesaikan semua ini.

“Kamu harus terbiasa dengan sentuhanku,” aku menyeringai. “Bagaimana kamu bisa bikin Selina percaya kita pacaran kalo kamu nggak mau dipegang?”

Sam memandang tajam. “Selina nggak ada disini.”

Aku tertawa pelan.

“Jadi?” aku meliriknya dan tersenyum nakal. “Kita pacaran nih?”

Sam memandangku jijik sebagai jawaban dan mendorongku menjauh. Dia nggak ada pilihan lain. Aku yakin dia pasti sadar itu. Dia harus terima penawaranku.

“Aku mau kamu putus dari cewekmu,” kataku sebelum Sam keluar kamar. “Siapa itu namanya?”

“Dini,” jawab Sam datar. “Tenang aja. Dia juga udah mau mutusin aku.”

Aku tersenyum terus sampai Sam keluar kamar.

Setelah aku sendirian, senyumku hilang. Aku menjatuhkan diriku ke kasur dan mengeluh kesal. Aku memaki-maki diriku sendiri. Saat itu aku baru sadar, aku telah melakukan kesalahan besar. Dengan susah payah aku menarik napas dalam-dalam untuk meredakan kekesalan —atau tepatnya, penyesalan— yang muncul dan menyesakkan dadaku. “Bodoh,” gerutuku pelan.

But I want him.

I will do anything. As long as he belong to me.

Although he will hate me.

Liam Firman


Aku benci konflik.

Kenapa harus berantem segala sih?

Sejak dulu aku selalu jadi korban kalo ada orang berantem.

Kayak sekarang ini. Kaka dan Harris lagi berantem. Mending ya kalo berantemnya karena hal yang agak kerenan dikit, misalnya karena .. ummm .. karena .. eh setelah dipikir-pikir lagi berantem itu kan nggak baik. Jadi mending jangan berantem deh.

Nah kasusnya Kaka ama Harris ini cuman gara-gara coklat ilang doang mereka udah kayak perang Teluk aja (apa itu perang Teluk? Baca lagi buku sejarahmu, hehe). Mereka bikin aksi diem-dieman, tutup mulut, buang muka dan banting pintu yang bikin gerah anak satu kos. Gimana nggak gerah, lagi asik tidur siang eh tau-tau ada bunyi pintu dibanting kenceng banget, untung nggak ada yang jantungan.

Dan aku kebagian tugas sebagai juru damai. Nekat gak tuh? Nyabung nyawa ditengah banteng ngamuk gitu. Dipaksa ama Robin sih sebenernya, jadi ya mau nggak mau harus aku lakuin. Tapi tentu aja itu bukan hal yang mudah. Kaka dan Harris sama-sama keras kepala. Masing-masing sangat marah terhadap yang lain, aku jadi nggak tau caranya mendamaikan mereka.

Harris marah sekali coklatnya hilang, padahal dia sudah bela-belain nyisihin uang jajannya bulan ini buat beli tu coklat. Dan dia juga tambah marah karena Kaka tetep nggak mau ngaku kalo dia udah nyuri coklatnya. Sementara itu, Kaka ngotot dengan pernyataannya kalo bukan dia yang nyuri, dan malah nyaranin Harris untuk nyari coklatnya lagi di kamar, jangan-jangan keselip.

Bolak balik aku datengi mereka berdua, minta mereka untuk berdamai.

“Bukan gw yang mulai,” teriak Kaka keki. “Harris yang duluan. Dia nuduh sembarangan. Pokoknya sebelum dia minta maaf gw gak mau baikan ama dia.”

“Kaka itu sama sekali nggak ngerasa bersalah,” kata Harris jengkel. “Aku nggak minta dia balikin coklatku. Aku cuman minta dia ngaku salah.”

Karena nggak mungkin mengharapkan mereka untuk baikan atas kesadaran sendiri, aku jadi terpaksa nyusun rencana. Aku beli coklat toblerone di supermarket dan nempel surat karanganku yang aku print. Kalo Harris ngira coklat ini dari Kaka pasti Harris jadi nggak marah lagi. Kalo Harris nggak marah lagi, lama-lama Kaka juga bakal luluh trus mereka baikan deh. Tak mengapa pengorbananku nombok uang buat beli coklat, yang penting mereka bisa damai. Hehe.

Aku tersenyum senang membayangkan rencanaku.

Waktu aku jalan di koridor menuju kamar Kaka aku melihat Ferli berjalan mondar-mandir dari satu kamar ke kamar lain. Ngapain dia?

“Ngapain Kak?” sapaku.

Ferli menoleh cepat. “Kamu ada makanan? Snack? Ato apa ajalah.”

“Nggak ada,” jawabku.

Ferli mengerling coklat ditanganku dan menaikkan alis. “Itu apa?”

“Jangan yang ini Kak.”

“Ini demi kepentingan negara. Sini coklatnya,” katanya sambil berusaha ngerebut coklat dari tanganku.

“Jangan,” aku mencoba melawan.

“Pelit banget sih, ntar diganti kok. Sini pinjem dulu coklatnya.”

“Enggak. Jangan.”

Tanpa sadar kami berebut coklat sampai masuk ke kamar Kaka yang terbuka lebar. Mata Ferli melebar melihat bungkusan pink berpita yang duduk manis di meja belajar Harris.

“Liam pelitt,” ledek Ferli keki, dan dia menyambar bungkusan pink di meja Harris itu lalu langsung kabur keluar.

Ya ampun bungkusan punya siapa tadi?

Apa punya Harris? Wah kalo Harris tau makanannnya ilang lagi bisa gawat nih. Aku memutuskan untuk langsung meletakkan coklat perdamaianku di meja Harris. Beres. Ketika aku mau keluar, aku kuatir kalo Ferli ngambil coklat itu. Akhirnya aku jagain tu coklat sambil mainan hape. Oh iya aku lupa belum sms Jun.

Jun bilang aku harus sms dia minimal tiga kali sehari. Katanya sih biar dia naksir aku.


    To : Arjuna Hai Jun.

Sms terkirim. Bibirku masih terasa tebal gara-gara ciuman Jun kemarin. Gila .. ternyata ciuman itu ada efek sampingnya juga ya. Walopun agak enak sih, geli-geli basah gimana gitu. Tapi emang bikin candu. Pantesan aja orang pada demen ciuman.

Ada sms masuk.

    From : Arjuna Hai Liam.


Aku mengernyit. Sejauh ini kalo aku kirim sms ‘Hai Jun’ pasti dibalesnya juga cuman ‘Hai Liam’. Apa bener yang seperti ini bisa bikin dia naksir aku?

    To : Arjuna Sudah makan belum? Lagi ngapain? From : Arjuna Udah. Skrng lagi tiduran aja.

Dibales apa lagi ya?

Waktu aku sedang mikir, Harris tiba-tiba masuk. Dia kaget ngeliat aku.

“Ngapain disini?” tanyanya heran.

“Nemenin Kaka,” jawabku nyengir.

Mata Harris menangkap coklat perdamaian buatanku. “Apa ini?”

“Dari Kaka,” aku langsung berbohong. “Buat ngeganti coklatmu yang hilang .. eh yang dia curi ..”

Ekspresi Harris melunak, aku nyaris menduga dia tersenyum. Lalu dia mengambil dompet dari lemarinya dan berjalan keluar kamar.

“Mau kemana Ris?” aku menanyainya.

“Supermarket,” dia menjawab kalem.

Aku tersenyum. Yes. Rencana berhasil. Satu banteng udah ditaklukkan, berarti tinggal satu lagi. Banteng yang lagi tidur kayak kebo diatasku ini. Aku berdiri dan melirik Kaka yang tidur pulas banget. Sesekali mukanya mengerut, kayaknya dia mimpi buruk deh.
Tapi, tampaknya aku terlalu cepat senang dengan keberhasilan rencanaku itu. Karena kenyataannya, entah bagaimana caranya, sepuluh menit kemudian Kaka dan Harris sudah mulai berantem lagi. Mereka saling bentak didepan asrama dan waktu masuk ruang tamu mereka bergantian melotot kearahku.

“Ngapain lo ngasih coklat ke dia trus bilang kalo itu dari gw?” semprot Kaka galak sebelum berjalan cepat ke arah tangga.

Harris cuman berdecak pelan dan melihatku dengan pandangan tidak percaya.

Aku jadi jengkel sendiri. Kok jadi marah ke aku sih? Menyebalkan sekali mereka berdua. Pikiranku jadi kalut. Aku langsung berjalan keluar asrama dan otomatis kakiku membawaku melangkah ke Wisma Indah Lima. Aku menatap asrama bercat hijau itu dan nggak yakin kenapa aku bisa sampai disini.

“Jun ada Kak?” aku menanyai Dennis yang sedang mainan ama kucingnya.

“Diatas. Langsung aja,” jawabnya tanpa melihatku.

Aku naik keatas, sampai dikamar Jun aku mengetuk pintu beberapa kali. Tapi nggak ada jawaban. Mau langsung pulang juga sayang, udah terlanjur disini, akhirnya aku buka pintunya.

Jun sedang berbaring ditempat tidur. Matanya tertutup. Suara alunan gitar terdengar merdu dari PC-nya. Aku masuk dan melangkah hati-hati mendekati Jun. Dia tampak begitu damai, kasian juga kalo diganggu. Aku duduk didepan layar LCD, melirik playlist mp3-nya, penasaran selera musiknya Jun kayak apa sih?

Kebanyakan sih lagu yang nggak aku kenal. Nama penyanyi dan judul lagunya asing di mataku. Richard Clayderman, Kitaro, Howard Baer and Dan Gibson .. Celtic Awakening?

Aku melirik judul lagu yang sedang dimainkan saat itu.

    Depapepe - Let's Go!!! - 06. 風見鶏 ~ Weathercock ~.mp3

Aku mengernyit. Depapepe? Aneh banget namanya, tapi kalo aku denger baik-baik, permainan gitarnya asik juga. Aku yang nggak ngerti apa-apa tentang gitar aja jadi suka.

Sesekali aku melirik Jun. Muka tidurnya enak juga diliat. Jadi ikutan ngerasa damai. Aku senyum-senyum sendiri. Agak bingung juga kenapa aku malah kesini, padahal Jun orangnya nggak banyak ngomong, dan aku kalo lagi kesel biasanya lebih suka ditemenin ama temen yang banyak omong biar bisa ngobrol banyak.

“Kenapa ngeliatin aku?” tiba-tiba Jun bersuara, matanya masih tetap terpejam.

Aku kaget. “Jun. Kamu nggak lagi tidur?”

“Aku nggak bilang kalo aku lagi tidur kan.”

“Tau darimana aku liatin kamu?”

Jun nggak menjawab.

Aku mengernyit, nggak tau kenapa jadi kesel lagi.

“Kenapa kamu kesini?” Jun menanyaiku kalem.

“Lagi suntuk aja dikos,” jawabku seadanya.

Jun menepuk kasur disampingnya. “Duduk disini,” perintahnya.

“Kenapa?”

“Cepet kesini,” gumam Jun pelan.

Aku melangkah mendekatinya dan duduk.

“Sekarang berbaring,” perintah Jun lagi.

“Huh?”

Jun langsung meraih bahuku dan menariknya. Aku berbaring tepat disamping Jun. Kasurnya dingin. Jun membuka matanya dan menoleh. Mata kami bertemu.

“Kecium nggak baunya?” dia bertanya.

“Eh? Bau apa?” kataku bingung.

“Bau hujan,” Jun menunjuk jendela yang terbuka lebar tepat diatas kami. “Kalau abis hujan selalu ada bau kayak gini. Bau rumput basah. Bau tanah basah.” Jun menutup matanya lagi.

Aku membaui sekelilingku. Emang ada bau sih.

Segar. Iya .. aku ingat .. kalo hujan emang selalu ada bau kayak gini.

“Aku suka baunya,” Jun memberitahuku.

Aku nyengir. “Iya Jun. Seger baunya.”

Kami terdiam menikmati saat itu, ditemani alunan merdu dari gitar depe .. hah? Depe? Dewi Persik? Eh bukan .. apa tadi namanya .. Depapepe.

Jun memiringkan kepala, menatap mataku lurus-lurus dan bertanya dengan nada melamun. “Jadi kamu kenapa?”

“Aku kenapa?”

“Kenapa kamu kesini?”

“Lagi suntuk di kos,” jawabku sambil lalu. “Pengen cari suasana baru aja.”

“Suntuk?” ulang Jun. “Maksudnya stress, kesel, nggak semangat?”

“Yeah, semacam itu lah.”

“Oh.”

Kami terdiam lagi.

“Liam.”

“Ya?”

“Tutup matamu.”

“Huh?”

“Tutup aja.”

Aku mengernyit heran tapi ujung-ujungnya nurut juga, aku memejamkan mataku. Kemudian aku merasa ada gerakan disamping, dan tiba-tiba aja badanku terasa berat. Aku membuka mata dan menemukan Jun sedang memelukku .. bukan .. lebih tepatnya dia menindihku. Wajah kami sangat dekat. Aku dapat merasakan hembusan napasnya.

“Jun, apaan sih?” aku berdesis panik.

“Diem aja.”

“Kamu lagi ngapain?”

“Aku lagi nolong kamu.” Jawab Jun tenang, seolah-olah dia nggak melakukan hal aneh dan aku harusnya udah tau itu, nggak perlu tanya-tanya lagi.

“Nolong aku gimana maksudnya?”

“Ini namanya terapi pelukan. Kamu tau nggak kalo pelukan bisa ngurangi stress, nambah semangat, membantu sistem kekebalan tubuh dan bikin kita jadi sehat,” Jun menjelaskan dengan santai.

“Apa?”

“Diem aja dulu.”

Aku menatapnya kaget, bingung, heran, campur nggak percaya. Apa Jun bercanda? Tapi aku liat sama sekali nggak ada tanda-tanda dia sedang bercanda. Matanya menatapku hangat. Ekspresi wajahnya susah ditebak .. khas Jun, tenang dan kalem.

“Panas Jun,” komentarku beberapa saat kemudian.

Jun berpikir sebentar sebelum mengangguk. “Iya, panas.” Lalu ia bangkit sedikit dan dengan bertumpu pada sikunya berusaha melepas kaos yang dia pakai. Agak kerepotan karena posisi kami yang tumpuk-tumpukan kayak gini. Aku melotot, mulutku terbuka karena kaget. Kenapa dia buka baju?

“Kamu ngapain Junnn?” gumamku panik ketika Jun merapikan rambutnya yang berantakan, aku melirik badannya yang tegap itu. Aku menelan ludah.

“Panas,” jawabnya datar lalu melempar kaosnya ke kursi.

Ketika ia bersiap-siap akan memelukku lagi aku langsung berkata dengan nada nggak percaya. “Maksudku aku yang panas.”

“Oh. Sori. Aku salah ngerti,” setelah itu Jun mulai membuka kancing bajuku satu persatu.

“Waaa Jun .. jangan dibukaaa bajuku ..” aku memberontak panik.

“Tadi katanya panas,” kata Jun kalem. “Dibuka aja bajunya. Kayak aku nih, jadi nggak kepanasan lagi.”

“Maksudku kamu minggir. Jangan nindihin aku,” kataku mulai nggak sabar.

“Nanti dulu,” Jun memelukku lagi. “Tunggu sebentar lagi ya,” aku merasa tangannya menyusup kepundakku. Dia memelukku erat. Kepalanya terkulai disebelah kiriku, aku dapat merasakan hembusan napasnya dileherku. Aku dapat mencium bau rambutnya yang harum.

Aku merinding.

Bukan merinding takut, tapi merinding yang menyenangkan. Merinding yang membuat tubuhku bergetar dan jantungku berdebar kencang.

Pelan-pelan tanganku melingkar di badan Jun, aku merasakan kehangatan mengalir. Dan aku sadar aku mau lebih. Aku balas memeluknya.

Napasku tertahan di tenggorokan. Aku memeluk Jun erat-erat dan membelai kepalanya. Itu bukan pelukan sambil lalu. Bukan juga pelukan bersahabat. Itu pelukan dalam arti sebenarnya. Saat itu juga aku mendadak merasa damai, seakan seluruh bebanku terserap keluar. Yang tersisa hanya rasa senang di hatiku.

Aku melepas pelukanku ketika Jun mulai bergerak. Dia mengangkat kepalanya dan menatapku lekat-lekat, hidung kami hampir bersentuhan. “Udah selesai,” gumamnya pelan.

“Ah .. Oh .. Eh iya ..” balasku setengah melamun, masih shock dengan peristiwa barusan.

Jun bangkit dan duduk di pinggir tempat tidur.

Aku ikutan duduk disebelahnya.

“Gimana? Udah rada mendingan?” tanya Jun kemudian.

“Lumayan,” kataku sambil tertawa gugup melirik Jun yang masih shirtless. Dengan diam aku memperhatikannya. Dia berkulit putih, body-nya ramping berisi, istilahnya sih body cowok gaul jaman sekarang.

Aneh juga cowok satu ini, kemarin aku kesini dicium, sekarang dipeluk. Besok-besok kalo aku maen kesini lagi mau diapain lagi nih? Cara persahabatan Jun agak berbahaya rupanya.

Tiba-tiba Jun menatapku tajam.

Eh?

Lalu dia mendekat. Aku menelan ludah, mulutku komat-kamit baca doa (dikira Jun setan apa?) .. Jun semakin dekat .. aku dapat melihat matanya dengan sangat jelas .. dan bibirnya juga. Aku menahan napas. Tegang. Deg-degan. Padahal ekspresi Jun masih cuek aja.

Kemudian tangan Jun meraih kaosnya yang tergantung di kursi disampingku. Dan dengan santai dia memakai lagi kaosnya. Aku udah salah tanggap .. Kirain .. Napas yang tadi aku tahan akhirnya terhembus. Nggak tau deh terhembusnya karena kesel ato lega. Pokoknya rugi deh tadi pake acara deg-degan segala.

Aku langsung bangkit. “Jun aku balik dulu ya.”

Sampai di pintu Jun memanggilku. “Lain kali kalo kamu suntuk lagi kesini aja,” dia menawarkan dengan nada serius. “Pasti aku bantuin lagi.”

Dibantuin lagi? Dipeluk lagi maksudnya?

Aku tertawa gugup. “Oke Jun.”

Sepanjang perjalanan pulang aku jadi kepikiran terus. Apa bener ada terapi pelukan? Ntar tanya Harris aja deh .. eh jangan .. Harris galak. Kalo gitu Kaka aja .. ummmm tapi Kaka suka ngaco kalo ngasih jawaban. Ah iya tanya Sam aja ntar kalo dia udah balik.

Sampai di asrama, anak-anak sedang kumpul di ruang tamu, pada senyum semua.

“Ada apa sih?” aku bertanya heran.

“Sam besok pulang,” Ferli menjawab sementara aku duduk disebelah Harris.

“Sam tadi nelpon. Dia bilang besok dia pulang,” Harris menjelaskan.

Aku tersenyum senang. Disaat aku butuh Sam, dia pulang juga. Artinya aku nggak perlu pusing sendirian lagi ngurusin Kaka ama Harris.

“Oh iya tadi itu bungkusan pink ada pita-pita punya sapa?” Ferli menanyaiku.

“Harris kan?” jawabku nggak yakin.

“Bukan punyaku,” kata Harris pelan.

“Lho tapi ada dikamarmu,” Ferli mengernyit heran. “Tadi aku pinjem buat sesajen.”

“Hah?” aku dan Harris berseru bingung.

Ferli meringgis. “Mbak Nyit-Nyit tadi kesini. Nagih uang kos anak-anak yang belom lunas. Dia kan kalo lagi nagih gitu harus dikasih sesajen biar nggak tambah galak. Nah kebetulan semua pada nggak punya makanan, jadi kita bingung deh. Tapi untung aja ada bingkisan pink itu. Dia seneng banget lho.”

Aku termenung. “Mungkin itu punya Kaka.”

Harris menoleh cepat.

“Dia mau minta maaf sama kamu Ris makanya dia ngasih kamu itu. Tadi kan aslinya bingkisan itu ada di meja kamu. Artinya buat kamu kan?”

“Nggak mungkin,” Harris mencibir. “Pasti kerjaanmu lagi kan?”

“Suer bukan aku. Kalo coklat tobleron itu emang dari aku.”

Harris terdiam, seakan sedang mikir sesuatu.

“Kaka itu nggak sejahat yang kamu kira Ris,” kataku bijak. “Dia memang keras kepala tapi dia baik kok.”

Harris tetap diam.

“Yaudah, aku ke dapur dulu ya. Mo minum. Haus.”

Sampai didapur ada Kaka duduk sendirian di meja makan. Kayak sedang melamun. Tatapan matanya kosong kedepan. Ah iya .. dia kan masih berantem ama Harris, tadi ada Harris di ruang tamu jadi Kaka pasti nggak mau satu ruangan ama dia, makanya dia ngungsi ke sini. Aku mengambil air minum dan menghampirinya.

“Woy Ka,” sapaku.

Kaka menoleh cepat lalu mencibir.

“Ngapain sendirian disini?” aku bertanya kalem.

Kaka tidak menjawab.

“Nggak capek apa berantem terus?” kataku lagi.

“Tapi dia duluan yang mulai.”

“Siapapun yang mulai duluan, kalo ada perang kayak gini semua pihak sama-sama salah,” aku mengambil roti dari lemari dan menyodorkannya ke Kaka. “Harusnya kamu bisa lebih maklumin sifat Harris yang seperti itu Kak ..”

Aku jadi heran sendiri, kenapa tiba-tiba aku jadi sok bijak trus nasehatin kayak gini ya? Efek dari terapi pelukan-kah?

Kaka menggigit roti sambil merenungkan sesuatu.

“Nggak ada rasanya,” komentarnya kemudian.

“Hah?”

“Rotinya tawar,” Kaka menunjuk roti ditangannya.

Aku ikut memakan roti itu. Iya .. tawar.

“Kamu ngambil dimana sih?” tanya Kaka penasaran.

Aku menujuk lemari disebelah kulkas. “Disitu.”

Kaka langsung menyemburkan roti yang sudah terlanjur dia makan. Matanya melotot ngeri. “Itu kan rotinya Harris.”

Aku ikut-ikutan memandang Kaka ngeri.

“Gw nggak ikut-ikutan lho ya,” gumam Kaka nggak jelas sambil membereskan sisa rotinya. Dengan cepat memakannya semua. Menghilangkan barang bukti.

“Aduh, aku kan nggak tau,” kataku panik.

Tepat saat itu Harris masuk. Aku dan Kaka langsung membeku.

Mata Harris berpindah antara aku, Kaka dan roti didepan kami yang sudah hampir setengah habis. Gawat. Pasti ngamuk-ngamuk nih.

“Siapa yang makan rotiku?” tanya Harris datar.

“Liam,” jawab Kaka cepat, menunjukku. Padahal jelas-jelas mulutnya penuh roti.

Aku memandangnya nggak percaya. Cepet banget dia berkhianat.

Tapi bukannya marah, Harris malah memandangku ramah. “Udah nyoba pake selai kacang?”

“Eh?”

“Kalo dimakan pake selai kacang tambah enak rotinya,” Harris tersenyum menenangkan. “Kalau mau ambil aja di kulkas.”

Kaka tampak sangat terkejut dengan perkataan Harris barusan.

“Kamu nggak marah Ris?” tanya Kaka takjub.

“Sama temen kan harus berbagi,” Harris menyingkirkan rambut yang jatuh di dahinya. “Aku nggak sepelit dugaanmu Kak.”

“Udah ya, aku mau ke kamar mandi dulu. Mau cuci muka,” lalu Harris pun berjalan dengan dramatis ke kamar mandi.

Kaka menatapku nggak percaya.

“Tuh kan,” kataku penuh kemenangan. “Harris tu sebenernya baik.”

Kaka mengangguk dan mengambil selai kacang di kulkas.

Lalu terdengar suara ribut dari kamar mandi. Pintu terbanting. Ada langkah kaki cepat dan terburu-buru. Harris pun muncul lagi di dapur. Mukanya merah, matanya berkilat-kilat berbahaya. Dia membawa produk Vaseline for Men di tangan kanannya.

“Siapa yang make pembersih mukaku?” teriaknya menggelegar. “Ngaku!! Aku baru beli tadi di supermarket tapi kenapa sudah berkurang banyak banget. Siapa yang make?”

Kaka yang sedang mengoleskan selai kacang di rotinya cuman bengong.
to be continued.... 



0 comments:

Post a Comment