DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Ninja Next Door - Chapter 8

08
When The King
Wants The Cat



Gambar     

by Coatwest



Samudera


We kissed???

Again???

Aku mengangkat wajahku.

Rion menatapku dan tersenyum sebelum akhirnya dia tertidur.

Damn. This boy is so ..

Unpredictable.

Pertama kali kita ketemu di asramanya, dia mergokin aku dan marah.

Pertemuan yang kedua di mobil, dia marah juga, malah aku dipukul segala. Lalu gara-gara amnesia dia jadi berubah. Jadi lebih lembut. Dan tiba-tiba aja dia nyium aku waktu mau tidur kemarin malam. Dan yang tambah mengkuatirkan, aku lihat di matanya, tatapannya lembut banget. Seperti menunjukan kalo dia sayang sama aku. Sangat berbeda dibandingkan dengan tatapan penuh kebenciannya sewaktu dia memukulku di mobil dulu.

Aku jadi bingung, sebenernya dia kenapa? Kenapa jadi beda gini. Apa ini efek amnesia?

Aku harus gimana ngehadapin dia?

Orang nggak sembarangan gitu aja nyium orang lain kan. Pasti ada alasannya.

Terus kenapa Rion nyium aku?

Dan sekarang terjadi lagi. He kissed me.

Sebelum nyium aku tadi, aku sempat liat matanya. Dia keliatan tulus.

Dan ciumannya .. Manis.

Bukan ciuman penuh nafsu, but just a simple sweet kiss.

A kiss that telling me that everything gonna be alright. Oh God this is juat too stupid. Being comforted by a kissed? And more importantly a kiss from a boy?

Aku ngerasa .. sangat bersalah. Harusnya dia marah. Bukan malah memperlakukan aku seperti ini. Tapi aku juga ngerasa sangat gelisah. Dan mungkin takut. Takut kalau Rion sudah mendapatkan kembali ingatannya dia akan berubah seratus delapan puluh derajat menjadi seperti dulu.

Sepertinya aku lebih suka Rion yang sekarang.

Malamnya aku ditinggal di rumah sendirian. Bapak dan Ibu Wahyu ada undangan nikahan. Semua ikut, termasuk Kak Sam dan anak-anak KKN lainnya yang udah dianggap tamu kehormatan ama warga desa sini. Sedangkan aku sengaja ditinggal untuk ngejaga Rion.

Aku menghela nafas panjang. Akhir-akhir ini aku sering melakukannya. Terlalu banyak pikiran di kepalaku. Apalagi kalau aku ingat Rion. Bisa pusing sendiri.

Rion sedang memencet-mencet remote tv, dia duduk dengan perhatian tertuju pada layar, tampak sedang sibuk sendiri. Dia tidak banyak bicara belakangan ini. Atau tepatnya sejak ciuman tadi siang. Rion jadi berubah lagi. Dia jadi pendiam. Dia tidak berbicara satu kata pun kepadaku, dia tidak tersenyum dan bahkan tidak mau menatapku langsung. Dia menganggapku seakan tidak ada.

“Mereka sudah pergi,” kataku pelan, mencoba menarik perhatiannya.

Rion mengangguk.

“Kamu mau makan apa?” tanyaku.

Rion diam cukup lama sebelum menjawab dengan dingin. “Apa aja.”

Sikap dinginnya membuatku kecewa. Dan sakit hati. Dia bahkan nggak ngeliat aku waktu menjawab. Sebenarnya kenapa sih Rion? Apa yang harus aku lakukan untuk bisa tahu apa yang ada dipikirannya sekarang?

For some reason I don’t like it. I hate it when he ignore me.

Setelah menyiapkan makan malam untuk Rion aku masuk ke kamar Kak Sam. Kamarnya nggak gitu luas, ranjangnya juga nggak besar, jadi kalo tidur harus berbaring kaku, berjejer kayak sarden. Aku menghela nafas lagi. Apa yang harus aku lakukan sekarang?

Ponselku berbunyi.

“Hallo?”

Terdengar suara Harris menjawab. “Akhirnya nyambung juga.”

“Ada apa Ris?”

“Ada apa? Hey harusnya aku yang tanya gitu. Ada apa Sam?”

“Apanya?”

“Kenapa kamu belum balik juga?”

Aku menghela nafas. Lagi. “Aku belum bisa.”

“Denger ya. Sekarang udah Jumat. Senin besok kita mulai orientasi. Kamu harus sudah disini. Masa kamu mau ngelewatin orientasi?”

Aku baru ingat. “Oh iya.”

“Jadi kapan kamu balik?”

“Aku nggak tau. Aku juga bingung Ris. Aku nggak bisa balik sekarang.” Enggak bisa kalau Rion masih seperti sekarang ini, belum ingat apa-apa.

“Senenernya ada apa sih?”

“Aku nggak bisa bilang.”

“Oke kamu cukup jawab ya atau tidak. Ada kaitannya ama Rion?”

Aku diam sebentar. “Ya.”

Harris mengeluh. “Kamu butuh bantuan?”

“Tidak.”

“Yakin?”

“Ya.”

“Apapun itu selesaikan secepatnya. Pokoknya usahakan kamu sudah disini sebelum hari Senin. Aku stress disini. Kaka bener-bener bikin aku gila.”

“Kalian kenapa?”

“Kami berantem.”

Aku tertawa pelan. “Ris. Kalian tu selalu berantem.”

“Tapi kali ini beda. Aku udah nggak tahan.”

Aku diam, menunggu Harris untuk cerita.

“Aku nggak bisa cerita,” lanjut Harris.

“Oke. Apapun itu selesaikan secepatnya. Aku mau waktu aku pulang nanti kalian udah nggak perang lagi.”

Harris mendengus. “Yaudah. Aku tutup ya.”

“Oke.”

Aku menaruh ponselku di meja. Aku sampai lupa kalau hari Senin besok ada orientasi untuk mahasiswa baru. Kemudian sesuatu mengganggu pikiranku. Rion kan Presiden Mahasiswa, jangan-jangan dia juga harus ada di kampus hari Senin besok. Biasanya kan orang-orang seperti dia yang ngurusin orientasi kayak gitu. Dan kalo Rion masih belum ingat apa-apa, masa aku tetep bawa dia ke kampus.

Pintu kamarku terbuka sedikit. Kepala Rion masuk.

“Bantuin aku,” katanya singkat.

“Oh. Ada apa,” balasku kaget, masa dia tau-tau nongol gitu.

“Bantuin aku makan.”

“Hah?” aku mengikutinya ke meja makan, dia duduk dan menunjuk ke makanan didepannya.

“Suapin.”

“Kamu belum bisa makan sendiri?” tanyaku heran.

Rion menggeleng.

Aku duduk di kursi sebelahnya dan mulai menyuapinya. Rion makan dengan diam. Sampai kemudian dia mengamatiku penuh selidik. Aku jadi salah tingkah diliatin seperti itu. Matanya kayak sedang mencari tahu isi pikiranku.

“Apa kamu benci aku?” tanya Rion akhirnya, suaranya datar.

Aku tersentak kaget. “Kenapa aku harus benci kamu?”

“Karena gara-gara aku kamu nggak bisa pulang.”

Apa dia denger omonganku sama Harris tadi? Aku menatap Rion tajam dan melihat dia benar-benar serius ngira aku benci dia.

“Aku nggak benci kamu kok. Yang ada juga kamu yang benci aku,” jawabku sambil tertawa pelan.

“Kenapa aku harus benci kamu?” tanya Rion kaget.

“Kamu memang benci aku Rion,” kataku tegas.

“Aku nggak benci kamu kok,” kata Rion nggak kalah tegas.

Aku tersenyum. “Tunggu sampai semua ingatanmu kembali. Kamu nggak akan bilang seperti itu lagi.”

“Jadi menurutmu kalau aku sudah ingat lagi aku bakal benci kamu?” lanjut Rion kesal, tampak sangat tersinggung.

“Iya.”

“Kalau gitu aku nggak mau ingat lagi,” kata Rion jengkel, memalingkan wajahnya dariku. ”Aku mau seperti ini terus.”

“Hey apa maksudnya itu?” aku memandangnya heran. “Tentu aja kamu harus segera ingat semuanya Rion.”

“Nggak mau,” kata Rion keras kepala. “Aku nggak mau ingat.”

“Jangan bikin aku tambah pusing,” aku menatap Rion putus asa. “Kamu harus cepet sembuh, ingat lagi semuanya. Lalu kita pulang.”

Rion memandangku penuh simpati.

“Janji ya. Kamu akan berusaha buat ingat lagi,” desakku.

Rion mendengus, aku memegang bahunya, memaksanya untuk melihatku langsung. Dia menatapku dengan pandangan ganjil.

Lalu perlahan tatapannya mulai menghangat dan dia mengangguk. “Aku janji.”

Aku tersenyum.

“Aku janji. Aku nggak akan benci kamu,” lanjut Rion nyengir.

Senyumku hilang. Kamu pasti nggak akan bisa nepatin janji itu.
Rionaldi


Aku mencium Sam lalu tertidur.

Sejak terbangun aku jadi takut. Apa yang akan dipikir Sam tentang aku?

Itu artinya sudah dua kali aku menciumnya. Gimana kalo Sam nanya alasanku nyium dia? Harus jawab apa aku? Aku sendiri masih bingung. Aku jelas benci dia. Dia yang sudah nyuri mobilku, menabrakkannya sampai hancur. Aku ingin sekali memukulnya.

Tapi aku nggak bisa nyangkal kalo ada perasaan lain yang mulai tumbuh. Semua ini gara-gara aku hilang ingatan. Semua perasaan itu terlanjur tumbuh dan susah ditebas. Aku jadi grogi kalau ada didekat Sam. Bahkan aku tidak bisa melihat langsung ke matanya. Sejak ciuman siang tadi aku jadi terus menghindarinya. Tapi aku juga ingin selalu berada didekatnya. Contradiction

“Kamu mau makan apa?” suara Sam saja cukup untuk membuatku salah tingkah. Aku langsung terdiam, bingung memikirkan jawaban apa yang harus kuucapkan.

“Apa aja.”

Aku langsung menyesali jawabanku itu, terdengar sangat cuek dan tidak ramah. Tapi Sam tidak peduli dan langsung menyibukkan dirinya di meja makan. Aku mengeluh dalam hati.

Aku terus berpikir, apa bagi Sam aku ini cuman beban? Gara-gara aku, dia jadi terjebak disini. Yah walaupun emang semua salah dia, tapi tetep aja aku ngerasa akan lebih baik kalau Sam ngerawat aku karena dia memang ingin, bukan karena rasa tanggung jawab. Mungkin dia membenciku gara-gara itu.

Tapi waktu aku tanya, dia menyangkal semuanya. Malah dia bilang aku yang benci dia. Oke aku emang benci Sam, tapi itu dulu. Sekarang beda.

“Aku janji. Aku nggak akan benci kamu,” aku memberitahu Sam sambil tersenyum.

Wajah Sam terlihat berubah, ekspresinya susah ditebak.

“Aku serius,” lanjutku.

“Yeah. Aku tau,” kata Sam, tapi aku yakin dia masih ragu.

“Pokoknya cepet inget lagi semuanya, trus kita balik. Oke?” lanjut Sam kemudian.

Tapi ada sesuatu yang membuatku kuatir, hal yang mengganggu pikiranku soal rencana pulang ke asrama ini.

“Kalau kita udah pulang, kita nggak akan sama-sama lagi kayak gini kan?” aku menanyai Sam ketika dia melirikku.

Jawaban Sam langsung memastikan ketakutan terbesarku.

“Tentu aja. Kalau kita pulang, kita balik ke kehidupan kita masing-masing.”

“Tapi kita kan teman.”

“Aku punya temen-temenku sendiri. Kamu juga punya temen-temenmu sendiri. Aku di Wisma Indah Empat. Kamu di Wisma Indah Lima,” kata Sam pelan, dan menyuapiku makan lagi. Aku hampir lupa kalau aku sedang makan.

“Tapi kenapa kita nggak bisa sama-sama terus?” aku menuntut kesal.

“Emangnya kita pacaran?” jawab Sam geli, dia tertawa. “Temen kan nggak harus sama-sama terus.”

“Kalau gitu kita pacaran aja,” sambarku tanpa pikir panjang, aku cuman mau Sam terus ada disampingku meski kita sudah pulang ke asrama. Aku sadar saat ini kita bersama cuman karena situasi yang memaksa. Kalau situasinya berubah Sam pasti nggak akan dekat-dekat aku lagi. Dan aku nggak mau itu.

Sam melotot menatapku.

“Kita pacaran aja ya?” tanyaku lagi.

Sam melongo.

Aku deg-degan menunggu reaksinya. Aku nggak pernah menginginkan seseuatu atau seseorang seperti ini. I just want him so badly.

Lalu Sam tertawa keras.

Aku merenggut menatapnya.

“Rion. Kamu lucu sekali,” Sam mengacak-acak rambutku. Jantungku berdesir pelan.

“Apanya yang lucu?” gumamku kesal.

“Aku kasih tau ya. Pertama. Kamu tu sudah punya pacar,” kata Sam.

Ah iya Selina. Aku mendengus, Selina sih nggak bisa dikategorikan pacar. Emang sih anak-anak sekampus pada nganggap aku pacaran ama dia. Tapi mereka kan nggak tau ada apa sebenarnya dibalik semua itu.

“Kedua. Aku juga udah punya pacar,” lanjut Sam.

Aku sama sekali nggak terpengaruh, biar aja Sam udah punya pacar. Aku tinggal bikin dia putus ama pacarnya itu, simple kan?

“Dan yang ketiga. Kita itu sama-sama cowok. Mungkin kamu nggak ingat ini gara-gara amnesia .. Tapi apa mungkin amnesia punya efek kayak gitu?” Sam mengernyit tidak yakin. “Ah .. Pokoknya cowok pacaran ama cowok itu nggak boleh.”

“Kenapa?”

“Emang udah aturannya gitu.”

“Tapi Sam,” aku baru mau menyangkalnya tapi Sam keburu menyuapiku lagi.

“Makan yang banyak biar cepet sembuh. Cepet ingat. Cepet balik.”

“Kayaknya kamu pengen banget cepetan balik?” kataku kesal.

“Tentu aja,” kata Sam cuek.

Damn. Ternyata emang bener aku cuman jadi beban buat dia. Dia ingin secepat mungkin menyingkirkan aku dari hidupnya. Sial, nggak bisa begini terus, aku harus cari akal. Mungkin kalo aku pura-pura sakit parah Sam bisa menunda kepulangan kita, ato sekalian aja aku beneran sakit, terjun bebas ke kolam, basah-basahan biar kena flu.

“Aku nggak mau balik,” aku memandang Sam serius.

Sam balas mengeluh. “Kenapa?”

“Aku suka disini.”

Enggak lama kemudian Samuel masuk ke rumah. Kayaknya dia pulang duluan, Pak Wahyu belum terlihat. Sam langsung tersenyum melihatnya. Aku mendengus kesal.

“Gimana Kak acaranya?” tanya Sam ramah.

Samuel tertawa. “Biasa aja kok. Sekarang lagi dangdutan tuh, kamu mau lihat?”

“Nggak,” jawabku cepat. Sam dan Samuel menatapku kaget. “Sam lagi nyuapin aku makan. Dia nggak bisa.”

“Oh. Eh iya, ntar aja Kak habis nyuapin Rion.”

“Aku capek. Habis ini aku pengen dipijet,” sambarku lagi.

Samuel tersenyum menenangkan Sam yang mulai terlihat gelisah. “Nggak apa-apa Sam. Kamu ngurusin Rion aja dulu. Besok kita jadi pergi kan?”

Sam mengacungkan jempolnya. “Tentu aja Kak.”

“Besok kalian mau pergi kemana?” aku menanyai Sam galak begitu Samuel sudah menghilang dari pandangan, kembali ke kamarnya.

Sam menyuapiku makan lagi sebelum menjawab dengan senang. “Ke sungai. Katanya nggak jauh dari sini ada sungai kecil, jernih banget. Aku pengen liat. Pengen nyebur juga.”

Aku langsung keselek. “Kalian mau mandi bareng?”

“Kapan aku bilang gitu?” kata Sam kaget.

“Nggak boleh. Besok kamu nggak boleh pergi,” desisku panas.

“Tapi aku udah janji.”

“Batalin.”

“Ya nggak bisa lah. Nggak enak.”

Aku menatap cowok yang duduk di sampingku dengan kening berkerut. Mulutku gatal ingin bertanya, tapi aku menahan diri. Apa maksud Samuel ngajak Sam jalan-jalan ke sungai? Dan Sam langsung mengiyakan dengan santainya.

Selera makanku langsung hilang entah ke mana.

Aku semakin kesal dengan kenyataan nama mereka berdua mirip. Sam. Samuel. Aaaargh .. kenapa aku nggak dikasih nama Samuel aja sih dulu?

Selesai makan Sam hilang nggak tau kemana. Tapi kayaknya aku tau dia dimana. Pasti dikamarnya Samuel. Dan benar aja waktu aku intip dari celah pintunya aku liat Sam lagi ngobrol seru ama Samuel. Aku merasa sangat jengkel, kesal melihat Sam tersenyum sementara berbicara dengan Samuel. Kenapa cowok itu begitu gampang tersenyum pada orang lain selain aku?

Aku kembali ke kamarku dan merebahkan badanku dengan gelisah.

I want him.

Dia harus jadi milikku. Ini semua salahmu sendiri Sam. Kamu yang bikin semuanya jadi seperti ini. Kamu yang nyuri mobilku, yang bikin aku hilang ingatan, dan bikin aku terobsesi sama kamu. Aku nggak mau tau, kamu harus tanggung jawab. Kamu harus jadi milikku.

Besok paginya aku buru-buru ke halaman belakang untuk mencari bunga. Ada bunga kenanga. Eh jangan .. jangan bunga kenanga, emangnya mau ke kuburan? Hmmmm .. kok nggak ada mawar ya? Setelah pilih-pilih sebentar akhirnya aku petik bunga warna putih .. ummm .. bunga apa ya ini namanya. Ah pokoknya bunga lah.

Aku berlari ke halaman samping, mencari Sam yang sedang ngejemur pakaian. Wah boleh juga ni cowok, rajin melakukan pekerjaan rumah tangga. Waktu melihatku berlari kearahnya muka Sam berkerut samar. Lalu dia kaget dan berteriak memanggilku.

“Hai Sam,” sapaku agak ngos-ngosan.

“Kamu ngapain lari?” tanya Sam panik.

Aku nyengir.

“Aku kira kamu sedang istirahat! Kamu bilang kamu mau tidur! Kamu harus banyak istirahat biar cepet sembuh,” semprot Sam panas, matanya berkilat berbahaya.

Aku mengeluh. “Aku bosan di kamar. Aku sudah sembuh.”

Sam ikut mengeluh.

Aku tersenyum lalu mengulurkan bunga yang aku petik.

“Tadaaa ..”

Sam menatapku kosong.

“Tadaaaa ..” ulangku tidak sabar.

“Tada apanya? Kenapa?” tanya Sam heran.

“Ini bunga buat kamu,” kataku kesal.

Sam menaikkan alisnya. “Bunga? Buat apa?”

“Sam. Kalo cowok ngasih bunga apa artinya coba?” tanyaku semakin nggak sabar.

Sam berpikir serius.

“Untuk nunjukin kalo aku serius,” kataku menjawab pertanyaanku sendiri. “Aku serius pengen pacaran sama kamu.”

“Hah?”

“Iya. Aku suka kamu Sam,” kataku tanpa basa-basi lagi. Sam kayaknya bukan tipe orang yang bisa dibasa-basiin.

“Apa?” Sam memandangku bosan. “Kamu tu harusnya mikir bagaimana secepatnya ngedapetin ingatanmu kembali. Bukannya malah sibuk bercanda kayak gini.” Sam merebut bunga ditanganku dan langsung membuangnya.

Aku menatapnya nggak percaya. “Apa cuman itu yang ada dipikiranmu? Ingatanku yang sudah hilang itu?” kataku agak terluka.

“Tentu aja enggak,” Sam menggeleng.

Aku mendadak senang, jadi Sam juga mikirin aku?

“Aku juga mikirin mobilmu. Kan aku yang harus ngebayar semua biaya perbaikannya,” lanjut Sam sambil lalu.

Aku langsung kesal lagi. “Hey Sam. Aku gimana? Apa kamu nggak pernah mikirin aku?”

Sam memandangku santai. “Tentu aja aku mikirin kamu.”

Hatiku langsung berbunga-bunga.

“Aku pusing tiap kali mikirin kamu,” lanjut Sam cuek.

“Hey,” aku bener-bener ngerasa disisihkan, ketika aku mau protes Sam memotongku.

“Gimana kalo kita mikirin soal pulang ke asrama? Hari Senin ada orientasi. Sekarang sudah hari Sabtu. Kita harus segera balik, dan kamu masih seperti ini,” Sam memberiku pandangan penuh peringatan.

Aku mengibaskan tanganku santai. “Orientasi cuma untuk mahasiswa baru. Aku kan udah tingkat dua. Lagian aku nggak ikut jadi panitia. Emang sih aku disuruh ngasih sambutan tapi itu kan bisa diwakilkan.” Kataku tanpa pikir panjang.

Sam menatapku tajam.

“Apa? Coba ulangi lagi?” Sam memegang satu lenganku kencang.

Aku mengernyit. “Apa? Aku nggak ikut jadi panitia?”

“Aaaaah ..” Sam berseru senang, matanya melebar.

Aku memandangnya heran. “Kenapa Sam?”

Sam tersenyum lebar. “Kamu ingat Rion. Kamu sudah ingat.” Katanya dengan nada sangat bahagia.

SIAL. SIAL. SIAL.

DAMN.

Kenapa aku bisa lupa sih? Aku kan harusnya masih lupa. Gimana nih?

“Oh. Ummm .. Iya aku ingat,” gumamku tidak jelas.

Tapi Sam tampaknya terlalu senang untuk menyadari tingkahku yang aneh.

“Ini bagus Rion. Coba kamu ingat lagi. Ayo coba ingat. Mungkin kamu bisa ingat lebih banyak,” kata Sam menyemangatiku.

Damn. Aku tersenyum kaku dan memegang kepalaku. Pura-pura sedang berpikir keras.

“Aaargh. Sakit. Kepalaku sakit,” kataku sambil menutup mataku dan meringgis kesakitan. Lalu menatap Sam dengan wajah menderita.

“Berhenti. Jangan coba ingat lagi,” Sam mendadak cemas dan mendekat, tangannya memegang kepalaku lembut. “Mana yang sakit?”

Aku membuka satu mataku dan merintih kesakitan, menunjuk dahiku. “Disini.”

Sam buru-buru mengusap dahiku. Otomatis aku memeluknya.

“Disini juga,” gumamku menyentuh kepalaku sebelah kiri.

Sam mengusapnya juga sebelum berhenti dan menatapku heran. “Bukannya kepalamu cuman luka di depan sama belakang?”

“Ah? Oh .. Yeah ..”

Sam menatapku tajam.

“Pokoknya kamu sudah ingat sesuatu,” kata Sam kemudian. “Mungkin aku harus panggil Kak Sam.”

Kak Sam? Samuel?

“Nggak usah,” aku menarik lengan Sam kesal. Kenapa malah ingat Samuel sih?

“Biar kamu diperiksa dulu,” kata Sam membujuk.

Diperiksa apanya? Bilang aja kamu yang pengen ketemu dia.

“Pokoknya nggak usah,” kataku kasar. “Mungkin aku cuman perlu jalan-jalan. Biar aku ingat sesuatu lagi ..”

Aku memandang Sam penuh harap.

Sam kelihatan senang. “Bagus itu. Yaudah sana. Jalan-jalan aja.”

“Oke,” aku tersenyum dan menarik tangannya.

“Lho? Aku ikut juga?” tanya Sam heran.

“Iya. Aku kan nggak tau daerah sini. Kalo aku ilang gimana?” jawabku asal. Sebenernya aku ngajak Sam biar dia nggak jadi jalan ama Samuel.

“Aaah .. bentar Rion, belom selesai nih jemurannya,” Sam berseru kesal tapi aku menariknya lebih kuat.

Kami berjalan menyusuri jalan setapak. Sam terus mengawasiku dan berseru jengkel setiap aku berlarian kecil. Menyuruhku untuk hati-hati.

Karena aku tiba-tiba ingin ke sungai yang dibilang Sam kemarin, aku jadi tanya-tanya arahnya sama orang dijalan. Ternyata sungainya nggak gitu jauh. Setelah jalan sebentar kami pun sampai.

Suara gemericik air membuatku bersemangat. Dan emang bener airnya masih jernih. Aku bisa melihat ikan-ikan didalamnya berenang. Aku menyentuh airnya. Dingin.

Sam memandangku cemas. “Jangan maen air.”

Aku nyengir dan mengajaknya duduk di batu kali. Beberapa cewek desa yang lewat melirik Sam penuh minat. Sorry girls, this guy is taken. He is mine.

“Kamu keliatannya senang sekali,” Sam menanyaiku.

“Hehe .. Iya nih Sam.”

“Jadi gimana? Udah inget apalagi?”

Aku cemberut.

“Kenapa?” tanya Sam heran.

“Kamu tuh ya. Cuman itu aja yang dipikirin,” kataku kesal.

Sam menghela nafas. “Ya tentu aja Rion. Kamu tau nggak? Banyak orang yang nunggu kamu pulang. Anak-anak asrama pasti nyariin kamu. Kamu nggak bisa terus disini.”

“Tapi aku nggak kenal mereka, aku bahkan nggak ingat nama mereka,” kataku ketus. “Aku cuman ingat kamu Sam. Cuman kamu yang aku punya.”

Sam memandangku sedih.

“Makanya kita harus segera balik. Kalo kamu kembali ke asramamu pasti kamu cepet ingat lagi semuanya,” kata Sam lembut membujukku, ia merangkulkan tangannya erat.

Aku terdiam.

Memang benar kata Sam. Aku nggak bisa terus disini. Aku harus mencari cara lain untuk mengikat Sam sekaligus kembali ke asrama. Walaupun kita sudah pulang nanti, Sam harus tetap disampingku.

Aku tersenyum.

“Yaudah, besok Senin kita pulang aja,” usulku.

Mata Sam melebar. “Beneran?”

Aku mengangguk. “Tapi ada satu syaratnya.”

Sam mengernyit curiga. “Ada syaratnya segala?”

“Iya.”

“Apa?”

Aku mendekatkan wajahku dan berbisik pelan ke telinga Sam.

“Be mine.”

Sam buru-buru mendorongku menjauh.

Aku terjatuh ke sungai, celanaku basah.

“Apaan sih Sam? Kok aku didorong?” omelku kesal.

“Eh? Sori,” Sam membantuku berdiri dan memandangku cemas. “Kita balik aja ya, celanamu basah tuh, ntar masuk angin.”

Aku meraih tangannya. “Terus gimana yang tadi? Kamu mau nggak?”

“Mau apa?”

“Be mine,” ulangku tidak sabar. “Bisa bahasa Inggris nggak sih?”

Sam mencibir. “Rion. Kamu dan aku. Kita. Nggak mungkin ada hubungan kayak gitu.”

“Kenapa?” tuntutku.

“Aku nggak bisa.”

“Tapi aku nggak ingat apa-apa Sam. Semuanya asing bagiku. Aku cuman kenal kamu. Apa kamu mau ninggalin aku sendirian?”

Ekspresi Sam melunak.

Yes. Tinggal sedikit lagi

“Aku takut Sam,” aku menundukkan wajahku, pura-pura sedih. “Aku mau kamu terus nemenin aku sampai ingatanku kembali.”

Sam menatapku lembut. “Aku nggak akan ninggalin kamu.”

“Jadi kamu mau jadi pacarku?”

Sam mendadak melompat menjauh. “Wooo .. wait .. I didn’t said that ..”

“Kamu nggak suka aku?” tanyaku sedih.

“Bukan itu Rion. Kamu tu lagi bingung. Kalo kamu udah ingat lagi kamu nggak akan jadi kayak gini.”

“Aku nggak bingung,” aku kehabisan akal, aku memutar otak lalu mendapat ide. “Aku tau kamu sebenernya juga suka aku.”

“Hah?”

“Aku lihat di hapemu ada foto kita sedang ciuman,” kataku jelas. “Kamu yang nyium aku kan?”

Sam terlihat kaget. Mukanya memerah. “Kamu tau?”

“Iya. Kalo kamu nggak suka aku kenapa kamu nyium aku?”

“Itu ..” Sam tergagap, ia langsung gugup lalu dengan cepat menyerang balik. “Kamu juga kenapa kemarin nyium aku?”

Aku terdiam sebentar lalu menjawab dengan dramatis. “Karena aku sayang kamu.”

Sam tiba-tiba terpaku, mulutnya agak terbuka. Persis adegan waktu sinetron habis dan ada tulisan ‘bersambung’. Freeze.

Oke. Ini bukan yang aku harapkan. Aku maunya kalo aku bilang sayang ke seseorang maka orang itu akan berlari kearahku dan memelukku sambil bilang kalo dia juga sayang aku. Nah ini? Sam malah bengong. Apa anehnya kalo aku bilang sayang dia? Ah well .. aku baru inget kalo aku cowok ..

“HELLOOO .. SAM,” aku memanggilnya keras, melambai-lambaikan tangan didepan Sam.

Sam menatapku bingung. “Kamu serius?”

“Serius lah. Apa mau dicium lagi?” aku mendekatinya, Sam langsung menjauh.

“Aku nggak peduli kamu sayang aku juga atau enggak,” aku berkata dengan nada serius. “Aku cuma mau kamu jadi milikku. Aku nyaman kalau kamu disampingku. Aku ngerasa bisa cepet sembuh kalau ada kamu Sam.”

Sam tampak ragu.

Aku mendengus tidak sabar. “Ayolah Sam. Anggap aja kamu ngebantu aku mulihin ingatanku. Kamu pernah bilang kalo aku jadi seperti ini gara-gara kamu kan? Yeah paling nggak kamu harus tanggung jawab dong.”

Sam mengangkat alisnya. Aku pelan-pelan mendekatinya.

Sam diam saja. Ia memberiku pandangan menilai.

“Oke. Beri aku waktu,” katanya pelan. “Aku harus mikirin dulu semua ini Rion. Ini gila.”

“As you wish,” aku menyeringai, membelai rambut Sam lembut sementara Sam menatapku gugup seakan takut aku akan menelannya hidup-hidup.

“Kita balik sekarang,” kata Sam mengalihkan pembicaraan. “Kamu harus ganti baju, ganti celana, makan dan istirahat.”

“Oke,” aku tersenyum manis dan meraih tangannya.

“Apa kita harus pegangan tangan sepanjang jalan?” tanya Sam ngeri.

“Yup. Biar aku cepet sembuh,” jawabku riang.

Sam mengeluh, lalu ia menerawang. “Kamu tau nggak?”

“Hmm?”

“Aku bener-bener berharap kamu bisa nepatin janjimu.”

“Janji yang mana?” tanyaku.

“Kemarin kamu janji kan kalo kamu nggak akan benci sama aku,” Sam memandangku dengan ekspresi aneh. Apa dia sungguh-sungguh berpikir aku akan membencinya kalau ingatanku kembali?

Aku sudah ingat semuanya Sam. Dan aku nggak membencimu.

Aku sudah menepati janjiku.
Kharisma


Kadang mimpi memang bisa menjadi kenyataan.

Baru semalam aku mimpi berantem sama Harris, eh paginya aku terbangun dengan tendangan maut tak berperikemanusiaan dari cowok itu. Tega banget sih tu anak, nggak liat apa badan kurus kering gini malah main tendang aja, emang bola?

Aku langsung ngamuk-ngamuk.

“Apaan sih Ris? Pagi-pagi udah ngajak perang.”

“Kamu nyolong coklat saya ya? Hayo ngaku.”

“Enak aja sembarangan nuduh.”

“Kalo bukan kamu siapa lagi? Cuman kamu yang punya akses ke kamar ini selain aku.”

“Gw nggak ngambil coklatmu tauk,” bentakku panas.

“Nggak usah bohong. Semua bukti mengarah ke kamu. Semalem sekitar jam sepuluh aku naroh coklat itu di meja trus aku tidur. Waktu aku bangun coklatnya udah nggak ada.”

“Sembarangan aja. Gw kan tidur duluan jam sembilan. Kenapa gw yang dituduh nyolong?”

“Kamu masih marah kan gara-gara aku nempel fotomu yang bego itu di notebook?”

Aku jadi inget lagi, Harris rese banget nempel fotoku yang paling jelek buat ditempel di buku data asrama. Padahal masih banyak fotoku yang lain yang cakep-cakep.

“Denger ya. Pokoknya gw nggak nyolong coklatmu. Titik.” Bentakku panas.

Hari itu pertama kalinya dalam sejarah, aku perang dingin ama Harris. Kami saling menghindar kalo ketemu di koridor. Kalo aku lagi di ruang tamu nonton tivi trus ada Harris masuk, aku langsung keruangan lain. Pokoknya aku eneg liat muka dia. Sebagai imbasnya aku terpaksa ngungsi tidur di tempat Liam.

Liam yang sejak kemarin bibirnya jadi jontor cuman pasrah aja kamarnya aku bajak. Gara-gara bibirnya itu bicaranya jadi agak susah, penasaran juga sih kenapa bibirnya bisa kayak gitu. Kalo aku tanya dia cuman jawab, “Abis kejedot tembok.”

Enggak mungkin. Masak iya kejedot tembok bisa jontor kayak gitu. Tapi nggak tau juga sih. Mengingat Liam yang emang ceroboh mungkin aja beneran dia kejedot tembok.

Tanpa basa-basi aku langsung cerita semuanya ke Liam soal tuduhan tak berdasar Harris.

“Kenapa kamu nggak ngaku aja sih Ka,” Liam mengusulkan kalem.

“BUKAN AKU YANG NYOLONG COKLATNYA.”

Liam menutup telinganya. “Oke. Kalo bukan kamu terus siapa?”

Akh .. ternyata Liam sama aja kayak Harris, maen tuduh aja tanpa bukti. Paling juga coklatnya nggak ilang, tapi Harris aja yang lupa naruhnya dimana. Ato dia udah telen tu coklat waktu dia tidur, kali aja kan dia suka tidur sambil jalan, jalannya sambil makan coklat.

Semakin merenggangnya hubunganku dengan Harris rupanya sampai ke telinga Robin. Pasti Liam yang lapor nih. Aku mendapat somasi untuk segera berdamai, yang tentu aja aku tolak. Aku nggak mau damai sebelum Harris minta maaf. Dan Harris rupanya masih ngotot nuduh aku yang nyuri coklatnya.

Akhirnya Robin memanggilku ke kamarnya.

Waktu aku membuka pintu kamar Robin, sudah ada Harris dan Liam disana. Robin duduk di depan meja belajarnya, sedang ngutak-atik photoshop di komputer.

Liam menyapaku. “Hai Ka.”

Aku berusaha nggak melihat Harris. “Kenapa kita dipanggil kesini?”

Harris mendengus. “Liam tolong bilang ke dia kalau kita juga nggak tau kenapa kita dipanggil kesini.”

Liam menatap Harris heran.

Aku mengernyit. “Liam .. Tolong bilangin ke seseorang disini kalo gw nggak butuh dia buat ngejawab.”

Liam menoleh kearahku lalu kembali lagi ke Harris. “Ah. Umm .. Harris kata Kaka ..”

Harris langsung memotongnya. “Liam! Bilang ke dia kalau aku cuman ngasih informasi. Kalo dia nggak suka nggak usah didengar.”

“Liam. Bilang ke dia ..”

“HEEEEEEEEEEEYYYYYYYY ..” Robin berseru tidak sabar, melotot galak kearah kami.

Kami semua menatapnya.

“Ya ampun,” Robin menutup wajahnya dengan kedua tangannya. “Kalian ini bener-bener bikin pusing. Yang dua berantem terus. Sam ilang nggak tau kemana. Dan kamu Liam. Kenapa kamu nggak bisa ngurusin dua temenmu ini hah?”

Liam tampak shock disalahkan seperti itu.

“Liam .. mereka tanggung jawabmu. Pokoknya aku mau kamu yang ngurusin mereka. Aku mau mereka baikan lagi. Aku nggak peduli kamu pakai cara apa. Sekarang kalian semua keluar. KELUAR.”

Aku mengernyit kesal. Gimana sih Robin, yang manggil aku kesini kan kamu, kok malah diusir. Kalo gitu ngapain pake dipanggil segala. Aku langsung pergi keluar asrama, cari angin, bisa tambah stress kalo disana terus.

Waktu lagi jalan tiba-tiba aku dapet ide. Aku kerjain aja tuh Harris.

Aku berlari ke warung terdekat.

“Mbaakkkk .. beli mbaakkkk ..”

“Beli apa Mas,” seorang mbok-mbok menjawab.

“Broklak.”

“Berapa?”

“Dua batang.”

Mbok itu kaget. “Banyak amat Mas. Buat apa?”

“Buat gajah piaraan saya mbok,” jawabku asal.

Broklak atau garam Inggris adalah obat cuci perut yang bentuk dan rasanya rada-rada mirip coklat. Pada baru tau kan? Aku juga baru tau gara-gara waktu kecil dulu aku dipaksa makan sama Ibuku waktu aku nelen crayon.

Sampainya di asrama aku buru-buru membungkus coklat gadungan itu dengan rapi, lengkap sama pita segala, biar dikira coklat valentine gitu, hhi, walopun masih lama banget 14 Februari-nya. Dengan hati-hati aku taruh di meja Harris. Sengaja aku taruh di tempat yang mudah terlihat.

Rasain kamu Ris. Biar mencret sampai mampus.

Emang rada jahat sih. Tapi aku udah terlanjur kesel berat ama dia, jadi terpaksa menghalalkan segala cara, yang penting hasrat balas dendam tersalurkan. Anak rese macam Harris emang sekali-kali perlu dikerjain. Biar tau rasa.

Berhubung Harris lagi nggak ada dikamar, aku mutusin untuk tiduran aja dulu di tempat tidurku. Aku naik ke tempat tidur tingkat itu dan nggak lama kemudian langsung tewas. Aku mimpi. Ada Harris lagi. Aku sampai bosan, di dunia nyata udah ketemu dia, masa di mimpi juga harus liat dia lagi sih?

Di mimpiku Harris kayak sedang sekarat, dia terbaring di pangkuanku. Mukanya membiru.

“Ris, kamu kenapa Ris,” tanyaku panik.

Harris diem aja. Matanya menatapku kosong.

"Ris, bangun Ris .."

Tapi Harris tetep diem. Jangan-jangan dia overdosis broklak. Eh? Emang bisa ya?

Muka Harris tampak semakin pucat. Aku jadi tambah panik.

“Ris .. Ris .. HAAAAAAAAAAAAAARRISSSSSSSSSSS ..”

Aku merasa ada yang mengguncang tubuhku

Aku terbangun dan menemukan Liam sedang menatapku heran. Aku buru-buru mengecek coklat gadungan di meja Harris. Sudah nggak ada.

“Tadi Harris kesini?” aku menanyai Liam.

“Iya.”

Sial. Apa jangan-jangan broklaknya udah diambil Harris? Perlahan rasa penyesalan datang kehatiku. Harris emang menyebalkan, tapi gimanapun juga dia temen sekamarku. Aku langsung turun dan keluar kamar, mencari Harris.

“Harris mana?” teriakku histeris ke orang-orang yang sedang nonton tivi.

Semua memandangku heran.

“Dia pergi,” jawab Ferli.

Kenapa pake pergi segala sih? Kalo dia mules di tengah jalan gimana?

“Pergi kemana?” tanyaku cemas.

“Ke Indomaret ujung jalan sana. Emangnya ada apa sih? Tumben-tumbenan kamu nanyain Harris,” sambung Kevin curiga.

Aku memandang keluar jendela dan sudah mulai hujan.

“Mau kemana Ka?” tanya Yudha penasaran. “Lagi hujan gini.”

“Ke Indomaret. Ada yang mau dibeli. Sekalian ngejemput Harris, kasian dia kehujanan.”

Semua menatapku seakan nggak pernah ngeliat aku sebelumnya. Mulut mereka semua setengah terbuka. Rupanya sangat shock mendengar pernyataanku barusan. Sialan. Apa dikira aku nggak bisa baik ama Harris?

Aku mengambil payung dan berlari ke Indomaret di ujung jalan. Aku menemukan Harris sedang berteduh di depan supermarket lokal itu. Dia memandangku heran dan terkejut.

“Oh, Kamu Ka. Ngapain?” tanyanya gugup.

“Umm .. gw mau beli sabun,” jawabku singkat. “Kamu tunggu sini ya, kita pulangnya bareng.”

Di dalam Indomaret aku buru-buru menyambar sabun dan dengan cepat membayar di kasir. Harris masih menungguku diluar.

“Ayo pulang,” kataku kelewat sopan, menawarkan payung untuk dipakai berdua.

Harris tampak bingung harus bersikap seperti apa. “Oh, oke.”

Sepanjang perjalanan kami cuman diam. Aku meliriknya cemas. Menunggu tanda-tanda Harris mulai mules. Biasanya efek broklak emang cepet. Harusnya Harris udah mulai sakit perut nih.

“Sori ya Ris,” gumamku pelan.

“Nggak apa-apa Ka, kamu kan udah minta maaf, udah ngganti coklatku juga, jadi aku maafin,” balas Harris sambil senyum. “Buat aku sih yang penting kamu udah mau ngaku salah.”

Aku menaikkan alis. “Gw ngaku salah?”

“Iya. Ini kamu yang nulis kan?” Harris menyerahkan sebatang coklat dengan tulisan dibungkusnya.

Coklatnya tobleron, jelas coklat asli bukan broklak. Dan tulisannya jelas tulisan hasil print, bukan tulisanku. Aku membaca isinya : ‘Maaf, ini aku ganti coklatmu yang kemarin, aku harap kita dapat berteman lagi. Kaka.

Anak dikost yang punya printer dan mau susah payah buat bikin aku baikan lagi sama Harris, cuman ada satu orangnya. Liam. Awas ya tu anak. Seenaknya ngefitnah aku kayak gini.

“Ini bukan gw yang nulis,” gumamku jengkel.

Aku menyerahkan coklat itu lagi ke Harris dengan kesal. Jadi bukan Harris yang ngambil coklat gadungan-ku? Terus siapa? Rugi dong aku udah sempet kuatir segala.

“Bukan kamu?” tanya Harris mulai galak lagi.

“Liat baik-baik dong. Mana mungkin gw nulis kayak gitu. Udah pasti kerjaannya Liam tuh. Dan asal kamu tau ya, bukan gw yang nyolong coklatmu.”

“Jadi kamu belum mau ngaku salah?”

“Karena memang bukan gw yang salah.”

Kami sudah sampai didepan asrama dan saling melotot.

Siap perang.

Anak-anak mengintip penasaran dari dalam. Terdengar suara mereka ribut.

“Berantem lagi ya?”

“Tuh kan aku bilang juga apa. Nggak mungkin mereka baikan.”

“Haha .. Aku menang taruhan. Sini mana duitnya.”
to be continued... 




0 comments:

Post a Comment