DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Ninja Next Door - Chapter 10

10
Coming Home


Gambar


by Coatwest



Samudera


Aku sama sekali nggak bisa tidur sepanjang malam. Aku cuman duduk diam di pinggir jendela kamar Kak Sam sambil melamun ngeliatin langit malam yang hitam tanpa ada bintang satu pun. Gelap. Suram. Sama kayak nasibku akhir-akhir ini.

Jam sudah menunjuk di angka tiga pagi tapi aku nggak ngantuk sedikit pun. Begitu kembali dari kamar Rion lima jam yang lalu aku udah berusaha tidur karena kepalaku berat sekali. Tapi setelah setengah jam berjuang untuk tewas dan nggak ada hasilnya, aku menyerah.

Aku tau aku harus berpikir, aku harus mikirin gimana caranya biar bisa lolos dari Rion. Tapi aku tidak ingin berpikir. Kepalaku sakit, pusing, dan berat. Terlalu banyak yang berlalu-lalang di benakku sampai aku nggak tau lagi harus berpikir apa. Semakin dipikir, semakin aku jadi tambah pusing.

Damn that boy.

He really got me.

Aku nggak ada pilihan. Sementara ini aku terpaksa harus mau ngikutin permainannya. Aku terpaksa harus jadi .. pacarnya ..

Aku menarik napas panjang dan lama, lalu mengembuskannya dengan pelan. Dadaku terasa sakit. Bernapas ternyata bisa juga menyakitkan.

Aku tetap duduk diam di pinggir jendela, sepanjang malam, tanpa bergerak, dan nyaris tanpa bersuara, sampai langit berubah warna dari hitam menjadi biru, lalu biru muda. Saat itulah aku baru nyadar kalau hari sudah terang dan aku nggak tidur semalaman.

Badanku kaku semua. Nggak mudah memaksa diriku bergerak, tapi aku harus keluar kamar. Udah mulai ada suara-suara dari rumah, pertanda orang-orang sudah pada bangun. Aku juga harus memberitahu Bapak Wahyu sekeluarga kalo aku ama Rion akan pulang hari ini.

“Gimana tidurnya? Pules?” tanya Rion dengan suara yang diramah-ramahin waktu aku ngelewatin dia di dapur. Tumben dia udah bangun duluan, udah duduk manis sambil nyeruput teh anget bareng Bu Wahyu yang lagi nungguin gorengannya mateng. Aku berusaha nggak melihatnya dan langsung melesat ke meja makan.

“Eh Mas Sam, mau dibikinin teh juga nggak? Ato mau kopi?” tanya Bu Wahyu riang waktu menyadari kedatanganku.

Aku tersenyum. “Nggak usah bu. Aer putih aja, bisa ambil sendiri kok”

Rion berdehem agak keras. “Gimana tidurnya? Pules?” ulangnya nggak sabar.

Jadi dia mau aku buat ngejawab? Walaupun aku lagi nggak mau ngejawab?

Aku menoleh dan tersenyum kering. “I—Ya.”

Rion cukup puas dengan jawabanku karena dia akhirnya menyeringai menyebalkan.

Aku duduk di meja makan dengan segelas air putih. Oh iya kalau habis bangun tidur emang katanya sih bagusnya minum air putih, udah sejak SMP aku ngebiasain diri buat minum air putih kalau pagi.

Nggak lama kemudian Rion bergabung juga di meja makan, disusul Bu Wahyu yang membawa senampan pisang goreng dan mendoan.

“Pak .. Bu .. hari ini rencananya kita mau balik,” Rion bersuara setelah mencomot pisang goreng yang paling gede. Baru juga aku mau ngomong soal itu, dia udah ngomong duluan.

“Lho .. kok cepet banget to mas? Apa nggak betah disini?” sahut Pak Wahyu keheranan.

Rion ketawa sopan. “Betah banget kok Pak. Malah saya mau sekali kalo disuruh nginep terus disini. Tapi Sam mulai besok kan udah harus ospek,” dia tiba-tiba mengerling kearahku. Aku yang lagi kepedesan gara-gara ngegigit cabe rawit buat makan mendoan langsung buru-buru tersenyum mengiyakan.

“Saya juga udah mulai dicariin ama temen-temen saya Pak, diancem kalo nggak cepet pulang mo dilaporin ke polisi katanya, biar masuk daftar orang hilang. Kan malu saya Pak kalo foto saya ntar nyebar dimana-mana.” Lanjut Rion nyengir.

“Malu kenapa to. Wong cah bagus gitu kok,” komentar Bu Wahyu cekikikan.

“Emang mas Rion udah ngerasa sehat?” tanya Pak Wahyu.

Rion mengangguk penuh semangat. “Udah kok Pak. Udah sembuh, tanya Sam tuh. Iya kan Sam?“ dia tersenyum lebar.

Aku mendengus nggak percaya tapi memaksakan wajahku untuk membentuk ekspresi senang dan tersenyum. Bisa-bisanya dia bersikap seolah-olah nggak terjadi apa-apa diantara kita. Can’t you see that I hate you? Stop acting like we’re best friends or something. Kadang aku ngerasa Rion tuh persis kayak macan, yang suka banget main-mainin mangsanya dulu sebelum akhirnya dimakan secara sadis.

Siang harinya dua mobil memasuki pelataran rumah Bapak Wahyu. Orang-orang disekitar rumah pada ngumpul buat ngeliatin dua benda besi keren itu. Banyak anak-anak kecil juga karena sekarang hari Minggu, jadi sekolah libur. Mereka berhenti main lompat tali dan gobak sodor buat ngeliat siapa sih yang naik mobil itu.

Dari Honda Civic berwarna biru keluar Dennis, anak Wisma Indah Lima, temen sekost Rion. Aku melirik mobil birunya dengan agak dongkol, harusnya mobil itu yang aku curi, bukan mobilnya Rion. Dan dari mobil satunya yang bercat kuning dengan strip hitam keluar Yoga, temen satu kost Rion juga, yang celana dalemnya dicuri Kaka. Jadi penasaran, gimana ya nasib celana dalem itu sekarang? Yoga langsung tersenyum begitu melihat Rion berjalan mendekatinya.

“Kamu sembunyi disini to,” seru Dennis keras.

“Sialan kamu Yo, enak-enakan plesir disini, asrama kamu tinggal gitu aja,” sahut Yoga kesal tapi masih sempet nyengir. “Kamu dicariin anak kampus juga tuh, gimana sih kamu ini, besok kan udah mulai ospek tapi kok kamunya malah ngilang.”

Rion tertawa kecil.

“Sori. Sekali-kali kan nggak apa-apa liburan. Gw kan jarang banget bisa santai kayak gini.”

Aku langsung bergabung ke dalam pasukan Wisma Indah Lima itu.

“Hai .. Kak Dennis ama Kak Yoga ya? Kenalin saya Sam,” sapaku ramah memperkenalkan diri, tersenyum lebar sambil mengulurkan tangan untuk salaman.

“Oh hai .. Lho? Ini Yo temenmu yang kamu bilang itu?” tanya Yoga heran menyambut uluran tanganku. Hmmmm jadi Rion udah cerita tentang aku ke temennya? Cerita apa aja dia? Pasti yang enggak-enggak ..

Rion mengangguk.

“Barangnya udah siap semua?” Rion buru-buru menanyaiku, dengan cepat melepaskan tanganku yang masih salaman ama Dennis.

Aku menoleh dan mengangguk. “Udah, cuman sedikit kok. Mau diangkutin sekarang?”

“Boleh. Langsung masukin aja ke mobil. Aku harus cepet kekampus. Ada yang nyariin. Urusan kampus katanya jadi rada penting.”

“Kenapa aku juga ikut bawa mobil sih? Yoga aja kan cukup?” tanya Dennis penasaran.

“Ntar kamu bareng ama Yoga,” jawab Rion lancar sambil menunjuk dua temannya itu. “Aku bareng ama Sam.”

“Lah satu mobil kan cukup buat berempat. Ngapain pake dua segala?”

Iya juga. Satu mobil sebenarnya cukup kan? Aku ikutan memandang Rion juga, menunggu jawaban. Rion keliatan agak panik diliatin gitu, lalu dia mulai jadi galak.

“Udah ah. Nggak penting juga, kalo aku mau pake dua emang kenapa? Ada yang ngelarang?” bentaknya kesal.

Aku mengernyit.

Dennis dan Yoga bergumam bosan, tampak sudah sangat terbiasa dengan watak Rion yang seperti itu kalau sudah minta sesuatu, “As you wish King.”

Setelah berterima kasih pada Bapak Wahyu sekeluarga, kami berpamitan. Bolak-balik Bu Wahyu memelukku dan Rion bergantian. Kalaupun ada sisi baik dari kecelakaanku bareng Rion kemaren, itu adalah aku jadi kenal sama Pak Wahyu sekeluarga ini.

“Kalo ada waktu mampir kesini lagi ya.”

“Oke bu, pasti kita sempet-sempetin,” jawab Rion antusias. “Kita pasti sering-sering maen kesini kok. Iya kan Sam?” dia menoleh dan tersenyum senang.

Kita? Kamu aja situ sendirian. Kalau aku maen kesini lagi itu juga nggak bakalan ngajak-ngajak kamu tau.

Ketika Rion mulai melajukan mobilnya aku melambaikan tangan sekali lagi ke Pak Wahyu sekeluarga dan herannya dibalas lambaian tangan juga oleh semua orang yang waktu itu ikut menyaksikan. Berasa jadi pejabat waktu lagi kunjungan ke desa. Waktu rumah Pak Wahyu sudah tidah terlihat lagi aku duduk sambil berusaha meluruskan kaki, lalu menghela nafas.

“Nggak usah kuatir, ntar kita pasti mampir kesini lagi kok,” Rion tersenyum kearahku kelewat ramah.

Ngapain dia masih bersikap manis kayak gitu. Kan udah nggak ada orang lain lagi sekarang.

Setelah melewati jalan setapak yang ajrut-ajrutan akhirnya mobil memasuki jalan beraspal yang menuju ke kota Yogyakarta. Finally. Road to home. Sepanjang perjalanan pemandangannya bagus, suasana hatiku yang lagi kacau gara-gara Rion jadi agak terobati sedikit.

Bolak balik Rion berusaha memancing percakapan, aku cuek aja pura-pura nggak denger, pura-pura lagi konsentrasi ngeliatin pemandangan.

“Sam kamu laper nggak? Ntar nyampe Jogja kita mampir makan dulu ya? masih agak lama sih, empat puluh lima menitan lah.”

Ah itu perkebunan apa sih? Teh?

“Eh ada yang jual jagung bakar tuh. Kamu mau nggak?”

Enggak mungkin, di Yogya setauku nggak ada perkebunan teh.

“Ummm .. eh mobilku keren nggak? Udah mirip belom sama Bumblebee kayak yang di Transformer itu. Waktu nonton film-nya gw langsung naksir ama Camaro-nya, tapi mo beli kemahalan. Mana cuman ada yang setir kiri aja, nggak masuk pasar Asia Tenggara sih. Jadi ya gw modif aja mobil gw yang ini biar mirip Bumblebee.”

Kalau itu perkebunan buah naga, aku hapal ama buahnya yang merah itu. Wah ada kebun salak. Ah iya Yogya kan penghasil salah pondoh juga.

“Besok kamu mulai ospek yah? Kalo ada perlu apa-apa bilang gw aja ya? gw kenal kok ama panitia yang ngurusin ospek taon ini.”

Ngeliatin pemandangan yang seliweran gini bikin mata jadi ngantuk. Mana semalem aku nggak sempet tidur. Tambah sepet aja nih mata.

“Ngomong-ngomong kamu ambil jurusan apa Sam?”

Tidur aja ah. Masih lama juga nyampai kota-nya.

“Sam?!!”

“…”

“Stop acting like that.”

“…”

“Don’t ignore me.”

“…”

Tiba-tiba aku ngerasa mobil berhenti mendadak. Rion telah menginjak rem. Kepalaku hampir benjut ketabrak dasbor mobil. Badanku maju kedepan gara-gara momentum yang tercipta. Mobil yang dinaiki Dennis dan Yoga sudah jauh melaju di depan, meninggalkan kami sendirian.

“Ada apa sih?” protesku kaget.

Mata hitam Rion menatap lurus dan tajam tepat kearahku, pandangan matanya yang dalam seakan ingin menelanku, penuh dengan api kemarahan dan jelas menunjukkan kalau dia sudah tidak bisa lagi menahan emosinya.

Aku menatapnya sejenak lalu bergumam, “Apa?”

Wajahnya tambah marah, kedua tangannya menggenggam erat kemudi.

“Nggak bisa kayak gini,” katanya kesal, memukul dasbor dengan keras. “Bagaimana bisa lo jadi pacar gw kalo lo malah nyuekin gw kayak gitu? Bagaimana lo bisa ngeyakinin Selina kalo kita pacaran?”

Aku baru mau menjawab ketika Rion langsung membuka pintu dan keluar, dia memukul atap mobil dengan tidak sabar. “Keluar.”

Aku ikut keluar. Rion telah menghentikan mobil di tengah jalan yang diapit perkebunan salak yang luas. Sepi, nggak ada orang, dimana-mana cuman ada pohon salak. Dia berdiri sambil bersender pada bagian belakang mobil. Tangannya terlipat. Aku mendekatinya.
Rion memandangku. Tatapan matanya terlalu dingin untuk seorang cowok yang sebelum ini selalu bersikap manis didepanku. Nggak tau kenapa nafasku tiba-tiba jadi sesak.

“Godain gw,” bukan hanya tatapannya, suaranya pun terdengar dingin.

“Hah?”

“Coba lo goda gw. Seperti cowok ngegoda pacarnya.”

Aku mengerutkan kening. Apa lagi mau cowok ini?

“Lo lagi marah sama gw. Lo lagi bersikap marah ke gw. Gw nggak mau itu,” lanjutnya dengan nada yang makin meninggi. “Kita harusnya pacaran. Sekarang gw pacar lo. Lo harus bersikap manis ke gw.”

“Rion, aku cuman harus ngeyakinin Selina. Jadi aku cuman akan bersikap jadi pacarmu kalo ada dia. Got it?”

Rion mengangkat wajahnya yang pucat. Matanya lagi-lagi menatapku dengan tajam. Tubuhnya gemetar menahan amarah. “Gimana bisa lo ngeyakinin Selina kalo lo nggak bisa ngeyakinin gw?” katanya dengan nada rendah dan dingin.

Dia serius.

Damn. I’ve woken up the sleeping tiger.

Besides, he was right, he has a point. And I hates that he had a point.

“Ayo Sam. Tunjukin kalo lo bisa bersikap manis ke gw walaupun lo lagi marah. Yakinkan gw kalo lo bener-bener pacar gw,” Rion sudah kehilangan kesabarannya, dan aku tahu dia nggak akan berhenti marah sampai keinginannya dipenuhi.

You damn spoiled boy.

Aku menghela nafas dan mengangkat wajah, menatap Rion yang balas menatapku dengan kesal. Okay I have to do this .. act sweet to him ..

Rion masih diam menunggu.

Aku mendekatinya, membayangkan Rion yang ada dihadapanku ini adalah Rion beberapa hari yang lalu. Rion yang dapat membuatku tersenyum. Rion yang dapat membuat jantungku berdebar hangat. Rion yang melukis gambar hati di jendela untukku ..

Aku merangkulkan tanganku di lehernya, memandangnya sayu ..

Aku tersenyum.

Mata Rion balas memandangku.

Kami terdiam cukup lama. Tanpa bersuara. Hanya saling mengamati.

Perlahan ekspresinya melunak. Pelan-pelan matanya kembali bercahaya. Tatapan matanya menjadi lembut dan hangat. Dia seperti kembali menjadi Rion yang dulu. Rion yang manis. Kalau aku melihatnya dari sudut pandang seperti ini dia memang terlihat manis. Tampan.

Aku membelai pipinya.

Rion tersenyum samar. Pipinya memerah.

“I love you,” bisikku pelan.

Dia memandangku lekat-lekat sebelum membalas, “love you too, Sam.”

Jantungku berdebar.

Shit. He looks like he really mean it.

You’re a damn great actor Rion.

Kami berdua kembali terdiam beberapa saat. Seolah menikmati keheningan yang hanya diselingi desahan pelan nafas kami. Entah kenapa ada sepercik perasaan damai saat itu. Kalau boleh, aku ingin waktu berhenti saat itu juga. Aku ingin menikmati kesunyian itu, perasaan damai itu, dan pandangan mata Rion yang menenangkan

Tangan Rion membelai rambutku. Kakiku langsung terasa lemas, wajahku tiba-tiba menjadi panas. Crap. Am I blushing?

Aku merasakan dorongan untuk memeluknya.

Dan bibirnya itu .. aku ingin menciumnya lagi ..

Debar-debar di jantungku semakin kencang.

Stop it moron. Stop beating so fast over some spoiled guy like him.

Tanpa sadar aku mendekatkan wajahku ..

Rion tampak kaget .. tapi dia tetap diam ..




Rionaldi


Aku hampir yakin jantungku berhenti berdebar sesaat dan aku harus memaksa diriku bernapas karena kalau nggak aku pasti bakal pingsan di tempat. Sial. Gw gugup. Gw gugup gara-gara Sam ngeliatin gw kayak gitu.

Otak gw juga mendadak kosong sejenak. Blank.

Selain suara Sam dan debar jantungku sendiri yang berdebar keras, aku nggak bisa mendengar apa-apa lagi. Dunia seolah-olah mengecil di sekeliling kami berdua.

Sam mendekatkan wajahnya. Aku bisa melihat dengan jelas matanya.

Hidung kami hampir bersentuhan. Aku menghirup pelan-pelan aroma khas Sam yang merasuk ke hidungku. Shit. I got excited. Aku bisa merasakan darah mengalir deras ke otakku. Memberiku sinyal untuk segera melakukan hal yang benar-benar aku inginkan.

Gw nggak tahan. Jantungku udah berdebar terlalu cepat. I want him. I want to kiss him ..

Aku baru akan menciumnya ketika tiba-tiba Sam mendorong dadaku dan menjauh.

Ekspresinya seketika berubah.

“So? Did I pass?” tanya Sam dingin, menatapku dengan tatapan yang nggak kalah dingin.

Aku menelan ludah. Belum bisa pulih dari keadaanku.

“Yeah.”

“Good then,” Sam mengangkat bahu dan melangkah santai kembali ke dalam mobil.

Ketika yakin Sam sudah diluar jangkauan penglihatan, aku menghela napas panjang untuk menormalkan aliran darahku. Aku membuka beberapa kancing kemeja yang aku pakai untuk mengusir panas yang tiba-tiba muncul. Damn. So hot here.

Tarik napas.

Buang.

Tarik napas .. buang lagi ..

Aku berjalan ke kursi kemudi, kakiku terasa bergetar, lemas. Aku masuk ke mobil dan menutup pintu. Aku nggak berani melirik Sam. Tanpa basa-basi aku menyalakan mesin dan kembali melaju menyusuri jalanan yang sepi.

Setelah beberapa menit akhirnya kami memasuki jalan utama, suasana mulai ramai, aku memberanikan diri melirik Sam. Dia kembali ke sikap cueknya. Dia menganggapku tidak ada. Kenapa kalo aku bersikap ramah padanya dia selalu cuek seperti ini. Masa gw harus bolak-balik marah untuk narik perhatiannya.

Aku tunggu beberapa saat, tapi ternyata Sam masih terus mengacuhkanku, lama kelamaan aku jadi kesal sendiri. Aku harus bikin topik pembicaraan. Kita harus ngobrol.

Ah. Ada satu topik.

“Kenapa kamu ngelakuin itu?” suaraku terdengar lebih keras dari yang kurencanakan.

“Ngelakuin apa?” balas Sam tanpa memandangku.

“Kenapa kamu nyuri mobilku?”

Sejak dulu aku penasaran, kenapa Sam nyuri mobilku? Dan kenapa Caessar dan Robin juga terlibat? Apa ini semacam modus pencurian gaya baru atau semacamnya?

Sam menghela napas dan diam sejenak sebelum menjawab. “Itu tugas.”

“Apa?”

“Tugas untuk bisa masuk Wisma Indah Empat.”

“Tugas?”

“Yep.”

Tugas? Ah .. Tiba-tiba semua menjadi jelas di kepalaku. Aku mengerti semuanya.

Yeah tentu aja. Caessar kan pemimpinnya, dia memang punya tradisi suka ngospek anak-anak baru di asramanya tiap tahun. Ngasih mereka tugas-tugas nggak masuk akal buat dituntasin. Dan kalau Wisma Indah Empat-nya Caessar bikin acara ospek, itu artinya Selina dan anak-anak Wisma Tidar Tiga juga pasti ikutan. Damn .. jadi anak-anak Wind Four sama Wist Three pada kelayaban nyuri mobil?

MOBIL?

Aku jadi merinding. Berapa banyak mobil yang mereka curi? Ini nggak bisa dibiarin, begitu nyampe asrama aku harus langsung manggil mereka berdua. Ketua asrama tapi kenapa sikapnya ngawur kayak gitu. Nyuruh juniornya nyuri mobil? Gak masuk akal banget.

Kalau Selina masih bisa aku maklumi, dia orangnya emang nggak pernah mikir panjang kalo mutusin sesuatu. Tapi Caessar ..

He is a smart guy .. smarter than me I thought ..

“I’ll kill him,” aku menggerutu kesal.

“Siapa?”

“Caessar.”

“Kamu kenal Caessar?” tanya Sam penasaran.

“Tentu aja kenal,” jawabku seadanya, mataku menyipit tajam. “Lebih dari kenal sebenernya. Dan kamu Sam,” aku memandang Sam marah, tiba-tiba merasa kesal cowok itu mau-maunya dibegoin seniornya, “kenapa kamu nurut aja disuruh nyuri mobil? Apa kamu nggak mikirin resikonya kalo kamu ketangkep polisi? Itu kriminal Sam. Bisa dipenjara kamu.”

Sam tampak kaget mendengarku marah, lalu dia menoleh ke jendela dan berdecak kesal. “Tapi semua anak asrama pernah ngelakuin itu. Ferli, Yudha, Robin, malah Caessar sendiri bilang kalo dulu dia juga kena ospek asrama.”

Aku mendengus nggak sabar. “Yeah. Dulu dia bareng aku ospeknya. Waktu itu pertama kali dateng di Jogja aku masih ngekost di Wisma Indah Empat. Tapi sejak Wisma Indah Lima selesai dibangun aku langsung pindah kesana.”

Sam menoleh cepat. “Hah? Kamu dulu anak asramaku?”

“Yeah. And something happened. And I pissed off. And then I moved.”

“What happened?”

“Not your business.”

“Okay. Right. Not my business.”

Sam memalingkan mukanya dan kembali diam.

Shit. Sam keliatan tersinggung. Kalo begini terus dia nggak akan bicara lagi sepanjang perjalanan. Tapi gw bener-bener nggak mau ngebicarain masalah yang dulu itu. Apalagi ke Sam. Dia nggak boleh sampai tau. Masalah waktu itu rahasia antara gw, Caessar dan Efran. Gw harus cari topik lain. Arah pembicaraan ini harus dirubah.

“Steal a heart,” gumamku pelan, akhirnya aku memutuskan untuk ngebicarain soal tugasku waktu itu.

Sam mengernyit dan menoleh heran.

“That was my task back then.”

“Whose heart?”

“Selina.”

“Oh.”

Kesunyian menyelimuti kami sekali lagi.

“Steal a kiss.”

“Hm?”

“My task. Steal a kiss.”

“A kiss?”

“Yeah. From you.”

“HAH?”

Mobil yang aku kendarai hampir menabrak pickup di depan. Aku bener-bener kaget, konsentrasiku menyetir sejenak buyar. Sejak kapan ada tugas nyuri ciuman? Gw yakin dulu nggak ada. Siapa yang bikin tugas kayak gitu?

“Ati-ati. Aku nggak mau kita kecelakaan lagi,” kata Sam memperingatkan.

Ciuman yang ada di foto itu. So .. he kissed me because of a task?

“Wait .. Tadi katamu tugasmu nyuri mobil?” tanyaku bingung.

“Tugas pertama nyuri ciuman. Tugas kedua nyuri mobil. Tapi nyuri mobilnya dikerjain bareng-bareng. Tugas kelompok.”

Ada dua tugas? Ada tugas kelompok? Kok jadi makin beda jauh gini sama jamanku dulu. Caessar udah ngubah peraturan ospeknya seenaknya sendiri.

“Denger ya kalo Caessar nyuruh kamu ngelakuin hal aneh lagi kamu jangan mau,” aku memperingatkan Sam dengan agak kasar, udah nggak bisa sabar lagi soalnya. “Kalau dia ngancem mau ngeluarin kamu dari kos kamu keluar aja. Nanti kamu aku masukin ke asramaku. Ngerti nggak?!”

Sam berguman nggak jelas.

“Jawab!!” bentakku keras.

“Iya. Ngerti,” balas Sam segera.

Lalu lintas kendaraan hari itu agak padat tapi masih lancar. Aku nggak banyak bicara sepanjang sisa perjalanan, masih nggak percaya ama apa yang terjadi di asrama tetanggaku itu. Setelah kami sampai di jalan kecil yang kami kenali, aku menoleh ke Sam.

“Bentar lagi kita nyampe asrama. Denger Sam, kalo Caessar ato temen-temenmu nanya apa aja yang terjadi seminggu belakangan ini kamu harus cerita seperti yang aku bilang ini ..”

Aku pun menyusun skenario cerita tentang kecelakaan yang terjadi seminggu yang lalu. Membuang bagian yang nggak perlu seperti fakta kalo Sam nyuri mobilku dan aku hilang ingatan. Mengisinya dengan kisah lain yang masuk akal dan sama sekali nggak mencurigakan. Sam mendengarkan dengan cermat dan nggak banyak tanya.

“Jadi kita bohong?” gumam Sam cuek setelah aku menyelesaikan skenarioku.

“Ini bukan bohong. Kita cuman memanipulasi kebenaran sedikit.”

“Sedikit?” seru Sam nggak percaya. “Apanya yang sedikit? Ini udah bener-bener lain dari yang sebenernya.”

“Just do it Sam,” kataku memaksa.

“Okay,” Sam menyerah.

Akhirnya mobilku sampai di depan Wisma Indah Empat. Asrama bercat merah itu tampak mencolok di siang hari. Ketika Sam turun dia langsung disambut teman-temannya yang berseru dan tertawa keras. Wajah mereka tampak asing semua. Anak baru-kah? Apa mereka junior yang ikutan misi nyuri mobil? Semuanya keliatan seperti anak baik-baik, eh tunggu, itu yang kurus ceking tampangnya kayak berandalan.

Sam ikut tertawa bersama mereka. Aku menyadari kalo aku ikut senang melihatnya tertawa. Mataku terus mengawasi Sam yang sudah sampai di depan pintu asrama.

Ayo Sam .. balik badanmu ..

Look at me.

Dan Sam berbalik.

Yes.

Dia melambaikan tangannya dan nyengir lebar. “Aku masuk dulu ya,” serunya lantang.

Aku balas nyengir dan mengangguk. Yeah dia menjalankan semuanya sesuai skenario. Aku yang minta dia (agak maksa dan ngancem dikit sih) buat ngelakuin semua adegan itu, biar kita berdua terlihat akrab dimata orang lain.

“Thanks,” ada suara bergumam disebelahku.

Aku otomatis menoleh, agak kaget dikit. Dan menemukan Caessar sedang berdiri santai, tangannya terlipat, pandangannya ramah, but you can’t really judge him by his looks. Sejak kapan dia ada disitu?

“Thanks udah nganterin Sam pulang,” dia tersenyum.

Naluriku mengatakan aku harus waspada dan tetap tenang. Aku diam sebentar sebelum senyum juga dan menjawab, “no problem.”

“What’s your plan?” tanyanya dengan nada kalem.

“What plan?” apa dia tau soal perbuatanku ke Sam, maksa Sam jadi pacarku. Kalo dia ikut campur bisa rumit urusannya.

“Sam,” gumam Caessar pelan tapi jelas. “Apa yang mau kamu lakuin ke Sam?”

Aku mengernyit. Dia belum tahu.

But he knows something is wrong.

“Nothing.” Aku berbohong.

Caessar tertawa pelan.

“Beneran. Aku nggak mau ngapa-ngapain dia,” kataku kesal.

“Oke. Aku percaya,” Caessar berhenti tertawa, lalu suaranya menjadi dalam dan lebih serius. “Tapi kamu tau kan kalau dia anak Wisma Indah Empat, dan aku nggak suka kalau ada orang yang nyari gara-gara sama anak asramaku?”

“Aku nggak nyari gara-gara ama dia.”

Caessar menatapku tajam, seakan ingin mengetahui isi pikiranku.

“Pokoknya aku nggak mau Sam sampai kenapa-napa,” lanjutnya.

“And what about you?”

“What about me?”

“Steal a kiss, steal a car, and what else?” aku bersenandung pelan.

Keheningan yang menyusul serasa berdering.

“Hei, Caessar, kamu sebenarnya mau apa?” tanyaku sekali lagi ketika setelah beberapa saat Caessar hanya berdiri diam tanpa melakukan apa-apa. Aku nggak bisa melihat ekspresinya dengan jelas karena cowok itu menunduk, tapi aku bisa melihat bibirnya membentuk seulas senyum.

“I just wanna have fun,” jawabnya santai. Dia mulai berjalan pelan ke asramanya sambil melambaikan tangannya. “See ya.”

“You have to stop it,” kataku tajam. “Jangan diterusin lagi.”

Caessar menoleh dan tersenyum. “Kenapa aku harus nurut sama kamu?”

“Gw serius,” tambahku dengan nada agak mengancam.

Caessar mengangkat bahu dan terus melangkah. Kemudian dia berhenti dan berbalik. “I think I owe you an apologize.”

“Do you?”

“Yeah. So, I’m sorry.”

“For what?”

“Your Car. Sam. Everything.” Caessar memandangku beberapa saat kemudian berkata dengan sangat serius. “Aku yang salah, aku yang nyuruh Sam buat ngelakuin itu, jadi jangan marah ke Sam. Aku yang akan tanggung jawab.”

Dia tersenyum lagi sebelum berbalik dan berjalan santai menuju asramanya. Aku mengawasinya sampai dia masuk dan hilang dari pandangan. Mau nyoba nutupin kesalahan anak buahnya ya? Sorry Caes .. kali ini aku nggak mau ada yang ikut campur ama masalahku dengan Sam.

“Kok lama banget kamu Yo?” Yoga nongol dan menanyaiku setelah menyadari aku masih bersender disamping mobilku dengan diam. “Aku udah nyampe dari tadi.”

“Iya tadi aku nyantai bawa mobilnya,” aku nyengir.

“Ohh .. Ayo masuk, ditungguin anak-anak tuh.”

“Bentar ya gw mo nelpon dulu.”

“Oke,” Yoga melangkah masuk ke gerbang asrama Wisma Indah Lima.

Aku merogoh saku celana dan mengeluarkan ponselku. Setelah menekan speed-dial di angka sembilan aku menempelkannya di telinga. Aku harus menunggu cukup lama sebelum orang diseberang sana mengangkatnya.

“Halo? Selina? Gw mau ngomong, kapan lo ada waktu?”




Liam Firman


Malem itu kami ngumpul di kamar Sam.

Sam baru aja pulang dan kami langsung menagih ceritanya, asiknya lagi dia juga ngebawa segembol oleh-oleh cemilan dari hasil ngilangnya bareng Rion itu. Kebetulan lagi laper, jadi semua pada seneng banget dapet makanan gratis. Aku, Kaka ama Harris ngobrol di kamarnya sambil nonton film.

“Aku nggak beneran nyuri mobilnya Rion,” Sam menjelaskan panjang lebar. “Waktu aku masuk mobilnya ternyata udah ada Rion disana, dia minta aku nyupirin dia. Soalnya dia udah ngantuk. Jadi aku pikir kenapa enggak, kan sekalian nyelesaiin misi ..”

Anak-anak mengangguk-angguk sambil terus menggeratak peyek kacang, lumayan buat ngeganjel perut.

“Trus kita kecelakaan, makanya itu kita nggak bisa langsung balik, kepaksa nginep di rumah warga sana,” lanjut Sam.

Kami menerima cerita Sam tanpa pertanyaan. Cuman Harris yang terus mandang Sam curiga. Sam menangkap pandangan itu dan meneruskan. “Sekarang aku cuman bisa cerita itu aja.”

Sam menjadi tidak sabar karena Harris tetap memandangnya curiga. “Denger ya. Aku nggak mau bohong lebih banyak lagi ama kalian. So stop asking me or I’ll tell you more lies. OK?”

Harris kayaknya mau berbicara tapi Kaka buru-buru memotongnya.

“Udahlah Ris, yang penting kan Sam udah balik dan dia nggak kenapa-napa.”

Tampaknya Harris ingin membalas dengan tajam, tapi mungkin dia tidak mau bertengkar lagi, dia akhirnya berpuas diri dengan menggelengkan kepalanya nggak percaya ketika Kaka berpaling darinya.

Kaka dan Harris rupanya telah mencapai kesepakatan tak terlulis untuk tidak mendiskusikan pertengkaran mereka kemarin (soal coklat yang hilang itu lho, masih inget kan?). Sekarang mereka saling bersikap cukup ramah terhadap yang lain, walaupun agak formal, jadi aneh ngeliatnya.

“Jadi gimana disini?” tanya Sam kemudian.

“Aman-aman aja kok,” jawabku segera. “Nggak ada masalah.”

“Oh iya besok kan mulai orientasi di kampus, kira-kira bakal susah nggak ya?” tanyaku kuatir.

Sam mengangkat bahu. “Setauku di kampus kita ada tiga ospeknya. Ospek fakultas, ospek jurusan ama ospek prodi. Yang paling berat tuh ospek fakultas. Kamu Fakultas Teknik kan?” ia menanyaiku.

Aku mengangguk. “Iya bareng ama Kaka.”

“Aku Fakultas MIPA, berarti bareng ama kamu ya Ris?” Sam menoleh ke Harris yang mengangguk sebelum memandangku lagi. “Ati-ati lho, katanya yang paling berat tu ospeknya anak Teknik.”

“Serius?” Kaka berseru pelan.

“Katanya sih. Semoga aja taon ini nggak berat.”

“Anak Teknik Geo malah ospeknya satu semester, tiap Sabtu ngumpul buat lari-lari keliling fakultas,” tambah Harris yakin.

Obrolan kami pun beralih ke soal ospek besok di kampus. Walaupun tiap tahun bahasanya diperhalus dengan nama yang aneh, saking anehnya aku sampe lupa tapi intinya ya tetep sama, ya Ospek itu, dikerjain ama senior. Kamar Sam jadi berisik banget, padahal kosan udah sepi dari tadi, soalnya penghuni kos lain yang lebih senior pada kekampus buat persiapan ospek besok. Mereka kan ikut panitia ospek, jadi besok ya mereka itu yang bakal menghardik kita-kita. Ferli udah pesen kalau dia nggak peduli mau temen satu kos kek, mau sodara kek, tetep bakal dia semprot habis-habisan kalo ntar bikin ulah.

Agak maleman dikit Robin nongol di pintu nyuruh kita buat ngumpul di bawah. Wajahnya serius banget. Anak-anak pada heran, tapi akhirnya kita ikutin dia. Di ruang tengah sudah berkumpul anak-anak kos yang lain. Ferli, Yudha, Kevin dan Caessar. Rupanya mereka semua udah balik dari kampus.

“Ada apa nih?” tanya Kaka sambil duduk di sofa.

Di ruang tengah, aku, Sam, Kaka dan Harris duduk di sofa paling pojok, sementara lima senior kost memandangi kami dengan pandangan menilai. Jadi serasa dejavu, inget waktu dulu pertama kali dapet tugas nyuri.

“Ini soal tugas kalian,” jawab Robin tanpa basa-basi.

”Maksudnya?” Sam mengernyit.

“Jadi ..” Caessar baru akan bicara ketika pintu depan tiba-tiba terbuka. Seorang cowok berbadan tegap masuk, otomatis semua mata tertuju padanya. Ketika melewati ruang tengah dia bergumam pelan, suaranya agak serak. “Aku pulang.”

Anak-anak langsung ramai memberi balasan dengan bersemangat. Ngerubutin cowok itu dan menyambar oleh-oleh yang dibawanya. Yang dikangenin pertama kali ternyata makanannya, bukan orangnya. Sementara aku, Sam, Kaka dan Harris saling bertukar pandangan penuh tanda tanya karena kami nggak kenal cowok itu.

Caessar berdiri dan menepuk pundak cowok itu. “Akhirnya balik juga kamu. Oh iya kenalin itu anak-anak baru disini. Sam, Kaka, Harris sama Liam.” Dia menunjuk kami satu-persatu lalu merangkul cowok itu dengan akrab. “Dan ini Efran, dia yang nempati kamar nomer tujuh.”

Kami tersenyum kikuk menyambut Efran. Tapi rupanya dia tipe cowok cool, nggak tampak sedikit senyum pun dibibirnya, dia cuman mengangguk pelan ketika Caessar memperkenalkan kami. Parasnya dingin, kaku dan cuek abis. Matanya menyorot tajam dan sinis, kesannya malah jadi kayak orang nggak ramah. Bibirnya agak kemerahan.

“Aku mau tidur. Capek diperjalanan. Besok harus ke kampus pagi-pagi,” kata Efran kemudian, masih dengan suara serak-serak basahnya, dan dengan cuek membetulkan posisi backpacknya.

“Oke. Met tidur ya,” kata Caessar riang sambil menepuk-nepuk pundak Efran sebelum cowok itu mulai berjalan menuju tangga.

Kami memandangi sosok Efran yang menaiki tangga dengan cepat, lalu menghilang di ujung tangga.

“Itu cowok yang nempatin kamar nomer tujuh?” tanya Sam hati-hati begitu yakin dia sudah berada diluar jangkauan pendengaran Efran. Di asrama ada sepuluh kamar, tapi selama ini kamar nomer tujuh dan nomer empat kosong ditinggal mudik penghuninya.

Caessar mengangguk.

“Dia satu angkatan ama aku,” Robin menjelaskan begitu Caessar memutuskan untuk bergabung dengan Yudha memakan cemilan yang dibawa Efran. “Seangkatan ama Caessar juga. Ama Rion juga ..” dia berhenti sebelum melanjutkan, “yah jadi sekarang asrama udah lengkap kan? Tinggal nunggu Miki balik aja.”

“Tampangnya galak bener,” komentar Kaka sambil ikut makan.

“Kalo udah kenal anaknya asik kok,” kata Ferli membela.

“Tapi tetep aja, orangnya kayak judes gitu,” gumam Kaka nggak jelas, ngelirik Harris dengan pandangan meremehkan. “Tambah satu lagi deh orang galak dikos.”

Harris pura-pura tidak mendengarnya. “Tadi katanya mau ngomong. Emang ada apa?” katanya mengingatkan.

“Oh itu,” Caessar menelan makanan dimulutnya sebelum melanjutkan, dia berdehem. “Kalian kami nyatakan lulus.”

“Lulus?” ulang Harris.

“Yep,” kata Kevin.

“Kalian lulus,” Caessar tersenyum sementara Sam dan Harris masih memandangnya curiga. “Jadi kalian bisa ngelupain tugas-tugas kalian yang dulu itu. Steal a kiss, steal a ring, steal an underwear, steal a car, umm trus apalagi?”

“Steal a heart,” sambar Robin cepat.

“Yeah steal a heart. Mulai besok kalian bisa ngembalikin barang-barang yang kalian curi,” lanjut Caessar kalem, lalu dia menoleh kearahku. “Dan kamu Liam, kamu bisa berhenti nyuri hati Arjuna.”

Aku terlonjak kaget. “Hah?”

“Kamu nggak perlu lagi bikin dia naksir kamu.”

“Kenapa?” tanyaku segera.

“Yah .. karena tugasnya udah selesai. Kalian udah kami terima di asrama ini.”

“Tapi kenapa tiba-tiba gini?” tanya Sam curiga. “Bukannya Liam masih punya waktu sebulan?”

“Well. Ada sesuatu Sam,” kata Caessar penuh rahasia, membuat Sam jadi tambah curiga. “Atau kalian mau ditambah lagi tugasnya?”

Sam dan Harris mencibir dongkol.

“Enggak usah,” kata Harris. “Jadi udah selesai kan tesnya? Kita udah bebas?”

Robin mengacungkan jempolnya, nyengir. “Selesai.”

Jadi aku tidak perlu lagi usaha buat ngedapetin hatinya Jun? Tidak perlu susah-susah lagi untuk bikin Jun suka sama aku?

Oke, ini berita bagus, tapi ada yang salah, ada yang nggak bener.

Aku kan udah terlanjur nembak Jun, terus gimana dong? Masa aku tarik lagi penembakanku waktu itu. Apa kata Jun nanti? Dia pasti tersinggung. Dia pasti marah kalo aku bilang aku nembak dia cuman karena tugas.

Yang lain menerima berita ini dengan agak berbeda.

Harris mengangguk pelan dan bilang kalau besok dia bisa mengembalikan cincin-nya Putri, sementara Kaka histeris karena dia lupa naruh celana dalem-nya Yoga dimana . Semua langsung memandang Kaka nggak percaya. Sementara Sam yang tidak perlu mengembalikan apa-apa cuman duduk santai di sofa sambil memainkan ponselnya.

Saat Ferli lagi ngebego-begoin Kaka, aku duduk dengan gelisah dan jadi tambah cemas. Aku ngerasa nggak enak sama Jun. Dia udah baik sama aku.

Aku jadi tambah ragu.

Apa aku bisa untuk nggak terus nyuri hatinya Jun.





to be continued...  



0 comments:

Post a Comment