DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Ninja Next Door - Chapter 7

07
In The Twilight Zone


Gambar 
by Coatwest


Liam Firman


Aku berjalan dengan tekad kuat ke pintu asrama Wisma Indah Lima. Sambil sesekali senam mulut, monyong-monyong kayak ikan koki. Kata Ferli sih biar nggak kaget otot bibirnya waktu ciuman nanti. Orang kalo mau renang aja harus pake pemanasan dulu biar nggak kram, apalagi kalo mau ciuman.

Eh emang otot bibir bisa kram ya?

Enggak tau ah. Mana belom ada pengalaman soal cium mencium gini jadi ya mau nggak mau harus percaya aja apa kata orang.

Sebelum aku membukanya, pintu asrama tiba-tiba menjeblak terbuka. Mbak Nyit-Nyit keluar dengan wajah puas, dibelakangnya anak-anak Wisma Indah Lima terlihat sangat merana. Inspeksi mereka kayaknya udah selesai. Setelah Mbak Nyit-Nyit hilang dari pandangan, aku menanyai Yoga. “Jun-nya ada Kak?”

Yoga cuman menunjuk jarinya keatas, oh mungkin maksudnya Jun ada dikamarnya di lantai dua. Aku mengucapkan terima kasih yang kayaknya nggak didenger Yoga dan langsung berjalan menuju kamar Jun.

“Juunnn,” aku memanggil namanya sambil mengetuk pintu.

Pintu terbuka dan sosok Jun muncul.

“Oh Liam, masuk.”

Kamar Jun sama seperti terakhir kali aku kesana. Nggak terlalu rapi tapi nggak berantakan juga. Ada gitar tergeletak di sudut kamar. Wah jadi Jun bisa maen gitar.

“Lagi ngapain Jun?” tanyaku basa basi.

“Tiduran aja. Agak ngantuk,” jawab Jun malas-malasan. “Ada apa?”

“Oh .. Anu .. Mau ngelanjutin yang tadi.”

Jun menatapku kosong. “Oh.”

“Jadi gimana? Udah mau nyium?” tanya Jun to the point.

Aku berdehem panik. “Iya.”

“Tunggu apa lagi? Ayo cium,” Jun merebahkan dirinya di kasur.

Aku mendekatinya dan berlutut di depan tempat tidur. Cuman ciuman aja kok nggak lebih. Aku mendekatkan wajahku. Mata Jun yang gelap itu sangat mengganggu konsentrasi. Warnanya hitam memukau, seperti awan badai. Indah, tetapi juga menggentarkan, seolah-olah dia sedang menganalisis cara terbaik untuk menaklukkanku. Jadi grogi kalo diliatin kayak gini.

“Eerr .. Jun .. Bisa merem nggak?”

“Oke.” Jun menutup matanya.

“Kepalamu bisa agak miring nggak.”

“Oke.”

“Miring ke kanan bukan ke kiri.”

“Oke.”

Aku membasahi bibirku. Setelah berdoa terlebih dahulu, pelan-pelan aku mendekati Jun. Wajah kami sudah terlalu dekat. Aku mengamati wajah Jun, dia terlihat cakep dilihat sedekat ini. Lalu tiba-tiba Jun membuka matanya. Aku tersentak kaget.

“Kok lama sih?” tanya Jun heran.

“Eh .. Oh .. Iya ini juga baru mau mulai,” kataku mengendalikan diri.

Jun menutup matanya lagi. Aku mendekatinya lagi. Kali ini aku langsung menciumnya.

Kalo definisi ciuman adalah bibir dan bibir saling bersentuhan, maka aku sudah menciumnya. Tapi Jun tetap menutup matanya, seakan masih menunggu untuk dicium.

“Sudah selesai Jun,” aku mencolek lengannya.

Jun membuka matanya. “Sudah? Kok nggak kerasa?”

“Pokoknya sudah. Aku udah ngebuktiin kalo aku beneran suka sama kamu.”

Jun duduk dan menatapku. “Oh.”

“Jadi gimana? Kamu percaya kan?”

Jun memandang kosong LCD di mejanya, seakan-akan benda itu sedang menayangkan acara TV favoritnya.

“Kenapa kamu suka aku?” dia menanyaiku.

“Eh?”

“Kenapa kamu suka aku? Apa yang kamu suka dari aku?”

Aku memutar otak. Pikirkan aspek dari Jun yang menarik. Hmmm .. matanya ..

“Aku suka matamu.”

“Kenapa mataku?”

“Matamu bagus. Aku suka.”

“Kalo aku buta. Kamu masih suka?”

Aku bengong. “Eh. Tentu aja masih suka.”

“Kalo rambutku gimana? Suka nggak?” tanya Jun kemudian.

“Iya suka.”

“Suaraku?”

“Suka.”

“Telingaku?”

“Suka.”

“Hidungku?”

“Suka.”

Jun tertawa suram.

“Aku bingung sama kamu Liam,” kata Jun datar. “Sebenarnya apa tujuanmu bilang suka padahal kamu nggak bener-bener suka.”

Aku tertunduk lemas. “Ketauan banget ya?”

Jun mengangguk dan duduk di sampingku

Aku paling nggak bisa bohong. Kalo Kaka pasti bisa bohong di situasi seperti ini, dia kan jagonya bohong. Tapi kalo aku sama sekali nggak bisa. Aku benci bohong.

“Aku cuman mau bikin kamu suka sama aku,” kataku tanpa pikir panjang. Aku langsung menyesali kecerobohanku, memaki-maki diriku sendiri dalam hati.

“Kenapa kamu pingin aku suka sama kamu?” tanya Jun santai.

Sial. Jun curiga nggak ya? Aku menunduk cemas. Gimana kalo Jun tanya-tanya lagi. Bisa kebongkar semua tentang misi anak-anak. Nggak cuman aku yang ketahuan, tapi Kaka sama Sam juga. Pokoknya aku harus bohong. Harus diusahain.

Tapi aku nggak tau harus ngomong apa. Aku cuman diam.

Keheningan dipecahkan oleh Jun yang menepuk pundakku pelan. “Tenang aja. Aku ajarin caranya,” katanya datar.

Aku menoleh cepat. “Hah?”

“Biar aku jadi suka sama kamu. Aku ajarin caranya.”

“Gimana?” tanyaku bersemangat.

“Pertama. Cara ciumanmu harus dirubah.”

Aku mengeluh. “Tapi itu pertama kalinya aku ciuman.”

Jun tampak sangat kaget. “Jadi aku orang pertama yang kamu cium?”

“Yep.”

Jun menerawang dan mulai berbicara dengan nada yang serius. “Kamu tau nggak. Ciuman pertama itu yang paling sering ditanyain lho. Kalo suatu saat nanti ada yang nanya ke kamu gimana ciuman pertama kamu? Aku nggak mau kamu ngejawab .. ‘Biasa-biasa aja’. Atau .. ‘Nggak enak.’ .. Apalagi ciumannya sama aku. Aku pingin kamu inget terus.”

Aku memandangnya bingung. “Terus?”

“Ciuman yang tadi anggap aja gagal. Kita ulang ciumannya.”

Aku buru-buru menjauh. “Enggak. Nggak usah.”

“Katanya kamu pingin aku suka sama kamu.”

Aku menimbang-nimbang gelisah. “Tapi jangan lama-lama ya.”

“Paling cuman lima detik,” kata Jun meyakinkan.

Lima detik? Kayaknya cukup cepat. Nggak masalah.

“Oke, lima detik. Ayo.”

Jun menggenggam tanganku lembut.

Aku menatapnya heran. Kenapa pake pegangan tangan segala

“Watch and learn,” gumamnya pelan.

Jun mendekatkan bibirnya dan dia mengulum bibirku lembut.

Jun nyium aku.

Wooowwwww .. Aku merasakan suatu kejutan aneh mengaliri sekujur tubuhku. Tangan Jun menggenggam tanganku erat. Mataku kupejam rapat, dia sangat pandai melakukannya pada diriku yang tidak berpengalaman ini. Baru sekarang aku ngerti arti ciuman itu kayak gimana.

Oke. Learn. Learn. Learn. Pelajari semuanya.

Aku mulai menghitung. Lima. Empat. Tiga. Dua. Satu.

Lima detik sudah lewat ..

Lima detik lagi ..

Satu menit ..

Lima menit ..

Sepuluh menit ..

Sampai akhirnya aku kehilangan konsentrasi untuk menghitung.

Kalo ada yang nanya gimana ciuman pertamaku? Aku akan jawab .. Melelahkan. Mulutku sampe capek.

Catatan untuk diriku sendiri, lakukan senam mulut sesering mungkin.
Kharisma


Bis Trans Jogja berhenti di depan shelter RS Bethesda. Harris meraih tanganku dan menariknya. Dengan malas aku terpaksa mengikutinya. Rumah Sakit? Mau apa lagi sih ni anak? Apa dia serius waktu bilang mau motong jariku buat ngelepas cincinnya?

Cengkeraman tangan Harris terasa makin kuat. Sejak berangkat tadi dia sudah kuatir aku bakal melarikan diri, makanya aku jadi diseret kayak buronan gini.

“Ngapain sih ke rumah sakit?” tanyaku keras.

Harris menoleh sedikit hanya untuk memandangku dengan marah. “Kakak-ku Dokter, kita bisa minta bantuan dia. Mungkin dia bisa motong jarimu terus disambung lagi atau apalah.”

Aku berhenti jalan dan menatapnya ngeri. Bener-bener sakit ni anak. Cuman gara-gara cincin sampai jadi gila gitu.

“Enak aja maen motong jari orang.”

“Ini kan salahmu. Kalo kamu nggak makai cincin itu aku juga nggak akan repot kayak gini.”

Harris menarikku untuk terus jalan. Aku tetep nggak bergerak.

“Ayo jalan.”

“Enggak.”

“Jalan!!!”

“Nggak mau!!!”

Kami saling bertukar pandang galak.

“Iiihhh siang-siang udah mesra aja nihh.” Aku menoleh untuk melihat asal suara itu dan langsung kaget. Ternyata seorang cowok yang gayanya cewek abis, mirip-mirip Olga waktu dia dulu pertama kali muncul. Cowok itu ngedip-ngedipin matanya genit.

“Ini kita dari LSM Arus Pelangi lagi nggelar aksi damai Mas. Bagi-bagi bunga ama pin,” dia berkata dengan suara yang cenderung dimerdu-merduin, dan tiba-tiba aja langsung masang pin di bajuku. Aku membaca tulisan di pin itu ‘PLAY SAFE’ dengan gambar pita merah melengkung.

“Semoga langgeng yahh sampe kakek nenek,” katanya lagi, menaruh setangkai mawar merah di tanganku. “Eh salah. Sampe kakek kakek maksudnya,” dia pun cekikikan.

“Dia bukan pacarku,” bentak Harris panas.

Cowok genit itu terkejut lalu memandang Harris dengan jijik dan mencela. “Eh kalo ye belum coming out, its okay. Discreet is fine. Tapi nggak perlu mendustai pacar sendiri dong. Masa pacar sendiri nggak diakui.”

Harris tampaknya siap meledak, tapi dia menahan diri dan memutuskan untuk nggak meladeni cowok itu, dia langsung menyeretku ke rumah sakit.

Aku iseng pura-pura kesakitan dan sedih, memasang tampang menderita sambil melambaikan tangan ke cowok genit tadi, yang kayaknya percaya aja ama aktingku. Dia jadi kasian terus berteriak memaki-maki Harris di belakang kami, “Eh awas ya gw laporin ke komnasham. Jangan dikasarin pacarnya, itu udah masuk tindakan kekerasan dalam rumah tangga tauk.”

Aku cengengesan dan mata Harris langsung berkilat bahaya.

Di dalam Rumah Sakit, mood Harris nggak bertambah baik. Dia terus berjalan, menabrak orang-orang yang balas menatapnya tersinggung, sebelum akhirnya kami sampai di depan pintu dengan papan nama bertuliskan ‘Dr. Hans Ferdian’. Tanpa ngetuk pintu dulu Harris langsung masuk.

“Mas Hans aku mau minta tolong,” kata Harris tanpa basa-basi. Seorang cowok yang memakai baju putih khas dokter memandangnya bingung, lalu mendengus.

“Oh kamu. Ada apa?” balas cowok yang sudah pasti Dr. Hans itu, kakak-nya Harris. Dia berumur paling enggak dua puluh limaan, ummm mungkin lebih, sekitar tiga puluhan kali ya? Dilihat dari mukanya kayaknya orangnya baik tapi begitu ngeliat Harris dia langsung berubah ketus dan berbahaya.

Harris menunjuk ke jariku dan berkata cepat. “Lepasin cincin ini dari tangannya. Aku udah nyoba semua cara tapi nggak berhasil.”

Hans melihat jariku sekilas dan memeriksanya. Lalu memandang Harris tajam.

“Jarinya bengkak, apa ini salahmu?” dia bertanya dengan nada menuduh.

Harris mencibir kesal. “Aku cuma mau cincinnya lepas.”

Hans memandangku dengan pandangan menilai lalu tersenyum hangat sebelum berbalik ke Harris dan bertanya sinis. “Kenapa? Kamu nyesel udah ngasih cincin itu ke dia?”

“Hah? Aku nggak ngasih cincin itu ke dia.”

“Ini kayak cincin keluarga kita,” Hans meneliti cincin sekali lagi.

“Itu memang cincin keluarga kita. Ayah ngasih cincin itu ke ibu terus nikah. Terus diwariskan ke kamu. Dan kamu kasih ke Mbak Maya terus nikah. Dan diwariskan ke aku ..”

“Dan kamu kasih ke dia,” potong Hans.

“Enggak,” balas Harris jengkel.

“Denger Ris,” mata Hans melebar, jelas dia nggak percaya kata-kata Harris. “Waktu kamu tau-tau ngaku homo trus minggat dari rumah aku bisa maklum. Itu keputusan kamu. Aku nggak bisa ikut campur. Aku anggap kamu udah dewasa. Udah tau resikonya. Tapi aku pengen kamu jadi homo yang bener, jangan homo brengsek. Apa maksudnya kamu ngasih cincin ini ke dia cuman untuk ngebujuk dia biar mau ML sama kamu,” Hans berseru menunjuk pin ‘PLAY SAFE’ di bajuku.

Harris melongo, jelas nggak nyangka kakaknya bakal ngebawa-bawa topik itu ke percakapan mereka. “Aku nggak ML sama dia,” katanya jijik lalu mencoba menjelaskan, “Aku nggak ngasih cincin itu ke dia. Ceritanya panjang tapi dia bukan pacarku.”

“Tapi itu cincinmu.”

“Iya. Dan sekarang aku mau cincin itu dilepas.”

Aku cuman melirik mereka berdua gantian dengan gugup, bingung harus ngapain. Agak males juga sih kalo kudu nyabung nyawa jadi penengah ditengah banteng ngamuk kayak gini. Belum lagi aku masih kaget denger kata-kata Hans barusan. Aku baru tau kalo Harris minggat dari rumah. Udah gitu aku dikira pacarnya Harris lagi. No way.

Aku membuka mulut untuk bicara tapi setelah beberapa menit nggak ada kata yang keluar aku menutupnya lagi. Hans rupanya menganggapku sedang tersiksa lahir batin dan mengalami pergolakan psikologis yang hebat gara-gara nggak diakui Harris. Karena dia memandangku penuh simpati sebelum melotot ke Harris. Dengan diam memarahinya, seakan sorotan matanya mengatakan ‘Lihat tuh dia jadi sedih. Semua salahmu’.

Harris menghela napas dan menutup matanya, seakan berdoa memohon kesabaran.

“Oke,” katanya akhirnya, membuka mata dan tersenyum dengan paksa walau jadinya malah agak mirip seringai. “Oke. Aku yang ngasih cincin itu ke dia. Dia pacarku. Puas? Sekarang bantu aku ngelepas cincinnya.”

Hans menggeleng. “Aku nggak bisa.”

“Kenapa?” Harris teriak marah lagi. “Kan aku udah ngaku. Iya dia pacarku. Namanya Kaka. Aku yang ngasih cincin itu ke dia biar dia mau ML sama aku.”

Aku melempar pandangan kaget, mengancam. Fitnah tuh. Bisa dikira homo beneran aku ntar.

Tapi Harris tetep cuek dan melanjutkan marah-marahnya. “Semua salahku. Aku yang maksa narik cincin itu sampai jarinya bengkak. Aku yang salah. Kurang apa lagi?”

Hans menaikkan alisnya, mengernyit melihat reaksi Harris. “Jarinya masih bengkak. Aku nggak mau ngelakuin apapun sampai jarinya sembuh. Ini aku kasih salep buat ngurangin bengkaknya. Diolesin tiga kali sehari. Kamu harus bantu dia ngobatin jarinya.” Hans menulis sesuatu di kertas dan menyerahkannya ke Harris.

Harris menarik kertas itu dengan kasar.

Hans menoleh kearahku. Seketika ekspresi wajahnya berubah lebih lembut dan kalem. “Jangan dipaksa lagi ya ngelepas cincinnya. Biar jarimu sembuh dulu baru dicoba lagi. Dan .. sekedar saran saja .. Coba kamu pacaran sama orang lain yang lebih baik dari Harris. Emang apa bagusnya dia sih? Muka standar. Suka marah-marah. Kasar. Nggak bertanggung jawab.” Dia tersenyum samar lalu matanya menangkap mawar merah ditanganku. “Lihat .. dia udah bikin kamu menderita kayak gini tapi dia cuman ngasih kamu satu bunga buat permintaan maaf?” Hans berdecak mencela. “Bunga palsu lagi.”

“Oh ini bukan ..” aku baru mau menjelaskan tapi Harris keburu marah lagi.

“Bukan aku yang ngasih bunga itu.”

Hans menatapnya tajam, memperingatkan agar dia nggak macam-macam.

Harris menutup matanya frustasi. “Oke. Aku yang ngasih bunga itu.”

“Sekarang dimana aku bisa dapetin salep ini?” katanya kemudian.

Hans berjalan ke pintu, menyuruh Harris agar mengikutinya. “Aku antar. Kayaknya masih ada stoknya di apotik. Sekalian aku mau ngomong sama kamu. Penting.” Dia menatap Harris galak lalu tersenyum kearahku, “Ummm namamu tadi Kaka ya? Kamu tunggu disini aja ya. Kita cuman sebentar kok.”

Aku mengangguk. Harris mendengus kesal sebelum mengikuti kakaknya keluar.

Setelah yakin dua bersaudara itu hilang dari peredaran aku tersenyum senang. Rasain tuh Harris, pasti mau dimarahin lagi. Aku memandang ruangan putih itu dengan diam. Merinding rasanya. Segala sesuatu yang ada hubungannya sama dokter emang selalu bikin gw kayak gitu. Merinding gag jelas. Karena bosan, tanganku menyusuri kertas-kertas di meja, aku lirik satu persatu, iseng aja, daripada nggak ada kerjaan.

Dan tiba-tiba pintu terbuka, seorang wanita berambut panjang dan berbaju putih masuk. Aku kaget setengah mampus. Cewek itu ngeliatin aku heran lalu tersenyum.

“Mas siapa ya? Pasiennya Mas Hans?”

“Oh bukan,” aku menggeleng, tapi langsung sadar aku kan dibawa Harris kesini buat minta tolong soal cincin, jadi bisa dikategorikan pasien juga dong. Aku buru-buru mengangguk, “Eh maksudnya iya.”

Cewek itu bukan perawat. Dia pakai pakaian biasa. Trus siapa dia?

“Saya Maya. Istrinya Mas Hans,” katanya memperkenalkan diri.

“Kaka. Temennya adiknya Mas Hans,” balasku, menyambut tangan Maya dan salaman.

Mata Maya langsung melebar. “Temennya Harris?”

“Iya. Tante kenal?”

“Panggil Mbak aja. Harris juga panggil saya Mbak kok. Jelas dong saya kenal Harris. Jadi gimana kabar Har ..” omongan Maya tiba-tiba terhenti. Matanya semakin melebar menatap sesuatu di tangan kiriku, lalu dia menjerit histeris. “Oh ya ampun ..” dia meraih tanganku dan menatapku berseri-seri. “Jadi Harris ngasih cincin ini ke kamu? Wah kalo gitu kita jadi besan dong?”

“Hah? Oh .. Anu .. Itu ..”

Maya melambaikan tangannya nggak sabar. “Ohhh nggak usah grogi gitu. I’m okay with gay. Kamu nggak usah malu gitu.” Ia menolak mendengarkan kata-kataku dan mengamatiku dengan senang, “Harris pinter juga nih nyari pacar. Cakep kayak gini.”

“Mbak Maya .. saya bukan pacarnya Harris,” aku mencoba menjelaskan.

Maya malah tersenyum penuh pengertian. “Sssssttt .. Mbak ngerti kok. Dulu Harris sering cerita kalo dia punya cowok dan dia sayang banget ama cowoknya itu. Dari dulu Mbak udah penasaran pengen ketemu ama cowok yang bisa bikin Harris kesengsem. Sekarang akhirnya kesampaian juga.”

Cowok-nya Harris? Maksudnya Yoga kan?

“Waktu Harris ngaku kalo dia gay di depan Papa, Mama dan Mas Hans .. semua marah besar. Semua bilang hubungan gay itu nggak ada yang abadi, nggak bisa buat serius. Tapi Harris bilang dia percaya sama hubungan kalian. Dia percaya hubungan kalian bisa dibawa ke tahap yang lebih serius. Makanya begitu lulus SMA dia nekat keluar dari rumah buat ngejar kamu. Dia yakin banget kamu mau nerima cincin ini dan nikah ama dia.”

Wajah Maya berubah heran. “Tapi yang aku denger kamu malah mutusin dia.”

Ah iya. Yoga kan emang mutusin Harris. Ternyata gara-gara dia minta dinikahi? Yuck. Benar-benar cowok aneh. Aku nggak bisa ngebayangin cowok nikah ama cowok.

Tunggu bentar.

Kayaknya aku mulai paham ama rencana Harris. Dia minta hubungan yang serius ke Yoga tapi Yoga nggak mau, malah akhirnya Yoga mutusin dia. Jadi Harris sengaja ngasih cincin ini ke Yoga karena Harris percaya siapapun yang makai cincin ini bakal nikah ama dia. Harris pengen ngejebak Yoga. Hmmmm .. dilihat dari sudut manapun kesannya Harris kayak mau melet si Yoga kan? Dasar cowok sakit. Jaman gini masih aja main pelet-peletan.

Aku jadi inget kata-katanya waktu pertama kali liat aku pake cincin ini.

Kenapa cincin ini ada di kamu?
Harusnya dia yang pakai cincin itu, bukan kamu.

Jadi emang bener dia pengen Yoga pake cincin ini. Tapi sialnya Yoga nggak pernah makai cincin ini, karena dia nyimpen semua barang-barang pemberian mantannya di kotak hitam yang malam itu aku temukan. Dan akhirnya cincin sialan itu malah aku yang makai.

Sial. Apa bener cincin ini kena kutukan?

“Mbak May .. cincin ini apa beneran kena kutukan?” aku bertanya pelan, berusaha tidak terdengar terlalu serius.

Maya tertawa. “Kutukan apa? Tentu aja nggak ada. Kamu ini ada-ada aja. Siapa yang bilang sih?”

“Kata Harris. Katanya Mas Hans ngasih cincin ini ke Mbak May trus tiga hari kemudian kalian menikah.”

“Oh soal itu,” Maya menerawang. “Iya juga sih. Waktu itu aku baru pertama kali ketemu Hans di bis. Trus tiba-tiba dia ngasih cincin itu dan minta nomer hapeku. Pertama aku pikir dia orang aneh. Tapi malamnya aku mimpi nikah sama dia. Terus aku jadi kepikiran dia terus. Akhirnya tiga hari kemudian kita menikah deh. Tapi itu murni karena Mbak cinta sama Hans. Love at the first sight kalo kata orang bule bilang,” lanjutnya sambil memeluk handbag-nya dengan wajah sumringah, asli berseri-seri kayak orang ketiban cinta. “Dia tu sabar, penyayang, baik. Pokoknya aku jatuh cintaaaaaaaaaaaa ..”

Gila. Aku terbengong-bengong memandangnya nggak percaya. Jadi beneran mereka nikah setelah cuman tiga hari ketemu? Apa itu gara-gara cincin ato murni love at the first sight? Aku coba ingat-ingat lagi, sehari setelah makai cincin ini aku emang mimpi nikah sama Harris. Gawat. Gejalanya sama kayak Maya.

Bener kata Harris. Kita nggak bisa ambil resiko. Nggak peduli kutukannya bener ato enggak. Cincin ini harus segera dilepas.

“Jangan bikin Harris sedih lagi ya. Dia sedih banget waktu kalian putus kemarin,” kata Maya kemudian, membuyarkan lamunanku.

“Tapi nggak apa-apa, sekarang kan kalian udah sama-sama lagi. Pokoknya berantem boleh tapi jangan kelewatan. Harris itu sebenernya baik. Cuman dia gengsi aja nunjukin kalo dia peduli.”

Aku mendengus. Harris baik? Baik diliat darimana?

“Mbak Maya nggak malu punya adik yang suka ama cowok?” tanyaku kemudian. Agak aneh aja, masa nggak ada reaksi negatif begitu tau adik ipar-nya nggak normal. Persoalan homo kan masih tabu di negara ini.

Maya mengibaskan tangannya. “Ih kamu tuh. Ngapain malu? Kalo Harris naksir jemuran orang ato sapi tetangga gitu baru Mbak malu. Tapi ini kan naksirnya ama kamu. Mbak seneng-seneng aja kok. Yang penting kan Harris-nya seneng. Kamu-nya juga seneng. Seneng semua kan? Kalo Mbak marah ntar Mas Hans juga marah. Harris ikutan marah. Semua marah deh.”

“Ah iya. Emang tukang marah tu Harris,” celetukku.

Maya ketawa cekikikan lagi. Rambutnya yang lurus panjang ikut goyang. Beruntung banget Harris punya keluarga yang ngedukung dia kayak gini. Tapi dari cerita Maya selanjutnya aku baru tau kalo ternyata orang tua Harris belum setuju dan masih marah. Mereka ngebiarin Harris keluar dari rumah gitu aja. Jadi selama ini Harris hidup pake biaya sendiri. Pantesan seneng banget dia waktu ditawarin sekamar ama aku, jadi lebih murah kan sewa kostnya.

“Mas Hans tentu aja kuatir. Tapi dia nggak mau bilang langsung. Dia kan gengsian juga orangnya sama kayak Harris,” lanjut Maya. “Jadinya Mbak deh yang coba bantuin Harris. Tapi Harris nggak mau nerima. Mbak gemes deh ama dia. Masa sama Mbak pake segen segala.”

“Oh ya nama kamu siapa tadi? Mbak lupa,” tanya Maya kebingungan.

“Kaka Mbak,” jawabku agak terkejut. “Panggil Kaka aja.”

“Kaka. Kayak pemain bola dong?”

Pintu terbuka lagi. Hans masuk dan tersenyum melihat Maya.

“Udah lama nunggunya?”

“Belum Pi. Eh mana Harris?” jawab Maya manja.

Hans merengut. “Dia nggak mau kesini lagi. Dia nunggu kamu dibawah Ka,” katanya melirikku penuh penyesalan.

“Enggak apa-apa kok. Saya bisa sendiri.”

Maya buru-buru berdiri. “Eh aku temenin.”

“Makasih ya Mas Hans,” kataku menyalami tangan Hans.

“Sama-sama. Jagain adikku ya.”

“Errrr .. Beres Mas.”

Sepanjang perjalanan melewati koridor rumah sakit, Maya terus menanyaiku soal hubunganku dengan Harris, yang tentu saja aku jawab seadanya, plus boong-boong dikit. Abisnya aku nggak enak mau ngecewain Maya. Orangnya keliatan seneng banget. Mau ngejelasin kalo aku enggak pacaran ama Harris juga susah. Bingung harus mulai dari mana.

Sampai di lobby Maya menarikku ke balik tembok.

“Mbak sampe sini aja deh, tuh Harris udah keliatan lagi duduk.”

Aku memicing-micingkan mataku dan akhirnya menemukan Harris sedang menunggu bosan di salah satu kursi lobby.

“Mbak nggak mau ngganggu. Kamu pergi sendiri aja yah,” Maya mengedipkan matanya dengan sangat gembira. “Ini Mbak tadi sempet beli di Gramed tolong kasihkan ke Harris. Bilang aja dari kamu,” Maya menyerahkan bungkusan plastik dengan logo Gramedia kepadaku.
Aku melirik isinya. “Diary?”

“Buku Harian,” koreksi Maya nggak sabar.

Apa bedanya buku harian ama diary?

“Ya udah sana cepet pergi,” Maya mendorongku penuh semangat.

Buset ni cewek. Dari luar aja kesannya kayak cewek lembut, tapi tenaganya gede juga. Aku tersenyum kepadanya dan langsung dibalasnya dengan acungan jempol.

Aku mulai berjalan menuju Harris. Mau nggak mau aku jadi kepikiran. Temen sekamarku itu ternyata punya masalah yang rumit. Yah .. kasian juga sih sebenernya. Rasa nggak suka dan kesalku ke Harris jadi mencair dikit. Mungkin mulai sekarang aku bisa sedikit ngalah ama dia. Gimanapun juga aku nggak mau nambahin bebannya. Paling nggak aku bisa jadi temen sekamar yang baik. Yang pengertian. Yang mendukung ..

“Lama amat sih? Ngapain aja?” teriakan Harris langsung membawaku jatuh kembali ke bumi. Tau-tau aja aku udah nyampe didepan Harris, dan dia memandangku jengkel.

Aku balas memandangnya terkejut.

“Ayo balik,” katanya lagi.

Aku mendengus. Kayaknya nggak mungkin deh orang macam dia gini dibaik-baikin. Aku langsung ngebatalin semua yang udah gw niatin tadi. Pokoknya kalo dia nyari masalah lagi pasti aku ladenin. Lo nendang, gw bales nendang. Lo mukul, gw bales mukul.

Aku melirik ke Maya yang masih sembunyi dibalik tembok dan menatap kami dengan cemas. Kasian juga. Dia pasti kuatir liat Harris marah-marah, pasti dikiranya ada masalah lagi. Aku buru-buru mendekati Harris, tersenyum dan meraih tangannya, menggandengnya mesra kayak orang lagi pacaran. Maya langsung senyum-senyum dan meloncat kesenengan.

Sampai di luar rumah sakit, Harris melotot marah.

“Apa?” kataku.

“Ngapain deket-deket gini?”

Aku langsung mendorongnya menjauh.

Harris tampak agak tersinggung lalu mendelik siap perang, tapi ponselnya keburu berbunyi nyaring. Nada standar ponsel Motorola yang ribut itu, kecil-kecil tapi berisiknya minta ampun. Kayaknya dia nggak mau repot-repot ngeganti ringtone-nya.

“Halo ..” Harris berseru kesal, lalu dia diam dan suaranya menjadi gelisah. “Katanya kamu cuma dua hari disana .. Harusnya hari ini kamu udah pulang .. Hah? .. Apa? .. Kenapa? .. Iya tapi kenapa nggak bisa? .. Kamu lagi sama Rion kan? .. Robin udah tau, dia mau ngejemput kamu .. Kamu bilang aja sekarang kamu ada dimana .. Kamu nggak usah kuatir soal Rion, Robin ama Caessar yang bakal ngurusin dia .. Iya Caessar juga bakal ikut .. Hah? .. Tapi .. Wooi Sam .. Sam ..” dia menatap ponselnya dengan jengkel, kayaknya Sam langsung mutusin percakapan mereka.

“Siapa?” tanyaku penasaran. “Sam? Bilang apa dia?”

“Sam bilang nggak usah jemput dia. Lagian mana bisa ngejemput kalo dia aja nggak mau ngasih tau dia ada dimana.”

“Dia beneran lagi ama Rion ya?”

“Iya. Tapi dia nggak mau bilang apa-apa lagi soal itu. Kayaknya dia beneran lagi kena masalah deh.”

Aku menghela napas. “Lapor ama Robin nggak nih?”

“Tentu aja lapor. Kita balik sekarang. Aku capek.”

Aku mendengus. “Gara-gara siapa coba? Siapa yang ngotot ke rumah sakit?”

Mata Harris menyipit berbahaya.

“Nih buat lo, dari Mbak Maya,” aku menyerahkan titipan Maya ke Harris, nggak mau repot-repot bohong, bilang kalo itu dari aku seperti saran Maya.

“Diary?” Harris menjengit jijik.

“Buku Harian,” kataku.

“Apa bedanya buku harian ama diary?” balas Harris cuek.

Aku mengernyit. Merasa familiar dengan reaksi Harris.
Rionaldi


Aku baru menemukan Sam setelah hari sudah lewat siang, entah kemana saja dia seharian tadi. Dan dia kayaknya sedang menelpon seseorang. Aku memutuskan untuk mendengarkannya.

“Ris? Ini Sam .. Sori baru bisa nelpon lagi sekarang .. Iya aku emang bilang aku cuma dua hari disini tapi aku nggak bisa balik sekarang .. Ada sesuatu Ris .. Aku nggak bisa balik sekarang .. Darimana kamu tau aku lagi sama Rion? .. Robin juga tau? .. Mau jemput aku? .. Enggak, bilang ke Robin nggak usah. Kalo semua udah selesai disini aku pasti pulang sendiri .. Caessar juga ikut? .. Damn .. Bilang nggak usah .. OK .. Kalo kalian mau bantu aku cukup diam aja dan tunggu aku balik ..”

Aku mengawasi Sam mengantongi ponselnya lalu bersandar di dinding. Dia menutup matanya dengan kedua tangannya dan menghela napas panjang. Terlihat sangat letih dan banyak pikiran.

Robin? Caessar? Jadi dua orang itu juga ikut terlibat.

Aku kenal mereka. Caessar .. Ketua UKM di kampus. Pemimpin anak-anak Wisma Indah Empat. Tapi kenapa dia cari masalah sama aku? .. Dan Robin .. aku kenal dia juga, kita sering sekelas bareng. Anaknya asik, friendly, rame, selalu bantuin aku soal urusan asrama. Tapi kenapa dia juga cari masalah gini?

Mereka berdua bisa diurus nanti. Sekarang yang kecil ini harus dibereskan dulu.

Aku berjalan mendekati Sam.

Aku akan minta penjelasan dari dia. Biar dia yang jelasin semuanya. Aku paksa bila perlu, mungkin sedikit kekerasan nggak masalah. Sedikit pukulan. Oke, sedikit kayaknya kurang adil. Dia udah bikin badanku remuk kayak gini. I’ll beat him to death.

Sam menyadari kehadiranku. Dia menatapku.

Aku menyeringai.

Sam terlihat takut. Yeah kamu emang harus takut.

Tapi kalo takut harusnya kan menghindar, tapi Sam malah berjalan cepat kearahku dan meraih tanganku lalu merangkulkannya di bahunya. Hah?

“Kamu belum sembuh Rion. Jangan jalan-jalan sendirian,” dia berkata cemas dan membantuku kembali ke kamar, kelihatan takut aku akan jatuh kalo jalan sendiri. “Kalo mau sesuatu bilang aja. Aku ambilkan. Kamu mau apa? Laper? Mau makan?”

Aku berdecak kesal. Apa dia kira aku nggak bisa jalan sendiri? Aku sudah merasa cukup sehat. Tapi akhirnya aku biarkan Sam membantuku. Dia menatapku lagi. Menungguku menjawab. Oke mungkin marah-marahnya bisa ditunda nanti setelah makan. Soalnya aku emang ngerasa laper. Malah bagusnya kan makan dulu, biar dapet tenaga jadi bisa lebih mantep marahnya. Bisa lebih kuat mukul Sam-nya.

“Aku mau makan.”

Sam mengantarku ke kamar tapi aku langsung menolak. “Aku nggak mau makan di kamar. Bosan.”

Sam agak terkejut, tapi dia mengangguk dan membawaku ke halaman belakang. Aku duduk di dipan bambu yang ada disana. Sementara Sam pergi ke dapur, aku memerhatikan sekelilingku. Kayak hutan. Banyak tanaman. Ada kolam ikan juga, ikan-nya pada berisik kecipak-kecipak di air. Aku menghirup napas. Udaranya sejuk. Dingin. Rasanya segar. Damai.

Enggak lama kemudian Sam muncul membawa sepiring makanan dan segelas air. Dia duduk disebelahku dan tanpa basa basi lagi langsung mengulurkan sesendok nasi kearahku. Aku menatapnya heran. Mau apa sih? Tapi otomatis aku membuka mulutku dan Sam pun menyuapiku. Aku memperhatikannya. Dia kelihatan telaten sekali ngurusin aku. Saat itu entah kenapa aku memutuskan untuk menunda marahku sampai besok.

Malamnya Sam membereskan selimutnya yang ada di kamarku.

“Mulai malem ini aku tidur ama Kak Samuel,” dia memberitahuku.

Aku mendengus.

Siapa yang peduli? Mau kamu tidur sama kebo juga aku nggak ambil pusing.

Tapi kenyataannya malam itu aku tidak bisa tidur.

Aku selalu menoleh ke sampingku. Kayak ada sesuatu yang kurang. Setelah sendirian seperti ini perlahan kesadaran merasuk ke pikiranku. Aku mulai menata puzzle yang tersebar di hadapanku. Kemarin malam aku mencium Sam. Aku menggosok bibirku dengan tangan, mencoba menghilangkan bekas-bekas Sam dari sana. Disgusting. Kenapa aku bisa sebego itu mikir kalo dia pacarku.

Gara-gara foto ciuman itu. Tapi kenapa dia nyium aku? Kenapa nyium aku waktu aku sedang tidur? Dan kenapa difoto?

Sam .. cowok itu .. terlalu banyak misteri tentang dia. Aku ngerasa ingin narik dia ke kamarku dan maksa dia ngakuin semua perbuatannya. Yeah. Besok. Besok pagi akan aku paksa dia untuk ngaku.

Besok paginya Sam nggak keliatan.

Aku menunggu dengan gugup di kamar. Sesekali merapikan rambutku dan memastikan wajahku sudah terlihat keren di cermin. Tapi Sam nggak datang juga. Baru setelah agak siangan Sam masuk ke kamarku membawa setumpuk pakaian bersih. Aku sudah siap mau ngebentak dia tapi Sam tersenyum .. dan aku langsung melempem. Semua kata-kata kasarku hilang nggak tau kemana.

“Udah bangun?”

Aku menatapnya diam. Jelas udah bangun lah. Kemana aja kamu kenapa baru sekarang muncul?

“Tadi pagi aku nyuci baju. Baru pertama kali ini deh nyuci pake tangan. Kalo nggak bersih maaf ya,” dia tertawa pelan. “Nggak enak kalo baju kita berdua juga dicuciin ama Bu Wahyu. Masa udah numpang tidur disini juga numpang nyuci. Emangnya hotel,” Sam mengulurkan kemeja kearahku. “Eh Rion. Kamu pakai ini deh. Itu dari Kak Samuel. Dipinjemin.”

Kak Samuel? Lalu sesuatu mengganggu pikiranku.

“Gimana semalem tidurnya?” tanyaku.

“Biasa aja,” jawab Sam tapi wajahnya berseri-seri. “Kak Sam baik deh.”

“Kenapa kamu manggil dia Kak Sam? Dan manggil aku Rion aja? Aku juga kan lebih tua dari kamu. Harusnya kamu manggil aku Kak Rion,” kataku dingin.

Sam menatapku kaget.

“Kamu anak baru kan di kampus?” aku terus berbicara. “Aku udah tingkat dua. Aku seniormu. Jadi kamu harus panggil aku Kak ato Mas.”

“Kamu udah inget?” tanya Sam.

Hah?

Sam tampak sangat senang dan penasaran, dia melompat kearahku. Mendekatkan wajahnya, seakan ingin melihatku dengan lebih jelas. Bibirnya terlihat sangat dekat .. aku merasakan dorongan aneh untuk menciumnya.

Damn. Damn. Damn.

Aku menelan ludah. Tiba-tiba ngerasa deg-degan.

“Yeah. Dikit.”

Sam terlihat kecewa. Lalu dia dengan cepat mengendalikan dirinya.

“Kak Sam udah baik sama kita. Dia minjemin bajunya buat kita pakai. Dia ngerawat kamu. Jadi ya wajar lah kalo aku panggil dia Kakak. Buat respek aja,” kata Sam seakan menjawab pertanyaanku tadi.

“Emangnya kamu pengen dipanggil Kak juga?” Sam menanyaiku. Aku langsung gelagapan.

“Yeah. Aku pikir akan lebih akrab aja kalo aku manggil namamu langsung. Lebih deket gitu kesannya. Tapi kalo kamu pengen dipanggil Kak juga ya nggak masalah,” lanjut Sam lagi.

“Nggak usah,” kataku cepat, menundukkan wajahku, nggak bisa menatap Sam langsung dimatanya. “Panggil Rion saja.”

“Oke,” Sam bangkit dan berjalan kearah pintu.

“Mau kemana?” tanpa alasan yang jelas aku ngerasa nggak mau ditinggal Sam.

“Ke belakang. Ngebantuin Bu Wahyu.”

“Aku ikut.”

Sam mengernyit. “Kamu masih sakit. Tidur aja disini.”

“Aku bosan.”

“Tapi ..”

“Aku bisa bantu.”

“Nggak. Nggak boleh. Kamu pasti kecapekan.”

Lebih baik kecapekan daripada mati kebosanan di kamar ini. Aku langsung berdiri dan berjalan menuju halaman belakang. Sam menyusul dibelakangku. Tampak sangat tidak puas dan terus memaksaku untuk kembali ke kamar.

Bu Wahyu sedang memanen singkong dan jagung yang dia tanam di halaman belakang yang luasnya kayak lapangan bola. Hmmm .. baru pertama kali ini aku nyoba hal seperti ini. Tapi belum juga aku mulai membantu, Sam mati-matian melarangku. Dia meminta Bu Wahyu memberi tugas lain untukku. Dan akhirnya aku kedapetan tugas menyirami tanaman disekitar kolam. Kayaknya ini cuman akal-akalannya si Sam aja. Pasti Sam yang minta Bu Wahyu untuk ngasih tugas yang ringan.

Aku memegang selang air dan menyirami tanaman cabe, tomat, serai di sekitar kolam. Apa yang beginian perlu disirami juga? Dibiarin juga pasti bakal tumbuh sendiri. Aku mendengus kesal lalu melirik Sam yang sedang mengangkat sekarung jagung di pundaknya. Dia berkeringat, kelihatan lelah tapi senang. Aku terus mengawasinya.

“Gimana Rion? Nggak capek kan?” sangat menyebalkan sekali, tiap sepuluh menit Sam selalu menanyakan itu. Melihatku seakan-akan aku akan pingsan setiap saat. Gimana bisa capek? Aku kan cuman duduk manis gini sambil siram-siram. Mana teduh lagi, nggak kepanasan gara-gara ada pohon mangga gede disekitar kolam.

Aku mendengus. Pura-pura nggak mendengarnya.

“Rion. Jawab. Jangan kayak anak kecil gitu.”

Aku menatapnya nggak percaya. Aku kayak anak kecil? Then stop treating me like one.

Sam mendekatiku, napasnya tersengal-sengal. Dia mengipasi dirinya dengan topi caping yang dipinjamkan Bu Wahyu. “Wooi Rion,” dia mencolek pipiku, sengaja memiringkan wajahnya agar mata kami bertemu.

“Nggak capek kan?” tanyanya lagi.

“Pergi sana,” balasku cuek. “Ini lebih parah dari tidur seharian di kamar.”

“Kalo gitu kamu ke kamar aja ya?”

Aku menggeleng. Tiba-tiba sadar kenapa aku nggak mau kembali ke kamar. Karena aku ingin terus bersama Sam. Ingin terus ngeliat Sam.

Damn. What’s wrong with my feelings?

Sam menepuk pipiku pelan. “Rion. Jangan ngeyel gitu dong. Balik ke kamar aja ya?” katanya dengan suara membujuk, kayak lagi ngomong ama anak TK.

Aku menepis tangan Sam dan menatapnya galak. Aku melirik selang air ditanganku, Sam ikut meliriknya. Lalu mata kami bertemu. Aku tersenyum jahil.

“Jangan,” perintah Sam tegas.

Tanpa basa-basi lagi aku langsung mengarahkan selang itu ke Sam dan menyemprotkan airnya. Sam berteriak kesal menyuruhku berhenti sementara dia basah kuyup kayak abis kebanjiran. Aku tertawa senang. Rasain kamu Sam. Lalu dia berusaha merebut selang dan kami pun terlibat perkelahian kecil. Airnya jadi menyemprotku juga.

Akhirnya Sam berlari ke keran dan mematikan airnya.

Dia menatapku dengan tatapan membunuh. Aku cuman cengengesan.

“Kamu ngapain sih? Lihat tuh kamu jadi basah gitu,” bentaknya menunjuk pakaianku. “Kamu masih sakit. Kalo kena flu gimana?”

Tapi kan kamu juga basah Sam. Malah kamu lebih basah daripada aku. Celana dan bajumu basah semua. Kenapa kamu malah nguatirin aku?

“Kamu harus cepet sembuh, bukannya tambah sakit lagi,” bentak Sam lagi.

Aku berhenti tertawa dan diam aja waktu Sam mendorongku kembali ke kamar. Dia terus memandangku marah sepanjang perjalanan.

Sampai di depan kamar, Sam menyuruhku masuk. “Buka bajumu. Aku mau ambil baju ganti ama handuk,” katanya sebelum menghilang.

Aku mengangguk dan membuka bajuku. Celanaku cuman basah sedikit jadi kayaknya nggak perlu diganti. Lima menit kemudian Sam masuk lagi kekamar, dia sudah mengganti baju dan celananya, tapi rambutnya terlihat masih basah.

Sam buru-buru mengeringkan badanku dengan handuk yang dia bawa.

“Duduk,” perintah Sam, dan aku nurut, aku langsung duduk di sisi tempat tidur.

Sam menaruh handuk dikepalaku dan mulai mengeringkan rambutku.

“Apa kamu capek?” tanya Sam, melihatku tajam.

Aku mengangguk. Kayaknya aku emang belum sembuh total. Badanku udah mulai kerasa remuk lagi. Capek.

Suara Sam menjadi galak lagi. “Harusnya kamu tidur aja disini. Nggak usah ikutan keluar.”

Aku mengangguk lagi.

Sam duduk disampingku dan membantuku memakai kaos merah. Kemudian sekali lagi dia menggosok rambutku dengan handuk untuk memastikannya sudah kering. “Kalo masih basah kamu bisa kena flu,” katanya kesal.

Aku nggak keberatan dimarahin Sam asal dia bisa disampingku seperti ini.

Sam berhenti menggosok rambutku ketika aku menyender di bahunya. Entah kenapa aku cuman ingin selalu didekatnya. Sam memberiku perasaan yang ganjil. Perasaan yang bertentangan. Contradiction. Aku membencinya tapi aku nggak bisa mendapati diriku untuk benar-benar benci, walaupun aku memaksakan diriku tapi tetap saja perasan lain yang muncul. Apa ini efek samping amnesia? Jadi ketukar antara emosi benci dan sayang? Ridiculous.

“Kenapa Rion? Ada yang sakit?” tanya Sam cemas.

Aku mengangguk.

“Kamu tidur aja,” Sam mencoba merebahkan badanku di kasur, tapi aku melawan. Aku berbaring disisinya dan menidurkan kepalaku di pangkuan Sam. Dia terlihat kaget tapi membiarkanku melakukannya.

“Sam, kenapa aku capek sekali? Tapi aku ngerasa nyaman, tenang,” kataku agak ngantuk.

Sam memandangku kasian. “Mungkin kamu capek ngurusin anak-anak Wisma Indah Lima. Mungkin kamu juga capek sama urusan kampus, kamu kan Presiden Mahasiswa. Sibuk terus.”

Capek ama anak-anak asrama? Haha .. mungkin benar juga, mereka selalu ribut, protes soal hal-hal kecil, berantem buat mutusin siapa yang mbayar listrik ato bersih-bersih asrama .. Mungkin karna capek ama mereka semua, malam itu aku mutusin untuk tidur di mobil. Biar aku bebas dari anak-anak.

Yeah, aku memang jadi bebas dari mereka, tapi aku malah terjebak ama Sam.

Aku melamun terus sampai aku sadar kalau harusnya aku masih hilang ingatan. “Oh .. Ummm .. Aku Presiden Mahasiswa? Apa itu Wisma Indah Lima?”

Sam tertawa suram. “Ah iya kamu nggak ingat mereka. Itu asramamu. Kamu ketuanya. Kamu juga Presiden Mahasiswa di kampus. Kamu tuh orang hebat lho.”

Sudah sering aku mendengar orang mengatakan kalo aku hebat, tapi mendengarnya keluar dari mulut Sam benar-benar membuatku senang. Untuk alasan yang tidak bisa dijelaskan aku merasa bangga bisa membuat Sam berpikir aku hebat. Aku merasa punya satu nilai plus dimatanya.

“Semua anak kampus segan ama kamu. Yah .. tapi kamunya agak sombong jadinya aku rada nggak respek. Coba kalo kamu ramah kayak Kak Sam ..”

Kak Sam? Samuel? Aku langsung ngerasa jengkel. Kenapa bawa-bawa dia sih?

Aku merebut handuk ditangan Sam dan menaruhnya di kepalanya. Sam menatapku bingung. Lalu aku mulai menggosokkan handuk itu ke rambutnya yang basah. Sam meringgis kegelian, berusaha menghindar.

“Apaan sih?” protesnya.

“Rambutmu masih basah. Dikeringin juga.”

Sam tersenyum masam, dia mulai mengeringkan rambutnya sendiri. Handuk itu cukup panjang, jadi aku bisa menggunakan ujungnya untuk mengeringkan rambutku juga. Aku terus memandangnya. Entah sudah berapa kali aku berusaha memalingkan wajahku tapi aku nggak bisa. Aku hanya ingin terus memandangnya.

Kemudian ekspresi Sam berubah muram. “Sori ya Rion. Aku udah nyuri semuanya dari kamu. Gara-gara aku, kamu jadi nggak inget apa-apa kayak gini.”

Aku menatapnya kosong. Seketika aku nggak ingin melihat cowok ini sedih.

Aku memegang ujung handuk yang lain dan menariknya pelan. Karena handuk itu melingkar di kepala Sam, dia jadi tertarik kearahku. Wajahnya semakin dekat. Dia memandangku kaget. Aku terus menarik handuk itu sampai wajah kami sangat dekat. Aku dapat merasakan hembusan napasnya. Kami hanya saling membisu. Lama.

Ada debaran aneh di hatiku.

Aku menarik handuk itu lagi dan bibir kami bersentuhan.

We kissed.

Again.

to be continued... 


0 comments:

Post a Comment