DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Ninja Next Door - Chapter 6

06
The Return of The King

Gambar 
by Coatwest

Rionaldi


Aku pasti nolong kamu, aku enggak akan ninggalin kamu.

Suara itu adalah hal terakhir yang aku ingat. Ketika mendengarnya aku merasa aman, seakan semua bebanku hilang dan aku yakin semua akan baik-baik saja.

Aku membuka mataku, terbangun dengan kepala pusing dan badan kaku. Hal pertama yang aku sadari adalah aku tidak mengenali dimana aku sekarang, semua terasa asing. Disampingku ada seorang cowok yang tertidur di kursi, ia terlihat sangat letih, sinar dari jendela menyinari wajahnya yang agak pucat. Aku melirik ke luar jendela. Langit di luar terang. Sudah pagikah? Jam berapa ini? Aku mengerang, memejamkan mata sejenak. Rasanya masih capek sekali. Badanku menolak untuk bergerak. Pelipisku berdenyut-denyut.

Aku memaksakan diri untuk duduk. Lalu tanpa sadar aku kembali mengamati cowok disebelahku. Kenapa dia tidur disamping tempat tidurku? Apa dia sedang menungguiku? Apa dia kenal aku?

Cowok itu membuka matanya lalu tersentak melihatku.

“Oh udah bangun ya. Gimana? Masih ada yang sakit?” katanya cemas.

Suaranya. Aku ingat suara itu. Aku ingat.

Akhhh .. tiba-tiba kepalaku sakit ..

“Jangan, kepalamu masih sakit, baru saja diperban,” cowok itu menahan tanganku.

Aku menatapnya lagi. Siapa orang ini? Kenapa dia begitu peduli ..

“Kenapa? Ada yang sakit?”

Aneh sekali. Otakku tidak mengenalnya. Aku yakin tidak mengenal cowok itu. Tapi kenapa hatiku berkata sebaliknya? Kenapa hatiku seakan berkata bahwa aku menginginkan cowok itu? I want him for some reasons ..

“Rion?”

Aku terkesiap. I want him? how ridiculous.

“Di mana aku?” aku memaksakan diri untuk melihat sekelilingku tapi entah kenapa aku hanya ingin melihatnya lagi. Dia bilang apa tadi? Rion? Siapa Rion?

Aku menatapnya bingung, “Siapa kamu? Siapa Rion?”

Wajahnya langsung berubah, dia berlari keluar dan memanggil seseorang. Beberapa saat kemudian dia masuk lagi bersama seorang cowok. Sepertinya cowok itu dokter karena dia langsung memeriksa keadaanku. Menanyaiku macam-macam hal. Memberitahuku berbagai macam hal juga. Katanya aku mengalami kecelakaan dan kepalaku terkena benturan hebat.

“Hmmmmmm, Sam kelihatannya temanmu hilang ingatan,” dokter itu memberitahu.

“A .. Apa Kak? Kenapa?”

“Amnesia paling banyak diakibatkan benturan atau guncangan terhadap otak. Amnesia bersifat sementara dan selektif. Enggak banyak yang bisa aku lakukan sekarang. Kita cuman bisa menunggu. Pelan-pelan ingatannya pasti kembali.”

Dokter menyuruhku agar banyak istirahat lalu mengajak cowok yang tadi menungguiku untuk keluar, namun aku bisa mendengar ia berkata pelan, “Temanmu baik-baik saja. Kamu juga harus istirahat Sam.”

“Iya Kak.”

Cowok tadi masuk kamar lagi. Aku menyadari kalau bibirnya terluka, pipinya lebam, sepertinya dia dipukul oleh seseorang. Siapa yang begitu tega memukul orang sebaik dia? Menurut cerita Dokter, dia yang telah menolongku dari kecelakaan.

Ia menatapku gugup. Ia mendekat dan duduk di kursi di sebelah tempat tidurku. Sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu tapi ragu. Ragu dan takut. Tapi kenapa dia takut padaku?

“Siapa kamu?” kataku memecah keheningan.

Dia tampak terkejut. “Oh .. Ummm .. Aku Sam ..”

Sam .. aku tidak ingat apapun tentang nama Sam ..

“Dan aku Rion?” tanyaku lagi.

Sam mengangguk.

Aku merasa bodoh. Bahkan namaku sendiri terasa asing. “Nama macam apa itu?”

“Itu nama yang bagus,” kata Sam tiba-tiba. “Artinya ‘King’ .. Raja.”

Aku tersenyum masam.

“Ummmm, kamu bener-bener nggak ingat apapun?” Sam bertanya penuh selidik.

Aku menggeleng.

Sam menghela nafas dan menutup wajahnya dengan tangan.

“Damn,” makinya kesal.

“Kenapa?”

Sam memandangku penuh penyesalan sebelum menjawab, “Enggak ada apa-apa, kamu tidur saja, kamu kan masih sakit, belum sembuh bener. Aku jagain kamu disini. Kalo kamu perlu apa-apa bilang aja ya.”

Perasaan itu datang lagi. Aku merasa aman.

Aku bisa mempercayai cowok ini. Sam pasti akan menjagaku.

Hmmmmmmmm .. Sam .. Jadi namanya Sam? Aku suka namanya.

Dan Sam benar-benar memegang perkataannya. Dia menjagaku. Dia selalu berada disampingku. Dia menyuapiku untuk makan walaupun aku yakin aku masih bisa makan sendiri. Dia juga yang membantu membersihkan tubuhku. Aku tidak merasa risih ketika dia membuka bajuku dan mengusap badanku dengan handuk basah. Anehnya aku malah merasa senang.

Aku ingin sekali mengajak Sam ngobrol tapi entahlah aku merasa ada yang ganjil. Setiap kali melihat Sam, aku merasakan sesuatu yang tidak bisa dijelaskan. Perasaan yang membuatku bingung, perasaan yang mendorongku melakukan sesuatu yang bahkan tidak kupahami sendiri. Aku ingin dia tunduk padaku. I want him ..

But why?

Lagi-lagi aku melirik Sam.

“Ada apa? Haus? Mau minum?” tanya Sam cepat.

Aku menggeleng. Bahkan Sam sampai rela tidur di sofa disamping tempat tidurku untuk menjagaku. Sebenarnya siapa sih Sam?

“Sam, apa kita itu teman?” tanyaku pelan.

Sam mengernyit, tampak kesulitan menemukan kata yang tepat, “Yah bisa dibilang begitu.”

“Teman lama?”

“Enggak juga.”

“Hubungan kita .. baik? Kita berteman dekat?”

Sam tidak langsung menjawab. Setelah ragu-ragu sesaat, dia mengangguk lagi. “Ya.”

Memang tidak salah. Aku sudah menduga hubunganku dengan Sam cukup baik, karena aku selalu merasa nyaman berada di dekatnya. Tapi aku tidak mengingatnya.

Aku menghela napas panjang.

“Aku tidak ingat. Sori.” Kataku kemudian.

Sam memandangku penuh simpati. Dia nampak sangat frustasi. Tapi kenapa?

Setelah istirahat yang lelap semalaman, esok harinya badanku menjadi agak baikan. Paling tidak badanku sudah tidak kaku lagi. Sam masih tidur. Raut wajahnya terlihat kusam, lelah, dan pucat. Tapi semua itu tidak bisa menghapus ketampanan yang ada di sana. Aku tersenyum. Entah kenapa hanya dengan melihatnya saja cukup untuk membuatku tersenyum.

Aku memutuskan untuk membasuh muka di kamar mandi. Bayangan wajahku di cermin tampak sangat asing. Sial, masa sama wajahku sendiri saja aku tidak ingat. Aku menghela napas pelan dan memejamkan mata. Kepalaku selalu bertambah sakit setiap kali mencoba mengingat-ingat. Aku membuka mata dan kembali menatap bayanganku yang pucat di cermin. Bagaimana kalau aku mencoba memukul kepalaku sendiri? Mungkin ingatanku bisa kembali. Atau aku bisa mencoba membenturkan kepala ke dinding ..

Aku ingin ingatanku cepat kembali. Terutama aku ingin ingat lagi semua tentang Sam. Aku merasa ada sesuatu yang sangat penting tentang dia yang harus aku ingat.

“Rion?” Sam masuk ke kamar mandi dan langsung menghela nafas lega. “Kenapa nggak bangunin aku? Tadi aku kira kamu ilang kemana. Kalo kamu jatuh gimana?”

Aku tersenyum. “Kamar mandinya kan deket Sam.”

Sam tidak membalas senyumanku, ia malah tampak terpukul, seperti ia merasa tidak pantas mendapatkan senyuman dariku. “Kamu sudah ingat sesuatu?” tanya Sam kemudian dengan nada penuh harap.

Aku menggeleng. Dan raut wajah Sam seketika berubah. Melihatnya tiba-tiba aku merasa bersalah. Aneh sekali .. Aku mendapati diriku tidak ingin membuat cowok itu kecewa.

“Ah aku ingat sedikit,” kataku pelan, Sam menatapku tegang. “Ummmm aku ingat sedang ada di mobil lalu ada kilatan cahaya dan tiba-tiba terjadi kecelakaan, aku ingat kepalaku terbentur lalu semua langsung gelap.” Aku mengarang-ngarang cerita sebisaku. “Aku ingat itu.”

Sam memaksakan tersenyum kecil tapi aku tahu dia kecewa.

“Oh iya tentang mobilmu,” Sam memberitahuku ketika dia membantuku naik ke tempat tidur. “Hari ini aku mau ke lokasi kecelakaan untuk ngambil mobilmu itu. Kemarin sudah minta bantuan sama warga juga. Mungkin seharian nanti aku sibuk disana. Kamu enggak apa-apa kan aku tinggal disini?”

Eh? Jadi Sam mau ninggalin aku. Jangan Sam. Aku enggak peduli sama mobil itu, aku bahkan enggak ingat kalau aku punya mobil. Aku cuma mau kamu ada disini.

“Oke, kalo kamu butuh apa-apa panggil Bu Wahyu ya, dia ada dirumah kok,” kata Sam lagi. Aku cuma bisa mengangguk.

Dan siangnya aku menyesali ketidak-beranianku mencegah Sam pergi. Kamar terasa kosong. Sesekali Bu Wahyu mengecek keadaanku. Dia seorang wanita berumur pertengahan yang ramah, tapi dia tidak sama dengan Sam. Aku lebih merasa nyaman dengan Sam.

Aku menoleh ke sofa tempat Sam biasa tidur dan membayangkan Sam sedang tidur disana. Aku tersenyum. Lalu aku melirik meja kecil disamping sofa. Ada ponsel.

Aku bangkit dan duduk di sofa, aku raih ponsel itu. Sepertinya punya Sam. Aneh .. aku hilang ingatan tapi masih ingat bagaimana cara mengunakan ponsel. Aku mengecek contact list-nya mencari namaku .. Rion. Aku pasti juga punya ponsel kan?

Tapi tidak ada. Kenapa Sam tidak menyimpan nomerku? Atau dia menyimpannya dengan nama lain? Aku membuka gallery photo-nya. Banyak foto Sam. Lucu-lucu. Ada foto cewek juga, siapa dia? .. Aku terus melihat gallery-nya sampai satu foto membuatku kaget.

Dalam foto itu Sam sedang menciumku.

Aku tertegun. Sam menciumku? Dan aku kelihatannya tidak keberatan. Malah di foto itu aku memejamkan mata.

Tiba tiba ada suatu pemahaman yang mengalir di dalam diriku. Sebuah pemahaman yang hangat dan menyenangkan. Aku sadar kalau aku dan Sam bukan sekadar teman. Kita sepasang kekasih. Itu sebabnya Sam sangat peduli padaku, itu sebabnya Sam sedih ketika aku tidak mengingatnya. Dan perasaan ingin memiliki Sam yang aku rasakan sejak kemarin pasti karena aku menyayanginya.

Ternyata Sam milikku. Aku dan Sam pacaran.

Aku sama sekali tidak merasa aneh mengetahui aku pacaran dengan sesama cowok. Karena aku tahu sebelum ini aku sudah pacaran dengannya. Aku cuma tidak ingat. Pasti aku sudah melewati tahap denial dan menerima orientasi seksualku.

Tanpa sadar aku tersenyum lebar. Kenapa hari ini dunia rasanya jadi lebih indah?

Sam kembali ketika hari sudah hampir malam, ia terlihat kelelahan. Hal pertama yang ia lakukan begitu sampai tentu saja mengecek keadaanku. Pacarnya tersayang. Ah kok aku jadi malu begini ya ..

“Errr .. kamu enggak kenapa-napa kan?” tanya Sam heran.

“Enggak kok. Emang kenapa?” aku tersipu.

“Oh enggak.”

Sejak Sam kembali aku jadi sering melirik dan tersenyum padanya. Kadang Sam balas tersenyum walau masih agak kikuk. Dia jadi tambah tampan saja.

“Eh Sam, malam ini kamu tidur di kasur saja sama aku,” aku mengusulkan ketika sudah waktunya kami tidur.

Sam menatapku tidak percaya.

“Kayaknya aku tidur di sofa aja deh.”

Aku menarik tangannya ke tempat tidur. “Enggak, disini saja. Kasurnya kan lebar, cukup buat berdua. Lagian kita kan bukan orang lain. Jadi nggak apa-apa kalo tidurnya bareng.” Aku melirik Sam penuh arti.

Sam menatapku dengan mulut agak terbuka. Mungkin dia sedikit shock.

“Rion. Kamu beneran enggak kenapa-napa kan? Sejak aku balik tadi kamu jadi agak .. aneh.”

Aku menggeleng. “I’m fine. Udah malem nih. Kamu juga pasti capek kan tadi seharian ngurusin mobil. Tidur aja yuk.” Aku memegang pundaknya dan memaksanya untuk berbaring.

Sam menurut dan berbaring dengan tegang disampingku. Kenapa dia tidak bisa rileks sih? Aku mendekatinya. Wajahnya tampak kaget. Sebelum dia bisa menghindar aku menciumnya.

“Good night. Sweet dream.” Gumamku lembut sambil tersenyum manis.

Sam seolah langsung membatu karena ciumanku, wajahnya merah. Haha .. ternyata dia tipe pemalu. Aku mengelus rambutnya sebelum berbaring dan menutup mata. Besok aku akan bilang kalau aku sudah tahu tentang hubungan kami, jadi dia tidak perlu kuatir lagi.

Dan ketika aku terbangun keesokan harinya, matahari sudah bersinar cerah walaupun rasa dingin di luar sana tetap menusuk tulang. Tidak ada siapa-siapa di kamar. Aku mendesah kecewa, apa Sam sudah bangun duluan? Kenapa aku tidak dibangunkan? Aku harus mencarinya.

Ketika aku sedang berusaha bangkit dari ranjang, pintu kamar terbuka. Aku mengangkat wajah, berharap melihat Sam, tetapi ternyata bukan.

“Bu Wahyu?”

Bu Wahyu tersenyum hangat lalu masuk kamar dan meletakkan beberapa barang di meja kecil.

“Ini ada barang yang kemarin ditemukan di mobilmu. Sam kelupaan. Coba kamu liat-liat dulu, sapa tau kamu bisa cepet ingat,” katanya ramah.

Aku terlonjak senang. Barang-barangku?

“Ibu tinggal dulu ya?”

“Makasih Bu.”

Aku melompat ke sofa dan meraih barang yang dibawa Bu Wahyu. Ada dompet. Aku membukanya. Uangnya masih ada empat ratus ribu, ada KTP, hmmmm atas nama Rion, jadi namaku beneran Rion. Ada rokok dan pemantik api. Apa aku ngerokok? Lalu ada ponsel, tapi mati. Aku menghidupkannya.

Begitu hidup langsung ada serangan sms masuk. Wow pasti aku orang yang sangat penting sampai ada sms sebanyak ini. Belum sempat aku membuka sms-sms itu ponsel berbunyi. Ada panggilan masuk. Aku melirik caller ID-nya. Yoga.

Siapa Yoga?

“Halo?” jawabku ragu-ragu.

“AKHIRNYA DIJAWAB JUGA TELPONNYA .. KENAPA HAPEMU DIMATIIN HAH? KAMU KEMANA AJA YOOOO ????? AKU BUTUH KAMU SEKARANG JUGA. ANAK-ANAK BIKIN AKU STRESS.”

Anak? Apa aku sudah punya anak?

“Ini Yoga?”

“IYA .. EMANG KAMU KIRA SIAPA?”

“Anak-anak siapa maksud kamu?”

“ANAK-ANAK ASRAMA LAHH ..” terdengar suara napas ngos-ngosan kecapekan, lalu Yoga bicara lagi dengan suara yang lebih pelan, “Kemaren .. dua hari yang lalu .. asrama kita kemasukan ninja lagi ..”

Ninja?

Ninja? .. Akkhhh .. tiba-tiba kepalaku terasa nyeri. Sakit. Rasa sakit yang tajam menyengat kepalaku. Kepalaku seperti hendak terbelah dua. Seperti ada paku yang menusuk-nusuk dari dalam. Dan bersamaan dengan itu semuanya datang kembali padaku. Semuanya kembali. Semua ingatanku. Tentang mobil. Kecelakaan. Bagaimana aku memukul Sam. Bagaimana Sam mencuri mobilku. Dan sama seperti datangnya yang tiba-tiba, rasa sakit itu pun lenyap. Semuanya baik-baik saja. Aku merasa menjadi diriku lagi.

Aku duduk tegak di sofa, merapikan rambutku yang agak berantakan. Yoga masih terus ngomel, aku mendengarkan dengan bosan.

“.. dan aku dapet kabar kalo Mbak Nyit-Nyit mau inspeksi dadakan ke kost hari ini. Kamu harus pulang sekarang. Kamu kan ketua asramanya. Kalau kamu nggak ada, mau bilang apa aku sama dia. Kamu kan tau dia suka rese sama kita anak-anak kost.”

“Yoga. Lo mau gak jadi ketua?” tanyaku setelah Yoga akhirnya berhenti bicara.

“Heh? Tentu aja mau.”

“Well, kalo gitu sekarang lo ketuanya.”

“Hah? Nggak bisa gitu dong. Kamu gak tanggung jawab banget sih?”

Aku menghela napas. “Justru karna gw bertanggung jawab makanya gw nggak bisa pulang sekarang.”

“Maksudnya? Kamu sebenernya lagi ngapain sih? Kamu dimana?” Yoga menuntut.

“Lagi liburan aja. Lagi pengen nangkep kucing.”

“Kucing?”

“Yup. Kucing garong. Nakal banget. Suka nyuri.”

“HAH?” Yoga teriak heran.

“Pokoknya gw mau semua hal yang ada kaitannya ama asrama sudah beres waktu gw balik. Ngerti?”

“Aduh Rion. Aku gak suka kalo kamu udah mulai kayak gini,” Yoga mulai protes dan aku langsung menekan tombol end call.

Aku berdiri, mematikan ponsel dan menyembunyikannya di laci meja.

Aku berjalan ke luar kamar mencari kucing yang harus aku tangkap.

Beware little cat. The king has returned.
Liam Firman


“Dia bilang apa?” Robin menanyai Yoga yang menatap ponselnya galak.

“Dia bilang lagi liburan. Lagi nangkep kucing,” jawab Yoga kesal.

“Hah? Sejak kapan Rion nangkepin kucing?” tanya Dennis heran.

“Mana aku tau,” bentak Yoga. “Oke. Kalo beneran Mbak Nyit-Nyit mau sidak hari ini kita harus siap-siap. Dennis kamu bersihin dapur.” Dia menunjuk Dennis yang langsung mengeluh.

“Suruh Jay aja.”

“Jay bersihin dapur.”

“Suruh Jun.”

“Jun bersihin dapur.”

“Oke.”

“Hei dapurnya kan kotor sekali, kenapa nggak dikerjain bareng-bareng aja,” aku langsung protes melihat Jun ditindas seperti itu. Dapurnya Wisma Indah Lima emang kotornya kebangetan, pada males semua sih orangnya.

Yoga terbeliak menatapku. “Heh negara tetangga nggak boleh ikut campur.”

Nyaliku langsung hilang.

Hari ini Robin mengusulkan untuk menginvestigasi asrama tetangga kita itu, karena sudah dua hari berlalu tapi enggak ada tanda-tanda orang kehilangan mobil. Normalnya kan kalo ada yang kehilangan mobil pasti rame beritanya kemana-mana, nah ini kok malah adem ayem aja. Jelas kita jadi tambah penasaran, jangan-jangan yang dicuri Sam bukan mobilnya anak Wisma Indah Lima.

Dan Mbak Nyit-Nyit yang sudah membuat Yoga heboh itu adalah anak perempuan ibu kost. Nama benernya sih Mbak Yunita, tapi karena orangnya menyebalkan sekali, semua manggil dia Nyit-Nyit. Dia bertugas memeriksa kondisi asrama tiap dua bulan sekali. Sayangnya acara pemeriksaan itu suka tidak pasti. Mendadak banget, biar anak-anak nggak bisa siap-siap dan ketahuan semua belangnya.

Kata Robin suatu ketika pernah ada rumor dia mau sidak. Gegerlah anak-anak, semua langsung siap-siap, ngebersihin kos-kosan sampai mengkilap. Eh ditunggu-tunggu sampe subuh malah nggak dateng. Nah giliran nggak ditunggu malah nongol dia di depan pintu, tengah malem jam satu pula. Mbak Nyit-Nyit emang suka kebangetan kalo sidak, ngeganggu orang tidur. Marah-marah soal kamar mandi yang kotor, baknya enggak dikuras, halaman kotor, dapur nggak bersih, tanaman ada yang mati dan lain-lain.

Aku sih belum pernah ngalamin sidak tapi dari cerita para senior kayaknya agak serem.

Yoga masih terus menjelaskan panjang lebar pembagian tugas operasi pembersihan asrama ketika Jun berjalan santai ke dapur. Aku mengikutinya.

“Kamu nggak apa-apa nih beresin dapur sendirian?” tanyaku.

“Enggak. Kebanyakan juga piring kotor bekasku kok. Aku suka males kalo abis makan langsung nyuci.”

“Aku bantuin ya?”

“Oke.”

Aku membereskan sampah yang betebaran di dapur, lalu membantu Jun mencuci piring. Heran deh, penghuninya cuman sepuluh orang tapi cuciannya numpuk kayak orang habis kondangan.

Aku melirik Jun yang bekerja dalam diam.

“Jun kalau ada orang yang tiba-tiba nembak kamu. Bilang suka sama kamu. Reaksimu gimana?”

“Tergantung siapa yang bilang,” jawab Jun.

“Kalo ..” aku berdehem pelan, “Kalo aku yang bilang?”

Jun menoleh. Menatapku dengan pandangan menilai.

“Aku terima.”

Yes.

“Oke, Jun aku suka kamu,” tembakku langsung.

“Aku juga suka kamu.”

Hah? Tapi aku langsung sadar ‘suka’ yang dimaksud Jun itu bukan ‘suka’ yang aku maksud.

“Maksudku suka dalam arti sayang .. cinta.”

“Oh.” Komentar Jun pelan seakan aku baru saja bilang cuaca hari ini cerah dan nggak akan turun hujan.

“Buktinya apa?” Jun bertanya santai.

Hah? Bukti? Wah aku belum mikir sampai kesitu. Tapi Jun ini memang aneh, masa sama sekali nggak ada reaksi. Cowok nembak cowok kan jelas aneh, diluar kewajaran, tapi masa dia enggak kaget atau heran atau apalah.

“Kamu mau bukti apa?” tanyaku.

Jun menghentikan kegiatan mencucinya dan memutar tubuhnya menghadapku.

“Cium aku.”

“Hah?”

“Kalo kamu sayang, kamu pasti pengen nyium aku kan?”

Aku menatapnya kosong.

Jun bercanda atau beneran? Aku menatapnya tajam. Matanya serius. Sial. Dia serius. Apa diseriusin juga?

Lalu dia berjalan mendekat.

Mau apa dia. Aku berjalan mundur menjauh.

“Kenapa?” tanyanya.

“Ah .. Umm .. kamu tuh yang kenapa. Mau ngapain?” kataku tergagap.

“Jadi gimana mau nyium nggak?” dia bertanya lancar.

Aku diselamatkan oleh Robin yang menyerbu masuk ke dapur dan berdesis panik.

“Kita balik sekarang.”

“Oh .. Oke ..” aku menoleh ke Jun dengan pandangan minta maaf. “Nanti kita lanjutin lagi yah.”

Jun mengangguk.

“Ada apa Kak?” tanyaku sambil berjalan cepat berusaha mengejar Robin yang sudah hampir sampai di depan pagar asrama.

“Mbak Nyit-Nyit ada di kost kita.”

Sampai di Wisma Indah Empat, Kevin, Yudha dan Ferli sedang berbaris canggung menyambut seseorang, sementara seorang wanita tinggi langsing bersepatu hak tinggi berdiri didepan mereka. Ketika wanita itu berbalik aku melongo. Dia .. waria.

“Mana Caessar? Kenapa ini ketuanya enggak ada,” dia bertanya judes.

“Sedang ke Surabaya Mas .. eh Mbak ..” Kevin tunduk dipelototin Mbak Nyit-Nyit.

“Saya nggak percaya.”

“Kalo gitu ke Jakarta deh,” sambar Ferli.

Mbak Nyit-Nyit melotot lagi. “Jadi sebenernya kemana? Jakarta atau Surabaya?”

“Sori Mbak Yun. Caes lagi ada urusan di kampus jadi saya yang sementara megang alih kekuasaan disini. Wakil presiden gitu.” Robin buru-buru mendekat.

“Whatever. Let’s get the inspection started.”

“Kok Mbak Nyit-Nyit-nya gitu sih?” aku berbisik menanyai Robin. Katanya kan perempuan kok malah cewek jadi-jadian gitu.

Robin nyengir. “Surprise.”

Sial. Dikerjain lagi aku sama senior. Setelah ini pokoknya aku enggak mau lagi percaya apa kata Robin.

Waktu mengecek kamar mandi, Mbak Nyit-Nyit menjerit histeris. Aku kira ada apaan, ternyata cuma gara-gara ada celana dalem yang ngegantung di gantungan di balik pintu. Entah milik siapa. Yudha dan Ferli saling melempar pandangan menuduh.

Di dapur, Mbak Nyit-Nyit ngomel soal noda di dinding dan tempat sampah yang keliatan kotor (namanya juga tempah sampah Mbak). Lalu ketika terdengar jeritan keras yang tak diragukan lagi berasal dari kamar Kaka diatas kami, Mbak Nyit-Nyit langsung gemes dan menyerbu tangga untuk naik ke lantai dua.

“Unbelievable .. Dikira rumah neneknya apa? Berisik banget.” Omelnya kesal.

Sampai di lantai dua suasana jadi agak tenang dan kami bisa mendengar jelas apa yang sedang diributkan Kaka dengan Harris.

“Udah Ris. Stop. Sakit.” Suara Kaka terdengar kesakitan.

“Jangan kebanyakan gerak. Susah nih dilepasnya. Arrrrghhh.” Harris mengerang disusul oleh suara Kaka merintih.

Kami mendekati kamar Kaka pelan-pelan.

“Lihat tuh udah merah. Kalo lecet gimana? Yang lembut kenapa sih?” bentak Kaka galak.

“Iya ini lagi dicoba. Kamu kan cowok, jangan kayak cewek. Diem aja.” Harris balas teriak, terdengar sangat tidak sabar dan dia mengeluarkan suara mendesah ketika dia berusaha melakukan apapun yang sedang dia lakukan didalam.

“Enggak Ris. Gw gak mau lagi. Udah stop. Minggir. Jangan tindihin gw gini. Panas tau.”

“Buka aja bajunya kalo panas.”

“Pokoknya gw gak mau lagi .. AAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHH .. bego .. bego .. gw kan udah bilang stop .. AAHHHH .. Minggir.”

Terdengar suara liar desahan, rintihan dan teriakan. Disertai apa yang tampaknya bunyi tempat tidur goyang-goyang.

“Ini aku tambahin lagi pelicinnya. Pasti enggak sakit. Sekali lagi Ka.”

Ferli, Yudha dan Kevin saling melempar pandangan cemas. Aku menoleh ke Robin.

Wajah Robin merah karena marah. “Aku bunuh mereka nanti.”

“Aku bisa menjelaskan ini Mbak Yun,” Robin menoleh ke Mbak Nyit-Nyit mencoba memberi alasan, tapi Mbak Nyit-Nyit mengangkat tangannya menyuruh Robin diam.

“Kelakuan amoral di kamar kost. Cowok dan cowok berbuat mesum di siang hari bolong. Oh tunggu sampai Mami tau semua ini,” dengan gesit Mbak Nyit-Nyit mencatat semua di notebook-nya. Namun dia berhenti ketika terdengar suara lagi.

“Sekali lagi Ka. Udah aku tambahin pelicinnya. Sekali lagi.”

Keheningan yang canggung menyelimuti kami.

Lalu dipecahkan oleh suara jeritan Kaka yang kesakitan dan memaki-maki Harris.

“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHH .. FUCK YOU RISSSSSS ..”

Robin kelihatannya tidak bisa menahan diri lagi. Dia langsung mendobrak paksa pintu kamar Kaka. Kami semua terkejut melihat pemandangan di dalam kamar. Harris sedang menindih Kaka dan memegang tangan kirinya dengan paksa. Kaka tampak sangat kesal.

Kaka dan Harris juga tak kalah terkejutnya. Mereka berdua hampir meloncat kaget waktu melihat kami.

“Ada apa?” tanya Harris ketus. “Kalau mau inspeksi silahkan. Tapi aku nggak bisa nemenin. Lagi sibuk.” Dan dia mulai menarik-narik sesuatu yang sepertinya cincin dari jari tangan kiri Kaka.

Kaka mulai teriak-teriak lagi. “Udah dong Ris. Sakit. Stop.”

Aku bengong sementara Robin bertukar pandang kosong dengan Mbak Nyit-Nyit.

Kharisma


Aku duduk disamping Harris di sofa ruang tamu.

Didepan kami Robin melotot galak. Setelah inspeksi selesai, Robin mengumpulkan semua anak di ruang tamu. Katanya sih mau ngasih pengumuman sekalian menyidang kami berdua.

“Kalian berdua. Aku minta jangan berantem lagi.” Semprotnya panas. “Oke .. berantem boleh tapi lakukan dengan diam. Jangan berisik. Jangan ribut. Untung tadi kita lolos inspeksi.” Robin berkacak pinggang, memandang aku dan Harris remeh. “Walaupun ada sedikit salah paham ..”

“Aku nggak habis pikir. Masa kalian ngira aku ama Kaka ..” Harris tidak bisa meneruskan kata-katanya, ia mengernyit jijik.

“Sok banget sih lo,” aku memotong jengkel. “Padahal lo seneng kan?”

Harris memandangku dengan ekspresi antara kaget dan marah.

Tapi bener kan? Harris yang seneng kalo beneran aku sedang gitu-gituan ama dia. Kan dia yang homo, bukan aku.

Harris itu bener-bener kelewatan. Kasar banget orangnya. Seenaknya saja dia narik paksa cincin di tangan kiriku. Sekarang jadi bengkak deh jariku. Sakit banget, sampai kalo digerakin dikit aja jadi kerasa perih. Tapi ini gara-gara salahku juga sih, coba dulu aku nggak iseng makai cincin sialan ini.

Robin melanjutkan.

“Sekarang aku punya berita baik dan berita buruk. Kalian mau yang mana dulu?”

“Yang baik aja dulu,” usul Ferli.

“Berita baiknya, sepertinya aku tau mobil siapa yang dicuri Sam.”

Liam langsung bersemangat. “Eh? Mobil siapa?”

Robin agak ragu untuk menjawab. “Ah itu masuk ke berita buruknya.”

“Kenapa?”

“Aku rasa, Sam nyuri mobilnya Rion.”

“Rion? Rion anak Wisma depan kita itu?” tanya Yudha nggak percaya.

Robin mengangguk. “Rion menghilang dua hari lalu, mobilnya juga. Yoga bilang dia lagi liburan. Tapi .. aku kenal Rion cukup lama, dan dia nggak suka ama yang namanya liburan.” Robin mengacung-acungkan dua jarinya ke udara. “Dua hari yang lalu. Coba ingat. Waktu yang sama kan seperti hilangnya Sam. Dan menurutku kayaknya sekarang mereka sedang bersama.”

“Uh oh. Gawat,” gumam Kevin.

“Sangat gawat,” sambung Yudha.

“Emangnya kenapa?” tanyaku heran.

Ferli menatapku serius. “Karena kalo Rion udah marah, dia bisa nelen orang. Apalagi dia cinta banget ama mobilnya itu. Bisa dimakan hidup-hidup tuh Sam kalo sampe mobilnya kenapa-napa.”

Liam terlonjak kaget.

Robin menoleh ke Harris. “Waktu Sam nelpon dia bilang enggak bisa balik karena ada masalah kan? Sekarang kita tahu apa masalahnya .. Rion.”

“Terus sekarang gimana?” tanya Liam panik.

“Coba hubungi Sam. Suruh dia balik secepatnya.”

“Tapi kalo dia ditawan ama Rion gimana?” tanya Liam ngeri dan langsung menghubungi nomer Sam tapi nggak ada jawaban.

“Tanya lokasinya ada dimana. Kita culik dia. Tapi biar aku ama Caessar yang pergi,” jawab Robin kalem.

“Eh?”

Robin mengernyit. “Bukan cuma kalian aja yang bisa jadi ninja. Lagipula lawannya Rion. Kalian nggak bisa apa-apa lawan dia.”

“Oke. Rapat selesai. Aku mau ke kampus dulu nyari Caessar. Ahhhh .. dia pasti marah-marah kalo sampe denger ini,” Robin berjalan sambil mengomel nggak jelas.

Kami semua mengawasi Robin sampai dia keluar melalui pintu depan.

“Aku mau ke Wisma Indah Lima,” Liam memberitahu dan bangkit.

Aku menatapnya heran. “Mau ngapain?”

“Ketemu Jun,” Liam mengangkat bahu. “Harus cepet dikelarin tugasnya.”

“Oh iya. Ya udah sana pergi. Curi hatinya.”

Liam mengikuti jejak Robin berjalan ke pintu depan.

“Kita juga harus pergi,” kata Harris tiba-tiba.

Aku mengernyit. “Kemana?”

“Rumah sakit. Sudah saatnya kita minta bantuan professional untuk melepas cincin itu.”

Aku mendelik galak. “Mau ngapain lagi sih?”

“Pokoknya kamu ikut aja.”

“Apa cincin ini beneran .. kena kutukan nikah?” aku memandang cincin emas ditanganku dengan tidak percaya. “Sejauh ini gw cuman ngerasa terkutuk aja gara-gara diganggu terus ama lo.”

Harris mengacak-acak rambutnya. “Ayahku memberi cincin itu ke ibuku. Terus seminggu kemudian mereka menikah,” katanya menerawang.

“Karena mereka saling mencintai,” sambungku kesal.

“Karena ibuku pakai cincin itu. Padahal sebelumnya mereka musuh,” kata Harris yakin.

“Harris. Tolong yang agak rasional dikit,” aku memegang pundak Harris dan mengguncangnya keras-keras. “Enggak ada yang namanya kutukan.”

“Masa bodo, pokoknya aku nggak mau ambil resiko. Kita ke rumah sakit sekarang,” Harris menarik tanganku dan menyeretku ke pintu depan. “Kamu belum dengar cerita yang paling ngeri sih. Waktu kakakku ngasih cincin itu ke cewek yang baru ditemuinya di bis. Tiga hari kemudian mereka menikah. MENIKAH. Bayangkan. Padahal baru ketemu.”

Aku mengerang kesal.

“Good luck,” terdengar suara Ferli menyemangati. “Jangan berantem di jalan.”

Aku menatapnya ganas.
to be continued.... 



0 comments:

Post a Comment