DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Ninja Next Door - Chapter 5

05
The Cursed One
and The Lost One

by Coatwest

Kharisma


Status Sam resmi M.I.A. alias Missing in Action.

Ponselnya enggak bisa dihubungi, enggak tau juga tujuan perginya kemana, tambah keder lah anak-anak. Liam nyaris pingsan saking shocknya. Harris masih nyoba nelpon Sam tapi yang ngejawab mbak Veronica terus .. ‘nomor yang anda hubungi sedang tidak aktif, silahkan tinggalkan pesan setelah nada tut, tutttt’ .. kentut deh mbak-nya, hha .. Kami pun sepakat untuk konsultasi ke para senior.

Pagi itu dapur sibuk dengan kegiatan masak-masak, masak aer buat bikin mie maksudnya. Tiga orang ngantri dengan gelisah di depan kompor gas, nunggu giliran sambil ngomel nyuruh Ferli rada cepetan dikit masak mie-nya.

“Bentar dong, lagi ngerebus telornya nihh,” kata Ferli cuek, malah sengaja dilama-lamain.

Robin ada di meja makan, ngolesin mentega ke rotinya. Liam langsung menyerbunya dan menceritakan kronologis peristiwa semalam.

“Jadi kalian nggak tau Sam nyuri mobil siapa?” Robin bertanya heran, mulutnya sibuk ngunyah roti panggang.

“Kok bisa sih?” Ferli yang udah selesai masak mie ikutan nimbrung.

“Ya aku juga enggak tau,” Liam menjawab dengan suram. “Gimana kalo Sam kecelakaan? Gimana kalo Sam diculik? Mau bilang apa kita sama orang tuanya?”

“Kasian ya Sam, malang betul nasib tu anak,” komentar Kevin, anak-anak mengangguk-angguk setuju.

“Malang sih enggak, malah justru dia beruntung. Soalnya namanya bakal melejit. Kalo bener kecelakaan, namanya kan bakal masuk koran, masuk tivi, dibicarain orang-orang,” sahut Ferli tiba-tiba dengan nada kalem. Yang laen jelas menatap Ferli bak orang tak berperikemanusiaan.

“Jangan negative thinking dulu,” ujar Robin menenangkan Liam yang udah siap pingsan, “Sapa tau Sam kesasar ato bensin mobilnya abis.”

“Kalo kesasar kenapa nggak ngehubungin kita? Kalo bensinnya habis ya beli di pom bensin dong,” Ferli terus nyerocos. Liam jadi tambah stress, yang lain memelototin Ferli galak. Nggak sensi banget sih? Dan Ferli pun diusir dengan tidak hormat dari dapur.

“Udah pokoknya kalian tenang aja, kita pasti bantuin nyari Sam kok,” kata Robin serius sementara Ferli misuh-misuh di ruang tamu, dan saat itu ponsel Harris berbunyi nyaring.

Harris melirik layar ponselnya. “Dari Sam,” katanya singkat.

Suasana langsung hening.

Harris menjawab panggilan itu. “Hallo Sam? Kamu dimana? Hmmm? .. Hah? ..” Mukanya mengernyit dan agak kaget, setelah beberapa saat dia menurunkan ponsel dari telinganya. Semua memandang Harris ingin tahu.

“Dia bilang apa?” tanyaku penasaran.

“Sam baik-baik aja, dia bilang sedang ada sedikit masalah jadi enggak bisa balik sekarang,” Harris menjelaskan. Dia bertopang dagu dan mengerutkan kening.

“Dan lo percaya?” kataku kaget.

“Tentu aja enggak,” balas Harris, “Aku yakin Sam lagi dalam masalah besar, tapi dia bilang sendiri kalo dia baik-baik aja, jadi kita biarin dulu dia nyelesaikan masalahnya sendiri. Kalo keadaan udah mulai gawat baru kita bantu dia.”

“Dia bilang nggak mobil siapa yang dia curi?” tanya Robin.

Harris menggeleng. “Enggak, dia juga nggak mau bilang dia sekarang ada dimana.”

“Aissshh .. mencurigakan ..”

“Yang penting kan Sam enggak kenapa-napa.” Harris bangkit dari kursinya dan meraih tanganku, “Ayo ikut aku, kita masih punya urusan.”

“Urusan apa?” tanyaku heran.

Harris menarik tanganku lebih kencang dan aku terpaksa mengikutinya. Dia membawaku kembali ke kamar kami di lantai dua. Setelah menutup pintu, Harris menatapku dengan pandangan aneh, lalu berbicara dengan serius. “Kita harus ngelepas cincin itu dari tanganmu.”

Huh?

“Dengan cara apapun, kalo perlu jarimu dipotong.”

Aku mendelik. “Apaan sih? Gw kira ada apa, ternyata masalah cincin lagi.”

“Kamu nggak tau sih, cincin itu ..”

Aku memotongnya. “Ini cincin Yoga, kenapa lo peduli banget?”

“Itu cincinku, aku yang ngasih ke Yoga,” bentaknya.

“Eh?”

“Harusnya dia yang pakai cincin itu, bukan kamu.”

“Oooh .. jadi lo marah karna gw pake cincin yang harusnya buat cowok lo itu?” aku berseru kesal. “Eh .. koreksi .. mantan cowok, kalian kan udah putus,” tambahku sinis. Menyebalkan sekali sih ni orang, kerjaannya ngajak perang mulu.

“Bukan soal itu. Cincin itu ..” Harris berhenti dan memandang aneh cincin yang ada di tangan kiriku, “Pokoknya kamu enggak boleh make cincin itu.” Lalu dia menjadi marah dan ngomel sendiri. “Aaaaaaargh .. Kenapa sih kamu sembarangan aja pake cincin orang?”

“Emang kenapa sih?”

Harris menatapku lurus. “Cincin itu kena kutukan.”

“Eung .. Apa?” aku nyaris ngira kalo aku salah dengar.

“Cincin itu kena kutukan,” ulangnya.

Aku tertawa geli. Semua rasa kesalku hilang tak berbekas. Kutukan? Aku enggak percaya orang macam Harris percaya sama yang namanya kutukan. Siapa yang ngutuk coba? Kok kayak Harry Potter aja ada kutukan segala.

“Ketawa aja terus,” kata Harris sinis.

“Kutukannya apa?” tanyaku setelah puas ketawa.

“Kamu bakal nikah sama aku.”

“HAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAHHHHHHHHHHHHHHH?”

Harris mendengus. “Enggak bisa ketawa lagi kan sekarang?”

“Siapapun yang makai cincin itu pasti nikah sama aku,” lanjut Harris serius.

“Kutukan apaan tuh?” komentarku ngeri. Lalu aku menatapnya bengong. “Maksudnya nikah gimana?”

“Nikah .. Dua manusia terikat janji saling setia. Ada penghulu, pelaminan, tuksedo, wedding song ..”

“Tapi .. gw kan cowok ..”

Harris meraih tangan kiriku dan menarik cincin dengan paksa. “Makanya cepetan dilepas cincinnya, aku nggak mau nikah sama kamu.”

Rasa nyeri menjalar dari jari telunjuk di tangan kiriku. “STOOOP .. berhenti Ris, sakit bego.”

“Tahan dikit, cincinnya harus lepas sekarang juga.”

Cincin itu tetap nyangkut di jari telunjukku, aku mendorong Harris dan mengusap jariku yang perih. “Sakit Ris, lo gila ya.”

“Mana sini tanganmu.”

“Enggak.”

“Mana tanganmu!!”

“Sakit tau .. Lagian mana gw tau kutukannya beneran ato enggak. Bisa aja kan lo cuman ngarang.”

“Kamu kira kenapa aku jadi histeris gini hah?” teriak Harris keras, mulai hilang kesabaran. “Kalo kutukannya nggak beneran, cuma boongan aja. Enggak mungkin aku jadi panik kayak gini.”

“Tapi cincinnya macet Ris, lo kira gw suka apa pake cincin jelek kayak gini?” aku balas teriak juga.

Harris terlihat ingin marah, tapi suaranya malah terdengar putus asa. “Kita coba pake sabun, gel, lotion ato apalah .. sapa tau kalo dikasih pelicin bisa keluar. Aku cari dulu di kamar mandi.” Dia pun keluar kamar.

Aku memandang ganas cincin emas di tangan kiriku.

Gara-gara lo nih.

Dasar cincin bego.



Liam Firman


Waktu Harris menyeret Kaka pergi entah kemana, aku tetap duduk di meja makan sambil minum teh hangat yang dibuatkan Kak Robin.

“Untung deh Sam nggak kenapa-napa,” ujarku lega.

Kevin melirikku kritis. “Kamu tuh masih sempet-sempetnya nguatirin orang laen. Harusnya kamu nguatirin diri kamu sendiri.”

“Kenapa?”

Robin tersenyum kecil. “Betul tuh, tugasmu belom selesai kan?”

“Caessar tu galak loh, kalo dia sampe marah, ribet deh urusannya,” Yudha menambahkan.

Aku menjadi lesu lagi. “Ah iya tugasnya. Kenapa sih aku dapet tugas aneh kayak gitu. Eh .. Kak Caessar mana?” aku menanyai Robin, agak heran belum melihat Caessar lagi sejak rapat semalem.

“Dunno. Dia kan emang sering ilang gitu,” Kevin yang menjawab.

“Palingan di kampus, sibuk dia disana. Ketua UKM sih,” sambung Yudha sambil lalu.

“Trus gimana progress tugasmu?” tanya Robin singkat.

“Nol persen.”

“Kamu cepet bertindak deh, ntar nggak keburu lho,” kata Robin lagi.

“Aku cuma ..” aku bingung menjelaskan apa yang aku rasakan. Robin menungguku menyelesaikan kalimatku. Akhirnya aku menjawab frustasi, “Seumur hidup aku belum pernah pdkt sama cowok, jadi aku nggak tau caranya.”

“Sama aja kok kayak pdkt ama cewek,” kata Kevin cepat.

“Yoa, pertama kamu deketin dia dulu,” kata Yudha.

“Tapi karena kamu dikejar deadline satu bulan, menurutku kamu langsung tembak dia aja,” saran Kevin serius.

“Langsung nembak?” tanyaku kaget.

“Boleh juga tu,” komentar Robin. “Cara cepat buat narik simpati cowok, ngerebut hati cowok, ya dengan nunjukin ke dia kalo kamu suka dia.”

“Enggak, aku nggak mau. Malu lah,” jawabku segera. “Lagian dia kan cowok, masa cowok nembak cowok?”

“Biasa aja Liam. Aku aja sering kok nembak Ferli,” sahut Yudha asal. “FEERRRR .. I LOVE YOOOUUUU ..” teriaknya keras ke Ferli yang lagi makan mie sambil nonton tivi di ruang tamu.

Terdengar suara balasan. “Monyet lo Yuddd ..”

Aku bengong sementara mereka semua tertawa geli.

“Ferli baru masuk ke kost tahun kemaren,” Robin menjelaskan. “Yudha juga sama. Nah waktu mereka di tes ama Caessar, Yudha dapet tugas nyuri hatinya Ferli.”

“Hah? Nyuri dari anak kost sini? Bukan kost laen?”

“Tiap taun kan aturannya ganti,” kata Robin lagi. “Waktu jamannya mereka dulu emang targetnya anak Wisma Indah Empat semua, hhe, seru deh .. jadi anak satu kost pada ribut sendiri. Tapi ujung-ujungnya pada kompakan semua.”

“Dulu Ferli tuh judesnya minta ampun,” Yudha menerawang.

“Tapi sekarang udah dijinakin ama Yudha,” kata Kevin setengah tertawa.

Tiba-tiba terdengar suara gaduh dari atas kami, disusul teriakan bersahut-sahutan. Aku mendongak. Tepat diatas dapur adalah lokasi kamar Kaka dan Harris. Saking ributnya, suara mereka berdua sampai terdengar ke lantai satu.

“Itu anak dua kok ribut terus,” komentar Kevin, ikutan mendongak juga.

“Emangnya lagi pada ngapain sih?” Yudha menanyaiku.

Aku menggeleng.



Samudera


Aku mengacak-acak rambutku dengan kesal.

Semua kacau. Mobil rusak. Aku ketahuan Rion. Dan Rion sekarang masih belum sadar.

Untungnya semalem ada seorang warga yang menemukan kami, dan kami langsung diantar ke sebuah desa enggak jauh dari sana. Kebetulan sedang ada rombongan mahasiswa kedokteran yang lagi KKN di desa itu. Jadi Rion pun disambut dengan hangat sebagai subjek pasien mereka. Dia ditempatkan di rumah Bapak Wahyu, Kades di desa itu yang rumahnya juga dipakai untuk menginap dua mahasiswa KKN lain.

“Kamu istirahat dulu Sam,” kata Samuel kuatir. Seorang calon dokter muda yang merawat Rion. Gara-gara namanya Samuel, nama panggil kita jadi mirip. Sama-sama Sam.

“Aku enggak ngantuk kok,” jawabku bohong. Gimana aku bisa tidur sementara keadaan kacau kayak gini?

Rion tertidur, luka-lukanya sudah diobati, ada perban besar di kepalanya. Sejak kecelakaan itu dia belum sadar juga, walaupun Samuel bilang Rion baik-baik aja tapi aku nggak bisa tenang.

Aku duduk tepat disebelah tempat tidur Rion. Memandangnya gelisah. Begitu dia membuka matanya nanti, dia pasti bakal langsung marah-marah, entah apa yang akan dilakukannya padaku. Aku sudah nyuri mobilnya, bikin dia celaka seperti ini, pasti dia marah besar. Mungkin dia akan memukulku lagi, atau lapor polisi .. semua pikiran mengerikan berputar di benakku.

“Tapi kamu kan abis kecelakaan, istirahat dulu sebentar,” kata Samuel lagi. “Kalo kamu mau tidur, ke kamar saya di sebelah ya, biar temen kamu ini tidur sendirian disini.”

Aku senyum kecil. “Makasih Kak.”

“Panggil Sam aja.”

“Nama saya kan juga Sam, ntar bingung Kak.”

“Ya udah deh terserah kamu aja. Saya tinggal dulu ya, kalo ada apa-apa panggil saya,” Samuel tersenyum lebar dan keluar dari kamar.

Aku mencoba tersenyum balik walau masih agak kikuk.

Aku menarik napas panjang dan melirik jam dinding. Sudah jam delapan pagi. Aku ingat kalo aku belum ngasih kabar ke anak-anak, pasti sekarang mereka lagi ribut nyari aku.

Aku meraih ponselku.

Mati. Mungkin gara-gara benturan semalam.

Atau mungkin baterainya habis? Ah enggak mungkin, aku yakin semalam masih full. Aku coba nyalain dan setelah nunggu sebentar akhirnya nyala juga. Begitu aktif, ponselku langsung diserbu sms dari Liam, Kaka dan Harris. Ada sms juga dari operator, ngasih informasi kalo ada missed call, semua dari Harris. Aku langsung nelpon Harris.

“Hallo Ris? Iya ini aku. Denger Ris aku baik-baik aja. Oke? I’m fine. Tapi untuk sementara aku enggak bisa balik. Aku ada di .. Aku enggak bisa ngasih tau, aku aja nggak tau aku ada dimana. Aku mungkin baru balik dua hari lagi. Kalo sekarang belum bisa, aku lagi kena masalah Ris. Aku ceritain nanti .. Hallo .. Ris?”

Sambungan terputus.

Aku mengecek ponselku. Sinyalnya remuk redam. Gimana sih? Katanya menjangkau seluruh Indonesia, tapi baru dibawa keatas gunung dikit aja udah enggak dapet sinyal. Payah nih.

Rasa capek dan pegel-pegel semalem datang lagi. Aku duduk di kursi, merendahkan tubuhku dan agak nyender di kasur yang ditiduri Rion, lalu memejamkan mata. Aaah enaknya kalo bisa tidur. Dan kayaknya aku emang beneran tidur deh, aku bener-bener ngerasa melayang. Sampai kemudian aku ngerasa ada gerakan pelan di kasur. Aku terbangun, membuka mata dan menemukan Rion sudah sadar. Dia sedang duduk di kasur dan melihatku kosong. Tatapannya ganjil, penuh tanda tanya tapi ragu.

Aku tersentak kaget. Bingung harus ngapain.

“Oh udah bangun ya. Gimana? Masih ada yang sakit?” tanyaku gelisah, menatapnya dengan mata melebar. Rion berkerut samar, perlahan-lahan mengangkat tangan ke kepala, tetapi segera aku hentikan. “Jangan, kepalamu masih sakit, baru saja diperban.”

Rion menatapku bingung. Matanya memandang penuh selidik.

“Kenapa? Ada yang sakit?” tanyaku lagi, semakin cemas. Jangan-jangan otaknya konslet nih, gawat.

Setelah keheningan yang agak canggung aku memanggilnya pelan. “Rion?”

“Sakit sekali kepalaku,” bisik Rion serak, ia menjatuhkan tangannya kembali ke sisi tubuhnya. Da kelihatan masih sangat lemah.

“Di mana aku?” Rion memandang sekelilingnya dengan penuh ingin tahu, lalu menatapku tajam. Dengan suara lirih dan bingung, ia bertanya, “Siapa kamu? Siapa Rion?”

Huh? Apa?

Dia enggak ngenalin aku?

Dan parahnya lagi dia enggak tau namanya sendiri?

Aku duduk dengan shock, bingung. Terbelalak menatap Rion, mulutku terbuka.

Tanpa sadar aku langsung berdiri, berlari ke pintu sambil memanggil nama satu-satunya orang yang aku tahu bisa menolongku, “KAK SAAAM.”



to be continued...  


0 comments:

Post a Comment