DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Oswald's Commercial Trailer

"........."



Sewaktu gw melewati sekolah itu lagi, bangunan tua kelabu yang sudah terlihat lebih tua, pikiran ini benar-benar tidak bisa lari dari sesosok manusia maha sempurna itu.

Yes, gw lebay, kalo gak lebay gak asik cuy... Wohohoho!!!

Desir angin berhembus.

Gw memejamkan mata, menikmati udara sejuk setelah hujan hari itu. Kini matahari telah kembali pada peraduannya, bersinar terang, meski masih terkadang tertutup awan kelabu nan mendung.
Genangan-genangan air gw lewati tanpa memperdulikan cipratannya. Mata ini sibuk menatap bangunan tua itu, tempat di mana gw menghabiskan setahun setengah masa remaja gw paling indah.

Di pikiran ini langsung terselibat akan kenangan masa lalu. Teringat akan keramaian pada pada jam istirahat sekolah. Suara teriakan-teriakan seru, dan tawa melengking. Hentakan sepatu anak-anak yang berlari-lari. Wajah-wajah ceria dan konyol. Semuanya begitu membuat gw rindu akan masa-masa indah itu.

Sumpah deeehhh!!! Gw rela memberikan apapun demi kembali ke masa-masa paling menyenangkan itu. Dahulu begitu indah. Begitu muda, dan begitu bersemangat. Memang benar kata lagu Sheila On 7. Pada masa persahabatan dulu, kita tidak pernah memikirkan apapun. Tidak memikirkan kasta dan kelas. Tidak memikirkan warna kulit dan latar belakang. Semua ajah berbagi.

“Dengan kotak sejuta mimpi, aku datang menghampirimu...”

"Tuk perlihatkan, semua hartaku..."

"Kita selalu berpendapat, kita ini yang terhebat..."

"Kesombongan di masa muda yang indah..."

“Aku raja, kau pun raja...”

"Aku hitam, kaupun hitam..."

“Arti teman lebih dari sekedar materi...”

My gosh... Betapa gw rindu akan perasaan itu. Rasa di mana semuanya begitu bebas. Serasa tiap hari adalah liburan musim panas, yang padat akan aktifitas yang tak terhentikan.

Tanding basket, ngeband, surfing, main ke base camp di rumah Joe, di komplex ruko IDT bergenting biru tua.

Damn! I miss all these....

Pikiran gw jadi melayang ke personil VIP pada masa dulu. Gw mengenang wajah-wajah teman-teman binal gw itu. Wajah-wajah yang selalu akan gw ingat sepanjang hidup ini. Semuanya, hingga akhirnya gw mengingat teman-teman band gw, teman-teman basket, teman-teman surfing, dan ada satu wajah yang menghiasi semua kenangan akan gank kelompok bermain gw. Lebih tepatnya, wajahnya hadir di setiap grup dalam pertemanan gw. No, no, no.... Lebih tepatnya lagi, wajahnya selalu tampil dalam hidup gw semasa menetap di Denpasar dulu.

My gosh!

How could I forget?

That beautiful face...

Angin kembali berdesir...

Dingin menggigil.

Gw langsung berhenti melangkah, menengadah menatap bangunan SMA itu. Kemudian terbersit pikiran untuk berlari ke lapangan basket. Entah dapat pikiran dari mana, tapi yang jelas, gw harus ke sana.

Jadilah detik berikutnya, gw berlari ke arah lapangan basket. Semoga pagarnya masih terbuka, meski sudah sepi begini. Mata gw menatap tembok abu yang memisahkan jalanan luar dengan lapangan yang gw tuju. Genangan demi genangan air gw lompati, dan gw tidak perduli akan cipratannya yang kotor itu. Gw sesekali melompat-lompat, berharap bisa segera melihat sisi lain di balik tembok itu, untuk melihat lapangan basket di baliknya.

Dan...

GROSEEEEEEEETTTTT!!!!

Yeap! Gw kepeleset...

“Ngen*****************************************ttt...!!!!” teriak gw sangking kagetnya terpeleset genangan comberan.

Lutut gw terbaret trotoar, dan siku gw terhantam batu karena berusaha menahan tubuh.

Jadilah rasa perih merayapi lutut dan siku kanan gw. Darah segar mengalir. Wew...

Gosh! Perih bangeeettt... Dan yang bikin gw tambah kesal adalah, gw adalah manusia dodol yang sewaktu SMA sering jatuh. Entah itu terpeleset, entah itu terdorong, entah itu terjungkir, pokoknya seribu cara gw jatuh, seribu pula gaya gw mendarat di atas tanah. Dan kali ini, sekarang ini, ketika gw sudah tidak lagi SMA, masih ajah gw jatuh, mendarat dengan gaya super keren ala skater, dengan lutut dan siku menghantam permukaan trotoar.

Manis sekali...

Gw masih berjalan mengumpat-ngumpat, tetap ngotot ingin melihat lapangan basket. Dan, gerbang lapangan itu masih terbuka lebar.

Begitu melihat lapangan itu, mata gw mendelik. Waaaahhh... Kangennyaaaaaa.... Permukaan semen yang sudah bocel-bocel. Ring basket yang sudah karatan, walau terlihat sudah pernah diganti baru. Tiang bendera itu. Jendela-jendela hall pertemuan yang telah diperbaharui. Gerbang yang sudah berganti warna. Gooossshhh.... Ini adalah lapangan tempat gw biasa menghabiskan berjam-jam lamanya demi mencetak satu hingga tiga poin pada pertandingan basket. Lapangan ini adalah tempat di mana gw berlatih gymnastic pada pelajaran olahraga, yang gw anggap sebagai siksaan dari neraka. Lapangan ini tempat di mana gw biasa menjahili teman-teman gw yang sedang berbaris sewaktu upacara bendera. Lapangan ini.... Adalah tempat di mana gw bertemu dengannya pertama kali, ketika ospek penerimaan murid SMA baru.

Lapangan ini, adalah tempat kenangan, di mana gw pertama kali meneriakkan namanya. Dan melihat wajahnya.

Lapangan ini, adalah tempat di mana gw jatuh cinta pada pandangan pertama.

Jatuh cinta, pada dirinya.

Gw melangkah pelan ke lapangan itu. Berjalan dalam sunyi, melewati genangan air yang menjadi hiasan di atas permukaan semen kelabu. Pikiran gw terus teringat akan kenangan dan kejadian demi kejadian di lapangan ini. Canda dan tawa, kebahagiaan, dan kenangan tentang dirinya.

Tanpa sadar, gw telah berdiri di tengah lapangan, dan gw berputar perlahan, memperhatikan detil pada sekitar lapangan itu.

Dan seketika itu....

“Os?”

Sebuah suara dari belakang membuat gw terhentak. Suara hangat yang khas dari masa lalu. Gw pun menoleh ke arah asal suara itu. Dan.... Segera menahan napas.

Gw enggak percaya dengan apa yang gw lihat.

Ternyata memang DIA.

Mata gw tidak sanggup berkedip. Tubuh ini seolah membeku.
Apakah benar penglihatan gw? Apakah retina mata gw juga mulai menggila, sehingga bukan otak gw saja yang berkhayal, tapi mata gw juga ikut melihat halusinasi?

Sebaliknya, sosoknya berjalan mendekat. Dan ia menggerakkan tangan tanda menyapa. Senyumnya mengembang manis sekali. Lesung pipit itu. Deretan gigi putih mutiara itu. Rahang tegas itu. Mata tajam dan sayu itu.

Oh, Tuhan...

“Os!” serunya lagi, sambil tertawa kecil. Ekspresinya bercampur antara terkejut dan begitu senang.

Karena seruannya, akhirnya gw menghela napas. Yeap! Gw begitu tertegun oleh sosoknya sampai lupa bernapas.

Ia pun telah berdiri di hadapan gw, masih tersenyum.

Mata gw menatapnya nanar, masih belum dapat bergerak.

“Os...” katanya pelan, hampir berbisik.

Wangi khas parfumenya merambat indra penciuman gw, mengkonfirmasikan bahwa gw tidak bermimpi, bukan juga berkhayal.

Gw masih tidak mengatakan apa-apa. Begitu banyak kata yang hendak membeludak keluar dari bibir ini, sehingga membuat gw membisu. Perasaan di hati ini bercampur aduk, sudah tidak jelas lagi apa yang gw rasakan. Bibir gw bergetar, hampir mengeluarkan kata-kata, tapi akhirnya tetap saja, tidak sepatah kata pun terlontar.

Hujan rintik kembali turun. Tetesan air segar kembali menerpa kulit gw, dan menyegarkan otak gw yang sedang penuh.

Rintik hujan ini juga menerpa dirinya. Tetesan air berlinang di sekitar wajahnya yang tetap memandang ke arah gw.

Yang gw lakukan hanyalah terus menatapnya nanar. Kemudian gw mengangkat tangan kanan gw, mengusap pipi kirinya dengan punggung jari telunjuk gw. Kulit jemari gw menyentuh celung lesung pipitnya.

“Kamu....” Hanya itu kata yang mampu keluar dari bibir ini.

Senyum manisnya lebih mengembang lagi.

Tetesan air melewati mata gw, membuat gw seolah berair mata.

Dan akhirnya, gw tidak kuasa menahan...

Gw menempelkan wajah ini pada lehernya, tenggelam dalam pelukannya, yang menyambut gw dengan hangat. Tidak lagi memperdulikan perasaan di hati. Tidak lagi ada topeng. Tidak lagi ada gengsi dan jarak. Semuanya melebur menjadi satu. Semua rasa di hati ini, tidak terkatakan, hanya tenggelam dalam pelukan, dan memancar menjadi luapan emosi yang kian tertahan selama ini. Tubuh gw bergetar. Bukan, gw bukanlah menangis. Hanya saja, ini lebih dari tangisan.

Tidak ada kata yang dapat menggambarkan perasaan gw saat ini.

Tapi yang jelas, ketika gw memeluknya dengan tangan ini, dan merasakan hangat kulitnya, deru napasnya, degup jantungnya, dan jiwa di balik raga tubuh indahnya, gw serasa telah kembali dari perjalanan jauh yang melelahkan. Gw seakan tidak pernah merasa lebih nyaman dari sekarang ini sebelumnya.



And now, I'm home....

0 comments:

Post a Comment