DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Negeri Dibalik Awan - Chapter 1

Chapter 1
by Ajiseno



ya danang
“lhooo…piye to? Kok nggak masuk dulu, istirahat dulu bentar…”
“makasih bu, kapan-kapan saya pasti kesini, saat ini saya sedang buru-buru”
“ohhh yo wis kalau gitu, makasih sekali ya mas udah mau nganter danang, jadi ngrepotin ya” “wahh nggak apa-apa bu…sama-sama saya juga seneng kok di jalan ada temen, ya udah nang sampe ketemu lagi ya?”
“iya mas, makasih ya m as, jangan kuatir tunggu saja aku pasti ke tempat mas aji”
Yo i…monggo bu, permisiii….” Ucapku sambil membungkuk masuk ke mobil

Mobil kembali bergerak meninggalkan rumah danang
Kali ini pak warno agak lebih cepat
Saat ini tempat dudukku pindah ke depan disamping pak warno yang sedang mengemudi
Mataku tak henti-henti pemandangan asing daerah yang sama sekali belum pernah kukunjungi

Sekitar setengah jam berjalan mobil pelan belok kiri
Kali ini jalan yang dilalui lebih sempit dan relatif sepi
“masih jauh pak perjalanannya?’ tanyaku pada pak warno
“sekitar tujuhbelas kilo mas”
“ohhh..jauh juga ya”
Pak warno Cuma mengangguk

“eh pak, rumah pak warno dimana?”
‘ya satu desa mas dengan desa yang akan kita tuju”
“ohhh gitu ya”

Selanjutnya perjalanan mulai menemukan jalan yang berliku
menanjak...
menurun ....
kemudian terus menanjak naik dan berkelok-kelok
Aku kadang agak miris juga jika melihat jurang disamping kanan kiri
Kami hanya melewati perkebunan kopi tak ada desa
kadang terlintas dalam benakku apa masih ada perkampungan ya?
Mengingat sejak tadi yang dilhat hanya perkebunan saja tanpa desa

Perjalanan terus berlanjut,,,,
terus menanjak berkelok-kelok dan terus naik......lsangat terjal naiknya
Tanganku kadang secara reflek memegang sisi jok mobil untuk menjaga keseimbangan jika jalan berputar dengan begitu cepatnya
Kuakui pak warno memang lincah dalam menyetir mobil

Dann….kali ini aku benar-benar terpana
Mobil sudah berada di puncak punggung gunung yang bentuknya seperti pematang
Dan…kali ini aku sudah sangat begitu dekat dengan gunung prau…sangat-sangat dekat hingga sangat terlihat begitu jelasnya lereng gunung yang menghijau tertutup hutan

Dari sini juga bisa kulihat panorama yang luar biasa….
Saya berada tepat di punggung gunung sehingga aku bisa melihat lereng yang sangat begitu dalamnya
Dan ketika tepat di sebuah jalan yang rata aku langsung berkata…”stop pak!”
Mobil langsung berhenti
“ada apa mas?” pak warno keheranan
“pak aku mau lihat pemandangan ini…hmmm luar biasa”
Langsung aku turun dari mobil
Udara yang begitu dingin menerpaku sejuk
tapi aku suka
Aku langsung menuju pinggir tebing

kulihat pak warno tergopoh-gopoh keluar mobil

mass ajii…jangan terlalu jauhhh” suara pak warno mengingatkanku
Aku cuman tersenyum simpul dan tak peduli
Aku berjalan pelan ke tepi tebing
aku mengambil nafas panjang
dalam hatiku berbisik “akhhh…pasti aku sudah meninggalkan dunia ini, ini bukan dunia…ini alam baka, ini surga ….”

Mataku tah berkedip memandang pemandangan di depanku
Tampak dari kejauhan ada sembilan gunung yang membentuk sebuah deret melingkar mulai dari gunung ungaran, gunung telomoyo, gunung merbabu, gunung merapi, gunung sumbing dan hmmm…gunung sindoro yang begitu cantik dan indah di depanku, gunung butak, gunung tlerep dan gunung prau dimana aku berdiri di punggungnya.

Dibawah deret lingkar Sembilan gunung tersebut kulihat lembah memanjang yang begitu indahnya…sawah bagai kotak-kotak papan catur yang menguning, hijau dan coklat dan disisi lain kerlap kerlip rumah penduduk yang terlihat begitu kecil dan putih terkena sinar mentari yang terik di siang ini tergambar dari lingkaran-lingkaran kecil berisi rumah-rumah kecil yang menunjukkan kota-kota kecil di kaki gunung.

Angin yang berhembus pelan menerpa seluruh tubuhku…
bukan dingin tapi sejuk,
jauh dari panas yang membuat gerah,
aku menghirup udaranya..udaranya begitu segar
Ini udara paling segar yang pernah kuhirup,
ketika masuk ke rongga paru-paru begitu menyejukkan,
ini udara murni yang terdiri dari oksigen tanpa polusi karbondioksida yang menyesakkan.

Pelan aku duduk di hamparan rumput disisi tebing
Aku duduk di ketinggian lebih dari 1200 meter diatas permukaan laut…
sungguh sensasional
Rumput di siang hari yang terasa sejuk basah walau mentari terik menyinari terasa di pantatku

Perlahan pak warno mendekatiku,
dia juga duduk dengan lulut tertekuk dan tangan yang membekap kakinya
“pak…indah sekali ya” ucapku tanpa menoleh
“la iya lah mas, mas aji kan baru sekali kesini, coba tiap hari pak aji kesini, pasti bosan, keindahan itu kalau kita melihat sesuatu hal untuk yang pertama kali, kedua kali sudah berkurang dan selanjutnya dan seterusnya akan tidak indah lagi” pak warno menerangkan.

Kali ini aku menoleh
Aku menggeleng
“pak…sejuta kali aku melihat ini, aku tetep akan terlihat indah pak”
“hehehe…mas aji bisa aja”

Sekarang aku melihat dari dekat ladang-ladang penduduk di bawah tempatku duduk
Ladang-ladang yang berbentuk persegi empat memanjang di lereng-lereng tebing yang cukup terjal

Ada banyak tanaman yang mereka tanam
“pak…petani disini kebanyakan menanam apa?”
“ohh…jagung dan tembakau, itu tanaman pokok, tapi banyak juga yang menanam sayuran, kubis wortel, tomat, onclang, seledri, sawi dan lain-lain”
“ohhh…kapan-kapan aku ingin melihat ladang disini, boleh kan pak?”
“ohhh…gampang mas, saya juga punya ladang kok, nanti saya antar”
“makasih pak..”
“mas…sudah ya, mari kita lanjutkan perjalanan, masih lumayan jauh kok”
“bentar pak…biar aku puas”
Akhirnya pak warno mengalah..dia mengambil nafas panjang dan terdiam disampingku

Kulihat dari samping ada sesuatu berbentuk gumpalan putih perlahan berjalan menyapu bukit-bukit disampingku
Dan anginpun agak kencang bertiup, tidak lagi sejuk tapi dingin menyapu badanku

“pak…itu yang putih-putih apa pak?” tanyaku sambil menujuk gumpalan putih yang bergulung-gulung mendekat
“ohhh..itu kabut…awan putih…kalau disini dinamakan pedhut, udah mas…ayo masuk mobil, karena kalau jalanan tertutup kabut akan susah”
“bentar pak”

Kali ini aku berdiri
Dalam waktu singkat gumpalan kabut putih telah menerpa tubuhku,
dingin
mendadak udara begitu gelapnya
berganti dengan kabut putih yang berhembus pelan
Aku terpaku dalam alunan awan putih seperti dalam alam mimpi
Aku menikmatinya….

“mas…sudah ya..” ajak pak warno dengan nada khawatir
Aku masih diam…aku ingin menikmati ini semua

Dan perlahan kabut menipis…menipis dan menghilang
Dari jarak dekat kulihat sekumpulan rumah penduduk yang tadi tertutup kabut saat ini terlihat jelas bergerombol diatas punggung kaki gunung prau

“ohhh..itu desa ya pak?”
“iya mas…dan yang akan kita tuju masih ke atasnya lagi”
“ohh…” aku kelu

Ada sebuah tempat yang begitu asing dan belum pernah aku kunjungi
Mungkin disanalah nanti aku akan melanjutkan petualangan hidupku
Disebuah tempat yang belum aku kenal
Akan kunamai tempat tersebut negeri dibalik awan….

Perjalanan selanjunya seperti dalam alam mimpi saja,
mobil bergerak pelan menembus kabut yang silih berganti menerjang
Jam masih menunjukkan pukul 2.30 siang
jika ini di semarang maka sekarang sedang panas-panasnya,
tapi ini kebalikannya…
udara dingin menusuk tulang disertai kabut yang datang bergulung-gulung

Pak warno menyetir mobil dengan begitu pelannya,
aku tahu di udara berkabut seperti ini jarak pandang menjadi sangat pendek dan di kanan kiri terdapat jurang yang dalam, maka hati hati itu menjadi sangat penting

Aku memeluk tas punggungku tanpa sadar,
mungkin karena rasa takut akan keadaan jalan
mungkin juga karena udara dingin yang menusuk tulang
“pak…apa daerah sini selalu berkabut seperti ini pak?’ Tanyaku tanpa menoleh pada pak warno
“ya nggak mas, sini berkabut kalau malam hari, kalau siang hari biasanya kalau habis hujan seperti ini”

Aku Cuma terdiam,
dalam hati tiba-tiba aku ingin sekali menyibak kabut ini hingga udara menjadi cerah…
uhhh andai aku bisa

Kabut ini pergerakannya dari arah selatan ke utara, maka jika dibagian selatan jalan ada dinding bukit, kabut menjadi hilang dan kemudian setelah lewat daerah tersebut kabut kembali menebal dan bergulung-gulung

Pemandangan di depan mataku semuanya menjadi samar,
ladang-ladang pertanian penduduk yang putih
gerumbul pohon-pohon yang tersamarkan oleh kabut
menjadikan suasana menjadi begitu eksotis

Dan ketika memasuki perkampungan penduduk terasa lain lagi…
semua bagai kota mati yang tertutup kabut

Ini mengingatkanku pada film mandarin tentang sebuah perkampungan di china yang gelap berkabut yang didalamnya banyak vampire-vampire yang mengerikan

Desa-desa disini sangat terasa lain,
ini mirip kota..rumah-rumah penduduk begitu rapatnya,
hampir nggak ada celah walau untuk sekedar jalan,
sepertinya rumah-rumah ini juga butuh kehangatan,
maka saling berdempet begitu eratnya
Tidak ada halaman…
tidak ada taman
dan tidak ada celah…sangat-sangat padat bahkan lebih padat jika dibanding dengan semarang sekalipun

Dan jarak desa satu dengan yang lainnya begitu jauhnya sehingga mencari desa disini sangat gampang karena batasnya amat jelas yaitu dibatasi oleh hamparan ladang yang sangat luas.

Kami berjalan dalam hening,
tanpa bicara,
aku begitu syock mendapati kenyataan bahwa tempat yang kutuju ternyata diluar dugaanku bayanganku dan mungkin juga pak warno dalam menyetir mobil harus konsentrasi akibat jalannya yang tertutup kabut.

Setelah melewati perkampungan padat yang tertutup kabut kembali kendaraan melewati jalanan menanjak yang disebelah kanan berupa dinding gunung dan sebelah kiri berupa jurang yang aku tak tahu lagi bagian bawah dari jurang tersebut karena tertutup kabut
Jalanan begitu menanjak tajam dan satu hal lagi…jalanannya rusak parah dengan aspal yang sudah mengelupas dan kadang bagian atas aspal ada gundukan longsoran tanah yang begitu licin sehingga mobil menderu tajam untuk dapat melewatinya
Kabutnya semakin menipis….
Tapi ketakutanku belum juga pulih…didepan kulihat dinding gunung prau yang kokoh amat dekat dan di kanan kiri jalan berupa jurng dalam semakin terlihat jelas

Aku menghela nafas panjang…
Aku seakan tak percaya bahwa perusahaanku menerima proyek di tempat yang begitu terpencil seperti ini
Dan aku tak percaya….
Bahwa ini ada di jawa…
Yang di pulau jawa yang terkenal kemajuannya di banding pulau lain

Disudut terpencil yang begitu jauh dari jangkauan pemerintah
Disudut yang begitu dalam dimana sebagian besar orang akan berpendapat sama…
di tempat seperti ini tak layak ada kehidupan manusia…
sebenarnya tempat ini lebih tepat di manfaatkan sebagai cagar alam atau hutan,
rasanya kurang cocok untuk kehidupan manusia,
udaranya juga begitu dingin,
mungkin ini di ketinggian sekitar 1400 dpl.

Kabut semakin menipis
dan kini didepanku terdapat hamparan pemandangan alam yang begitu sulit untuk kulukiskan lagi
“pak itu gunung apa?” tanyaku ketika kulihat puncak tinggi yang menyembul dari gugusan gunung-gunung kecil
“ohh itu puncak sindoro, terus yang kecil-kecil itu gunung butak, gunung sigandul dan gunung tlerep…”
“ohhh indah banget”

Gunung sindoro puncaknya begitu halus dan besar
terlihat biru menyembul indah diantara puncak-puncak gunung-gunung yang lebih kecil…
sangat-sangat indah,
ini seperti lukisan alam yang begitu sempurna

Mataku sungguh tak berkedip menyaksikan semua ini,
aku belum pernah sedemikian dekat dengan sebuah gunungpun.
Bagi orang pesisir seperti aku melihat alam pegunungan begitu mengasyikan,
menimbulkan energi tersendiri untuk menghadapi tantangan ini.

Di depan nampak gunung prau dari jarak sangat-sangat begitu dekat…
gunung yang selama ini hanya aku lihat dari kejauhan
mirip sebuah perahu panjang yang tengkurap
di peta tertulis dengan ketinggian lebih dari duaribu enamratus meter
kini terpampang jelas dihadapanku

Ternyata dari dekat puncak gunung prau terdiri dari tiga puncak sejajar yang saling terhimpit hingga dari kejauhan mirip satu gunung saja
Puncaknya begitu bersih jauh dari kabut yang tadi menyelimuti…
Dindingnya yang curam terdiri dari hutan alami yang masih utuh
dibagian bawah terdapat hutan pinus dan bawahnya lagi ladang-ladang luas milik penduduk
Semua tergambar begitu jelasnya

Dan kabut semakin menipis
dari kejauhan terlihat gerumbulan rumah-rumah penduduk yang terlihat kecil-kecil dipuncak punggung gunung prau

“kok di atas malah kabutnya tipis ya pak” tanyaku memecah keheningan
“hmm mas, kalau kabut itu bergerak dari puncak gunung turun ke bawah, jadi ketika bagian bawah gunung berkabut pasti bagian puncaknya akan cerah”
“ohh gitu ya?, oh ya pak, disana keliatannya masih ada perkampungan penduduk ya?’
“hehehe…ya itu tempat yang akan kita tuju mas”
“ohhh…” tiba-tiba aku begitu specless

Jadi disana aku akan menghabiskan waktu selama seminggu…
jadi di tempat sanalah aku akan menyepi…
ohhh tiba-tiba aku seperti di buang di tempat yang begitu sepi dan asing oleh pak danar.

Akhirnya sampai juga disuatu tempat dimana desa yang tadinya terlihat begitu kecilnya sekarang begitu dekatnya, saat ini jarak kendaraan hanya sebatas sebuah celah jurang saja akan tetapi perjalanan masih lumayan jauh karena jalannya memutar untuk menghindari celah jurang tadi.

Desa itu tepat di punggung gunung, membentuk garis memanjang keatas yang terdiri dari rumah-rumah penduduk dan dibagian tengah berdiri megah masjid dengan kubah besar berwarna hijau muda
Dibelakang desa tersebut panorama gunung sindoro yang begitu besar terlihat puncaknya saja dibalik gunung tlerep yang kecil
Dan disampingnya gunung prau yang terlihat sangat begitu dekat

Sebenarnya sepanjang perjalanan ada satu hal yang menarik perhatianku, disepanjang perjalanan banyak kujumpai setiap penduduk yang berjalan pasti membawa sesuatu dari ladang dan sebagian besar membawa kayu atau rumput, tidak ada penduduk dari ladang yang tidak membawa apa-apa.
Anak-anak seusia SMP dan SMA disini selalu kujumpai ke ladang dan sambil membawa rumput
Sungguh, sisi lain hatiku begitu miris melihat ini, disaat anak-anak kota sedang asyik-asyiknya jalan-jalan di mall, dugem, pacaran disini anak-anak seusia itu harus membanting tulang ke ladang yang menurutku lokasinya sangat membahayakan, di lereng-lereng terjal dan di bawahnya ada sungai kecil yang penuh batu.

Mobil saat ini memasuki perkampungan…sebuah kampung misterius yang nantinya akan dijadikan tempat tinggalku untuk beberapa hari ke depan
Kabut putih belum hilang sepenuhnya dari kampung ini sehingga terkesan begitu mistisnya suasana
Kembali kubekap tas punggungku karena udara dingin begitu merasuk sampai ke tulang

“ini kampungnya pak?’
Pak warno sedikit bergerak menoleh cepat sambil mengangguk “iya mas..lumyan jauh ya?”
“nggak lumayan lagi lah, ini lah sudah jauh banget”
Kulihat pak warno hanya tertawa lirih

Mobil masuk ke gang jalan berbatu menurun menyusuri kampung seolah membelah rumah di kanan kiri jalan
Beberapa anak berlari lari menyambut kedatangan kami, beberapa anak berambut kemerahan dan agak panjang
Mereka berteriak-teriak begitu gembiranya menyambut kedatangan kami dan akupun tersenyum melihat keceriaan mereka
Beberapa remaja masih kulihat sibuk memikul kubis dan wortel di kedua belah keranjang…hmmm mereka betul-betul masih remaja usia anak SMP atau SMA
Tubuhnya sudah begitu terbentuk akibat pekerjaan mereka, semuanya tidak memakai baju dan senyum ramah selalu terpancar walau hanya ketemu dengn mobil mereka tetap mengangguk.
Ohhh…wajahnya sangat manis saat tersenyum, kulitnya putih dan postur tubuhnya begitu gempal

Sementara ibu-ibu menata kubis dan sayuran lainnya, mereka bergerombol mengobrol sambil melepaskan daun kubis bagian luarnya dan spontan semuanya tersenyum mengangguk melihat kedatangan kami
Hmmm ini suasana yang begitu lainnya…aku yakin aku akan kerasan hidup disini

Mobil menderu memasuki halaman sempit disebuah rumah begitu besar beratapkan seng
Dan kini aku baru sadar…semua rumah disini beratapkan seng dan miring ke utara tidak ada rumah adat jawa seperti di daerahku di bantul, semua rumah bentuknya hampi sama, menyerupai kaotak besar dan bagian atapnya rata miring ke utara

Mobil akhirnya berhenti tepat di depan rumah besar, aku menghela nafas panjang begitu leganya
“mari mas, turun, kita sudah sampai” pak warno mengangguk ramah
“ohhh…disini ya, hmmm ini rumah siapa?’
Pak warno menoleh dan dia baru tersadar sejak tadi belum cerita tentang pengghuni rumah ini
“ohhh iya mas , ini rumahnya pak sujar, sengaja disewa oleh mas yoga yang bagian depan untuk para pekerja, jadi mas aji santai saja di rumah ini”
‘Ohhh gitu ya pak”

Akhirnya pelan aku membuka pintu mobil dan langsung disambut oleh serbuan beberapa anak kecil dengan tawanya yang ceria
Mereka semua berebut untuk menyalamiku
Dalam hati aku begitu gelinya…aku mirip artis yang ketemu fansnya
Kusalamami satu persatu sambil tersenyum lebar
Hmmmaku baru ingat, aku membeli satu bungkus permen ada di saku tas, langsung kuambil dan kuacungkan ke atas bungkus permen
“hayooo siapa yang mauu?”
“aku aku aku aku…”teriak anak-anak di depanku sambil mengacungkan jarinya
Aku tersenyum lebar, langsung kubagi permen dua dua setiap anaknya…tentu saja kejadian ini mengundang beberapa minat beberapa anak-anak lainnya berlari cepat mendekatiku
Entahlah Susana menjadi begitu gaduhnya
Beberapa ibu-ibu tergopoh-gopoh mendekatiku, mereka langsung menyalamiku
“oalahh ini to tamunya, sugeng rawuh nggih” (selamat datang yaa) ujar ibu-ibu sambil menyalamiku
Aku menyambutnya samba tertawa bahagia
Beberapa anak meloncat-loncat gembira dan bebrapa lainnya bergerombol membandingkan permen yang telah di terimanya
Pak warno Cuma geleng-geleng kepala sambil tersenyum
“monggo mas mari masuk”
Dan aku menghela nafas panjang
Aku kembali tertawa melihat tubuh mas yoga yang tinggi besar di pintu menyambutku sambil tertawa renyah
Hmmm ini sambutan luar biasa yang pernah kuterima

“hehehe mas aji…gimana perjalanannya? Menyenangkan?’ Tanya mas yoga sambil senyum
“walahhh mas yoga ki, ngejek ya…uhhh capek, jauh banget…uhhh” jawabku sambil menyalami erat tangan mas yoga
“ya elahhh nggak ngejek lah, aku saja dah dua minggu disini nggak masalah…ssst Cuma kangen ma suasana kota, hehehe” bisik mas yoga sambil menggandengku masuk rumah.
Rumah ini dari luar biasa saja, tapi setelah aku masuk…wow…ruang depan sangat luas, dibagian tengah terdapat seperangkat meubel kuno, dan di pojok belakang terdapat meja besar dan diapit oleh kursi panjang.

Tak seberapa lama muncul pak sujar, tuan rumah, beserta istrinya, jauh dari perkiraanku, ternyata pak sujar masih muda, mungkin baru berumur empat puluhan limaan tahun, tubuhnya tinggi besar, berkumis dan murah senyum, dan istrinya seorang wanita sederhana, berkerudungbertubuh kecil.
Keduanya begitu ramah menyambutku, aku sendiri jadi lumayan kikuk dengan sambutannya.
Tak seberapa lama, bu sujar kembali muncul dengan nampan berisi termos, dan gelas kosong, serta gula jawa, di belakangnya seorang gadis berusia belasan tahun membawa panic berisi jagung rebus dan talas rebus…hmmm bau asap jagung rebus sungguh menggoda selera.

Aku baru tahu, disini termos tidak berisi air panas saja, tapi berisi teh kental dan tidak pakai gula pasir tapi pakai gula jawa yang dipotong kecil kecil
Awalnya aku sempat bingung dengan cara minum teh ala desa sini, tapi mas yoga langsung tanggap
“cara minumnya gini, , gulanya diemut kemudian kita seruput tehnya sedikit demi sedikit, hmmm nikmat lah, wong ini tehnya buatan sendiri bukan buatan pabrik, eh disini setiap orang nanam teh tapi hanya untuk konsumsi sendiri lho”
“ohhh…gitu ya”
Pak sujar Cuma senyum-senyum saja
Aku mulai mengikuti cara minum teh ala desa sini, pertama-tama aku ambil sepotong gula jawa kemudian kukulum dan tehnya aku minum pelan…hmmm teh pahit dengan aroma sangat asing bercampur dengan manisnya gula jawa…hmmm sensasional rasanya. Kuulang sekali lagi menyeruputnya dan terus kuulang hingga terpuaskan.

Setelah itu tanpa disadari kami terlibat dalam obrolan hangat sambil makan jagung rebus hangat.
Pak sujar orangnya supel, enak diajak ngobrol, pengalamannya juga banyak dan dia banyak cerita tentang kehidupan petani di daerah ini, tentang tanaman, ternak termasuk gaya hidup orang-orang daerah ini.
Aku seneng banget dan sesekali aku bertanya tentang beberapa hal yang berkaitan dengan keseharian warga desa sini.
Mas yogapun ikut bersemangat mengikuti obrolan ini.
Ada satu hal yang membuat aku salut pada mas yoga, dia orangnya begitu supel dan sangat mudah bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan apapun, disaat dia di kota maka penampilannya nggak kalah dengan orang-orang kantoran, penampilannya begitu gagahnya, dengan postur tubuh yang tinggi besar tentu sangat memukau.
Dan disaat dia berada di daerah terpencil seperti saat sekarang ini dia layaknnya orang sini, dia sangat paham dengan kehidupan disini.
Itulah yang bikin aku salut sama mas yoga.

Mas yoga berumur 40 tahun, tubuhnya sangat tinggi, tingginya 186 cm, aku sendiri kalau berdiri disisinya harus mendongak jika bicara dengannya
Sebenarnya mas yoga gendut, bobotnya saja 80 kg akan tetapi karena postur tubuhnya begitu tinggi maka tidak terlihat gendutnya.
Wajahnya tembem, hidungnya mancung dan kulitnya kecoklatan jika tertawa maka matanya seperti terpejam, sangat lucu.
Mas yoga sudah berkeluarga, dia mempunyai dua anak yang masih kecil-kecil, istrinya di grobogan, kadang aku kasihan juga dengan istrinya yang sering di tinggal, maklum dia pegawai bagian lapangan, tugasnya keluar terus memimpin proyek-proyek yang dikerjakan perusahaan.

“mas …mari makan dulu, ini makanan sudah siap” suara bu sujar mengagetkanku
“duh bu..jadi merepotkan nih”
“ahh nggak pa pa mas..hanya masakan sederhana saja kok, mari mas” celetuk pak sujar menimpali
“yok mas aji…” ajak mas yoga, menarik pelan lenganku

Kami menuju ruang tengah. Suasana ruang agak gelap, dibagian tengah ruangan terdapat meja sederhana yang dikelilingi empat kursi kayu, diatas meja telah terhidang satu bakul besar nasi dan mangkuk berisi sayur buncis dan lauknnya telur dadar dan kerupuk
Aku makan begitu lahapnya,mungkin karena udara dingin sehingga membuatku menjadi begitu laparnya.
Sambil makan mas yoga menjelaskan bahwa bagian depan rumah pak yoga yang besar ini sudah di kontrak oleh perusahaan, sedang pak sujar dan keluarganya tinggal di bagian belakang, hmmm rumah ini seperti tiga rumah yang dijadikan satu…sangat besar
Mengenai makan sehari-hari mas yoga juga menjelaskan, dia sudah mengontrak jasa bu sujar untuk menyiapkan dan memasak keperluan pegawai perusahaan yang tinggal disini.
Ada tiga kamar yang di kontrak, satu kamar untuk kamar mas yoga, satu lagi untuk tamu dari perusahaan, termasuk aku dan satu lagi kamar besar yang akan berisi para pekerja proyek jika proyek jadi dilakasanakan.
Secara tidak langsung, aku melirik kamar yang rencana aku tinggali selama seminggu.

“mas aji, itu kamar anda, silakan barang-barangnya bisa langsung dibawa masuk” mas yoga menunjuk pintu kamarku setelah acara makan selesai.
‘ohh…” aku mengangguk
Dengan cepat aku menuju ke depan, mengambil tas punggungku yang kutinggal di ruang tamu

Kubuka pintu kamar…sebuah dipan besar dan satu lemari kaca yang besar disisinya
Udara pengap menyeruak masuk dalam hidungku, aku paham mungkin kamar ini jarang di tinggali

Pelan aku buka lemari dan secara teratur aku pindah semua isi task e dalam lemari
Hmmm…dalam hati aku berdoa semoga kau kerasan tinggal di kamar ini
‘mas…kalau sudah selesai, mari kita mandi mumpung belum terlalu gelap” tiba-tiba mas yoga sudah berdiri di pintu kamarku
Dia berdiri mebawa gayung berisi perlengkapan mandi, sabun, sikat gigi, shampoo dan pasta gigi.
Aku menatap heran…
“mas disini tidak ada kamar mandi, kita mandinya di kali bawah desa ini”
“ohhh…” aku kaget
“ya udah cepet ambil anduk dan semua, nati aku tunjukkan tempatnya”
‘ya udah mas…mari”
Cepat aku menyambar handuk dan plastik kresek berisi perlengkapan mandi

Aku berjalan mengikuti mas yoga dengan handuk di pundak dan tangan membawa perlengkapan mandi
Sepanjang jalan, setiap ketemu sama orang pasti semua kakan menyapa dengan begitu ramahnya
Kampung ini masih begitu alami, setiap orang yang didepan rumah selalu akan bilang “monggo pinarak mas” (mari mampir mas) ujarnya dengan anggukan super ramah
Aku suka dengan desa ini

Ternyata tempat mandi yang dimaksud mas yoga masih begitu jauh
Perjalanan selanjutnya menyusuri jalanan berudak sangat panjang menurun
Disela-sela jalan ladang yang ditanami tembakau dan sayur-sayuran, aku sangat menikmatinya, apalagi suasana sejuk
Sepanjang jalan mas yoga menjelaskan kalau masyarakat sini tidak ada yang punya kamar mandi, karena desa berada di punggung gunung sedangkan air dan mata air ada di bawah desa sehingga sangat sulit mengalirkan air ke rumah-rumah penduduk
Ada dua mata air besar di desa ini, dan jaraknya berjauhan sehingga berdasar keputusan desa, satu mata air digunakan untuk para wanita dan yang satu yang sedang kutuju khusus untuk lelaki

Sangat jauh jalan ini menurun, sesekali aku bertemu warga yang berjalan membawa rumput untuk pakan ternak…kalau sudah demikian aku wajib bersyukur, bagaimanapun juga kehidupanku jauh lebih enak daripada mereka

Akhirnya sampai juga di depanku sungai dengan air mengalir jernih dengan banyak bebatuan
Sangat indah…aku ingin langsung mencebur
“mas mandinya bukan disini, di pancuran sana kok” ujar mas yoga
Kami menyusuri tepi sungai yang tidak begitu lebar, sungai ini kecil tapi airnya begitu jernih dan deras

Seketika aku terpaku…berdiri mematung
Kulihat tempat mandinya…terbuka
Ada tiga pancuran yang berasal dari tebing disisi sungai
Mata air yang keluar dari tebing tersebut kemudian diberi bilah bamboo hingga menjadi sebuah pancuran
Yang membikin aku terpaku…dihadapanku ada sekitar delapan pemuda dan dua orang tua sedang mandi…
Semuanya telanjang…menampilkan penis dalam segala bentuk bebas bergoyang goyang dengan rambut kemaluannya yang basah dan hitam
Semuanya mandi dengan begitu gembiranya dengan tubuh berdiri didepan pancuran sehingga menampilkan badan mereka yang begitu berisi tersiram air pancuran
Sangat sensasional

Ini adalah taman eden di surga…bathinku
“ayo mas…” mas yoga
Dan yang lebih membuatku kaget mas yoga langsung melucuti semua pakaian yang melekat di tubuhnya…penisnya yang lemas dan panjang menggantung indah dibawah tatapanku
Badannya begitu kekar dan besar, perutnya membuncit tapi tetap mempesonaku

Sekali lagi aku ragu…apa aku harus mandi dengan telanjang dan berbaur dengan para pemuda yang sedang mandi termasuk dengan mas yoga
Sekali lagi aku ragu
“ayooo masss…cepat..bentar lagi hari gelap” ajak mas yoga mengagetkanku.


to be continued...


1 comments:

Anonymous said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

ini chapter 30 nya blm ada ya?

Post a Comment