Episode 9 : Villa
"Ayo!"
Niko sama sekali tak sabar. Tiba-tiba tangannya menyambar tanganku dan menariknya mengikuti langkah kakinya yang cepat. Aku seperti diseret.
"Mau kemana sih kita?" tanyaku kebingungan.
"Udah, ikut aja." jawabnya singkat.
Langkah kakinya masih cepat saat kami melewati gerbang sekolah dan berhenti setelah sebuah mobil parkir menghalangi jalan kami.
Aku hampir melompat ketika tiba-tiba mobil itu berbunyi beep dua kali.
"Masuk." kata Niko sambil membukakan pintu.
Aku cuma bisa bengong dan menurut. Saat aku telah berada didalam mobil, dia menutup pintu dan seketika suara hiruk pikuk jalanan berubah menjadi senyap. Tentu saja aku bengong, pertama-tama, ini adalah kali pertama aku naik mobil pribadi dan kedua, aku tak pernah melihat Niko membawa mobil ke sekolah sebelumnya.
Niko cuma melempar senyum nyengir saat aku bertanya-tanya bingung dengan ekspresi wajahku. Dia bahkan tak mau menjelaskan mau kemana, ada apa atau apapun itu.
Mobil melaju menyusuri jalanan ke arah keluar kota dan mendaki bukit. Makin ke atas, pemandangan makin indah. Sangat indah bahkan. Hijau dengan kilau kekuningan karena terpaan sinar matahari dihiasi jalanan hitam yang meliuk-liuk.
Belum selesai aku mengagumi pemandangan alam, mobil tiba-tiba berhenti disebuah rumah yang cukup besar yang terbuat dari kayu. Meski terbuat dari kayu, namun rumah itu sungguh indah. Halamannnya sangat luas yang ditumbuhi rumput hijau dan beberapa pohon besar.
Saat kubuka pintu, udara segar langsung menyeruak masuk. Aku langsung menghirupnya banyak-banyak. Aku ingin memenuhi paru-paruku dengan udara yang jarang ku temui ini. Tapi tak lama karena aku jadi malu saat ku lihat Niko memperhatikanku dengan senyum aneh.
"Ee, kita dimana?" tanyaku. Kali ini sedikit memaksa.
"Ini villa keluarga ku."
"Villa?" aku mengangguk-angguk. "Jadi, villa itu kayak gini ya?"
Niko cuma terkekeh dengan pertanyaanku sambil sibuk membuka bagasi mobil.
"Tapi ngapain kita di villa?"
Niko cuma tersenyum dan sibuk menurunkan tas-tas.
"Hei Nik. Trus tas itu buat apa?"
Niko masih tak mau menggubrisku.
"Nik!" kini aku setengah berseru.
"Kita nginap disini malam ini."
"Apa? Nginap?"
Niko cuma mengangguk.
"Wo wo wo.. Ntar dulu. Nginap? Kamu becanda kan?"
Niko menggeleng.
"Tapi aku gak mungkin nginap Nik. Bapakku.."
"Papah udah ngomong sama Bapak mu." potong Niko.
"Papah mu?"
Kali ini Niko sama sekali tak menggubris semua pertanyaan ataupun pernyataanku. Tanpa kusadari, di depan pintu villa sudah bertumpuk tas-tas dan juga tas sekolahku yang usang.
"Pak Juum!" teriak Niko. "Pak Juum!"
Tak ada respon.
"Pak Juu.."
"Oh Den Niko sudah datang?" tiba-tiba seorang bapak-bapak muncul dari arah belakang kami. "Maaf Den, saya abis motong rumput di halaman samping."
Bapak yang bernama Pak Jum itupun langsung terburu-buru mengeluarkan kunci dan membuka pintu villa.
-------------------------
Rumah itu ternyata lumayan besar dan panggung. Bagian bawah digunakan sebagai garasi mobil, gudang dan entah apa lagi. Bagian atas berisi ruang tengah yang luas dengan jendela yang lebar-lebar, ruang makan dan beberapa kamar. Di sisi-sisinya ada beberapa teras dengan udara terbuka. Dan saat itu, aku sedang duduk disalah satu teras yang menghadap sedikit ke barat.
Pemandangan dari teras sangat ini indah. Pohon teh yang luas dan berbukit dengan latar belakang gunung-gunung dihiasi cahaya matahari yang sedikit condong di barat.
"Indah banget ya?" tiba-tiba Niko muncul dari pintu.
"Emang, ada acara apa sih Nik?" aku masih penasaran karena dari tadi belum ada penjelasan kongkrit.
"Dulu aku sering kesini kalo lagi stress." Niko sama sekali tak menggubris pertanyaanku.
"Stress? Kamu stress?" aku seperti mendengar dongeng tentang UFO. Rasanya mustahil seorang Niko stress.
"Tapi sekarang udah jarang kesini lagi." Niko tetap tak menjawab pertanyaanku.
"Kenapa?" kini aku merespon ogah-ogahan karena aku yakin pertanyaanku tak akan mendapat jawaban.
Tiba-tiba Niko melirikku dengan senyum aneh.
"Karena sekarang ada obat stress tanpa harus jauh-jauh ke sini."
Aku tak merespon. Cuma mengeryitkan kening.
"Iya, sekarang ada orang yang bisa ngilangin stress ku. Cukup ngeliatin dia aja udah ilang stressnya."
Tiba-tiba aku jadi penasaran. Aku langsung menatapnya penuh ingin tahu.
"Siapa? Pacarmu ya? Jadi kamu udah jadian sama siapa?" tanyaku antusias. Tentu saja aku antusias. Untuk segala yang dimiliki Niko, rasanya aneh bila ia kesulitan mencari pacar. Tapi kenyataannya, aku belum pernah ngeliatnya pacaran. Jadi, tema ini adalah tema yang paling ditunggu-tunggu.
"Kamu pernah pacaran?" bukannya menjawab pertanyaanku, dia malah membalikkan pertanyaan.
Aku cuma diam. Berusaha mengikuti gayanya. Tapi Niko malah mendekat dan menatapku serius. Aku pun kalah.
"Mana ada cewek yang mau pacaran sama aku? Heh, cuma orang bodoh yang mau, mungkin." jawabku akhirnya.
Mendengar jawabanku, Niko mengalihkan tatapannya pada pegunungan yang hendak menyembunyikan matahari sore. Lalu tiba-tiba bertanya lagi.
"Apa yang akan kamu lakukan, kalo ada orang yang tiba-tiba bilang suka sama kamu?"
"Hahaha, pertama kayaknya gak mungkin. Kedua, kalopun ada, dia pasti sudah gila."
"Dan kalo ternyata jawabannya adalah yang kedua, apa yang akan kamu lakukan?"
Aku bingung menjawabnya. Ku lirik mata Niko untuk memastikan dia sedang meledekku. Tapi ternyata dia serius banget. Akupun jadi terdiam sesaat.
"Mungkin dua orang gila lumayan cocok." jawabku serius.
Tiba-tiba dia tersenyum senang. Apa Niko menjadi gila spontan? pikirku.
"Ntar dulu. Kok malah ngebahas aku? Kan aku yang pertama tanya?" tiba-tiba aku teringat pertanyaanku belumlah terjawab. Aku pun menjadi sewot. "Jadi siapa cewek yang beruntung itu?"
Niko cuma tersenyum.
"Dia pasti cantik." kataku memancing.
"Gak juga. Pertama, dia gak cantik. Kedua, aku gak pacaran." jawabnya sok bermisteri.
"Tapi kamu suka sama dia?"
Niko tak menjawab. Dia hanya tersenyum yang bisa kuartikan jawabannya adalah iya. Sepertinya dia lagi kasmaran.
"Lalu, apa yang kamu suka dari dia?"
Niko terdiam sesaat. Tatapannya menerawang jauh namun tiba-tiba menatapku.
"Kepolosannya, kesederhanaanya, spontanitasnya, kekonyolannya dan terkadang kebodohannya."
"Selera yang aneh." komentarku.
"Dan lucunya." Niko melengkapi.
Aku makin penasaran.
"Dia orang mana?"
"Orang sini. Sering ketemu kok."
"Sering ketemu?"
"Iya."
"Dia tahu kalo kamu suka dia?'
"Entahlah. Sepertinya enggak. Tapi aku gak menyalahkannya jikapun dia tak tahu."
"Trus kenapa kamu gak tembak dia?"
"Kar.."
"Den, Bapak dan Ibu sudah datang."
Tiba-tiba Pak Jum muncul dibelakang kami.
--------------
Kamarnya lumayan besar, meski tak sebesar kamar Niko di kota. Lantainya dari kayu, sehingga suaranya sedikit brisik saat aku melangkah. Namun, rumah kayu membuat ruangan menjadi hangat. Pas banget dengan udara yang dingin.
"Ini handuknya. Mandi duluan deh." Niko melempar handuk padaku.
"Kamu duluan aja."
"Kenapa?"
"Ee, aku gak tahu cara nyalain airnya."
Niko tertawa. Dia pun langsung melucuti semua pakaiannya dan hanya menyisakan celana dalam yang kemudian dia tutupi dengan handuk dan masuk ke kamar mandi.
Konyolnya, kamar mandi dikamar itu bisa dibilang tak memiliki penutup. Bagaimana tidak, kamar mandi itu hanya berupa ruang kaca yang berpelapis buram yang dilengkapi dengan shower. Meski berpelapis buram, tetap saja orang bisa melihat pemandangan orang yang mandi didalamnya.
Dan tentu saja aku bisa melihat bagaimana Niko melepas handuknya dan menggantungkannya di rak handuk. Kemudian melepas celana dalamnya hingga tubuhnya tak berbalut apapun. Meski sedikit buram, namun badannya yang padat berisi dengan kulit yang meski tak seputih kulitku, namun begitu bersih, terpampang jelas. Boleh dibilang, tak ada gunanya kamar mandi itu berdinding kaca. Mungkin satu-satunya alasan berdinding kaca hanya untuk menahan air.
Lebih konyol lagi, saat dia memutar badannya dan menghadap ke arahku. Aku sedikit malu dan langsung mengalihkan pandanganku ke arah lain. Tapi entah kenapa, aku penasaran. Mungkin, aku hanya ingin membandingkan, karena aku belum pernah melihat seseorang telanjang di depanku. Maka sesekali aku melirik kearah kamar mandi.
Kulihat postur tubuh yang ideal. Badan yang tak terlalu gemuk, namun juga tidak kurus. Bahunya yang cukup besar, membuat badannya berbentuk segitiga terbalik. Perutnya tidak sixpack, tapi rata. Dan dibawahnya, nampak sesuatu berwarna hitam yang lebat yang ditengahnya bergelantung sesuatu berwarna sedikit lebih gelap dari kulit lainnya. Sesuatu itu berayun seirama dengan gerakan tangan Niko yang sedang menggosok badannya. Melihatnya, aku menjadi sedikit ciut. Dalam keadaan tidur, sesuatu milik Niko nampak besar.
Aku sempat tertegun saat tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka. Aku langsung mengalihkan pandanganku ke arah lain. Niko berjalan santai dengan handuk terlilit di pinggang. Aroma segar sabun langsung menyeruak ke seluruh ruangan.
"Dah, sana giliranmu mandi. Aku gak matiin kerannya, airnya dah pas tuh angetnya."
Entah mengapa, aku jadi kikuk. Aku langsung mengambil handuk dan melangkah ke kamar mandi dengan ragu.
"Ris, kamu mau mandi pake baju?" seru Niko tiba-tiba.
"Eh iya, lupa." kataku.
Aku belum pernah telanjang di depan orang meski hanya bercelana dalam saja. Aku membuka bajuku namun aku sedikit ragu saat hendak membuka celana panjangku. Saat kulihat Niko sedang sibuk mencari pakaian, aku pun buru-buru menurunkan celana dan melilitkan handuk. Saat ku lihat Niko lagi, dia masih sibuk mencari pakaian. Ah aman, kataku dalam hati.
Aku masuk ke kamar mandi.
Sekali lagi konyol. Dari dalam kamar mandi, aku tak bisa memastikan apakah ada orang diluar yang melihatku. Semua nampak buram. Ini kamar mandi yang aneh! Jadi kebingungan.
"Ris, buru ya. Papah dah nungguin dibawah!" seru Niko.
Ah sial, aku mesti gimana tanyaku pada diri sendiri.
"Ya udah, kamu duluan aja, nanti aku nyusul.!" teriakku.
"Oke!" jawab Niko.
"Ah, selamat." kataku dalam hati.
Setelah kutunggu beberapa menit, aku tak mendengar suara Niko lagi. Aku langsung melepas handuk dan juga celana dalamku. Kemudian melangkah ke shower.
Wah, mandi dengan air hangat pada kondisi udara dingin memang nikmat sekali. Di kamar mandi, tersedia kebutuhan mandi yang lengkap. Ada shampoo, sabun cair, sabun muka dan lainnya yang aku tak tahu untuk apa. Aku pun mulai dari rambut kemudian membersihkan muka denga sabun muka. Selanjutnya, mencuci semua seluruh badan dengan sabun cair. Termasuk bagian tengah tubuhku. Rambut kemaluanku yang lebat ku bersihkan dengan sabun. Begitu pula kemaluanku yang tadi mengkerut, ku cuci bersih dengan sabun. Siraman air hangat, membuat kemaluanku tak lagi mengkerut. Ku tarik ke arah depan agar seluruh bagiannya tercuci dengan bersih. keuntungan memiliki kemaluan yang disunat, tak perlu susah-susah mencucinya. Tak lupa dua telur yang bergantung dibawah kemaluanku pun ku cuci bersih.
Aku sebisa mungkin tak menghadap ke arah kamar. Tapi ternyata tak bisa tidak. Untuk menyiramkan air ke punggung, aku harus menghadap ke arah kamar. Ah, sudahlah. Lagian Niko sudah dibawah dengan orang tuanya.
Ku bersihkan semua bekas sabun dari seluruh badan. Ku gosong badanku berkali-kali dengan tangan agar tak ada bekas sabun tersisa. Begitu pula bagian kemaluan. Ku bersihkan dengan beberapa kali menggenggamnya dan menggerakkan maju mundur. Tak ketinggalan kedua telur bahkan bagian belakang tubuhku pun tak terlewat.
Ah.. Aku merasa segar.
Ku raih handuk, mengelap seluruh badan dan melilitkannya ke pinggang. Aku pun keluar kamar mandi.
"Nih baju mu."
Aku langsung membeku. Ku yakin mukaku memerah. Entah mengapa tiba-tiba aku merasa malu saat kulihat Niko duduk di kasur. Tentu saja aku malu. Kupikir Niko sudah ada dibawah.
Niko meletakkan sepasang pakaian lengkap dengan celana dalam yang nampak masih baru di kasur. Kemudian dia menuju pintu. Aku cuma bisa melihatnya melangkah namun tak bisa berkata apa-apa. Sebelum dia menutup pintu, dia melempar sebuah senyum. Senyum yang aneh.
--------------------------
"Makasih ya Nak Haris."
Aku cuma bengong saat Papah Niko berterima kasih padaku yang aku sendiri tak tahu untuk apa. Aku cuma tersenyum, namun nampak jelas kebigungan di wajahku.
"Dulu, Niko itu pendiam banget. Gak mau bergaul. Entah dia punya teman apa enggak."
Papah Niko bercerita sambil sesekali mengiris steak di piringnya dan memakannya. Mamah Niko nampak selalu tersenyum dengan sesekali memberikan tatapan manja pada suaminya. Sedangkan Niko, sibuk sekali dengan makanannya. Dan Pak Jum, nampak sibuk dengan urusan dapur.
"Tapi semenjak dia kenal sama Nak Haris, dia jadi ceria terus."
Kulirik Niko, dia masih serus dengan makanannya. Tentu saja aku tak percaya Niko adalah anak pendiam yang tak suka bergaul. Gak mungkin sama sekali. Tapi aku mendengarkan cerita Papah Niko dengan sesekali memberikan anggukan.
Udara dingin sekali, pantas Niko memberiku pakaian tebal sekaligus jaket yang mirip jas. Dan aku baru tahu, halaman belakang Villa ini lebih luas dari halaman depannya. Beberapa lampu taman membuat suasana menjadi syahdu. Apalagi dengan adanya tunggu pembakaran dengan baranya yang menyala, membuat suasana makin indah.
"Oya, kamu sudah tahu kenapa kita buat acara ini?" tanya Mamah Niko padaku.
"Belum tante." kataku pelan.
"Niko, kok hak kasih tahu Haris?" Mamah Niko melirik anaknya. "Niko kan mau ke Jepang minggu depan."
"Oya?" kataku kaget. "Pindah Tante?"
"Cuma pertukaran pelajar." kata Niko tiba-tiba. Dia sudah bangun dari pertapaan rupanya.
----------------------
"Kamu ingat waktu kita di ruang UKS dan aku di panggil Kepala Sekolah?"
Aku mengangguk saat Niko melanjutkan cerita tentang pertukaran pelajar di kamar.
"Nah waktu itulah Kepala Sekolah memintaku ikut pertukaran pelajar ke Jepang."
"3 bulan?"
"Iya, cuma 3 bulan aja kok."
"Wah keren yah!" kataku.
"Iya dan enggak."
"Kok?"
"Karena aku pasti kangen sama orang disini." jawab Niko sambil menatapku serius.
Aku tak tahu harus merespon apa. Aku cuma diam.
"Oya, bentar." kata Niko tiba-tiba.
Niko berlari menuju tas yang lumayan besar dan mengeluarkan sesuatu berbentuk gitar kecil.
"Ini buat kamu." kata Niko sambil menyerahkan bungkusan padaku.
"Hah? Apaan ini?"
"Buka aja."
Aku pun membukanya. Ternyata sebuah Biola.
"Hahaha.. Maksudmu apa nih?" tentu saja aku tertawa. Ini adalah candaan terparah.
"Nanti, kalo aku dah pulang, kamu harus bisa memainkan sebuah lagu." katanya sambil tersenyum.
"Hahaha, konyol ah. Ini biola." kataku berusaha mengatakan betapa konyolnya permintaan Niko.
"Please." Niko nampak serius dengan permintannya.
Aku langsung berhenti tertawa. Ini gila. Niko benar-benar serius. Akupun menatap bingung pada Biola ditanganku. Niko nampak kembali sibuk dengan tasnya. Tak lama dia kembali sudah berganti pakaian. T-shirt dan celana pendek basket.
"Nih, ganti baju." Niko melempar pakaian yang mirip padaku.
Aku mendengar suara alunan Biola saat aku selesai menyikat gigi. Kulihat Niko sedang memainkan biola dengan hikmat sambil duduk di kasur. Aku jadi tertegun. Aku menyukai suaranya.
Diruangan itu hanya ada satu kasur ukuran besar. Artinya, aku harus berbagi kasur dengan Niko. Aku memilih sisi kiri. Udara sangat dingin, membuatku buru-buru memasukkan badanku ke dalam selimut. Yang ku heran, Niko seperti tak merasakan udara dingin. Dia masih bisa berkonsentrasi dengan biolanya.
Aku benar-benar suka dengan alunan biola. Benar-benar menghanyutkan.
---------------
Entah apa yang membangunkanku. Mungkin mimpi.
Rupanya, alunan biola membuatku terlelap. Ruangan kini nampak sedikit temaram. Niko yang sebelumnya duduk sambil memainkan biola, kini tak lagi disana. Tapi kini dia di sebelahku.
Konyol! Dia tak cuma disebelahku, tapi dia menempel padaku!
Niko tidur miring menghadapku. Tangannya merangkul dadaku sedangkan pipinya bersender pada bahuku. Tak cuma itu, kakinya pun menindih tubuhku. Seolah aku adalah sebuah guling.
Yang jadi masalah, kakinya menindih tepat pada kemaluanku yang kini nampaknya sedang mengeras.
Ku lirik wajah Niko. Nampak begitu damai, sepertinya hanyut dalam mimpi indah. Aku jadi tak tega untuk menyingkarkan kaki dan tangannya dari tubuhku. Aku cuma bisa diam. Akhirnya aku cuma bisa pasrah menjadi guling Niko untuk semalam.
------------------
Aku terbangun oleh suara kokok ayam, tapi mataku tak mau terbuka.
Udara masih dingin sekali. Akupun mempererat dekapanku pada guling. Rasanya, aku tak ingin bangun dulu. Tapi ada yang aneh dengan gulingku.
Pertama, gulingnya sangat hangat sekali.
Kedua, gulingnya mengembang dan mengempis seperti bernafas.
Ketiga, ada sesuatu yang keras pada bagian tengah guling yang sedikit mengganggu.
Aku pun berusaha mencari tahu pengganggu itu dengan tanganku. Saat ku raih, penganggu itu berbentuk bulat panjang. Keras namun empuk. Hangat dan berdenyut!
Akupun memaksa untuk membuka mataku dan aku pun kaget saat kulihat Niko tersenyum tepat dimukaku.
Pertama, ternyata guling yang kudekap erat adalah tubuh Niko.
Kedua, sesuatu yang keras di tengah guling, yang mengganjal pahaku tadi adalah sesuatu milik Niko.
Ketiga, sesuatu yang keras itu, hanya dilapisi selembar kain tipis.
Akupun langsung melompat.
Niko cuma nyengir dan bangkit dari tempat tidur. Bagian depan celananya membentuk bukit. Seperti ada sesuatu yang meronta ingin keluar. Aku cuma diam membeku. Apa yang ku pegang tadi?
"Kenapa Ris?" tanya Niko santai.
Aku masih diam. Shock.
"Kayaknya kamu kedinginan banget ya? Sampe aku susah nafas jadi gulingmu." kata Niko lagi.
Aku masih diam. Sesekali mataku menatap pada sesuatu dicelana Niko yang sampai sekarang masih meronta. Sesuatu yang tadi sepertinya ku remas-remas.
Niko pun sadar dan melihat ke celananya. Diapun menutupinya dengan tangan.
"Eh, sorry, aku lupa bilang. Aku kalo tidur gak biasa pake celana dalam." katanya sambil nyengir dan langsung kabur ke kamar mandi. Dan itu tidak menolong sama sekali. Disana, senjatanya yang sedang tegak berdiri malah makin keliatan. Tanpa tertutup celana lagi.
--> bersambung
0 comments:
Post a Comment