DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Inikah Cinta? - just a Love Story Episode 10

Episode 10 : Kenangan Terakhir



Seumur hidupku, aku gak pernah dapat kejutan dari orang tuaku. Yah, mungkin pernah, kalau kematian Emak masuk ke dalam kriteria kejutan. Tapi kejutan yang membuat senang, sama sekali belum pernah sampai aku masuk rumah dan mendengar alunan Biola.

Suara mendayu-dayu yang menggetarkan jiwa, itulah yang kurasakan saat mendengarkan alunan Biola dari dalam rumahku. Ya, dari dalam rumahku! Aneh kan? Dan keanehan itu makin menjadi aneh, saat ku tahu yang memainkannya adalah Bapakku.

Orang kurus, hitam legam itu memainkan sebuah Biola. Tentu saja ini sebuah kejutan besar.

Aku masuk dan langsung duduk di tikar. Mataku tak berkedip melihat Bapak memainkan Biola sambil menutup mata. Ia benar-benar meresapi alunan musik yang aku tak tahu judulnya. Tapi aku suka musiknya.

Saat musik selesai, barulah Bapak menyadari ada seorang penonton yang menatapnya kagum. Dia tersenyum.

"Bapak dulu, duluu banget. Waktu masih seumuran mu pernah bermain biola. Tapi itu dulu." Bapak tak melanjutkan ceritanya. Dia mendekatiku dan menyerahkan Biola kepadaku.

"Kamu coba saja. Kamu pasti bisa." kata Bapak yakin.

Aku masih terkagum-kagum tak percaya hingga tak mampu berkata apa-apa. Aku bahkan tak pernah membayangkan Bapakku tahu tentang musik, tapi sekarang, dia memainkan alat musik.

"Bapak pergi dulu ya. Oya, Bapak masak ikan goreng kesukaanmu."

Senyumku makin lebar. Makan ikan goreng termasuk makan besar buatku. Dan aku baru sadar, sebenarnya, bukan cuma musik, Bapakku sesungguhnya pandai masak. Meski sederhana dan apa adanya, tapi masakannya sungguh enak. Ya, kini aku baru menyadari begitu banyak hal yang bisa kubanggakan dari Bapak.

Saat Bapak sudah pergi, aku mencoba menggesekkan Biolaku.

"Ngeeek!" suara itu membuat telingaku sakit. Sepertinya, bakat Bapak gak nurun ke aku.

-------------


Takdir! Mungkin itulah yang terjadi.

Tapi aku tak bisa menerimanya. Aku sama sekali tak bisa menerima takdir yang seperti ini.

Aku tidak meraung, aku cuma meneteskan air mata. Tapi air mata itu terus mengalir tak mau berhenti.
Aku pun tak bicara. Bibirku gemetar. Aku bahkan tak bisa berfikir sama sekali.

Aku tak mau menerima takdir seperti ini!

Aku menggenggam kuat tanah yang masih berwarna merah. Air mataku masih tak mau berhenti. Jiwaku terasa kosong. Aku kini bukan apa-apa lagi!

Semua ingatan saling berdesakan muncul di kepalaku. Berebut layar dikepalaku seakan berlomba untuk membuatku terus mengalirkan air mata. Semua ingatan tentang Bapak seperti bambu yang saling bergesekan. Membuatku menangis. Semua ingatan tentang Bapak adalah seorang tua, kurus, legam dan lelah.

Aku tak mau menerima takdir ini!


-----------

Satu hari sejak Bapak meninggalkanku seorang diri, aku masih tak mampu berfikir.

Aku bahkan masih tak percaya, Bapak telah pergi. Yang kurasakan, rumah kontrakan itu kini sangat sepi. Senyap.
Yang kulakukan hanyalah duduk bersandar tembok memandangi foto Bapak dan Emak di dinding. Hanya itu. Bahkan aku tak merasakan lapar juga haus. Mungkin aku merasakannya, tapi aku tak peduli.

"Tok tok.."

Aku mendengarnya. Aku mendengar suara ketukan di pintu. Tapi aku tak peduli. Aku hanya mau duduk disini menatap wajah Bapak dan Emak. Aku tak mau wajah-wajah itu pergi dari mataku.

Aku juga tahu, seseorang masuk. Tapi aku juga tak peduli. Aku tak mau sekedar menoleh. Aku takut wajah-wajah itu pergi saat aku memalingkan muka ku. Aku tak mau yang tersisa, meski hanya bayangan, juga akan pergi.

"Ris." aku tahu, Imron memanggilku dengan suara yang sangat lembut. Tapi aku tak peduli.
"Aku bawa makanan dari Emak. Kamu makan ya." aku mendengarnya. Tapi aku tak peduli.
"Ya udah, aku taruh sini. Kamu harus makan, nanti sakit." aku juga mendengarnya. Tapi aku tak peduli.
Aku mendengar langkah Imron yang menghampiriku, dan menuangkan air ke mulutku. Tapi aku tak peduli. Aku tetap menatap wajah-wajah didinding. Aku tak mau mereka pergi.
Aku mendengar langkah Imron pergi dan suara pintu yang ditutup. Tapi aku tak peduli.

------------

Mataku berat. Tubuhku lemas. Tapi aku tak peduli. Aku tak akan biarkan mataku tertidur dan wajah mereka pergi.

Seperti biasa, aku mendengar, suara pintu diketok. Aku juga mendengar langkah Imron. Aku juga mendengarnya mendesah khawatir. Tapi aku tak peduli.
"Ris.." aku mendengarnya. Tapi aku tak peduli.
"Aku yakin, Bapak dan Emakmu gak mau kamu begini." aku mendengarnya. Aku juga mendengar Imron menarik nafas panjang dan menghelasnya. Tapi aku tak peduli.
"Bapak dan Emakmu, pasti ingin kamu melakukan sesuatu. Sesuatu yang membuatnya bangga.." aku mendengarnya. Aku tak peduli.

------------

Tak ada suara ketukan. Tak ada langkah Imron. Aku tak peduli.

Tapi tanpa ketukan itu, suasana makin senyap. Kini bertambah sebuah ingatan lagi dikepalaku. Sebuah ingatan tentang Imron. Yang selalu membawakanku makanan meski tak ku sentuh. Yang menuangkan air ke mulutku, meski aku tak peduli.

Aku juga ingat kata-kata Imron.

"Bapak dan Emakmu, pasti ingin kamu melakukan sesuatu. Sesuatu yang membuatnya bangga.."

Tiba-tiba ingatanku melompat pada detik-detik terakhir aku mendengar suara Bapak. Aku tahu Bapak kesakitan menahan luka disekujur tubuh, tapi ia tetap memaksa untuk bicara.

"Haris, kamu harus ingat pesan Emak. Ya, ingat pesan Emakmu. Maafin Bapak.."

Dan lelaki tua, kurus dan legam itu pun pergi. Pergi untuk selamanya.
Dan tiba-tiba ingatanku melompat lagi. Kini wajah emak disana. Dengan sebuah senyum yang selalu kurindukan.

"Ris, kamu harus sekolah. Belajar yang rajin, yah. Kamu harus sekolah setinggi-tingginya. Kamu ngerti kan?"

Tiba-tiba aku tak bisa menahan diri untuk tidak meraung. Aku meraung sekuat-kuatnya.

"Haris? Kamu kenapa? Haris?"

Kulihat Imron memburu masuk dan menuju ke arahku. Aku langsung memeluknya. Memeluknya erat. Aku tahu, aku membutuhkan seseorang untuk membantuku bangkit.

"Gak apa-apa Ris. Nangis aja. Keluarin semua." kata Imron sabar dan mempererat pelukannya.

Entah kenapa, makin lama, aku makin merasa lega. Dan tiba-tiba perutku berbunyi keras sekali. Tiba-tiba aku merasa lapar. Sangat lapar.

Imron tersenyum lega dan senang.

"Nih, aku bawa makanan dari Emak. Emak bahkan gak buka warung buat masak ini. Katanya, biar masakannya enak dan kamu mau makan." kata Imron.

Aku tak bisa berkata apa-apa. Tapi aku bisa tersenyum. Aku cuma bisa mempererat pelukanku.

Tak lama, Imron membuka rantang yang ia bawa. Banyak sekali makanan yang di masak Emaknya. Kemudian ia menyodorkan piring penuh dengan makanan.
Aku mengambilnya dan perlahan memasukkan satu suap ke mulutku.

Makanan itu terasa nikmat sekali. Sangat lezat.

---> bersambung


0 comments:

Post a Comment