DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Inikah Cinta? - just a Love Story Episode 11

episode 11 : Aku Gila! 



"Makasih ya Dik."

Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih juga.

Akhirnya, setelah 4 rumah ku kunjungi, aku mendapat seorang pelanggan. Namun malam sudah makin larut, aku tak mungkin melanjutkan pekerjaanku.
Ya, kini aku resmi menjadi seorang tukang pijat. Mungkin, pepatah yang mengatakan "apel jatuh tak jauh dari pohonnya" adalah pepatah yang akurasinya 99%. Setidaknyai itu terbukti padaku.

Jika sebelumnya Niko adalah teman urutan pertama yang paling berjasa padaku, kini Imron telah menyalipnya. Si senyum khas itu telah menyelamatkan masa depanku.

Aku kini telah bangkit dengan tekad baru. Aku telah memiliki sesuatu yang harus ku perjuangkan, apapun itu taruhannya. Dan jika meminjam lagu lawas Padi, tekad itu "telah ku ukir pada pusara hati". Yah, mumpung pusara hati ku masih kosong, sebelum ada nama tercinta yang bisa kutulis disana. Ah, mimpi! Aku bahkan belum membayangkan memiliki seorang kekasih.

Tak banyak yang ditinggalkan Bapak. Hanya beberapa ribu uang, dan rumah kontrakan yang seminggu lagi habis masa kontraknya. Awalnya aku selalu berfikir tak mungkin, tapi kini aku tak akan mengatakan itu sebelum aku benar-benar tak bernafas.

Langkah pertama yang kulakukan adalah, meng-inventarisir pengeluaran.

Kebutuhan teratas saat ini adalah untuk makan dan tempat tinggal. Setelah kontrakan habis nanti, aku putuskan untuk pindah dan mencari kosan yang murah. Dan untuk kebutuhan itu, aku harus kerja. Masalahnya, keterampilan yang kumiliki adalah memijat dan urut.

Karena itu, malam ini, aku pun bergerak ke tiap-tiap rumah pelanggan Bapak. Dan baru kusadari, itu sama sekali tidak efektif. Dari 5 rumah, hanya 1 yang membutuhkan jasa pijat. Dan anehnya, semuanya menanyakan hal yang sama, "Berapa nomor hapenya?"

Akhirnya, HP berada diurutan teratas untuk ku beli!


----------------

Aku tak suka dengan sambutan teman-teman di sekolah. Aku merasa seperti orang cacat yang perlu dikasihani.

Tatapan mereka seolah berkata, "Selamat pagi mahluk lemah tak berdaya." Tentu saja tak seperti itu, tapi aku merasa diperlakukan seperti itu.
Mereka tak berkata. Tak menyapaku seperti biasa. Tak mengejekku seperti dulu. Mereka hanya tersenyum dengan senyum murung yang konyol.

Tapi setidaknya, ada dua orang yang membuatku merasa sekolah ini masih seperti yang dulu.

"Haris!" seru Imron dari belakangku.
"Hei." sambutku sambil menyalaminya.
"Ntar nonton aku main bola ya." Imron tak memberiku senyum seperti teman-teman yang lain. Dia bahkan seolah tak ingat bagaimana keadaanku saat itu. Dia menganggapku seperti Haris yang dulu.
"Wah, sorry Im. Kayaknya gak bisa." jawabku dengan ekspresi kecewa. Ya, aku sungguh kecewa tak bisa menerima ajakannya. Sama sekali tak ku buat-buat.
"Emang ada acara lain?"
"Aku harus kerja Im." kataku singkat.

Imron diam sejenak berusaha mencerna dan langsung tersenyum.

"Oke, gak apa-apa. Itu emang prioritas kan?"

Aku mengangguk.

Ya, orang pertama yang membuatku masih berada di sekolah yang lama adalah Imron. Sedangkan orang kedua adalah Yosep dan teman-temannya.

Mereka menatapku seperti srigala yang menatap kawanan domba. Dan tentu saja aku sadar. Aku kini adalah domba yang tak memiliki penjaga seperti dulu. Hanya menunggu waktu saja hingga srigala-srigala itu mencabik-cabikku tanpa ampun.

Tapi aku tak peduli.

----------

Malam ini aku bertekad mendapatkan pelanggan sebanyak-banyaknya, tapi ternyata, nasib berkata lain. Sudah jam 9 dan aku belum mendapatkan seorang pelangganpun!

Aku mencoba satu rumah lagi, dan semoga aku beruntung.

Rumah yang kudatangi adalah sebuah rumah kontrakan kelas atas. Maksudku, meski ini adalah rumah kontrakan yang kecil, tapi rumahnya sangat bagus dan tingkat. Bahkan, tersedia parkir mobil. Bangunannya di desian minimalis tapi sangat rapi dengan taman kecil didepannya. Maksudnya sangat kecil. Hanya satu kali dua meter dan ditanami rumput ditambah sebuah pohon palem dan tanaman rambat. Namun jadi indah, karena dilengkapi pancuran kecil dan lampu sorot.

Aku pernah kesini sebelumnya. Sekali.

Karena itu, pemilik rumah sudah mengenali wajahku.

"Bapak sakit lagi?" kata pemilik rumah itu sambil melucuti semua pakaiannya dan hanya menyisakan celana dalam.
"Enggak Mas. Bapak sudah meninggal." kataku senormal mungkin.
"Astaga. Kenapa?" tetap saja orang itu sangat kaget.
"Kecelakaan Mas. Tabrak lari." kataku singkat untuk memastikan aku tak ingin membahasnya lagi.

Rupanya, dia ngerti dan tak melanjutkan pertanyaanya. Dia pun tengkurap di permadani tebal seperti biasa.

Orang yang kupijat masih muda. Sepertinya, dia adalah contoh pemuda sukses. Kalau dilihat dari wajahnya, sepertinya umurnya 25 tahun. Tubuhnya lebih tinggi beberapa senti dari tinggiku. Tapi badannya lumayan berotot. Dulu, aku benar-benar menguras tenaga saat memijatnya.

Kulitnya putih bersih. Seperti kulit orang yang suka luluran.
Entahlah, aku juga gak tahu kulit orang yang suka luluran itu seperti apa. Tapi kulitnya halus seperti kulit cewek. Hah, itu pun cuma perkiraan ku saja. Karena aku juga tak pernah menyentuh kulit cewek. Tapi memang halus namun keras. Kombinasi yang aneh.

Meski aku pernah memijitnya sekali, tapi aku sedikit merasa aneh kali ini. Dulu dia menyisakan celana boxer, tapi sekarang dia hanya menyisakan celana dalam yang menurutku pendek sekali. Tentu saja celana dalam memang pendek, tapi ini lebih pendek lagi. Saking pendeknya, rambut-rambut disekitar kemaluannya pun terlihat. Aku jadi merasa sedikit risih. Ini adalah kali kedua aku melihat orang hanya bercelana dalam. Pertama adalah Niko.

Aku berusaha profesional. Entah apa artinya profesional, tapi maksudku, aku berusaha tak peduli dengan pakaian pelangganku. Dan aku mulai memijat.

Seperti biasa, mulai dari kaki ku urut dengan lotion. Memijit beberapa titik refleksi yang selalu diiringi teriakan kecil atau sekeder wajah yang meringis. Ekspresi orang berbeda-beda jika sudah ku pijat refleksi pada telapak kaki.

Saat aku hendak mengurut bagian paha, tiba-tiba dia memintaku berhenti sebentar.

"Mending aku copot saja ya celanaku." katanya sambil bangkit.
Aku kaget. "Oh, gak perlu Mas."
"Ntar kotor kena lotion." ujarnya dengan alasan yang menurutku aneh.
"Gak lah Mas, kan saya lapisi handuk." bantahku. Tapi alasanku jadi tak berarti karena dia telah melepas celana dalamnya yang bahkan menurutku sudah sangat pendek itu.
"Lagian, lebih nyaman begini." katanya santai sambil kembali tengkurap.

Mungkin nyaman buat dia, tapi aku jadi merasa tidak nyaman. Aku terpaku sesaat karena bingung.
Memang, ini bukan kali pertama aku melihat "barang" milik orang lain. Aku pernah melihat punya Niko, tapi itu dibelakang kaca buram. Jadi setidaknya, aku tidak melihat langsung. Tapi sekarang, aku benar-benar melihatnya didepan mataku yang jaraknya tak sampai 1 meter.

"Senjata" pelangganku langsung bergelantung lemas saat ia melepas celana dalam super pendeknya. Agak gelap dan tidak disunat. Rambut disekelilingnya lebat, tapi dicukur rapi. Dan meski dalam kondisi lemas, tapi panjangnya bahkan mungkin sama dengan milikku dalam kondisi tegang.

Aku jadi merasa tak nyaman.

"Kenapa?" tanyanya saat aku tak juga mulai.
"Oh, gak apa-apa Mas." jawabku dan langsung buru-buru melanjutkan mengurut bagian paha.

Aku berusaha tetap profesional, tapi rupanya sulit. Aku benar-benar risih karena dalam kondisi tengkurap pun, rambut-rumbut disekitar kemaluan dan bahkan dekat anus tetap keliatan. Bahkan buah zakarnya pun keliatan.

Saat mengurut pahanya, aku harus extra hati-hati agar tak menyentuh bagian itu. Ini benar-benar menyiksaku.

Aku sedikit lega ketika pijitan sudah sampai ke bagian punggung. Jauh dari tempat yang tak menyenangkan itu.
Namun rasa lega itu tak berlangsung lama, karena selanjutnya adalah bagain tangan. Untuk mengurut bagian tangan, orang yang kupijat harus terlentang.

Dan dia pun terlentang!

Dan ini memang konyol! Dia bahkan tak mau repot-repot menutupi "senjata"-nya dengan kain atau celana dalamnya. Dia membiarkannya terpampang jelas.

Aku berusaha untuk tak melihatnya, tapi itu sulit. Saat aku mengurut tangan, badanku berada tepat dipinggangnya. Artinya, aku berada disebelah bagian yang paling rahasia itu.

"Bisa duduk Mas." kata ku setelah bagian tangan selesai. Selanjutnya adalah bagian kepala.
"Kenapa bagian paha atas gak pernah dipijit ya?" tanyanya tiba-tiba sambil tetap terlentang. Aku kaget mendengar pertanyaan yang tak pernah kusangka-sagka itu.
"Ee, kan udah diurut dari belakang Mas. Jadi ototnya udah kena semua." kataku mencari alasan sekenanya. Lagian, mana ku tahu kenapa? Dari dulu, aku diajarin ya cuma mengurut paha bagian belakang.
"Ya, aku minta spesial ya. Pijitin bagian atasnya juga. Pegel-pegel nih." dia masih ngotot.

Aku bingung. Aku cuma diam. Aku benar-benar bingung.
Pertama, aku belum tahu cara ngurut paha atas. Aku belum pernah belajar. Kedua, mengurut paha atas, berarti harus berhadapan dengan "senjata" panjang yang tergolek itu.

"Ya udah, ku anggap ini permintaan tambahan. Jadi nanti aku tambah bayarannya."

Kata-kata itu sedikit membuatku tergerak, meski sedikit ragu. Tapi kenyataanya, aku memang butuh uang.

"Ya udah Mas." kataku pelan dan sedikit ragu. Cuma paha kan? Aku bicara pada diri sendiri.

Aku pun mulai mengurut bagian atas dengan cara yang kuciptakan sendiri. Dan benar perkiraanku, mau gak mau, tanganku sedikit menyentuh "senjata" yang sedang tidur. Bahkan, berkali-kali tanganku harus berbenturan dengan buah zakarnya.

Aku jadi serba salah. Aku merasa konyol dan, sedikit.. jijik.

Bahkan aku makin panik waktu "senjata" itu sedikit demi sedikit bergerak. "Senjata" itu mulai bangkit.

Astaga, aku harus bagaimana? Aku mulai berkeringat dingin. Saat ku urut paha yang satu lagi, "senjata" itu kini sudah mengacung keras ke atas. Meski tidak membesar dari ukuran saat lemas, tapi kini jadi mengeras. Aku baru tahu, ada "senjata" yang tak membesar saat dia menjadi tegang.

Aku berusaha tak melihatnya. Aku ingin bagian paha ini cepat selesai.

"Sudah Mas." kataku akhirnya. "Sekarang bagian kepala."
"Sekalian bagian tengahnya aja."

Hah! Aku kaget. Setidaknya, aku teriak, Apa? dalam hati.

"Maksudnya Mas?"

Pelangganku tersenyum.
"Itu, bagian tengah yang lagi tegang. Bisa diurut biar lemes gak?"

Aku langsung bergeser mundur.
"Maaf Mas. Gak bisa. Saya gak pernah pijat bagian itu." kataku agak gemetar.
"Aku tambah deh. Aku tambah 200 ribu. Gimana?"
"Gak Mas. Maaf, gak bisa." kataku panik.

Dia diam dan menatapku sesaat. Mungkin dia melihat wajahku yang pucat.

"Ya udah gak apa-apa. Sekarang lanjut bagian kepala aja." katanya akhirnya.

Aku lega. Lega luar biasa.

----------------


Ini benar-benar pegalaman aneh pikirku selama perjalanan. Kejadian barusan benar-benar membuatku berkeringat dingin. Dan terus-terus menghantui pikiranku.
Ini pertama kalinya aku melihat "senjata" orang lain tegang didepan mataku. Benar-benar tegang!

Dan ini adalah pertama kalinya aku menyentuh, "senjata" milik orang! Meski hanya ujung jariku.

Tapi tiba-tiba, ingatanku kembali ke Niko dan kejadian di Villa. Aku ingat telah meremas "senjata" milik Niko. Tapi saat itu, dia sedang menggunakan celana. Jawabku pada pikiranku sendiri. Ah, tapi sama saja. Aku sudah menyentuh "senjata" orang!

Dan itu mebuatku bergidik.

Aku merogoh kantong celanaku. Aku cuma mendapat 100 ribu. Masih lebih baik, kemarin aku cuma dapat 50ribu.
Meski malam ini juga cuma satu pelanggan, tapi dia benar-benar menepati janjinya untuk menambah bayaran karena memijat pahanya. Meski dapat 100 ribu, tapi tetap saja masih jauh dari target. Dan badanku sudah sangat lelah.


-------------


Entah setan apa yang merasuki ku.

Aku kini berada didepan pintu rumah kontrakan mewah itu lagi. Padahal, beberapa menit yang lalu, aku meninggalkannya buru-buru.

Aku mengetok pintu dengan gemater.

"Loh, ada apa? Ada yang ketinggalan?" tanya pemilik rumah saat melihatku.

Tiba-tiba aku seperti bisu. Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku juga tak tahu harus mengatakan apa. Kosong.

Tapi pemilik rumah itu tiba-tiba tersenyum ramah. Seolah dia tahu apa yang ingin ku katakan.
"Masuk aja."

Dia mengajakku masuk ke ruang tengah tempat aku memijatnya tadi.
Kemudian dia melepas kaosnya.

Aku melihatnya seperti sebuah slow motion. Aku cuma diam. Aku sedikit gemetar. Tapi dia tersenyum ramah dan seolah mengerti.

Gerakan itu sangat lambat bagiku. Dia membuka celana pendeknya. Dan selanjutnya membuka celana dalamnya. Kini, dia kembali telanjang bulat didepanku. "Senjata"-nya telah lemas lagi. Berjuntai panjang. Di sekitarnya rambut-rambut yang mestinya lebat dipotong rapi. Semua bagian tubuhnya sangat rapi, serapi rumahnya dan juga perabotannya.

"Ayo, gak apa-apa." katanya lambut seperti memanggil seorang bocah. Tapi kata-kata itu masih seperti sebuah slow motion.

Bahkan, saat aku bergerak menuju kearahnya pun, seperti slow motion. Kakiku terasa berat.
Saat aku sudah berada didepannya, dia memberiku sebuah botol. Baby Oil.
Dia tersenyum dan mengangguk. Semua bergerak dalam slow motion.

Aku membuka tutup botol dan menuangkan isinya ke tanganku. Dan berlahan aku berlutut dan meraih "senjata"-nya yang lemas. Aku gemetar.

Aku olesi seluruh permukaaan "senjata" itu hingga membuatnya nampak mengkilat. Berlahan, aku mengurutnya dengan jempol dan jari telunjuk. Tangan kiriku menahan bagian kepala yang tertutup kulup dan tangan kiriku mengurut lembut hingga ke pangkal "senjata".

Tak lama, "senjata" itu bergerak dan bangkit. Seperti sebuah moncong tank, "senjata" itu kini tegak berdiri. Aku terus mengurutnya.

"Aaah.."

Tiba-tiba aku mendengar desahan dari atas. Saat aku mendongak, kulihat pelangganku memejamkan mata sedangakan bibirnya komat-kamit dan mengeluarkan desahan.

Sesaat aku merasa aneh dan bergidik. Seandainya aku tak ingat uang yang dijanjikannya, mungkin aku sudah lari keluar. Tapi aku berusaha menahan diri. aku butuh uang itu. Dan aku berusaha tak mendengar desahannya yang makin lama makin keras.

"Coliin sekalian donk." katanya sambil tetap mendesah.

Aku bingung dan berhenti mengurut.

"Kok berhenti?" tanya-nya tiba-tiba. Jelas banget kekecewaan diwajahnya. Seperti anak kecil yang asik bermain tapi ada yang merebut mainannya.
"Maksudnya coli.. apaan ya?"

Dia kaget dan heran. Dia benar-benar keheranan. Seperti baru saja melihat kodok bisa ngomong.

"Astaga! Kamu gak tahu coli?" dia masih keheranan.
Aku makin gak paham. Aku gak ngerti kenapa dia malah heran. Dia malah tertawa melihat ekspresiku.

"Kamu tahu onani? Hmm, masturbasi?"
Aku masih tak berkata-kata.

"Astaga! Jangan-jangan kamu belum pernah coli?"

Makin lama, aku makin tidak suka. Pertama, aku gak suka dia menganggapku seolah aku orang kampungan. Kedua, dia terus saja menertawakanku.

"Oke.. Ini aneh. bener-bener aneh. Belum pernah aku denger anak SMA gak pernah coli." katanya sambil sesekali terkekeh.
Aku diam saja.
"Ya udah," akhirnya dia serius."Aku kasih tahu."

Dia meraih tangaku. Sesaat, aku menarik tanganku. Tapi dia tersenyum seolah berkata, "gak apa-apa."
Aku pun menuruti tangannya yang meraihku.

Dia meletakkan tanganku ke "senjata"-nya yang kini agak lemas. Dia membuat jariku menggenggam "senjata"-nya.
Awalnya, tanganku sedikit tegang. Tapi dia menyuruhku untuk santai. Kini tanganku telah menggenggam batang "senjata"-nya.

Dia memintaku untuk menggenggamnya lebih kuat dan akupun melakukannya.

"Auh!" tiba-tiba dia menjerit. "Jangan keras-keras."
Aku meringis. Ku kendorkan sedikit genggamanku dan diapun mengangguk. Lalu tangannya membimbing tanganku untuk bergerak maju mundur. Dan diapun melepaskan tanganku.

Aku terus menggenggam batang "senjata"-nya dan menggerakkan maju-mundur. Tak lama, "senjata" itu mengeras kembali. Kini "senjata" yang kugenggam makin mengeras. Diapun memintaku untuk menggenggamnya makin kuat dan ku genggam lebih kuat lagi, "senjata" itu makin keras dan makin bergerak keatas.

"Aah.."

Suara desahan itu terdengar lagi. Kini bahkan lebih keras dan makin gak jelas.

"Terus Ris. Terus.. Lebih cepat. Aah.."

Aku mengikuti perintahnya.
Tanganku sedikit pegal-pegal, tapi aku berusaha menepisnya dengan terus membayangkan uang yang akan kudapat.

"Ahh.."

Desahan itu kini makin cepat dan terburu-buru.

"Lebih cepat.. Ahh.."

Aku mengikuti perintahnya. Tapi tiba-tiba "senjata" itu berdenyut-denyut cepat. Kepalanya pun kini membesar dan warnanya memerah gelap. Sekujur kakinya tegang. Bahkan telapak kakinya ikut jinjit. Dan yang konyol, tangannya meraih rambutku dan meremasnya kuat. Aku sedikit kesakitan.

Denyutan itu makin lama makin cepat begitu pula kakinya makin tegang dan cengkeraman tangannya dirambutku juga makin kuat. Bahkan kini dia seperti melolong. Mendesah tak karuan.

Dan tiba-tiba, cairan putih kental menyembur dari lubang kepala "senjata"-nya yang merah gelap. Semburan itu sangat jauh dan sebagian mendarat ke kepalaku.

Panik!
Aku berusaha menjauh meski tanganku tetap menggenggam "senjata"-nya. Dan denyutan itu muncul lagi. Aku tahu apa yang akan terjadi. Dengan sigap aku menghindari semburan kedua yang kini tak terlalu jauh. Semburan itu berceceran dilantai. Dan semburan berikutnya seperti lava yang keluar dari lubang kawah.

Aku jijik melihatnya tapi dia belum memintaku melepaskannya.

Tapi aku tak tahan. Saat cairan putih itu membuat tanganku lengket, aku langsung melepaskannya dan buru-buru mencari handuk ditasku. Aku mengelapnya buru-buru. Aku juga ingat ada cairan yang melompat di rambutku. Aku mengelap rambutku asal-asalan. Aku tak tahu cairan itu mendarat dimana.

Ku lihat pelanggan ku masih memejamkan mata. Nafasnya ngos-ngosan dan tangannya melanjutkan gerakan yang tadi kulakukan. Aku mundur menjauh. Aku gemetar.

"Ternyata enak juga dicoliin sama orang." katanya tiba-tiba sambil tersengal. Dia seperti habis lari marathon. Dia juga tersenyum riang seperti habis dapat lotre. Dan aku masih diam gemetar.

------------

Aku berjalan terburu-buru. Uang itu pun masih kugenggam. Aku berlari seperti robot. Aku linglung. Kepalaku kosong. Aku seperti melihat sesuatu yang tak nyata. Aku telah melakukan hal yang bodoh. Aku sudah gila!

Bahkan aku kesulitan membuka pintu kontrakan. Kunci itu seperti tak mau masuk.

Saat pintu terbuka, aku langsung membuang uang yang kugenggam ke lantai dan memburu kamar mandi. Aku langsung mencuci tanganku. Kucuci berkali-kali dengan sabun.

Entah berapa kali. Tapi aku merasa itu belum cukup.

Lalu aku menyiramkan air ke kepalaku. Aku menyiramnya berkali-kali. Aku bahkan tak membuka baju. Aku ingin cepat-cepat bayangan menjijikan itu pergi dari kepalaku.

Bayangan "senjata" merah gelap keras itu. Bayangan tangannku yang terus meremas-remasnya. Bayangan cairan kental itu.

Aku ingin mencucinya hingga bersih. Aku ingin bayangan itu pergi.!

Hingga akupun kelelahan. Aku mundur bersandar tembok kamar mandi dan molorot duduk.

"Aku sudah gila. Aku memang tolol!" kataku berkali-kali diantara nafasku yang tersengal. Ternyata aku menangis.


--> bersambung


0 comments:

Post a Comment