DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Inikah Cinta? - just a Love Story Episode 12

Episode 12 : Sosok Itu 


Matahari begitu panas. Tak hanya membakar kepalaku, tapi juga pasir yang ku pijak.
Aku melangkah tanpa alas kaki di hamparan permadani pasir yang menguning. Aku seperti tak tahu harus melangkah kemana. Aku bahkan tanpa tujuan. Aku hanya berjalan mengikuti apa kata hati.

Namun tiba-tiba, dari langit muncul sebongkah es yang cukup besar. Meluncur cepat. Cepat sekali hingga aku tak mampu sekedar untuk menghindar.

Pletak!!!

Sesaat aku bingung apa yang terjadi sambil memegangi kepalaku yang sedikit sakit. Ada warna putih bekas kapur di sana. Butuh beberapa detik hingga aku sadar dan itu membuatku melotot takut.

"Nah kamu! Coba kamu jelaskan ciri-ciri Coelenterata."

Pertanyaan itu lebih mirip menghardik. Seperti menunjuk hidungku sambil berkata "Kamu tidak berguna!". Dan mungkin memang benar, aku lupa tentang coelenterata. Aku memang tak berguna.

Aku diam. Sepertinya mataku pun masih melotot panik.

Ayolah, ingat-ingat! Teriakku dalam hati pada otakku untuk berfikir keras. Sedangkan di sana, seseorang yang berwajah sadis itu terus menatapku tak sabar. Benar-benar mengintimidasiku.

"Binatang yang tak memiliki tulang belakang.." jawabku akhirnya. Suara itu sangat pelan bahkan aku sendiri sulit mendengarnya. Dan jawabanku itu malah lebih mirip sebuah pertanyaan.

"Lalu?!"

Selanjutnya aku cuma diam. Aku tak tahu apa-apa lagi. Aku pasrah.

"Kamu maju! Berdiri dipojok sampai pelajaran selesai."

Aku bangkit dari tempat duduk dan melangkah pasrah seperti tawanan perang menuju sudut depan ruang kelas. Kini, akulah Coelenterata, binatang sialan yang sedang di pelajari Guru biologiku. Guru paling sadis di sekolah.

"Ingat, jangan pernah tidur saat saya mengajar!" hardik Bu Resti, guru biologi. Peringatan itu bukan untukku, tapi untuk murid lain yang kini terdiam dan nampak duduk lebih tegap. Seperti dalam ruang kelas sekolah militer!

Aku sudah berusaha sekuat tenaga menahan kantuk, tapi aku kalah. Bahkan, rasa takutku pada Bu Resti pun kalah oleh rasa kantuk itu. Rasa lelah dan kantuk, adalah kombinasi yang paling hebat untuk membuat seseorang tertidur.

Mungkin ini seperti mencari-cari alasan. Tapi aku kelelahan karena semalam, aku menyebar brosur ke rumah-rumah dan kosan hingga larut malam. Ya, aku sedang mencoba cara baru pemasaran jasa pijat dan urut. Aku juga telah mencantumkan nomor telepon ku di sana. Aku senyum sendiri membayangkannya. Aku kini punya HP!


----------------------


Aku duduk gelisah di kontrakanku. Ditangan, HP baruku, meski bukan benar-benar baru , kugenggam erat-erat. Berkali-kali aku menatapnya seolah HP itu bisa berubah menjadi emas setiap saat.

Sudah jam 8 lewat, namun tak satupun orang yang menelponku. Aku makin gelisah.

Sudah bekali-kali aku ganti gaya duduk. Mulai dari duduk bersila, jongkok, bahkan kayang sudah kulakukan namun tak ada dering sama sekali.

Kulihat jam usang yang menempel di dinding. Aneh, kenapa gerakannya begitu cepat? Bukankah seharusnya menunggu membuat jam berjalan lambat? Ah, ternyata relativitas waktu itu salah besar. Dan kini sudah jam 9!

Aku menghela nafas panjang. Ku ambil brosur yang kemarin ku sebar.

Aku harus menghabiskan 10 ribu untuk sekedar sewa komputer dan print. Itu belum termasuk biaya untuk memfoto-copy. Aku sudah berinvestasi besar untuk ini dan itu termasuk HP. Jadi, ini mestinya tak boleh gagal.

Ku baca sekali lagi tulisan yang ada di brosur dan.., DEG!

Astaga!

"Tolol! Tolol!" lolongku sambil menampar wajahku sendiri berkali-kali juga mengacak-acak rambutku yang memang tak pernah rapi.

Sampai tahun baru monyet pun, tak ada orang yang akan menelponku kalo begini!

Bodoh! Aku salah menulis nomor teleponku!


---------------------


Karena ketololanku, aku pun harus mengulangi proses susah payah yang telah ku lalui sebelumnya. Sewa komputer, print, foto-copy dan menyebarnya ke tiap-tiap rumah dan kosan. Dan sekali lagi aku harus duduk gelisah menunggu HP ku berdering.

Kali ini, ku pelototi brosur baruku. Ku baca huruf demi huruf yang tertulis disana dan kupastikan tidak ada yang salah. Namun HP ku tak kunjung berbunyi.

Gara-gara kebodohanku, aku telah merelakan jatah makan malam. Aku harus puasa malam ini. Dan jika aku tak mendapat pelanggan, maka bisa jadi puasaku harus ku perpanjang. Karena itu, kali ini aku benar-benar gelisah.

"KRINGGGG!!!!"

Aku melompat kaget. Suara dering HP ku benar-benar keras dan konyol!
"Akan ku labrak orang yang telah mengatur suara dering HP ku," kataku lirih sambil mengambil nafas panjang.

Meski kaget, tapi aku juga gembira mendengar suara konyol itu. Tapi anehnya, suara dering itu hanya sekali dan berhenti.

Aku panik dan langsung ku pelototi HP yang ada di genggamanku. Bukan panggilan telepon. Ternyata sebuah SMS.
Ku tekan tombol yang ada di HP dan muncul tulisan pada layarnya.

"Bisa pijat Mas?"

Aku langsung melompat kegirangan. "Akhirnya!!!" teriakku.

Aku terus melompat kegirangan hingga aku menyadari sesuatu. "Bagaimana cara balas SMS-nya?" gumamku sendiri. Ah sial, aku lupa belajar cara membalas SMS. Yang telah ku pelajari cuma cara mengangkat telepon.

Aku tak perlu lama-lama berfikir. Aku langsung melesat pergi menuju penjual HP ku. Dia adalah si penjual Pecel Lele bersenyum khas.

"Im!" teriakku dari jauh.

Aku tersengal saat berada di depan Imron yang nampak keheranan.

"Kenapa kamu Ris? Di kejar setan?"

Aku belum bisa menjawab. Aku harus menarik nafas berkali-kali agar bisa mengucapkan kata.

"Gimana cara balas SMS?"

Imron malah tertawa ngakak.

"Astaga Ris? Hari gini belum bisa balas SMS?" dia terus tertawa.

Aku cuma diam menatapnya dengan wajah bersungut. Dan saat Imron melihat wajahku, tertawanya tiba-tiba menghilang. Lenyap.
Dan dengan cepat, dia meraih HP ku dan mengajariku cara membalas SMS.

"Bisa Mas. Alamatnya dimana? Jam berapa?"

Tulisnya di HP seperti yang kuminta. Kulihat dia menahan tawa.

"KRINGGGG!!!!"

Aku melompat lagi mendengar dering HP konyol di tanganku. Ternyata Imron pun juga kaget. Lalu tertawa terbahak.

"Nih! Ganti suara deringnya!" kataku sewot. Imron masih tertawa senang. Sepertinya, dia sengaja mengerjaiku.
"Maaf. Abis, kamu kan suka tidur di kelas. Takutnya kamu gak denger suara panggilannya." kata Imron dengan senyum bahagia. Alasan yang konyol, kataku dalam hati, meski aku tak menampik kalau aku suka tidur di kelas.

Setelah beberapa saat mengotak-atik HP, dia mengembalikannya padaku dengan senyum khas penuh penyesalan. Melihat senyumnya, aku tak bisa melanjutkan sewotku. Aku pun membalasnya dengan senyuman.


----------


Seharusnya, alamat rumah di depanku telah sesuai dengan alamat yang tertera pada layar HP ku.

Rumah itu lumayan besar, tapi tak sebesar rumah Niko. Tapi harus ku akui, rumah di depanku lebih indah. Dua lantai dengan tiang menjulang tinggi pada sudut-sudutnya. Profil-profil indah menghiasi tiap sudut rumah hingga berkesan sebuah rumah zaman romawi. Aku langsung terbayang gambar-gambar di buku sejarah.

Bahkan pagarnya pun menjulang tinggi dengan detil indah pada besi-besinya. Dan itu membuatku bingung mencari cara untuk masuk.

Ku cari-cari tombol bel, tapi tak kutemukan.

"Cari siapa Dek?"

Tentu saja aku kaget! Tiba-tiba didepanku, di seberang pagar, nampak seseorang berkumis lebat dengan seragam safari.

"Eee," aku bingung mesti bilang apa.

Kini wajah berkumis itu menatapku curiga.

"Anu, ada yang pesan jasa pijat Pak?" akhirnya, keluar juga kata itu.
"Oh, tukang pijat ya?" tanya wajah berkumis itu menjawab pertanyaanku.

Pintu terbuka dan aku pun kini berada di ruang tamu.

Di dalam, rumah itu lebih mirip museum. Lukisan dimana-mana. Dari yang kecil hingga ukuran raksasa. Beberapa patung nampak begitu serasi dengan sofa besar dari kayu jati yang diukir indah.

Mataku menyapu seisi ruangan dan aku tahu, mulutku ternganga. "Indah sekali" gumamku lirih.

"Jasa pijat ya?"

Suara seseorang telah memotong perjalanan mataku menyusuri keindahan ruang tamu. Aku menoleh dan mataku terbentur sosok muda di depanku. Badannya kecil, namun terawat. Maksudku, tidak kurus juga tidak gemuk. Kulitnya kuning bersih. Dan wajahnya agak bulat dengan senyum yang terus menempel seolah memamerkan lesung di pipi kirinya. Mungkin umurnya tak jauh dari umurku. Mungkin dia anak kuliahan semester awal.

Aku mengangguk pelan.

Dia menatapku keheranan, meski tetap tersenyum.
"Kirain Bapak-bapak." kata seseorang yang tadi dipanggil Bapak berkumis dengan sebutan Mas Adit.

Aku cuma membalasnya dengan tersenyum.

"Ya udah, ke dalam aja." dia memberi isyarat dengan gerakan kepala.

Aku mengikuti menuju ruang tengah. Astaga, bahkan ruang tengahnya lebih indah lagi. Ruang tengah adalah ruang yang tembus hingga lantai dua sehingga berkesan ruangan itu sangat luas. Pada langit-langit, terdapat lukisan langit biru yang indah. Beberapa pilar seolah menyangga langit-langit tersebut. Aku tak habis fikir, mungkinkah dia anak pejabat?

"Di sini aja." sekali lagi, suara itu memotong perjalanan mataku mengagumi keindahan arsitektur di ruang tengah.

Di depanku sebuah permadani lembut terhampar. Aku pun menurunkan tas kecilku sambil mengeluarkan perlengkapan. Sesekali mataku masih berkeliaran mengagumi keindahan tiap sudut ruangan.

Di depanku, pelanggan baruku membuka pakaiannya.

DEG!

Tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Tiba-tiba aku teringat kejadian pijat terakhir. Di kepalaku, kini tertanam stigma bahwa pelanggan muda yang makmur cenderung memiliki permintaan yang aneh-aneh. Tanpa sadar aku menahan nafas.

"Haah.."

Aku menghela nafas lega. Pelanggan baru ku itu kini tengkurap di permadani dengan celana boxer. Dan aku pun langsung memulai memijit dengan urutan seperti biasa.

"Kayaknya masih SMA ya?"

Tiba-tiba dia membuka pembicaraan.

"Iya Mas." jawabku singkat.
"Kelas 2 ya?" tanyanya lagi.
"Iya Mas." tentu saja aku heran. "Kok tahu Mas?"
"Cuma nebak aja kok."

Pijatanku kini sampai ke paha. Sesaat, aku sedikit khawatir jika tiba-tiba dia meminta berhenti untuk melucuti seluruh pakaiannya dan telanjang bulat. Tapi itu tak terjadi dan itu membuatku lega.

Badannya tidak terlalu besar, tapi keras. Jika badanku putih, kecil, kurus dan lembek, maka badannya sangat ideal. Kuning langsat bersih, tidak terlalu besar, tidak kurus dan keras. Seandainya bentuk badan bisa dipilih seperti membeli barang ditoko swalayan, aku akan memilih bentuk badan seperti milik pelanggan baru ku ini.

Yang lebih bagus lagi dari tubuhnya, tidak ada bekas luka, goresan hitam, bintik bekas cacar atau sejenisnya. Mulus namun bukan lembut. Hanya bersih. Bukan lembut layaknya kulit cewek.

Kini dia terlentang karena aku harus mengurut tangannya.

"Namanya siapa?" tanyanya dengan senyum berlesungnya.
"Haris Mas." jawabku sambil menoleh sesaat.

Wajahnya bersih. Tidak sepertiku yang memiliki beberapa bintik bekas jerawat. Jerawatku tidak banyak, tapi terkadang muncul satu-dua jerawat super yang menyakitkan dan kemudian meninggalkan bekas gelap. Sedangkan wajahnya sangat bersih. Bagaimana dia bisa lepas dari keganasan jerawat? Pikirku.

"Saya Adit,"ujarnya meski aku tak menanyakannya.

Ku jawab dengan senyuman.

"Duduk Mas Adit. Mau dipijat kepalanya?"
"Oh ya."

Rambutnya lurus hitam dan bagus. Entah kata apa yang tepat. Rambutnya tidak lembut, tapi saat disentuh dan dilepas dia mudah jatuh dan kembali teratur.

Mungkin beginilah jika menjadi anak orang kaya. Tubuh akan lebih terawat dan lebih sehat. Bila aku berdiri berdampingan dengannya, mungkin bisa dijadikan iklan produk perawatan tubuh. "Sebelum dan sesudah menggunakan perawatan tubuh" begitulah slogannya.

Selesai!

Memijatnya tidak terlalu membutuhkan tenaga besar seperti pelanggan-pelanganku sebelumnya. Seandainya pelangganku seperti Mas Adit semua, aku tak akan kehabisan tenaga saat pulang.

"Bi..!" serunya. Bukan teriak, hanya berkata namun sedikit lebih kencang. "Ambilin minum ya.."

Mas Adit sibuk mengenakan kembali pakaiannya. Aku pun sibuk mengemas semua perlengkapanku dan selanjutnya, mataku kembali berwisata mengagumi keindahan ruangan itu.

Namun, dari begitu banyak keindahan tersaji, tatapanku terhenti pada sesuatu yang berdiri disebuah penyangga stainless.

Sebuah Biola.

Aku menatapnya lama dan berlahan bayangan itu muncul. Perlahan, sosok kurus, legam dan tua mulai terbentuk.

"Kamu main Biola?"

Suara itu membuatku menoleh dan bayangan yang hampir terbentuk utuh itu pun lenyap. Aku melempar senyum sambil menggeleng.

"Aku gak bisa main Biola." aku kembali menatap Biola. "Tapi aku punya Biola." kataku lagi.
"Oya?"
"Hadiah dari teman." aku berusaha menegaskan saat wajahnya keheranan.
"Wah, temenmu baik banget ya?"

Aku menoleh dan menatapnya dengan senyum yakin.
"Iya. Dia temanku yang sangat baik." aku kembali menatap Biola. "Terlalu baik bahkan." kutambahkan.

"Silahkan Den."

Seorang wanita agak gemuk membawa secangkir teh dan meletakkan ke meja dekat permadani tempatku duduk.

"Kamu mau dengar aku main Biola?" kata Mas Adit tiba-tiba.
Aku kaget namun secepat kilat aku langsung tersenyum dan mengangguk cepat. Dia membalas dengan senyuman lebar sambil melangkah dan meraih Biola.

"Aku akan mainkan sebuah lagu favoritku." kata Mas Adit setelah menggenggam Biola. "Ini adalah lagu soundtrack sebuah film lama. Aku yakin, kamu belum lahir karena aku pun belum lahir saat film itu dibuat. Filmnya berjudul Love Story dan lagunya berjudul Where Do I Begin? Lagunya bagus banget."

"Mas Adit lagi kuliah di sekolah musik ya?" aku memotongnya. Dia malah tertawa. Tertawanya tidak keras, namun lepas. Aneh, emangnya ada yang salah dengan pertanyaanku? pikirku.
"Emangnya aku kayak anak kuliahan?"
"Eee.." aku bingung. "Emang bukan ya Mas?" tiba-tiba aku merasa bersalah.
"Gak apa-apa." dia seolah membaca pikiran bersalahku. "Semua orang selalu bilang seperti itu. Aku udah lulus kuliah lama banget tapi bukan di musik. Dari dulu aku suka musik dan sekarang, aku jadi pemusik."

Mana ada orang yang akan percaya dengan kata-katanya? Tak mungkin orang akan percaya bahwa dia telah lama lulus kuliah, dengan melihat wajah dan penampilannya. Dan aku tak tahu harus memilih percaya atau tidak. Dia masih kelihatan sangat muda.

"Jadi mau denger aku main Biola enggak?" dia memecah lamunanku. Aku mengangguk antusias.

Mas Adit pun meletakkan Biola di pundaknya dan mulai mengayunkan busur biola.

===============================================

SEKEDAR SARAN.
PADA BAGIAN INI, AKAN LEBIH PAS DAN BAGUS JIKA TERLEBIH DAHULU MEMUTAR MUSIK DARI YOUTUBE DIBAWAH.



DENGAN LATAR BELAKANG IRINGAN MUSIK, SILAHKAN MELANJUTKAN MEMBACA...

===============================================

Sebuah suara berlahan terdengar pelan kemudian makin lama makin keras. Suara itu terdengar merdu mengikuti alunan nada. Dan saat memasuki beberapa nada berikutnya, tiba-tiba aku merasa mengenal nada yang dimainkan Mas Adit.

Tentu saja aku mengenalnya, ini adalah nada-nada yang tak mungkin ku lupakan. Ini adalah nada-nada yang dimainkan oleh Bapak dengan Biola milikku. Ini adalah nada kenangan terakhir dari Bapak.

Seperti yang dilakukan Bapakku saat itu, Mas Adit memejamkan mata dan tubuhnya bergerak lembut mengikuti alunan nada yang keluar dari Biola yang mendayu-dayu. Dia seolah melebur dengan musik yang ia mainkan.

Dan tiba-tiba, entah nyata entah ilusi. Aku seperti melihat percikan-percikan lembut keluar dari Biola. Namun Mas Adit tak peduli atau mungkin tidak melihatnya.

Percikan itu membentuk sebuah notasi musik berwarna kuning keemasan yang menari dan meliuk. Saat nada biola meninggi, notasi-notas yang kian banyak itu terbang menghampiriku. Kini aku dikelilingi oleh notasi-notasi keemasan itu hingga aku tak lagi bisa melihat ruang tengah yang megah.

Saat notasi itu menjauh mengikuti irama biola, aku kini berada disebuah tempat yang aku tak tahu dimana. Suasananya begitu sendu dengan cahaya langit tua keemasan. Seperti disebuah pantai di sore hari namun lebih damai dari itu. Seperti diatas gunung, namun lebih sejuk.

Dan saat kulihat notasi-notasi itu terbang dan menari, dibaliknya kulihat sosok yang sedang memainkan Biola dengan penuh penghayatan. Aku mengenalnya. Ya, aku mengenalnya dengan baik saat notasi-notasi keemasan itu berhamburan gemulai meninggalkan sosok itu. Aku mengenalnya meski sosok itu sungguh berbeda.

Tubuhnya tegap meliuk bersama alunan musik. Kulitnya putih bersih dan wajahnya begitu mempesona. Goresan tegas pada dagunya serasi dengan kumis tipisnya. menghiasai wajahnya yang bersih. Dia memang berbeda, tapi aku mengenalnya dengan baik. Dia adalah Bapakku.

Aku menatapnya kagum.

Tiba-tiba notasi-notasi itu kembali berhamburan dan meninggalkan sosok gemulai yang sedang duduk menghadap Bapak. Tubuhnya yang langsing terbungkus indah gaun putih yang megah. Kulitnya nampak halus dan lembut. Wajahnya begitu cantik dengan bibir tipis yang selalu tersenyum. Sekali lagi aku mengenal sosok itu. Dia emakku. Dia nampak berbeda, tapi aku mengenalinya sebagai Emak.

Dua sosok itu seolah saling mengagumi dengan senyum mereka. Mereka nampak bahagia.

Dan aku pun tersenyum.

Aku merasa lega. Tiba-tiba aku merasa ringan. Tiba-tiba aku ingin terus tersenyum. Aku merasakan sesuatu yang belum pernah kurasakan sebelumnya.

Mungkin inilah bahagia. Entahlah. Aku tak tahu perasaan apa ini. Tapi aku akan menamainya kebahagiaan.

Ya, inilah kebahagiaanku.

Aku pun tersenyum. Senyum yang paling ringan yang pernah ku lakukan.

Dan berlahan, alunan musik melambat. Seperti sebuah kapas yang turun dari langit. Sangat lembut. Dan sesaat, namun aku merasakannya dengan pasti, dua sosok itu menoleh padaku dan tersenyum. Mereka tersenyum padaku.

Aku pun membalas senyumnya. Aku tetap tersenyum ketika sosok itu berlahan menghilang bersama taburan notasi-notasi keemasan. Begitupula tempatku berpijak berlahan berlahan berubah bersama menghilangnya notasi-notasi itu satu demi satu. Dan aku kembali ke ruang tengah megah tepat saat musik itu berhenti.

Aku masih tersenyum dan akupun masih mematung tak mengerti.

"Ini.."

Didepanku berdiri Mas Adit menyodorkan tisu padaku. Aku tersenyum dengan sedikit kebingungan menerima tisu itu.

"Itu buat ngelap matamu." kata Mas Adit lembut.

Barulah aku sadar. Aku tadi menangis.
Aneh, aku menangis namun aku tak menyadarinya. Lagi pula, aku tak merasa sedih, namun kenapa ada air berlinang di mataku?

"Gak apa-apa. Menangis bukan dosa." kata Mas Adit seolah membaca pikiranku. "Itu malah menunjukkan bahwa hatimu masih bisa tersentuh. Dan kamu harusnya malah berbangga karena tak semua orang yang bisa tersentuh hatinya. Lebih banyak orang yang hatinya beku hingga sebuah hantaman keras pun tak mampu membuat hatinya merasakan sesuatu."

Kini aku menatap wajah Mas Adit. Dan baru kusadari, Mas Adit tidaklah semuda yang kuperkirakan tadi. Di balik wajahnya yang, begitu fresh, terdapat sesuatu yang hanya bisa terbentuk oleh sebuah pengalaman hidup. Sebuah kebijaksanaan. Sebuah kedewasaan. Kini kata-katanyalah yang menunjukkan berapa lama ia telah mengarungi hidup.

"Kamu tahu? Menangis saat tersenyum itu, hanya bisa terjadi jika kamu merasa bahagia. Sebuah kebahagiaan yang sesungguhnya. Sebuah kebahagiaan yang tak bisa terungkap dengan kata-kata. Dan saat lidah tak mampu berkata, maka hanya senyum dan air matalah yang mampu berbicara.
Entah apa yang bisa membuatmu bahagia saat mendengarkan lagu tadi. Aku tak tahu. Tapi itu memang hanya untuk mu."

Aku mengangguk. Dan pipi yang telah ku lap bersih dengan tisu, kini berair lagi. Aku menangis lagi tanpa alasan.

"Aku boleh belajar main Biola sama Mas Adit?"

Dia terdiam. Dan tiba-tiba tersenyum lebar.

"Tentu saja. Kamu datang kapan saja dengan Biola mu dan kita akan bermain Biola bersama."

---------------


Dan ini adalah malam terindah selama hidupku. Langkahku ringan saat ku lalui jalanan yang kini telah sepi. Semua kenangan buruk itu telah hilang.

"Terima kasih Mas Adit. Terima kasih Tuhan, kau pertemukan aku dengan Mas Adit." kataku lirih.


---> bersambung


0 comments:

Post a Comment