DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Inikah Cinta? - just a Love Story Episode 13

Episode 13 : Remuk 



Engkau Matahari dan Bulanku

Dulu,
tak kuhiraukan senyummu
rak kupedulikan belaianmu
dan tak kupedulikan ucap selamat tidurmu

Dulu,
kurasakan pemberianmu tiada sebarapa
kurasakan kasihmu hanya ucapan semata
dan kurasakan cintamu hanyalah buaian saja

Namun kini,
sungguh senyummu adalah nyala pelita
sungguh belaianmu adalah selimut raga
dan bisik ucapmu adalah penyejuk jiwa

Dan kini,
kusadari kau telah beri segalanya
kusadari kasihmu tak berbatas kata
dan kusadari cintamu begitu hangat terasa

Duhai engkau matahari dan bulanku
Maafkanlah aku
Yang mengerti arti cintamu
Saat engkau tak lagi disampingku


Aku terdiam beberapa saat menahan air mata yang menggenang dipelupuk. Aku tak ingin terlihat cengeng. Namun ruang kelas begitu senyap. Saat ku coba mendongak, menatap ke depan, puluhan pasang mata tertuju padaku. Semua terdiam.

"Sebuah puisi oleh Arfan Haris. Terima kasih." lanjutku dan melangkah menuju tempat dudukku.

Sebuah tepuk tangan kudengar dari Pak Tanjung dan diikuti tepuk riuh seisi kelas. Tentu saja, ini adalah momen terindah di kelas yang pernah kurasakan setelah pentas angklung. Ini adalah kejadian langka. Padahal, yang paling sering ku rasakan adalah berdiri di depan kelas hingga pelajaran usai. Namun untuk hari ini, aku merasakan sedikit berbeda. Aku merasa bangga.

Namun rupanya, kebanggaan itu tak berlangsung lama.

Saat bel istirahat berbunyi, seperti biasa aku menuju perpustakaan. Itu adalah tempat sempurna untuk menghindari ajakan teman-teman untuk jajan. Sebisa mungkin, aku harus menutup kran pengeluaran sebanyak-banyaknya, termasuk jajan. Kantin, seperti tempat terlarang buatku.

Tapi sepertinya ada yang aneh hari ini.

Banyak orang yang kulewati tiba-tiba tertawa, terkekeh, terkikik atau sekedar tersenyum. Aku tak menyadarinya hingga tiba-tiba Yosep berdiri didepanku entah dari mana. Seperti biasa, Arfian, Dodo, dan Iksan ada dibelakangnya. Dan tak berapa lama, muncul Marcel dan Rico.

"Predator!" seruku dalam hati.

Tak perlu dikatakan, tentu saja jantungku langsung berdegub kencang. "Akhirnya, waktu itu tiba juga." kataku dalam hati.

"Hey homo!" teriak Yosep ke arahku sambil tertawa mengejek.

Aku cuma diam, gemetar dan bingung. Aku gak tahu apa maksudnya. Aku baru menyadari saat kulihat Marcel berkali-kali melihat punggungku. Ada kertas menempel disana.

"Hai cowok, aku HOMO, peluk aku donk!" begitu tulisan di kertas itu. Sebenarnya, aku tak peduli dengan tulisan itu, namun reflek, ku sobek-sobek kertas itu dan ku buang ke tempat sampah.

"Awas-awas, ada MAHO lewat!" teriak Yosep yang diamini dengan tawa mengejek dari teman-temannya.

Namun aku tak peduli. Aku meneruskan langkahku ke perpustakaan. Tapi ternyata, tak menghiraukan ejekan adalah sebuah penghinaan bagi Yosep. Melawan adalah masalah, mendiamkannya pun juga masalah.

Dia terus saja meneriakkan kata "HOMO" dan "MAHO" sambil mengikutiku. Tak sedikit orang-orang yang penasaran dan menonton atraksi konyol itu.

"Jadi, kamu piaraan si HOMO itu sekarang?" kali ini, Yosep mengatakannya tepat didepan mukaku.

Aku berhenti dan diam gak mengerti.

"Jadi, kamu melayani pijat plus-plus?" dia sepertinya senang sekali dengan ekspresi bingungku.

Aku berusaha kembali melangkah dan melewati Yosep.

"Bapaknya tukang pijat, anaknya juga tukang pijat!" teriak Yosep dari belakangku.

Tiba-tiba, langkahku terhenti. Entah kenapa. Seperti ada yang menahan langkahku. Tanganku mulai mengepal tegang.

"Jangan-jangan, bapaknya HOMO juga!"

Aku tak bisa berfikir. Kosong.
Badanku seperti begerak sendiri. Nafasku tersengal dan tanganku yang mengepal tegang menjadi gemetar.
Sangat cepat, hingga aku pun tak menyadarinya. Aku juga tak tahu apa yang terjadi. Aku tak tahu apa yang ku lakukan.

BUKKK!

Badanku berlari diluar kendaliku, tanganku meluncur dan menghantam rahang orang yang dari tadi tertawa dibelakangku.

Tubuh Yosep limbung dan terjatuh. Aku cuma bisa terdiam kaget tak mengerti. Aku bingung. Dadaku sesak dan tersengal. Aku merasakan tubuhku terbakar oleh emosi. Aku marah. Sangat marah.

Hanya dalam hitungan detik, teman-teman Yosep langsung melompat dan menyerbu ke arahku. Bahkan Arfian telah meluncurkan sebuah pukulan yang aku yakin akan tepat mengenai mataku.

"Ada apa ini!"

Pukulan itu terhenti. Aku diselamatkan oleh teriakan Pak Tanjung.


----------------------


Kebanggaan itu kini telah hilang. Aku telah masuk dalam Black List sekolah. Kini, aku adalah salah satu dari beberapa anak nakal yang harus menjalani hukuman.

Aku telah meminta maaf, mengulurkan tanganku ke Yosep, namun itu bukan penyelesaian akhir. Sekolah masih memberikan hukuman selama seminggu. Dan aku pun sudah tahu pasti. Hukuman lain telah menantiku.

Aneh. Aku sungguh tak merasa menyesal telah menjatuhkan Yosep. Aku juga tak merasa takut. Meski tanganku sedikit terasa sakit setelah memukulnya, namun entah kenapa, aku merasa lega. Aku seolah telah melakukan sesuatu yang seharusnya ku lakukan.

Aku tak ingin seorang pun menghina Bapakku.

Dan itulah yang membuatku merasa tenang.

Meski begitu, tak satupun materi sisa pelajaran yang masuk di kepalaku. Bagaimanapun, kejadian tadi adalah sesuatu yang mengejutkanku.

Dan akupun kaget saat tiba-tiba sosok tinggi ada didepan mejaku. Dia menatapku aneh.
Aku tahu ada hukuman lain, tapi aku tak berharap secepat ini dan didalam kelas ini. Hingga akupun membeku.

"Mending kamu jangan pulang." cuma itu kata yang keluar setelah beberapa saat, seolah dia kesulitan untuk mengucapkannya.

Ikhsan menatapku aneh dan langsung keluar kelas dengan terburu-buru. Aku pun bernafas lega.

Aku tak tahu apa maksud kata-katanya, dan lagian, emangnya aku peduli dengannya? Mereka sama saja. Orang-orang paling sok berkuasa. Seolah seluruh dunia milik mereka.


---------------------


Pulang normal saja membuatku kelelahan karena setelah ini, aku harus mulai kerja. Dan sialnya, seminggu hukumanku, dimulai sore ini. Aku harus membersihkan ruang guru!

Lelah, ngantuk dan kepanasan membuatku harus menyeret kaki menuju kontrakan. Kini jarak seolah menjauh.Tapi tiba-tiba..

Beberapa orang menyekapku dari belakang dan memaksaku mengikutinya. Aku meronta sekuat tenaga. Tapi sia-sia. Mereka jauh lebih kuat dibandingkan tenagaku yang sudah hampir habis.

Mereka menyeretku disebuah sudut jalan buntu.

Aku tahu bahwa ini akan terjadi, tapi bagaimanapun, aku mulai gemetar. Aku bahkan telah merasakan sakitnya saat kulihat Yosep menatapku seperti srigala yang lapar. Matanya merah karena amarah sedangkan diwajahnya ada bekas biru karena pukulanku tadi. Saat dia mendekat perlahan, jantungku mulai berdegub kencang dan akupun mulai meronta.

"Toloo.. Ubb.." lolonganku tertahan karena sebuah tangan membekap mulutku. Dan saat itu, sebuah pukulan keras menghantam perutku.

Sakit! Namun belum juga aku menahannya, sebuah pukulan menghantam rahangku.

Aku merasakan asin dimulutku. Dan akupun tersungkur saat dua orang yang menahan tanganku, melemperkan tubuhku.
Kulihat langkah sepatu mendekat dan tak lama, rambutku direnggut dan memaksaku untuk berdiri.

"Kamu berani macam-macam ya!" seringai Yosep begitu dekat di mataku. Aku cuma bisa merintih menahan sakit.

Dia mendorongku mundur dan bersiap untuk memberiku tendangan. Reflek, aku pun berusaha menahan dengan tanganku tapi itu hanya membuat tanganku terasa sakit. Dan tendangan berikutnya, tepat bersarang di ulu hati. Aku ambruk menghantam tembok. Kepalaku sakit.

Aku merasa ingin muntah. Aku ingin mengelap mulutku, tapi kedua tanganku tak bisa kugerakkan. Aku cuma bisa melihat tetesan darah di tanah. Dan pandanganku mulai kabur.

"Udah Sep." suara itu terdengar sangat pelan ditelingaku. Kulihat seseorang berusaha menahan Yosep.
"Dia udah berani sama aku San. Dia menghinaku!" teriakan Yosep juga makin pelan.

Kini, suara mereka tak lagi terdengar dan pandanganku menjadi buram. Dan...


-------------------


Sunyi..

Aku hanya mendengar hembusan angin.

Dan perlahan, kulihat warna putih buram berubah menjadi putih bersih. Dan selanjutnya, seperti dinding berwarna biru mudah cerah dengan corak bunga.

Dan tiba-tiba, sebuah wajah putih dengan hidung mancung dan rambut lurus sedikit panjang tiba-tiba muncul. Malaikat? tanyaku dalam hati. Aku kaget.

"Dimana aku?" seruku. Tapi terdengar seperti sebuah bisikan.
"Akhirnya kamu sadar juga." kata sosok itu.

Aku kerjabkan mataku berkali-kali dan kini aku mengenalinya sebagai Ikhsan.

"Ngapain kamu disini!" teriakku yang terdengar seperti suara orang tua yang parau.

Ikhsan cuma diam. Dia menekan tombol yang ada disebelahku.

Aku berusaha mencari tahu keadaan. Sedikit demi sedikit, aku mulai tahu dimana aku berada. Sebuah ruangan yang cukup besar dan sejuk, dengan korden putih mengelilingi tampat tidurku dan tombol-tombol aneh disekitarku. Di lengan kiriku, sebuah jarum menusuk dan terhubung ke sebuah selang menuju sebuah kantung cairan yang tergantung.

Aku di rumah sakit. Itulah kesimpulanku.

Aku berusaha bangkit, namun seluruh badanku terasa remuk.

"Udah jangan gerak." Ikhsan dengan cepat menahan gerakanku.
"Apa urusanmu!" hardikku.

Ikhsan tak memperdulikan kata-kataku. Dia hanya diam. Dan akupun berusaha bangkit lagi. Sakit dan sulit tapi aku berhasil duduk.
Kepalaku terasa berdenyut dan ruangan seperti bergoyang dan berputar.

"Udah, tiduran aja." sekali lagi Ikhsan menahan gerakanku.
"Emang aku gak boleh kencing?" seruku.

Tiba-tiba Iksan membungkuk dan mengambil sesuatu dari bawah.

"Nih." dia memperlihatkanku sebuah pispot.
"Emang aku kakek-kakek apa!" kataku sewot.

Aku berusaha turun dari tempat tidur. Sulit, badanku masih terasa remuk. Dan Ikhsan masih memegangiku.

"Minggir!" bentakku.

Dia cuma menghela nafas dan memutar bola matanya.

"Kamu belum kuat. Kamu bisa jatuh." katanya.

Aku tak peduli. Aku turunkan kakiku dan berusaha berdiri. Tapi ternyata kakiku terasa lemah sekali hingga membuatku terhuyung namun Ikhsan menahanku hingga aku tak terjatuh.

Tiba-tiba pintu terbuka dan seorang suster masuk.

"Udah sadar ya?" katanya lembut. "Sebaiknya Adik tidur ditempat tidur aja."
"Saya kebelet pipis mbak." kataku selembut mungkin. Aku juga berusaha tersenyum meski terasa sakit.

Aku berusaha melangkah sambil memegangi tiang infus tapi badanku sulit digerakkan. Ikhsan menahan badanku.

"Udah lepasin!" bentakku.
"Kamu mau nyeruruk lantai?" Ikhsan balas membentak.
"Kamu mau ikut aku kencing?" tanyaku sinis.
"Ya udah, biar dipegangin mbaknya aja."

Kulihat Suster tadi mengangguk dan melangkah ke arahku.

"Eee, gak usah mbak." kataku buru-buru.

Akhirnya kubiarkan Ikhsan memapahku menuju toilet. Bahkan Ikhsan masih memegang badanku saat didalam toilet.

"Jangan lihat kesini!" bentakku.
"Sapa juga yang mau lihat!" gerutu Iksan sambil menoleh keluar.

Aku berusaha membuka ikat pinggang dan reseleting celana, tapi tak bisa. Tanganku terasa sakit sekali.

"Lama amat kencing doang!"
"Eee, tangan ku gak bisa buka reseleting." kataku akhirnya. Aku nyerah.

Ikhsan menoleh ke arahku dan tersenyum sinis. Dan tiba-tiba tangannya mengarah ke pinggang dan melepaskan ikat pinggangku. Tak cuma itu, dia juga menurunkan reseleting celana hingga terlihat celana dalamku.

Aku masih bingung bagaimana menurunkan celana dalam. Tanganku sakit banget.

Ikhsan menatapku, memutar matanya dan menghela nafas panjang sambil geleng-geleng. Tangannya kini menggenggam pinggiran celana dalamku. Dan sambil menoleh keluar, dia pun menarik turun celana dalamku.

Aku cuma bisa pasrah. Aku merasa seperti seorang gadis yang diperkosa namun tak mampu melakukan apa-apa.


--------------


Kata dokter, aku tidak apa-apa. Kombinasi kelelahan, perut kosong, nutrisi gak bagus dan pukulan membuatku jatuh pingsan.

Entah apa maksud dokter itu dengan tidak apa-apa. Badan dan wajahku yang biru-biru dibilang tidak apa-apa. Tapi ternyata, aku hanya butuh istirahat sehari dan tubuhku pun kembali normal.

Setidaknya, aku bisa berdiri, berjalan dan menggenggam. Tapi, tanganku tak bisa mengangkat benda yang berat. Dan aku pun bisa pulang.

"Udah, aku bisa jalan sendiri!" bentakku saat Ikhsan hendak memapahku keluar kamar rumah sakit.

Aku sudah sehat meski belum 100%. Aku bisa berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang bagus, bersih dan mewah. Bahkan kamar yang kutinggalkan, sangat bagus sekali. Dindingnya dilapisi kertas bermotif. Ada sofa, TV yang besar dan tipis, AC, pokoknya bagus banget.

Saat melewati bagian kasir, aku buru-buru menuju kesana. Aku bertanya biaya yang harus ku keluarkan yang tentu saja sudah dibayar.

Ikhsan nampak kebingungan mencari-cariku.

"Ngapain kamu ke kasir?"
"Nanya biaya!" jawabku ketus.
"Ngapain dipikirin?"
"Eh denger ya! Aku gak mau ngutang sama kamu. Ngerti." jawabku sewot. "Lagian ngapain dibawa ke rumah sakit segede ini? Mahal tahu! Ke puskesmas juga bisa!"

Ikhsan menatapku gemas. Tapi dia cuma diam, memutar mata, menghela nafas panjang dan geleng-geleng.

Setelah keluar rumah sakit, aku langsung menuju ke pintu gerbang. Aku tak peduli saat Iksan memanggil-manggilku.

Ternyata aku bingung. Aku bahkan tak tahu ada dimana. Aku ingin mencari halte Bis atau angkutan umum. Apapun itu. Tapi aku tak tahu dimana.

Teeeeen!

Aku kaget. Sebuah mobil berhenti disebelahku. Kulihat Ikhsan ada didalamnya.

"Masuk!" perintahnya.
"Aku naik Bis!"
"Disini gak ada Bis! Kalo mau, naik Taksi!"

Aku terdiam. Lama-lama, aku makin jengkel. Pertama, dia membawaku ke Rumah Sakit yang mahal. Bahkan aku gak tahu harus bayar utangku pakai apa. Abis itu, susah cari angkutan umumnya.

"Udah buruan!"

Aku menghela nafas kesal sambil masuk ke dalam mobil. Sepanjang jalan, aku cuma diam.

Entahlah, perasaanku campur aduk. Antara marah, jengkel tapi juga ada ucapan terima kasih disana. Tapi aku tak bisa mengucapkannya. Menurutku, kejahatannya masih jauh lebih besar!

----> bersambung


0 comments:

Post a Comment