DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Inikah Cinta? - just a Love Story Episode 14

Episode 14 : Bunga Sakura 



Apa yang ada di kepalanya? Aku gak habis pikir.

Tiba-tiba saja dia muncul di kontrakanku. Duduk bersandar di pintu sambil menghisap sebatang rokok. Pakaiannya masih seragam sekolah dengan tas kecil yang gak jelas apa isinya. Sambil menghembuskan asap dari mulutnya, dia menatap jauh keluar seolah bisa menembus dinding rumah tetangga. Sesekali dia menoleh memperhatikanku mengepak barang.

Rupanya dia menepati janji yang TAK PERNAH kuminta.

Kemarin, saat mengantarku pulang dari rumah sakit, dia mendengar pemilik kontrakan yang menanyakan tentang kepindahanku dan tiba-tiba dia berjanji akan membantu. Tentu saja aku menolaknya. Menerima bantuan darinya, sama saja menambah hutangku. Dan berhutang padanya, seperti berhutang pada setan. Dan setan tak pernah suka manusia bahagia. Jadi itu sama saja menggadaikan kebahagianku!

Dia memang keras kepala. Meski kutolak mentah-mentah tawaran bantuannya, dia tetap datang. Sama keras kepalanya saat ku larang merokok di kontrakanku. Dan itu membuatku jengkel.

Ku hampiri Ikhsan yang masih asik bermain asap. Kutarik rokok dari mulutnya, kujatuhkan ke lantai dan ku injak-injak.

"Denger ya! Pertama, merokok itu gak baik buat kesehatan. Buat badan, juga dompet! Dan kedua, gak ada yang boleh ngerokok di tumahku!"

Aku kembali mengepak barang.

"Kamu dah mau keluar ini!" ujar Ikhsan santai sambil mengeluarkan bungkusan rokok dari kantongnya. Tentu saja itu membuatku jengkel.

Aku pun langsung memburunya, menyambar bungkusan rokok dari tangannya bahkan sebelum dia sempat mengeluarkan sebatang rokok. Dengan gerakan cepat, ku lempar bungkusan rokok yang isinya masih lumayan banyak ke dalam tempat sampah.

"Hei!" teriaknya tak terima.

Dia menghampiriku dan menatapku dengan jengkel.

"Denger! Kalau bukan karena kamu udah nolongin tanganku, aku juga gak akan kesini."
"Ngapain diinget-inget. Aku juga gak minta dibalas. Aku gak minta bantuanmu!" aku kini berdiri dan balas menatapnya.

Ikhsan cuma diam menatapku. Kemudian mendengus, menghela nafas panjang dan kembali duduk di pintu. Mukanya cemberut.

Tak butuh waktu lama untuk mengepak seluruh barang-barangku karena memang aku gak punya barang untuk di-pak. Beberapa bahkan kutinggal karena tak mungkin bisa ku bawa ke kosan.

Cuma 3 bungkus kardus rokok, 1 kasur busa jelek, 2 kantung plastik dan tentu saja sebuah Biola!

Kucoba angkat salah satu kardus.

"Aah!" jeritku. Tanganku terasa sakit.

Mendengar jeritanku, Ikhsan langsung melompat berdiri dan melotot ke arahku.

"Dasar keras kepala! Kan udah dibilangin sama dokter!"

Aku cuma diam. Ikhsan masih melotot saat meraih kardus yang hendak ku angkat. Dan seolah mengangkat busa, Ikhsan menenteng kardus yang tadi tak bisa ku angkat dengan mudah. Gak cuma itu, dia mengambil satu kardus lagi dan menentengnya keluar pintu. Aku gak pernah menyangka dia sekuat itu.

"Woi Ceking! Ayo! Kamu di depan, tunjukin jalannya." seru Ikhsan dari depan pintu.

Mendengar kata ceking, aku pun melotot. Sejak kapan dia berani panggil aku ceking. Aku pun menyambar kasur busa lusuhku dan memburu keluar pintu. Aku bahkan tak peduli ketika ujung kasur itu mendorong badan Ikhsan hingga hampir jatuh. Tentu saja dalam hati aku bersorak "Syukurin!".

Kosan baruku gak jauh dari kontrakan. Masih di satu gang tapi lebih ke dalam lagi.

Dan cukup dua kali bolak-balik, semua barang sudah terangkut. Setelah kupastikan semua sudah beres, aku pun mengembalikan kunci ke pemiliknya yang tinggal tak jauh dari kontrakan.

Saat hendak kembali ke kosan baruku, ku lihat ada warung. Aku pun berfikir untuk membeli air minum. Tapi ternyata, ada Ikhsan disana.

Kulihat dia memegangi sebungkus rokok dan menimang-nimangnya. Wajahnya nampak ragu dan tak lama, dia kembalikan rokok itu ke pemilik warung. Dia menghela nafas panjang dan akhirnya merauk segenggam permen dan menenteng dua botol Mizone. Waktu aku sudah didepan warung, dia menoleh ke arahku dan melempar sebotol Mizone.

Dia tak bicara dan langsung pergi ke arah kosan baru ku.

Meski di dalam gang, namun kosanku memiliki halaman yang cukup luas. Pemiliknya adalah orang betawi asli. Konon, dia memiliki tanah yang luas banget. Kosanku, adalah salah satu miliknya yang ditungguin oleh adiknya. Ada beberapa rumah kontrakan, sedangkan tepat didepannya sebuah bangunan berlantai dua yang dijadikan kos-kosan.

Kulihat motor Tiger milik Ikhsan diparkir didepan bangunan itu.

Gedungnya tidak begitu bagus, tapi di depan setiap kamar, terdapat ruang seperti teras meski ala kadarnya. Dan duduk disana, rasanya sejuk banget karena ada pohon besar didepan gedung.

Kamarku dilantai dua. Tidak terlalu luas dan tanpa kamar mandi. Bahkan, tanpa tempat tidur dan lemari. Ini adalah kamar dengan harga termurah diantara tipe kamar lainnya.

Aku tak perlu repot-repot membongkar bungkusan kardus karena toh aku tak memiliki lemari ataupun meja. Yang kulakukan cuma menggelar kasur busa yang sudah tepos. Setelah itu menghampiri Ikhsan yang sedang duduk santai di teras depan kamar.

"Sekarang udah impas!" kataku tanpa menatap Ikhsan. "Jadi, kamu gak perlu bantuin apapun lagi!"
Sebenarnya, itu kata-kata halusku untuk mengusirnya.

Ikhsan menatapku sesaat dan kemudian kembali melempar tatapannya ke arah luar. Dia tak mempedulikan kata-kataku.

"Enak juga disini." kata-kata Ikhsan seperti sebuah monolog yang seharusnya tak perlu direspon. Tapi aku gatal untuk tak meresponnya.
"Orang-orang kayak kalian, mana kenal kata gak enak."

Ikhsan menoleh ke arahku.

"Siapa itu kalian?
"Ya kalian. Siapa lagi? Orang-orang manja yang cuma sok jago." kataku penuh emosi. Aku sendiri heran, bagaimana aku bisa berani ngomong seperti itu didepan salah satu predator? Bahkan, seorang Ikhsan pun bakal bisa melumpuhkanku cuma dengan sekali pukul.

Tapi Ikhsan cuma diam. Dia mengalihkan tatapannya keluar.

"Kalian gak pernah tahu arti kata susah, makanya hobinya nyusahin orang lain!" aneh, entah kenapa aku emosi banget dan tak bisa berhenti ngedumel.

Ikhsan tetap diam. Tak mengatakan apapun. Tatapannya menerawang jauh ke langit sore. Seperti melamun dan itu membuat emosiku turun.

"Gak semua persis seperti yang terlihat." kata-kata itu meluncur dari bibir Ikhsan lebih mirip gumaman. Lirih seolah dia tak ingin orang lain mendengarnya.

Lalu dia berdiri menoleh menatapku. Dia seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi mulutnya seolah tak mau digerakkan. Akhirnya dia cuma menghela nafas dan tiba-tiba nyelonong masuk kamar. Saat keluar, dia sudah menggenggam HP ku dan menekan sesuatu. Entah apa yang dia lakukan.

"Woi, ngapain pegang-pegang HP ku!" secepat kilat aku berusaha merebutnya, tapi tangannya yang kuat menahan dadaku hingga aku tak bisa meraihnya. Kulihat dia menekan beberapa angka dan memulai panggilan.

"Huh! Pulsanya gak cukup!" katanya gusar. Tapi dia tetap menekan sesuatu dan terakhir OK.
"Kembaliin!" teriakku cukup keras.

Dia menoleh dan menatapku seperti mengejek. Orang ini udah gila, pikirku. Setelah itu dia melempar HP ke arahku.

Jelas saja aku kalang kabut, HP itu adalah sarana penghidupanku. Meski HP jelek, tanpanya aku bisa-bisa gak makan. Untung saja aku bisa menangkapnya, meski sebenarnya, aku pasti bisa menangkapnya.

"Emang kamu gak bisa apa, gak nyusahin orang? Gak di sekolah, gak ditempat lain, senengnya bikin orang lain susah. Kualat tau rasa!" kata-kata itu keluar tanpa rem dan penuh amarah.

Ikhsan cuma diam, sambil membaca sesuatu di HP-nya. Lalu dia menatapku dengan senyuman yang aneh. Ya aneh, karena aku gak ngerti arti senyumannya. Seperti sedang meledek dan mengejek. Jelas saja itu membuatku makin marah. Tapi tak lama, dia pun pergi begitu saja. Dia turun, naik motor dan pergi.

Setelah Ikhsan tak lagi nampak, aku masih marah. Tapi beberapa menit kemudian, tiba-tiba aku merasa seperti orang yang jahat. Setidaknya, mestinya aku bilang terima kasih. Tapi entah apa yang menahanku, kata-kata itu tak bisa kuucapkan. "Ternyata aku juga jahat.." kataku lirih sambil menatap Mizone yang ada ditanganku.


------------------



Akhirnya, aku masuk sekolah setelah absen 3 hari. Setelah kuhitung-hitung, sejak Niko pergi, aku sudah sering banget absen. Waktu meninggalnya Bapak, aku absen seminggu!

Badanku udah mulai mendingan, meski bekas lebam belum hilang. Tanganku juga sudah tidak terlalu sakit. Untung waktu itu tidak parah, karena hidupku tergantung pada kedua tanganku. Apa jadinya tukang pijat yang gak punya tangan?

Dan tentu saja, setiap bertemu teman-teman, mereka selalu bertanya tentang lebam di wajahku. Aku cuma bilang karena jatuh. Bahkan ketika Bu Resti bertanya pun, aku menjawab dengan jawaban yang sama. Aku cuma tak ingin urusan ini makin panjang. Aku pengen, tanganku kembali normal dan buru-buru cari duit.

Waktu ketemu Yosep, dia cuma menatapku dengan tatapan srigala. Sepertinya dia juga tak ingin penyebab lebam-lebamku sampai ke telinga guru-guru di sekolah.

Yang aku agak heran, sikap Lili padaku kini berubah drastis. Dia selalu senyum dan tak ketus. Seperti saat ini yang tiba-tiba dia menghampiriku.

Dia menatap kasihan pada wajahku dan tersenyum ramah.

"Udah gak sakit kan?"

Astaga! Itu adalah pertanyaan yang penuh perhatian dari seorang cewek! Ah, aku belum pernah mendengarnya sebelumnya. Dan itu membuatku bengong hingga lupa menjawabnya.

"Ngomong-ngomong Ris," kata Lili lagi memecah kebengonganku, "Ada kabar dari Niko gak?"
"Hah?" aku bingung. "Enggak.. Lagian, gimana dia mo kirim kabar? Nomor HP ku aja dia gak tau.."
"Oh.. kali aja dia kirim email." kini Lili duduk di kursi disebelahku. Dia keliatan manis banget kalo ramah begini.
"Eee.. masalahnya, aku gak pernah buka email. Sayang duitnya.. hehe" aku nyengir, "Lagian kok nanya sama aku?"

Dia menarik nafas dan mengerutkan dahinya. Emang pertanyaanku sulit ya, sampai dia mikir begitu, pikirku.

"Soalnya, kamu yang paling deket sama dia." kata Lili akhirnya.
"Ya iyalah deket, kan aku sebangku ama dia." kataku berusaha memasukkan kata-kata Lili ke logika otakku yang lambat.
"Ris?" dia berhenti.
"Ya?"
"Hmm, dia udah punya pacar belum ya?"
"Hah? Eee.. udah belum ya? Hmm, dia sih pernah bilang belum, tapi katanya dia suka ama seseorang. Tapi aku gak tau juga sih.."

Aku jadi teringat yang diucapkan Niko di Villa.

"Atau..." Lili nampak ragu untuk melanjutkan. "Dia itu.. Sukanya sama kamu kali ya?"
"Maksudnya?"
"Gak apa-apa.." tiba-tiba dia menatap ke arah lain.
"Tapi aku suka kok ama dia." kataku.
"Apa!" kata itu keluar dari bibir Lili seperti sebuah teriakan meski pelan.

Aku sampe kaget.

"Loh, emangnya kamu gak suka dia?" tanyaku bingung dengan reaksinya. "Semua orang pasti suka sama dia."

Tiba-tiba Lili tersenyum. Seperti ada perasaan lega.

"Dia kan orangnya baik banget. Aneh kalo ada yang gak suka ama dia." kataku lagi.
"Iya.. Pasti.. Dia memang baik banget. Dan keren.." wajah Lili tersipu merah.

Kini aku makin yakin, Lili pasti sedang jatuh cinta pada Niko. Atau jangan-jangan, orang yang disuka sama Niko adalah Lili?

"Ris! Nonton kita main bola yuk!"

Teriakan Imron membahana di ruang kelas. Dia keliatan buru-buru.

"Eh, aku nonton temen-temen main bola ya." kataku pamit pada Lili.

Lili cuma mengangguk. Tapi sepertinya, pikirannya ada ditempat lain. Mungkin ada bunga-bunga sakura di pikirannya saat ini.

---> bersambung


0 comments:

Post a Comment