DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Inikah Cinta? - just a Love Story Episode 15

Episode 15 : Biola..!


Suaraku hampir habis karena terlalu lama teriak-teriak. Tapi mau gimana lagi, cuma itu yang bisa ku sumbangkan.

Aku memang dilahirkan tanpa bakat olah-raga. Jangankan memainkan bola di kaki, menangkap bola dengan tangan saja aku kesulitan. Bahkan, sekedar berlari saja, aku pasti paling belakang dan itupun tertinggal sangat jauh. Dan itulah kenapa Pak Darsono adalah guru yang paling aku benci, karena dia selalu memberiku nilai yang jelek! Tidak terlalu jelek sih, tapi nilai terbaikku cuma 7 meski nilai ujian teoriku sama sekali tidak buruk.
"Tak ada gunanya nilai teorimu bagus tapi prakteknya nol! Ini pelajaran olah-raga, bukan sejarah." itu adalah kata-kata yang pernah kudengar dari Pak Darsono. Kata-kata yang membuatku membencinya.

Tapi setidaknya, aku masih bisa menyumbangkan teriakan penyemangat untuk Imron. Dia adalah striker untuk kesebelasan SMA kami. Tubuhnya yang kecil namun lincah dan tak punya lelah itu memang pas untuk meliuk-liuk di sela-sela pertahanan lawan.

Ironi memang, meski Imron jago bermain bola dan merupakan tumpuan tim, tapi dia tidak bisa masuk dalam anggota predator. Tentu saja, karena syarat menjadi predator bukan sekedar jago olah-raga. Dan perbedaan itu makin nampak saat permainan usai. Seolah ada jurang pemisah, Imron nampak lesu dan melangkah menuju ke arahku. Dia memang tak pernah bergabung dengan para predator usai permainan.

Ku tepuk pundaknya yang basah kuyup oleh keringat sambil memberinya sebotol air mineral.

"Masih ada Leg kedua kan?" aku berusaha menghiburnya. Kami kalah 1-3.
"Seharusnya kita bisa menang." kata Imron lesu. Tak seperti biasanya, tak ada senyum khas diwajahnya. Aku merasakan ada yang hilang darinya.
"Tapi mereka mainnya emang bagus kan?"
"Bukan mereka yang main bagus, tapi kita yang kehilangan playmaker." Imron menatap jauh kearah teman-teman se-timnya.

Aku mengikuti tatapannya. Yang kulihat, semua pemain nampak lesu termasuk Yosep.

"Kalo ada Ikhsan, kita pasti menang."
"Ikhsan?"
"Iya. Dia playmaker kita. Dia yang bisa menghidupkan permainan." Imron kini menatapku. "Kamu lihatkan tadi, bola susah banget keluar dari daerah kita. Biasanya Ikhsan yang bisa bawa bola hingga ke jantung pertahanan lawan. Dan operannya akurat banget, dan itu membuatku mudah mencari posisi untuk menyerang lawan."

Aku masih bengong keheranan. Tentu saja aku heran karena ku pikir, Imron tak pernah suka sama Ikhsan dan kawan-kawannya.
"Ikhsan?" kuulangi kata pertanyaan yang sama. Ada sedikit nada tak percaya pada suaraku.

Tiba-tiba aku menemukan kembali senyum khas Imron. Dia tersenyum padaku.
"Aku maksain main bola di tim ini karena Ikhsan yang ngajak."

Sepertinya, wajahku masih menampilkan ketidak-percayaan hingga Imron pun berusaha menjelaskan.

"Ikhsan pernah lihat aku lagi dribbling bola, trus dia ngajak aku masuk tim. Tentu saja yang lainnya menolak, dan aku juga gak yakin bisa main sama mereka tapi akhirnya dia bisa meyakinkan teman-temannya dan juga aku. Dan kita berdua jadi duit maut!" Imron terkekeh. Wajah lesu itu kini hilang dan berubah menjadi wajah khas Imron.

"Trus, kemana dia sekarang?"

Tiba-tiba dia menatapku dengan wajah keheranan.

"Malah aku mau nanya ke kamu."
"Hah.. Aku?" karena herannya, aku bahkan menunjuk mukaku dengan telunjuk.

Imron diam sejenak seperti sedang berfikir.

"Dua hari yang lalu, kayaknya kamu gak masuk sekolah waktu itu, aku sempat ngeliat Ikhsan sama Yosep lagi ribut. Dan aku belum pernah ngeliat Ikhsan semarah itu. Abis itu, Ikhsan pergi. Bahkan sampe sekarang dia gak masuk sekolah."
"Trus, apa hubungannya sama aku?"
"Itu dia, aku memang gak denger apa yang mereka ributin, tapi Yosep sempet teriak nyebut; tukang pijatmu!." Imron memelankan suaranya pada kata terakhir. "makanya aku pikir kamu tahu kenapa mereka ribut."

Jidatku mengkerut.

"Trus, kamu pikir aku tukang pijatnya?"

Imron jadi merasa gak enak hati.

"Ya, gak tau juga sih. Tapi, disekolah ini kan cuma kamu yang bisa ngurut.."

Aku jadi terdiam gak tahu harus ngomong apa lagi. Aku sama sekali tak tersinggung tentang kata tukang pijat, lagian itu memang profesiku sekarang. Tapi aku jadi heran, kenapa mereka ngeributin masalah tukang pijat? Dan kalo benar tukang pijat yang dimaksud itu aku, malah makin aneh lagi.

"Sorry Ris, aku gak bermaksud ngejek kamu kok." tiba-tiba Imron menepuk pundakku.
"Hah?" aku agak kaget. "Enggak lah Im. Aku gak mikir gitu kok."

Imron menunduk sambil menggenggam erat botol air minum. Dia nampak serius banget.

"Kamu tahu sendiri Ris. Aku kan agak bodoh di pelajaran sekolah. Satu-satunya pelajaran yang nilainya diatas 7 adalah olah-raga. Dan aku pengen banget menang di turnamen ini, karena itu jalan paling terang buat masa depanku." kini Imron menatapku sambil tersenyum. "Aku pengen jadi pemain bola Ris."

Aku cuma bisa tersenyum melihat semangat terpancar diwajah Imron. Aku belum pernah mendengar teman-teman bicara seperti Imron. Dia adalah satu-satunya temanku yang memiliki tujuan yang jelas untuk masa depannya. Dan itu membuatku kagum karena aku bahkan belum tahu ingin menjadi apa.

"Kalo ada Ikhsan, di Leg kedua aku yakin pasti menang. Harus banyak nge-gol in sih supaya lolos ke Final, tapi kalo ada dia, aku yakin gak masalah."

Imron bangkit dari tempat duduk dan meraih tasnya. Keringatnya sudah kering dan wajahnya memancarkan semangat menggebu.


+++--------------------------------------------++++


Tok tok tok!

Seketika mataku terbuka. Aku terbangun dari tidur siang setelah sejak pagi memijat 4 orang. Hari minggu, biasanya banyak yang minta dipijat. Kulihat jarum pendek jam dinding bergambar F4 menunjuk angka 3. Ternyata aku tertidur setengah jam, tapi rasa lelah masih terasa.

Tok tok tok!

Suara pengganggu tidurku itu terdengar lagi. Susah payah aku bangkit untuk membuka pintu, namun seketika aku langsung mematung.

"Eh, aku bangunin kamu ya?"

Tentu saja kamu bangunin tidur nyamanku, tapi aku tak mungkin mengatakan itu pada orang di depanku.

"Lili?? Ee, enggak lah. Aku memang harus udah bangun kok." aku buru-buru mengelap mata dan merapikan rambutku yang acak-acakan. "Ada apa nih? Tumben banget sampe ke kosanku?"

Lili menyondongkan badannya untuk melihat-lihat isi kamarku. Aku cuma bisa pasrah saat kamar berantakanku menjadi sasaran mata bening Lili.

"Oh.. Papi punggungnya sakit, dia minta dicarikan tukang urut. Trus, aku pernah denger kamu bisa ngurut, ya udah aku kesini."
"Oh.." kataku. "Tunggu sebentar ya."
"Eh, kamu bisa main Biola?" tanya Lili saat matanya membentur tas Biola yang ku letakkan dilantai.
"Oh enggak.. Itu biola hadiah."
"Boleh liat?"

Aku bahkan belum mengangguk saat Lili sudah masuk kamar dan membuka tas Biola.

"Wow, keren nih biolanya. Siapa yang ngasih?"
"Niko." jawabku singkat sambil menyiapkan perlengkapan urut.

Dia nampak kaget. Ekspresinya aneh. Seperti orang jengkel tapi ia sembunyikan.

"Niko?"

Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Lili pun tersenyum tapi senyumnya seperti dipaksa.

"Dah siap. Yuk berangkat." kataku saat Lili masih saja mengamati Biola ditangannya. Dia sempat kaget tapi setelah itu, dia menyerahkan Biola kepadaku dan langsung ku masukkan ke dalam tas dan membawanya.


+++----------------------+++



Jika ngobrol dengan Lili adalah sebuah berkah, trus aku harus sebut apa kalau semobil dengannya, kemudian masuk ke rumahnya, trus mijit papinya? Wah, jangan-jangan keberuntungan seumur hidup sudah ku ambil semua hingga yang tersisa kesialan!

Dua jam bersama Lili, banyak hal baru yang ku ketahui karena hampir semua orang disekitar Lili adalah orang yang hobi bercerita. Mulai dari sopirnya, yang hampir sepanjang perjalanan bercerita tentang Lili yang hobi taekwondo, lengkap dengan kejuaraan yang dia pernah ikuti. Tentu saja cerita itu membuatku sedikit ciut sedangkan Lili cuma senyum-senyum simpul.

Setelah sampai di rumah Lili yang sangat besar, sebesar rumah Niko, aku mendapat cerita komplit tentang masa kecil Lili sekaligus betapa manja-nya dia. Segala keinginannya, harus dipenuhi. Sungguh kombinasi yang mengerikan antara manja dan taekwondo!

Begitu juga saat kuurut pinggangnya yang terkilir, Papi Lili masih bisa cerita banyak hal sambil meringis menahan sakit.

Cerita bagaimana dia suka berkebun dan kemudian pinggangnya tiba-tiba berbunyi "Klak" saat mengangkat pot bunga yang lumayan besar. Dan selanjutnya, dia tak bisa berdiri tegak. Rupanya, ada urat saraf yang terjepit. Untuk kasus seperti ini, aku harus mengurut hampir seluruh tubuhnya baru kemudian membenarkan posisi uratnya yang terjepit. Tak cuma itu, aku harus mengikat punggungnya dengan sarung untuk sementara waktu. Mungkin akan butuh semalam hingga urut yang kulakukan terasa efeknya.

Yang aku baru tahu, ternyata Papi Lili adalah teman sekantor Papanya Niko! Dan aku juga baru tahu kalo Papa Niko adalah direktur salah satu BUMN. Tentu saja itu menjawab betapa megah rumah mereka.

Tak cuma itu, Papi Lili bahkan punya cerita lengkap tentang Niko. Katanya, awalnya Niko tak mau sekolah di SMA Negeri tempat kami belajar sekarang. Namun Papanya memaksa Niko sekolah SMA Negeri agar dia tidak terlalu manja. Gara-gara itu, Niko sempat ngambek dan marah. Aku jadi ingat cerita Papa Niko yang pernah bilang Niko tak pandai bergaul di sekolah. Mungkin waktu itu dia sedang ngambek.

Dan kenapa Papi Lili bisa tahu semua itu? Ternyata, gara-gara Niko sekolah di SMA Negeri, Lili pun memaksa untuk juga sekolah di sana. Padahal, Papinya ingin Lili belajar di sekolah swasta.

Aneh! Orang kalo banyak duit suka aneh-aneh. Kalo aku, masih bisa sekolah saja udah bersyukur.

Ternyata, hobi cerita tak berhenti sampai Papi Lili. Bahkan adiknya yang masih 6 tahun pun sudah hobi bercerita. Aku terpaksa menjadi pendengar setia kisah tentang kucing persianya yang baru saja beranak. Benar-benar keluarga yang ramai.

"Mas, bisa request lagu nggak?"

Lamunanku buyar saat seseorang menyentuh pundakku. Tentu saja aku jadi bingung, yang disenggol aku, kenapa yang diminta request lagu?
Saat menoleh, ku lihat cewek manis, putih, berwajah sedikit bulat dengan rambut yang diikat ekor kuda. Dia memakai T-shirt yang digulung dilengan dan celana jeans. Gayanya mirip cowok.

"Saya?" kataku kebingungan.
"Wah, mas ini niat enggak sih ngamen?"
"Ngamen?"
"Lah, itu bawa-bawa biola mang buat apa?"

Aku langsung melihat ke Biola yang ku gendong.

"Saya gak ngamen mbak."
"Ah, payah!"

Cewek itu cemberut kemudian duduk sambil berkali-kali melihat ke arah jalan.

Di Halte itu cuma ada tiga orang, aku, cewek tomboy barusan dan bapak-bapak yang sedang membaca koran. Aku sengaja minta diturunkan di Halte waktu hendak diantar pulang agar bisa langsung ke rumah Mas Adit.

Tiba-tiba sebuah mobil Yaris merah menepi dan seketika cewek tomboy tadi bangkit memburu masuk saat pintu terbuka.

"Lama banget? Aku hampir kering neh...." cuma itu yang kudengar sebelum cewek tomboy itu melesat jauh bersama Yaris merah.

Tak berapa lama, Bis yang kutunggu datang.


+++-------------------------+++



Aku baru tahu kalau rumah indah ini punya 4 pembantu plus 1 satpam. Selain Bibi juru masak, ada tukang kebun, Bibi bersih-bersih rumah dan seorang lagi yang pakaiannya sangat rapi bernama Pak Trim. Dia sudah lumayan tua, dan sangat sopan. Dilihat bagaimana dia menerimaku, sepertinya Mas Adit sudah memberitahu kedatanganku.

"Mas Haris tunggu sebentar ya, saya panggilkan Tuan Adit."

Wow, Tuan? bapak itu memanggil Mas Adit tuan? Aku belum pernah mendengar kata tuan selain di apotek. Biasanya apotek memanggil pelanggan yang mengantri dengan panggilan Tuan sebelum nama. Dan bagaimana cara Pak Trim bicara, berdiri dan bahkan bergerak pun benar-benar sopan dan seperti diatur. Aku merasa seperti seorang tamu raja!

Aku ditinggal di ruang tengah yang sangat megah tempatku dulu memijat Mas Adit. Tak lama, Pak Trim datang dengan senyumnya yang sangat sopan.

"Mas Haris, ditunggu di ruang studio." kata Pak Trim sambil memberi isyarat tangan untuk mengikutinya.

Pak Trim membawaku menyusuri selasar yang besar dan penuh lukisan. Aku baru tahu, rumah ini sangat besar. Memang dari luar tidak terlalu besar, tapi sepertinya, rumah ini memanjang ke belakang. Setelah melewati beberapa pintu, Pak Trim berhenti dan membuka salah satu pintu besar dan memberi isyarat agar aku masuk.

"Wow.." kataku lirih.

Ruang yang kumasuki sangat luas. Dindingnya di cat dengan warna-wana cerah dan dihiasi dengan lukisan-lukisan. Sedangkan jendelanya tidak ada. Maksudku, seluruh dinding yang menghadap ke luar terbuat dari kaca sehingga nampak taman yang sedikit gelap karena matahari kini sudah hampir tenggelam. Meski begitu, keindahan taman masih nampak karena dihiasi sorotan lampu-lampu indah.

Sebuah piano besar ada di salah satu sudut, juga beberapa alat musik termasuk Biola. Dan di sisi lain, beberapa kanvas berdiri di penyangga kayu. Di salah satu penyangga itu, ku lihat Mas Adit sedang menggoreskan kuas.

Aku melangkah pelan karena tak ingin mengganggu Mas Adit yang nampak serius. Aku menyusuri tiap tiap lukisan-lukisan yang ada di dinding. Dan tatapanku kini terpaku pada sebuah lukisan yang, entah kenapa, aku merasa ingin melihatnya terus.

Itu adalah sebuah lukisan anak laki-laki yang mungkin seumuranku. Rambutnya hitam mengkilap, dan wajahnya tampan namun sendu. Tangan kirinya menyangga kepala sedangkan tangan kanannya terangkat ke atas. Burung putih nampak bertengger disana. Ekspresi anak itu bukan sedih, tapi juga tidak sedang senang hati. Dia seperti seseorang yang rindu akan sesuatu. Yang membuatnya menarik, ada sayap besar putih di punggungnya. Seperti sayap malaikat. Tapi aneh, kenapa pakaiannya nampak lusuh?

Dia duduk ditempat yang tinggi, namun dia sama sekali tak merasa takut.

Entah kenapa, mataku seperti terpatri pada lukisan itu.

"Kamu suka?"

Aku kaget saat suara itu datang tepat dibelakangku. Aku menoleh dan kulihat Mas Adit sudah ada disana dengan senyum lesungnya.

"Iya, lukisan ini bagus banget." kataku sambil membalas senyumnya. "Ini lukisan Mas Adit ya?"
"Ya." bola mata Mas Adit bergerak seolah menyisir tiap titik lukisan. "Apa komentarmu?"
"Hah?" aku bingung. "Bagus banget." aku meringis karena gak tau harus jawab apa.

Mas Adit menatapku dengan senyumnya yang semua orang pasti suka.

"Coba ceritakan, tentang lukisan ini menurut versimu."

Oke, sekarang aku benar-benar bingung. Aku harus cerita apa? Aku pun berusaha menatap lukisan itu dengan konsentrasi penuh. Dan entah bagaimana, perasaan itu muncul kembali. Mataku kembali terpaku pada lukisan itu. Dan berlahan, bibirku bergerak.

"Dia bukan siapa-siapa, dan hidupnya pun bukan apa-apa. Meski hidupnya sangat berat, namun dia tak merasa takut terhadapnya. Dia menikmati beratnya hidup dengan santai, seperti burung yang terbang tanpa rasa takut. Dia bukan malaikat, namun dia memiliki sesuatu yang bisa membuatnya menjadi malaikat. Namun dia kesepian. Dia merasakan, ada sesuatu yang belum lengkap."

Aku bahkan tak tahu bagaimana kata-kataku barusan bisa terucap. Aneh.

"Hebat.." kata Mas Adit seperti sebuah gumaman. "Kamu bisa membaca pikiran orang yang melukisnya.."
"Hah?" aku menoleh.
"Yah. Itulah yang ingin ku gambarkan dari lukisan ini. Dan kamu membacanya dengan tepat." dia menatapku dengan mata berbinar.

Tentu saja aku merasa tersanjung. Padahal, aku cuma mengutarakan apa yang ada dikepalaku. Bahkan, itu hanya sebuah lintasan pikiran yang tiba-tiba.

"Semua lukisan dirumah ini, buatan Mas Adit?"

Mas Adit tersenyum lebar.

"Tentu enggak. Enggak semua." matanya kini mengitari semua lukisan yang ada diruangan. "Semua lukisan yang ada di studio ini adalah lukisanku, tapi yang di luar, beberapa adalah koleksi."

Kini aku melihat lukisan yang tadi sedang dikerjakan oleh Mas Adit. Sebuah lukisan pasar tradisional.

"Ini, hasil imajinasi atau memang ada pasar seperti ini?" tanyaku bingung karena lukisan itu begitu hidup. Seolah, itu adalah sebuah foto.
"Aku sebenarnya suka aliran Romantisme, tapi terkadang, aku tergoda untuk melukis dengan cara Realisme. Ini adalah gambar sebuah pasar yang pernah aku lihat"

Aku cuma manggut-manggut, meski aku gak terlalu paham arti Romantisme dan Realisme yang Mas Adit katakan.

"Maksudnya, Mas Adit melukis pasar sesungguhnya berdasarkan ingatan?"

Kini jidat Mas Adit mengkerut, seperti sedang berfikir keras.

"Begini, aku sebenarnya juga gak terlalu paham maksud para ilmuwan ini, karena aku bukan ilmuwan. Aku seniman dan cara berfikir kita memang berbeda. Tapi kata mereka, ada istilah Photographic Memory."

Kini jidatku yang mengkerut. Berarti, tadi Mas Adit sedang berfikir keras agar orang bodoh sepertiku bisa memahami kata-katanya.

"Kata para Ilmuwan, ada orang yang bisa menangkap sebuah momen dan merekamnya layaknya sebuah foto. Dan orang tersebut, bisa menggambarkan dan menjelaskan dengan detil momen yang dia rekam setelah beberapa lama kemudian. Tentu saja aku tak peduli dengan itu, karena bagiku, tak peduli bagaimana proses itu terjadi, tapi saat melukis, tangan ku seolah tau bagaimana harus melukisnya. Jadi, ya, aku melukis pasar itu berdasarkan ingatanku"

"Wow.." cuma itu komentarku. Dan itu adalah kata wowku yang kesekian kali karena aku sudah tak punya kata-kata lebih hebat lagi untuk menjelaskan kekagumanku.

Mataku kembali menyisir semua lukisan yang ada di studio dengan penuh kekaguman.

"Wah, kamu bawa biola mu?" seru Mas Adit memecah kesunyian yang tiba-tiba datang.
"Oh, iya" kataku sambil menyerahkannya ke Mas Adit.

Dengan cekatan namun lembut, dia mengeluarkan Biola dari tas dan mengamatinya dengan teliti.

"Wow." seru Mas Adit. Dia mengikuti gayaku mengatakan wow sambil melirik ke arahku. "KR-E-M-O-N-A"

Aku bingung mesti bereaksi apa karena aku sama sekali tak tahu tentang Biola. Berkali-kali dia mengamati Biola sambil sesekali menatapku.

"Kamu tahu? Ini Kremona pake K, bukan Cremona pake C..!" dia menekan suaranya saat menyebut huruf K dan C.

Sebenarnya aku ingin teriak, "Sumpah, aku gak tau apa itu Kremona dan apa itu Cremona!", tapi tentu saja aku tak melakukannya. Lagian, Mas Adit sudah kembali nyerocos.

"Kremona ini adalah buatan tangan dari pembuat Biola di Bulgaria. Pengrajin Biola ini sudah ada sejak 1924. Sayangnya, belum ada distributornya di Indonesia. Tapi setidaknya, kita bisa ke Malaysia atau singapura."

"Oh.." kataku sambil mengangguk.

"Dan ini.." lanjut Mas Adit sambil mengelus lembut Biolaku, "adalah model VP3, memiliki design yang sama dengan biola Stradivari 1716 yang legendaris itu. Dan harganya mungkin sekitar 1500 dolar singapura. Atau sekitar 10 jutaan."

Mas Adit tersenyum sambil menyerahkan biola itu kepadaku dengan lembut. Sedangkan aku menerimanya dengan mata yang masih terperangah.
Tentu saja aku kaget, dari tadi aku membawa barang seharga 10 juta kemana-mana!

"Kamu tahu? Untuk pemula, biola ini jauh lebih dari cukup. Orang yang menghadiahimu biola ini pasti benar-benar mencintaimu!"

Kata-kata terakhir barusan membuatku bingung.

"So? Siapa cewek yang begitu mencintaimu ini?" Mas Adit mengatakannya dengan mengedipkan mata. Dan itu malah membuatku makin bingung.
"Sebenarnya, yang ngasih cowok." kataku akhirnya.

Mas Adit langsung terdiam dan tak lama menatapku dengan sebuah senyuman.

"Oh, tentu saja. Tentu saja." katanya sambil manggut-manggut.
"Dia teman sebangku di sekolah." entah kenapa aku harus mengatakannya. Tapi, aku cuma merasa perlu mengatakannya.

Mas Adit cuma menjawabku dengan senyuman yang seolah berkata, "Tenang, aku paham kok". Dan itu malah membuatku makin tak nyaman.

Dia melangkah menuju Biola yang ada di dekat Piano sambil memberi isyarat untuk mengikutinya. Dia meraih Biola dan mengelusnya lembut.

"Sekarang, aku lagi suka dengan StringWorks. Aku membelinya waktu mampir ke Appleton."

Sekali lagi aku cuma mengangguk-angguk karena aku gak tahu, dimana Appleton itu berada.

"Ah, kita mulai aja belajarnya!" seru Mas Adit tiba-tiba. "Ini adalah Biola atau Violin dan ini adalah Bow"

Dia mengangkat Biola ditangan kiri dan sebuah busur di tangan kanan yang baru ku tahu namanya Bow.

"Coba lihat Bow mu."

Aku pun menyerahkan Bow yang ada ditanganku.

"Hmm, sudah pernah dipakai ya? Ada bekas Hars-nya."
"Iya, pernah dipake sekali sama Bapak dulu." jawabku meski aku gak tau apa itu Hars.
"Bapakmu bisa main Biola?"
"Aku juga baru tahu, dan itupun dengarnya baru sekali karena setelah itu Bapak meninggal.."
"Ah.. Maaf.." kata Mas Adit dan dia pun kembali menatap Bowku.

Dia mengamati dengan teliti.
"Oke, sepertinya Bapakmu seorang pemain, Biola. Bow mu sudah diberi Hars dan sudah diatur ketegangannya. Good." dia menyerahkan kembali Bow kepadaku.
"Sekarang coba pegang Bow-nya seperti ini."

Aku mengikuti caranya memegang Bow. Telunjuk menyentuh bagian bow yang keperakan sedangkan jempol menahan dari sisi lainnya.

"Tanganmu rileks saja, jangan khawatir, bow-mu gak akan jatuh. Ingat, bow itu seperti perpanjangan tanganmu sendiri. Oke.
Selanjutnya, letakkan violin ke pundak. Disini, ini adalah Shoulder Rest dan letakkan dagumu disini."

Aku mengikuti semua petunjuk persis seperti yang dilakukan oleh Mas Adit.

"Sekarang, kamu coba bergerak sambil memegang Violin di pundak. Buat dirimu menyatu."

Ku lihat Mas Adit menggerak-gerakkan tubuhnya. Meliuk-liuk sambil memejamkan mata. Aku pun mengikutinya.
Aku harus membuat agar Biola menyatu ke badanku.

"Anggap Violin itu adalah bagian dari tubuhmu, bukan benda asing, apalagi beban." kudengar suara Mas Adit.

Benar, dengan memejamkan mata, aku bisa lebih merasakan Biola itu bukan lagi beban. Aku menyukainya.

"Sekarang, buka matamu."

Aku membuka mata.

"Kita coba memainkannya ya. Ingat, rileks oke. Jangan khawatir, Violin ini tak akan menggigitmu. Yang harus kamu tahu, posisi ujung atas bow itu lemah, jadi harus dibantu dengan tekanan, tapi ujung bawah, kita harus mengurangi tekanannya. Hmm, itu lumrah kan? Tapi yang terpenting, kamu harus merasakannya."

Mas Adit memberikan contoh dan keluarlah suara indah. Akupun menarik nafas dalam-dalam dan mengeluarkannya berlahan.

Ku letakkan bow ku pada senar namun tidak ku gesekkan. Aku cuma pengen tahu, bagaimana rasanya. Setelah yakin, aku pun menariknya ke bawah lembut hingga terdengar suara pelan sekali. Aku berusaha mencari tau tekanan yang pas. Kulakukan itu berkali-kali untuk membuat tanganku terbiasa. Barulah kemudian, aku coba dengan memberi sedikit tekanan pada bow agar bersuara.

Muncul suara! Tentu saja tak seindah suara yang keluar dari Biola Mas Adit.

"Hahaha.." tiba-tiba Mas Adit tertawa. Akupun langsung berhenti seketika.
"Ee, ada yang salah ya Mas?"
"Iya, eh Bukan.. Eee, maksudku. Ada yang aneh, tapi bukan salah!" dia masih terkekeh.
"Maaf." kataku lirih.
"Bukan!" sergah Mas Adit. "Kamu jangan minta maaf. Biasanya, orang yang pertama kali membunyikan biola, pasti akan mengeluarkan suara yang mirip suara engsel pintu yang berkarat. Dan aneh, kamu gak melewati tahap itu."

Sebenarnya ini bukan pertama aku mencoba membunyikan biolaku. Setelah mendengar Bapak memainkannya, aku sempat mencobanya, dan memang keluar suara persis suara engsel berkarat. Jadi, sebenanya aku melewati tahap itu.

"Oke, sekarang coba lagi dan jangan ragu. Pakai saja feelingmu oke."

Tiba-tiba, Mas Adit nampak begitu bersemangat. Matanya berbinar dan senyumnya merekah.
Aku pun meletakkan kembali Biola ke pundak dan juga bow-nya diatas senar. Dan menarik Bow perlahan..

"Kak Adit..!!!!"

Bow ku terpeleset. Bahkan Mas Adit pun sempat melompat. Suara itu persis lolongan serigala didalam ruangan studio yang sebenarnya kedap suara. Seketika, mata kami langsung meluncur ke arah sumber suara. Aku pun melotot.

"Kak Adit katanya mau jemput Cika! Gimana sih??"

Suara itu berasal dari dari cewek berkepang ekor kuda, baju T-Shirt dan celana Jeans. Dia adalah cewek tomboy di Halte tadi.

"O.. Iya ya..." wajah Mas Adit nampak pucat. "Tapi kamu kan bisa telpon Bang Hotang."
"Iiiih.. Kak Adit ini.. Aku bukan butuh supir. Aku butuh Kak Adit. Aku mau kenalin ama temen Ci...."

Akhirnya dia menyadari keberadaanku.

"Kok kamu ada disini?" cewek tomboy itu menatapku keheranan. Tapi kemudian dia menatap Mas Adit penuh curiga. "Pacar Kak Adit ya?"
"Cika!" seru Mas Adit.

Seketika si tomboy diam.

"Kalian sudah kenal?" kini suara Mas Adit kembali normal.
"Belum." kami menjawab berbarengan.
"Tadi ketemu di Halte." kataku.
"Tadi tak kirain pengamen, abis.." si tomboy tak melanjutkan kata-katanya. Tapi tatapannya seolah ingin menelanjangiku.

Aku pun melihat ke tubuhku sendiri, dan barulah aku sadar kalo pakaianku memang persis pengamen.

Tapi aneh juga, beberapa detik yang lalu, si tomboy datang marah-marah. Tapi sekarang, dia diam dan cuma senyum-senyum ke Mas Adit dan sesekali menoleh ke arahku. Kemudian pergi.

"Sudah, jangan dipeduliin, Cika memang suka begitu. Coba sekali lagi ya."

Aku pun mencobanya dan keluar suara yang lebih baik dari sebelumnya. Dan itu membuat Mas Adit girang.
Kini, dia memintaku menariknya dari pangkal bow hingga ujung bow. Ku lakukan berkali-kali dan Mas Adit tambah kegirangan. Bahkan, dia tertawa girang saat dia memintaku membunyikan dengan cara menarik kemudian mendorong bow ke atas.

"Kamu tau? Kamu seperti udah pernah belajar Violin!" seru Mas Adit kegirangan.

Dan itu membuatku heran, padahal aku cuma melakukan apa yang dia contohkan tapi dia melihatku seolah aku luar biasa. Aneh!

"Oke, coba ikuti saya ya. Kita akan coba membunyikan dua senarnya."

Akupun mengikuti seperti yang dia contohkan dan itu membuatnya makin kegirangan.

Dia terus memberi contoh suara dan akupun mengikutinya, begitu seterusnya. Bahkan, kini dia memintaku untuk membunyikan nada dengan menekan senar sesuai contohnya. Aku cuma mengikutinya. Dia bahkan tak memberitahuku nada apa yang sedang ku bunyikan. Begitu seterusnya. Aku yakin, aku telah membunyikan banyak nada, tapi aku tak tau nada apa. Aku pun jadi berfikir, apa memang begini cara belajar biola?

Tapi Mas Adit seolah tak peduli apakah aku tahu nada apa yang kubunyikan, dia lebih tertarik agar aku mencoba bunyi nada sebanyak-banyaknya. Dan kami terus melakukannya hingga jam sudah menunjuk angka 11. Akhirnya dia memberiku sesuatu.

"Dengar Ris, kamu masih ingat tentang photographic memory yang tadi kita obrolin?"

Aku mengangguk. Dia pun tersenyum lebar.

"Photographic memory, tak selamanya berkaitan dengan gambar. Tapi juga, bisa dalam bentuk suara." Mas Adit menatapku lama berharap aku paham maksud kata-katanya.

Aku cuma diam.

"Ini Ipod, udah aku isi dengan lagu-lagu yang dimainkan pakai Violin dan menurutku bagus. Kamu coba dengerin salah satu lagu dan bila perlu kamu coba sendiri pake Violin mu."

Oke, sekarang aku mau bilang kalau Mas Adit sudah gila. Aku bahkan baru saja bisa membunyikan Biola dan kini dia memintaku mencoba memainkan lagu? Dia benar-benar sudah gila.


++++---------------------------++++



Entah apa yang ada di kepalaku, tapi siang itu aku mencarinya.

Ya aku sedang mencari-cari keberadaan Ikhsan. Tadi pagi aku sempat melihatnya, tapi dia memang agak aneh sekarang. Dia tak lagi ngumpul bersama Yosep dan itu membuatnya sulit untuk di cari. Bahkan, aku tak menemukan motornya di parkiran.

Susah-susah mencarinya, sekarang aku malah hampir menabraknya. Dia parkir dipinggir jalan dan sepertinya aku sempat melamun karena aku tak melihat motornya.

Dari tadi aku mencarinya, tapi sekarang aku bingung mau ngomong apa. Ikhsan yang juga melihatku juga cuma diam.

"Kenapa sabtu kemarin gak main bola?"

Ikhsan nampak kaget dan keheranan mendengar pertanyaanku.

"Apa urusanmu?" jawabnya ketus.
"Emang bukan urusanku. Tapi kamu suka ya kalo tim sekolah kita kalah?"
"Itu bukan urusanku."

Aku jadi bingung mau ngomong gimana. Aku pengen memintanya main bola lagi, karena Imron butuh dia, tapi aku juga gak suka keliatan seolah aku memohon-mohon.

"Atau kamu takut kalah?" kataku dengan nada mengejek.
"Apa hubungannya?" kini Ikhsan nampak sewot.
"Kali aja, kamu takut kalah makanya gak berani main."
"Iya atau enggak, itu juga bukan urusanmu kan?"

Sekarang, aku benar-benar jengkel. Aku pun diam dan melangkah melewati motornya yang menghalangi jalanku.

"Ceking!" tiba-tiba dia memanggilku saat aku sudah melewatinya. "Ngomong aja, kalau mau minta aku main."

Kenapa dia terus memanggilku ceking sih! Aku pun berbalik dan menatapnya jengkel.

"Itu bukan urusanku!" teriakku dan langsung pergi.

Sekilas, aku lihat seorang cewek mendekati Ikhsan. Rupanya dari tadi dia sedang nunggu pacarnya yang sekolah tak jauh dari sekolah kami.


---> bersambung


0 comments:

Post a Comment