DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Inikah Cinta? - just a Love Story Episode 16

Episode 16 : Mereka..




Aku setengah berlari menuju lapangan, membuat nafasku terengah-engah.

Tubuhku yang kurus, ternyata tak membuatku bisa berlari lebih cepat dari Fahri yang bertubuh tambun. Berkali-kali dia harus berhenti, menoleh dan menatapku jengkel kemudian geleng-geleng kepala. Aku membalasnya dengan cengiran. Bahkan, Mail pun harus berlari kembali ke arahku dan menarik lenganku agar berlari lebih cepat.

"Ya elah Ris, kamu itu diam aja mestinya bisa nyampe.." gerutu Mail saat menarikku seperti menarik copet.
"Maksudmu?" teriakku sambil terengah-engah.
"Iya.. Asalkan ada angin kenceng, badanmu itu pasti ketiup angin nyampe lapangan!"

Fahri terbahak-bahak mendengar lelucon yang menurutku gak lucu sama sekali. Ku pelototi Fahri dengan wajah cemberut, tapi dia makin terbahak.

Tapi setidaknya, perjuanganku tak sia-sia. Aku sampai dipinggir lapangan saat para pemain bergerak menempati pos-nya masing-masing. Kulambaikan tanganku ke arah Imron untuk memberi semangat. Seketika, senyumnya yang khas itu pun merekah.

Mataku menyisir semua pemain, dan seperti perkiraanku, Ikhsan tidak ada disana. Begitu pula dibangku cadangan, wajahnya yang tengil itu juga tak nampak. Tanpa ku sadari, aku menghela nafas panjang.

Aneh, kenapa aku harus kecewa? Padahal aku sudah yakin dia tak akan datang.

"Ris! Malah ngelamun. Ayo kesana."

Mail menepuk punggungku hingga membuatku hampir terjatuh. Aku mengikutinya menuju sisi lapangan dekat pelatih dan pemain cadangan.

Tak lama peluit wasit membahana sebagai tanda permainan dimulai.

Kedua kesebelasan kini mulai berlarian mengejar bola. Awalnya, kulihat permainan berimbang. Namun 10 menit kemudian, kesebelasan lawan nampak mulai menguasai keadaan. Passing-passing bolanya makin akurat. Dan itu bahkan membuat sering kali Imron harus turun membantu pertahanan. Meski begitu, tetap saja beberapa kali tembakan lawan menggetarkan gawang. Untungnya, Valen, kiper SMA ku sangat cekatan.

Tapi sehebat apapun Valen, serbuan beruntun membuatnya harus menyerah. Sebuah tendangan keras dari kiri lapangan langsung menuju sudut atas gawang yang tak mampu ditepis oleh Valen. Dan sebuah gol membuat kesebelasan SMA ku tertunduk lesu.

Dan itu kini menjadi masalah, karena konsentrasi kesebelasan SMA ku menjadi terganggu. Beberapa kali, serangan lawan berhasil masuk ke jantung pertahanan sedangkan kesebelasanku seolah bermain tanpa bentuk.

Ku lihat berkali-kali Pak Darsono berteriak sambil mengerak-gerakkan tangan sebagai isyarat. Dan tak jarang, dia memukul-mukul kepalanya sendiri karena kecewa. Sesekali, dia juga melihat jam tangan dan menoleh keluar lapangan. Tapi tiba-tiba, dia menatap ke arahku dan tersenyum lebar.

Tentu saja itu membuatku kaget dan bingung.

"Jangan-jangan Pak Darsono sudah gila dan berfikir untuk menyuruhku bermain. Sejenis pengalih perhatian lawan?" kataku dalam hati. Tentu saja jika itu benar, maka Pak Darsono benar-benar sudah gila!

Senyum Pak Darsono kini makin lebar, dan itu membuatku makin bingung. Aku pun akhirnya membalas senyumannya dengan ragu.

"Ngapain kamu senyum-senyum?" tiba-tiba Mail mendorongku.
"Hah, itu.. Gak tau juga.. Pak Darsono ngapain senyum-senyum ke aku ya?"

Fahri terbahak-bahak lagi. Aku jengkel jika dia mulai terpingkal.

"Kamu GE ER amat Ris! Dia bukan senyum sama kamu.." kata Fahri terpingkal-pingkal.
"Hah?"
"Tuh, di belakang mu!" timpal Mail.

Aku pun menoleh ke belakang dan tiba-tiba aku tersenyum sangat lega.

Tapi senyumku tak bertahan lama. Tiba-tiba Ikhsan menatapku dan tersenyum sinis seperti mengejek. Seketika, senyum yang terlanjur ada di bibir ku buang dan ku ganti wajah jengkel. Kini dia malah ternyum senang dan melangkah menuju Pak Darsono.

"Huh!" teriakku.

Tentu saja Fahri dan Mail menatapku keheranan. Dia tak tahu betapa jengkelnya aku pada Ikhsan.

Tak lama, Pak Darsono mengajukan pergantian pemain dan Ikhsan masuk ke lapangan.

Entah tuah apa yang dibawa Ikhsan, tapi tiba-tiba semua pemain kini bersemangat dan konsentrasi mereka kembali normal. Bahkan, kini aliran bola menjadi lancar menuju pertahanan musuh. Bahkan, beberapa kali penyerang kesebelasan SMA ku mampu menggedor gawang lawan. Dan tak lama, sebuah aksi menawan Imron berhasil membuat kedudukan berimbang.

Mau tak mau, memang harus ku akui keberadaan Ikhsan mampu memacu kepercayaan diri tim. Dengan lihai, dia membagi bola dan mengarahkannya hingga menjadi sebuah serangan mematikan. Dan hingga akhirnya di babak kedua, kesebelasan SMA ku menang 4 - 1 yang artinya, kami melenggang ke babak final.

Kulihat Fahri dan Mail melompat-lompat kegirangan. Pak Darsono berkali-kali memeluk para pemain tak peduli pada keringat mereka yang membasahi kaosnya. Dan teman-teman lainnya bersirak sorai kegirangan. Tapi aku malah terdiam.

Mataku tertuju pada Imron yang melangkah dengan senyum merekah ke arahku. Aku pun memeluknya, seperti Pak Darsono, aku pun tak peduli pada keringat Imron yang membuat baju ku basah.

"Hebat, hebat!" cuma itu yang bisa ku ucapkan. Imron mengangguk-angguk dan tersenyum gembira.

"Hoi!" sebuah suara membuat aku dan Imron terdiam. Itu adalah suara Ikhsan yang tiba-tiba ada di sampingku.

Mendadak Ikhsan membuka kaosnya yang basah kuyup dan melemparnya tepat ke mukaku. Meskipun bau keringatnya sedikit aneh, karena baunya wangi, tetap saja itu membuatku meradang.

"Tuh, cuciin!" katanya tanpa ekspresi.

Mataku melotot jengkel dan marah saat kulihat Ikhsan meninggalkan lapangan begitu saja. Hanya nampak punggungnya yang putih, dan berkeringat sedang menuju motornya, memakai jaket dan pergi. Ya, melemparkan kaos basah ke muka ku dan kini pergi begiti saja!

Aku jengkel, tapi aku juga tak membuang kaos itu. Aku malah menggenggamnya erat. Aku bingung.


------+++++++++++++++++++++------------------------


Aku tak mungkin bisa menjelaskan dengan kata-kata, tapi memang seperti itu adanya.

Saat aku mendengar sebuah alunan biola di iPod, alunan itu seperti bergema di kepala dan aku bisa mengingatnya. Tak cuma itu, aku bahkan bisa merasakannya. Bahkan, aku bisa melihatnya!

Orang lain pasti tak mengerti apa yang sedang ku katakan, tapi alunan itu seperti sebuah lukisan di kepalaku. Dia nampak dan dengan mudah aku bisa memindahkan ke biolaku. Aku juga bisa mengira-ngira dengan tepat, dimana aku harus menekan senar Biolaku. Aku hanya cukup mengingat-ingat latihan yang pernah Mas Adit berikan. Entah berapa ratus posisi senar yang dia minta aku ikuti dan itu seperti tergambar jelas.

Oke, aku nyerah untuk menjelaskannya.

Gampangnya, aku bisa mengulangi alunan dari iPod dengan menggunakan Biolaku.

Hanya saja, saat itu, aku belum bisa membedakan nada apa yang bertaburan keluar dari iPod. Namun kini, setelah Mas Adit memintaku meniru nada-nada yang keluar dari Piano yang ia mainkan, dan selanjutnya menyebut nama-nama nada tersebut, taburan nada-nada yang kulihat memiliki nama!

Ah, entah bagaimana menjelaskannya.

Aku juga tak bisa menjawab saat Cika, adik Mas Adit bertanya dengan nada keheranan, "Gimana caranya kamu belajar?". Aku merasa menjadi orang aneh. Malah aku menjadi bertanya-tanya, "Memang seharusnya sulitkah belajar Biola?"

Kenapa tadi Mas Adit nampak begitu terkagum-kagum saat aku memainkan Biola dengan cara yang menurutku belum bagus? Bahkan Cika nampak melongo keheranan. Aneh.

Dan keanehan itu terngiang hingga perjalanan pulangku dari memijat.

BRAKK!!

Aku melompat.

Seketika, aku pun mencari asal suara yang tak hanya membuat lamunanku buyar, tapi juga membuatku hampir saja terjatuh. Saat itu barulah ku sadari aku sedang melewati sebuah perumahan yang semuanya adalah rumah yang besar dan halaman yang luas. Dan tepat di sisi kananku lah suara itu berasal.

"Kenapa Mama gak paham juga sih?!! Aku benci Mama!!"

Aku tak ingin menguping, tapi suara itu terdengar keras sekali. Setelah itu, terdengar suara motor distater dan meluncur keluar didepanku. Tak lama, seorang Ibu berusaha mengejar dan berteriak memanggil,"Ikhsan! Ikhsan!".

"Ikhsan?" kataku lirih. Tiba-tiba aku jadi sadar kalau motor yang barusan lewat adalah motor Tiger.


---------+++++++++++++++++++--------------------


Aku melangkah dengan mata setengah terpejam. Hari sudah benderang, tapi kantukku belum juga hilang.

Tapi mau bagaimana lagi, ini hari Minggu. Hari sibuk buatku karena banyak pelanggan yang memilih hari minggu untuk pijat. Karena itulah, aku sedikit menyeret badan mencari handuk yang ku jemur di teras.

"Astaga!" teriakku.

Tentu saja aku kaget. Diteras depan kamarku, sesosok tubuh nampak berbaring dikursi sedangkan wajah dan badannya tertutup handuk. Dan itu adalah handukku!

"Woi! Kamu apain handukku?" teriakku sambil menarik handuk yang menutupi sosok misterius itu. Dan itu makin membuatku kaget.

"Ah, apain sih?" kata sosok yang tak lain dan tak bukan adalah Ikhsan. Matanya masih terpejam sedangkan tangannya berusaha menarik kembali handuk dari tanganku.

"Ngapain kamu disini!?" semprotku sambil menarik handukku lebih kuat.
"Hah?" kini mata Ikhsan sudah terbuka. Dia mengerjap-kerjapkan mata beberapa kali. "Hmm, mau ambil kaos."

Dia mengatakan itu tanpa merasa bersalah. Seolah yang dia lakukan adalah hal yang biasa. Setelah itu, dia kembali tidur.

Aku cuma bisa menggerutu sambil buru-buru menuju kamar mandi.

Seperti biasa, aku tak butuh waktu lama untuk mandi dan saat aku keluar, ku lihat Ikhsan sedang memegang kaosnya yang sebelumnya ku jemur.

Ya, aku memang marah saat dia melemparkan kaos berkeringat itu ke wajahku, tapi aku juga merasa wajar jika dia memintaku mencuci kaos itu. Dan saat mencucinya, aku sama sekali tak merasa terpaksa.

"Masih basah!" seruku. Dan Ikhsanpun mengembalikannya ke jemuran tanpa mengatakan apa-apa.

Aku masuk ke kamar untuk ganti pakaian, dan saat itu, tiba-tiba aku teringat dengan kejadian semalam. Buru-buru aku menghambur keluar sambil memakai kaos.

Mataku melotot dan wajahku nampak marah. Ikhsan nampak kaget ketika melihat ekspresiku, seolah dia belum pernah melihat amarahku.

"Kamu gak seharusnya bicara seperti itu sama Mama kamu!"

Wajah Ikhsan kini tak cuma kaget, tapi keheranan.

"Kamu ngomong apa sih?"
"Udah, gak usah basa-basi, kamu seharusnya gak ngebentak Mama kamu seperti semalam!"

Bibir Ikhsan bergerak, tapi tak mengeluarkan kata-kata.

"Semalam aku lewat rumah kamu, dan ngeliat kamu ngebentak Mama-mu.."
"Itu..."

Ikhsan tak melanjutkan kata-katanya.

"Haris..!"

Tiba-tiba ada suara teriakan yang membuat kami berdua menoleh. Dan seketika, aku tersenyum sangat lebar.

"Niko??" aku menyebut nama orang yang memanggilku dengan rasa tak percaya.

Niko terburu-buru seolah hendak memelukku tapi mendadak berhenti saat dia sadar ada orang lain disana. Senyum Niko kini menghilang sedangkan tatapannya berubah menjadi tatapan curiga. Ikhsan masih diam seperti sebelumnya, sedangkan Niko memandanginya dengan penuh kecurigaan.

Tapi tak lama, Niko menghampiriku, meraih tanganku dan setengah menyeretku.

"Ayok, ikut aku.."
"Ee, bentar aku kunci pintu dulu."

Niko menatapku tak sabar saat ku berusaha mengunci pintu kamarku yang memang sedikit bermasalah.

"Ayoo!" kini dia benar-benar menyeretku.

Ikhsan cuma diam menatapku diseret Niko tanpa ekspresi.


---------+++++++++++++++++++--------------------


"Mas Niko kemana aja, dicariin Ibu loh.."

Bi Tin langsung menghambur lega saat melihat Niko turun dari motor. Tak lama, muncul Mama Niko dengan wajah panik.

"Kamu itu, baru aja nyampe udah kabur. Harusnya.. Eh, Nak Haris?"

Wajah panik Mama Niko berubah menjadi senyuman setelah menyadari keberadaanku. Dan akhirnya, kami berdua digiring menuju meja makan.
Selama di meja makan, Niko cuma diam sambil mengunyah rotinya. Mama dan Papa Niko seperti sedang berduet menceritakan lenyapnya Niko padahal baru saja menginjak rumah. Dan itu membuat panik seisi rumah. Bahkan Bi Tin sesekali menimpali saat Mama Niko mencari dukungan seolah aku sulit dibuat percaya.

Aku jadi merasa bersalah. Ternyata Niko kabur cuma untuk mencari keberadaanku.

Ku pikir, aku akan sedikit terbebas dari intimidasi setelah keluar dari meja makan dan masuk kamar Niko. Nyatanya, Niko kini menatapku dengan tatapan aneh. Aku jadi serba salah. Bahkan dia tak menjawab pertanyaanku tentang pengalamannya di Jepang. Seolah itu semua tak ada arti buatnya.

"Kamu kenapa sih?" Akhirnya aku jadi tak sabar juga.

"Kenapa kamu gak bilang-bilang kalo Bapak kamu meninggal?"

Aku memutar mataku karena bingung mesti jawab apa. "Aku mesti ngasih tahu pakai apa?"
"Email!" seru Niko seolah mempertegas betapa bodohnya aku. Aku pun cuma bisa diam.

Seketika Niko merasa bersalah telah membentakku.

"Trus, kamu gimana?" kini suaranya melembut.
"Ee.. ya gak gimana-gimana?" jawabku bingung.

Rupanya jawabanku membuatnya tak sabar.

"Maksudku, gimana kamu bisa makan? Gimana kamu.. e ah.." Niko nampak jengkel karena dia tak tahu harus mulai dari mana.

Aku mencoba menenangkannya dengan senyumku. "Aku sekarang kerja kok."

Kemudian aku pun menceritakan bagaimana aku bisa menghidupi diri sendiri. Dan jelas sekali, itu membuatnya lega.

"Trus, ngapain si Ikhsan di kosan mu?" kini ada nada curiga pada suara Niko.
"Dia mau ambil kaos."
"Kaos?"
"Iya, kaos bola."

Niko kini mendekat.

"Ngapain kaosnya ada sama kamu?"
"Dia minta dicuciin." jawaban yang kemudian ku sesali.
"Kamu dipaksa nyuciin kaosnya?" ada ekspresi marah di wajah Niko.
"Bukan-bukan.." aku berusaha menenangkannya.

"Sebenarnya Imron yang diminta, aku cuma bantu Imron karena dia sibuk banget dan kecapean." aku berbohong.

Sepertinya Niko tak percaya dengan kata-kataku, tapi melihatku yang kini pucat, dia pun diam dan hanya menatapku. Kenapa dari tadi Niko menatapku seperti itu?

Ku biarkan dia menatapku sepuasnya karena aku juga tak tahu harus ngomong apa. Aku berjalan hilir mudik di kamarnya yang luas sambil melihat-lihat buku-buku yang tersusun rapi di rak.

Tiba-tiba Niko berdiri didepanku dan memelukku. Erat sekali.

Tubuhku yang kecil seperti hendak dia remukkan dengan tubuhnya yang terasa kokoh bagiku. Aku tak tahu harus bagaimana dan aku pun tak tahu ada apa. Tapi ku biarkan dia memelukku erat. Saking eratnya hingga seluruh tubuhku seperli melekat ke badannya. Kemudian dia melepaskanku.

"Maaf.." kata Niko sambil cepat-cepat memalingkan mukanya. Namun aku bisa melihat matanya yang sembab.

Dia buru-buru masuk kamar mandi dan tak lama muncul kembali sambil berseru.

"Kalau gitu, kamu tinggal disini!"
"Hah?"
"Iya, kamu tinggal dirumahku aja."

Tentu saja aku kaget. Itu tak pernah ada dibenakku sama sekali.

"E.. itu.."
"Pokoknya, kamu tinggal disini oke.."

Sejenak, aku terdiam.

"Aku gak bisa Nik.."
"Gak bisa kenapa?"
"Aku gak enak.."
"Gak enak kenapa?"

Aku menarik nafas panjang dan menghelanya. Rasanya selalu percuma menolak permintaan Niko. Aku tak pernah bisa menolaknya. Dan sepertinya itu tergambar jelas pada wajahku.

"Oke.. Kamu gak harus tinggal disini." tiba-tiba Niko bicara seolah bisa membaca pikiranku.

Aku pun menatapnya dengan senyum lega.

"Tapi aku akan anterin kamu ke tempat kerja mu!"



---> bersambung


0 comments:

Post a Comment