DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Inikah Cinta? - just a Love Story Episode 17

Episode 17 : Posesif..


Suasana kelas hening, hanya sebuah sumber suara yang terdengar. Sesuatu yang hanya akan terjadi saat Pak Tanjung mengajar. Tapi jauh berbeda dengan kelas Pak Tanjung yang selalu bersuasana mencekam, kali ini suasana begitu sejuk dan penuh warna. Bahkan lebih berwarna dari kelas Pak Firman.

Tentu saja, karena hari ini, adalah hari pertama Niko masuk sekolah setelah menghilang hampir 3 bulan. Dan yang membuat suasana begitu berbeda adalah bagaimana Niko mengisahkan perjalanannya ke Jepang. Sangat naratif hingga seluruh siswa seolah terbawa ke jepang.

Setelah ku pikir-pikir, ternyata Niko sangat efisien! Bagaimana tidak, kemarin berkali-kali aku bertanya tentang jepang, tapi dia malah balik bertanya tenang aku, bapakku, pekerjaanku dan semua tentang aku. Padahal jelas-jelas dia yang melang-lang buana, tapi lebih banyak cerita tentang aku ketimbang cerita tentang perjalanannya. Dan baru sekarang aku bisa mendengar kisahnya selama di negeri sakura. Mungkin dia tak ingin bercerita dua kali.

Rupanya, kegiatan pertukaran pelajar ke jepang ini di sponsori oleh yayasan Bina Lintas Budaya atau BLB. Setidaknya, ada 3 program yang dimiliki BLB, mulai dari pertukaran pelajar selama satu tahun, 3 bulan ada pula yang cuma 2 minggu. Pertukaran pelajar ini dilakukan sebelum libur musim dingin.

Setidaknya, ada 60 pelajar yang terpilih mewakili kota-kota di Indonesia yang disebar ke sekolah-sekolah di penjuru jepang yang menerima program yang sama. Dan Niko, mendapatkan kesempatan mengenal SMA Fukuoka.

Fukuoka, adalah sebuah kota yang kemudian bergabung dengan kota Takaoka di Prefektur Toyama. Toyama sendiri adalah sebuah perfektur yang berada di pulau Honshu, pulau terbesar di Jepang. Seperti halnya kota-kota lain di Jepang, tempat Niko tinggal sangat sejuk, apalagi menjelang musim dingin di bulan Desember.

Sebenarnya, Niko tinggal dijepang hanya sekitar 2 bulan, karena sebelumnya, Niko dan pelajar-pelajar terpilih lainnya harus di karantina. Dalam proses karantina, Niko tak hanya dikenalkan dengan bahasa jepang, namun juga budaya dan kehidupan di jepang. Selain itu, Niko juga harus mempelajari lebih dalam budaya Indonesia yang nantinya akan dikenalkan di Jepang. Bahkan, sebelum berangkat, Niko harus mencari berbagai sovenir khas Indonesia untuk nantinya dijadikan cindera mata di sana.

SMA Fukuoka ternyata sudah terbiasa dengan pertukaran pelajar. Siswa-siswa disana sudah terbiasa mendapat tamu dari negara lain dan itu membuat Niko jadi lebih mudah. Menurut Niko, pelajar disana sangat antusias menerima-nya. Dan mereka sangat ingin tahu tentang Indonesia, terutama saat Niko harus menceritakan tentang budaya-budaya di Indonesia.

Selama 2 bulan, Niko tak hanya mengenalkan budaya Indonesia, tapi juga belajar dengan cara SMA Fukuoka, juga berkunjung ke penjuru Toyama. Dan menurutnya, hal yang paling menarik adalah tinggal dengan orang tua angkat. Di sana, Niko harus Homestay di keluarga Jepang.

Setidaknya, itulah yang ku tangkap dari cerita Niko di depan kelas. Tentu saja, jauh lebih menarik jika mendengar kisah ini dari Niko langsung. Dia sungguh pandai memilih kata dan juga bisa menceritakannya dengan sangat ekpresif hingga kita seolah dibawa ke Jepang.

"Nah, sekarang siapa yang mau bertanya?", kata kepala sekolah setelah Niko selesai bercerita.

Hampir semua mengacungkan tangannya. Tentu saja itu membuat kepala sekolah bingung.

"Kamu dulu.." tunjuk kepala sekolah.

Nur nampak sumringah. Dia adalah siswa yang paling antusias tentang Jepang di sekolah ini, atau bahkan mungkin dia adalah sepuluh besar maniak semua hal yang berbau jepang di Indonesia!

"Benar gak sih, cewek-cewek disana rok nya pendek banget?"

Tentu saja, seisi kelas tertawa riuh dengan pertanyaan cabul itu. Nur cuma nyengir memamerkan giginya yang putih dan rata. Kepala sekolah cuma melotot namun tidak marah.

"Hmm, iya." cuma itu jawaban Niko yang diikuti siulan seseorang dari pojok kelas.

Kali ini, Supri berdiri sambil membenarkan kaca matanya.

"Gimana jadwal sekolah disana, juga pelajaran-pelajarannya?"

Pertanyaan ini, benar-benar Supri banget. Sangat formil.

"Jadwal tak jauh beda dengan kita, namun lebih pagi. Sedangkan pelajarannya pun juga hampir sama. Ada bahasa jepang, Geografi dan sejarah, Kewarganegaraan, matematika, Pedidikan Jasmani dan olahraga, Seni, Bahasa Asing, Pendidikan kesejahteraan keluarga dan IT, dan keterampilan. Satu hal yang pasti, mereka sangat disiplin."

Pertanyaan-pertanyaanpun bermunculan, mulai dari yang "benar" seperti Supri, sampai yang konyol hingga bel berbunyi.

"Oke, anak-anak, waktu habis, se.."
"Bu, satu pertanyaan lagi donk..!"

Lili nampak berdiri dengan wajah memohon.

"Ya sudah, satu pertanyaan saja ya.."

Lili tersenyum lebar.

"Bahasa jepangnya aku cinta kamu apa ya?"

Huuuuuu! Tiba-tiba seluruh isi kelas berseru serempak. Namun Lili cuek dan menatap Niko penuh harap.

"Ai shite iru.." jawab Niko akhirnya.

Namun aneh, bukannya membalas tatapan Lili, dia malah menatapku.


-------------+++++++++++++++++++++++++++++---------------------


Rupanya, kata-kata Niko kemarin yang mengatakan akan mengantarkanku kemanapun bukan sebuah candaan. Terbukti sudah 3 hari ini, dia selalu memintaku untuk menunggunya.

Sebenarnya, tak masalah untuk menunggunya, tapi jika harus selalu menemaninya meladeni permintaan semua siswa untuk bercerita tentang jepang, tentu saja itu membuatku menderita.

Jika kita mendengarnya sekali, pasti kita akan antusias, gimana kalo mendengar cerita yang sama dan pertanyaan yang sama hingga puluhan kali? Aku heran, dari mana kesabaran Niko melayani semua pertanyaan-pertanyaan itu!

Padahal, 3 hari ini, Niko sudah bersafari dari kelas ke kelas untuk mengisahkan cerita yang sama, toh tetap saja masih ada yang bertanya di luar jam sekolah. Selain itu, mereka berharap mendapatkan oleh-oleh dari Jepang.

Ya, di setiap kelas, Niko setidaknya membawa 3 kaos bertema Jepang, sesuatu yang sangat sulit di peroleh di negeri sakura karena orang jepang lebih suka oleh-oleh makanan.

Dan aku juga mendapatkan sebuah kaos darinya. Berbeda dengan kaos yang lain, yang bergambar gunung fuji atau bunga sakura, kaosku bergambarkan sebuah tulisan kanji.

Gambar

Aku tak tahu artinya, dan saat ku tanya, Niko juga menjawab tak tahu.

"Aku cuma mengambilnya acak. Dan keliatannya bagus." katanya.

Tentu saja aku tak mempermasalahkan itu. Sudah mendapatkan kaos dari Jepang saja harusnya bersyukur karena tak semua kebagian oleh-oleh.

Selalu diantar kemanapun membuatku merasa tidak nyaman. Niko sudah terlalu baik padaku tanpa dia harus melakukan semua ini, tapi dia tetap memaksa untuk mengantarku pulang dan juga mengantarku pergi ke pelanggan pijatku. Jika sebelumnya aku tak pernah bisa menolak semua permintaan Niko karena sangat baik padaku, kini aku benar-benar sudah berhutang segala kebaikan pada Niko. Aku tak tahu harus membalasnya dengan apa.

"Ngapain dipikirin?" itulah jawaban Niko kalo aku bertanya bagaimana membalas kebaikannya. Dan itu makin membuatku tak bisa menolak semua kebaikannya.

Tapi terkadang itu membuatku repot seperti saat ini.

Niko memintaku menunggunya di dekat gerbang sekolah dan tiba-tiba Ikhsan menghampiriku. Aku masih sedikit sebal dengan Ikhsan karena pernah melihatnya membentak Mama-nya. Sesuatu yang tak akan pernah aku lakukan seandainya Emak masih hidup. Dan melihat ada seseorang yang melakukannya, membuat jantungku berdegup lebih kencang dan emosiku meluap. Terlebih, saat ku tahu yang melakukannya adalah Ikhsan.

"Nungguin siapa?" Ikhsan menegurku tanpa melihat ke arahku. Aneh, pikirku.

Tentu saja aku mendiamkannya.

"Woi ceking! Jadi patung beneran tau rasa." serunya sambil menoleh ke arahku. Aku menatap ke arah lain.
"Bukan urusanmu." jawabku ketus.

Ikhsan nampak gusar. Jidatnya berkerut karena jengkel.

"Jangan lupa, sabtu besok bawa kaosku ke lapangan." seru Ikhsan sekali lagi dan menunggu responku.

Aku mendiamkannya.

"Woi! ngapain?" tiba-tiba Niko muncul. Ikhsan mengalihkan tatapannya ke Niko.
"Bukan urusanmu." jawab Ikhsan ketus.
"Itu jadi urusanku sekarang!" balas Niko tak kalah ketus.
"Kenapa gitu? Apa hubunganmu ama si ceking?!"

Wajah Niko nampak memerah dan dia pun melangkah mendekati Ikhsan.

"Pertama, karena Haris yang minta tolong sama aku, kedua jangan pernah panggil dia ceking. Dia punya nama!"

Ikhsan cuma tersenyum sinis.

"Tanya aja sama Haris?" kata Niko.

Ikhsan kini menatapku. Dan itu membuatku jadi serba salah. Pertama, aku tak pernah meminta tolong sama Niko, kedua aku lagi jengkel sama Ikhsan.

"Eee, udah lah Nik. Kita sebaiknya pulang." jawabku akhirnya sambil naik ke motor Niko.

Dengan senyum kemenangan, Niko pun menarik gas motor. Aku menoleh ke arah Ikhsan sesaat. Kulihat dia sangat gusar. Tangannya mengepal keras.


-------------+++++++++++++++++++++++++++++---------------------


"Haris..!"

Aku baru saja turun dari motor Niko saat sebuah mobil tiba-tiba berhenti dan kulihat Mas Adit memanggilku. Rupanya, dia baru saja pulang entah dari mana.

Mas Adit melihat Niko dan akhirnya turun. Kulihat Niko tak berkedip saat melihat Mas Adit. Seolah dia melihat sesuatu yang luar biasa.

"Mas Adit. Baru pulang?"
"Iya, buru-buru. Kan udah janjian sama kamu."

Tiba-tiba wajah Niko cemberut.

"Oya Mas, kenalin, ini Niko teman sekolah."

Mas Adit menoleh ke arah Niko dan menjulurkan tangannya.

"Oh, hai saya Adit."
"Niko." jawab Niko singkat sambil menjabat tangan Mas Adit.

Mungkin cuma perasaanku, tapi kulihat Niko nampak begitu waspada dan sedikit cemas.

"Oya, Ris. Tiga minggu lagi, aku ada konser dengan teman-teman di kedutaan Jerman. Kamu mau ikut kan?"
"Hah?!"

Mataku melotot. Tentu saja itu adalah permintaan bodoh menurutku. Bagaimana mungkin aku yang baru belajar ikut konser.

"Mas Adit bisa aja bercandanya." kataku akhirnya. Kulihat Niko kini makin cemas.
"Aku serius loh.." memang kulihat wajah Mas Adit nampak serius.

"Apa gak terlalu buru-buru?" tiba-tiba Niko memotong.

Mas Adit nampak kaget mendengarnya. Wajahnya keheranan, seolah-olah dia merasa ada orang asing yang mencampuri urusannya.

"Iya, saya kayaknya belum siap." aku buru-buru mengiyakan.

Mas Adit menatapku lagi.

"Tenang, kita masih ada waktu 2 minggu buat belajar. Dan saya yakin, itu jauh lebih dari cukup buat belajar. Khususnya buat kamu."

Mas Adit tersenyum padaku mengharapkan aku berkata iya. Sedangkan Niko nampak keheranan juga kelihatan sedikit tidak suka.

"Kamu gak harus bilang iya kalo belum siap Ris." kata Niko padaku.

Mendengarnya, Mas Adit langsung menoleh ke Niko.

"Ah, kamu pasti orang yang ngasih hadiah Haris biola kan?"

Aku sedikit kaget. Bagaimana Mas Adit tahu? Niko juga nampak kaget. Mas Adit cuma tersenyum. Seolah dia baru saja menemukan jawaban dari sebuah teka teki yang besar.

"Biola yang bagus. Dan akan lebih bagus lagi kalo dipakai ditempat yang tepat, yaitu konser." kata Mas Adit lagi sambil menatapku dan Niko bergantian.

Aku terdiam sejenak. Sedangkan wajah Niko mengisyaratkan untuk menolaknya. Tapi sesungguhnya, aku ingin sekali memainkan Biola.

"Baiklah." akhirnya jawaban itu keluar dari mulutku. Kulihat Niko kecewa dan Mas Adit tersenyum puas.

"Good! Ayo masuk, kita mulai latihannya." Mas Adit melangkah menuju mobil. "Niko, kamu ikut masuk kan?"
"Oh, aku cuma ngantar aja. Aku masih ada urusan." jawab Niko.

Aku melangkah menuju rumah Mas Adit yang indah sedangkan Niko meluncur dengan motornya.

Meski sudah berkali-kali memasuki rumahnya, tetap saja aku masih terkagum-kagum dengan keindahannya.

"Ayo!" panggil Mas Adit dari dalam. Dia telah berganti pakaian.

Aku mengikutinya menuju studio.

"Kaos mu bagus." komentar Mas Adit waktu aku membuka jaketku.
"Ini oleh-oleh dari Niko. Dia baru pulang dari Jepang." jawabku.

Tiba-tiba dia mematung sejenak dan menatapku.

"Oh, pantas."
"Maksud Mas Adit?"
"Hmm, gak apa-apa. Tulisan itu bagus. Itu saja." jawab Mas Adit sambil melangkah ke arah Piano. Jangan-jangan Mas Adit tahu arti tulisan di kaosku. Tapi saat aku hendak menanyakannya, Mas Adit sudah meminta mengeluarkan Biola ku.

"Eh udah mulai ya?" tiba-tiba suara Cika melengking dari arah pintu.

Celana jeans dan T-Shirt, seperti biasanya. Itulah pakaian yang selalu dikenakan Cika. Wajahnya begitu imut, namun pakaiannya sangat maskulin. Cika melangkah menuju sebuah alat musik mirip biola namun sangat besar.

"Cika akan latihan bareng dengan kita. Dia main Cello." kata Mas Adit seolah menjawab pertanyaan di kepalaku.
"Oh." cuma itu jawabanku. Aku baru tahu alat musik itu bernama Cello. Cika tersenyum centil mendengarnya.

"Eh, kaosmu bagus." tiba-tiba Cika berkomentar sambil sibuk menyiapkan alat musiknya.
"Makasih." jawabku.
"Itu huruf kanji untuk Ai." kata Cika sambil mengambil Bow.

Aku menatapnya antusias, karena akhirnya ada yang tahu arti tulisan di kaos ku. Cika menatapku lekat.

"Ai itu sama dengan bahasa China. Kalo dalam bahasa Inggris artinya Love!" Cika kemudian ternyum dan menggesekkan Bow nya ke Cello hingga terdengar nada rendah yang indah.


-------------+++++++++++++++++++++++++++++---------------------


Aku beruntung!

Niko dipanggil kepala sekolah, sehingga akhirnya aku bisa kabur ke lapangan Bola. Ya, aku serba salah. Niko pasti akan marah jika tahu aku ke lapangan untuk mengantarkan Kaos Ikhsan. Tapi, meskipun aku masih jengkel pada Ikhsan, tetap saja aku ingin dia bermain untuk kesebelasan SMA ku agar menang. Aku ingin Imron mendapatkan yang dia impikan.

Dan rasanya aneh!

Ketika aku sudah tersengal-sengal karena harus berlari menuju lapangan, namun sesampainya disana, kulihat semua mata seolah menyalahkanku. Setidaknya, begitulah tatapan pak Darsono.

Alasannya sepele. Pak Darsono tak bisa memasukkan Ikhsan ke lapangan karena Ikhsan belum memakai seragam. Dan konyolnya, Ikhsan tak mau memakai kaos punya teman yang lain dan bersikukuh hanya mau main kalo memakai kaos-nya sendiri. Konyol sekali!

Meski wajah pak Darsono dan yang lainnya nampak jengkel, tapi kulihat Ikhsan malah tersenyum. Sebuah senyum puas. Mungkin dia merasa puas telah membuatku klenger.

Tapi setidaknya, perjuanganku tidak sia-sia. SMA ku memenangkan laga final. Semua bersorak gembira, Kulihat Imron diangkat ramai-ramai karena telah memasukkan gol satu-satunya ke gawang lawan.

Tentu saja aku senang, karena ini adalah akhir bahagia buat Imron. Impiannya terwujud.

Dan sebagai perayaan, pak Darsono mengundang semua pemain untuk makan-makan. Dia telah menyediakan mobil untuk para pemain termasuk Imron sang pahlawan. Aku pun berjalan gontai sendirian menuju kosan.

Tiba-tiba sebuah motor berhenti disebelahku.

"Woi ceking. Nih, cuciin!" sebuah kaos basah lagi-lagi menempel di wajahku. Bau keringat aneh itu kembali masuk ke hidungku. Lama-lama aku jadi terbiasa dengan aroma keringat Ikhsan!

Aku menatapnya marah, tapi dia malah tersenyum.

"Ayo buruan naik!"

Aku diam saja. Menurutku, Ikhsan adalah orang yang aneh. Menjengkelkan tapi aneh.

"Buruan, kamu mau jalan kaki sampai kosan?"

Setelah ku pikir-pikir, kosan ku lumayan jauh kalo harus jalan kaki. Akhirnya, aku pun menurut dan menumpang motor tiger Ikhsan untuk pertama kalinya.

Sekarang, akulah orang yang aneh. Marah dan jengkel pada seseorang, tapi tetap menumpang untuk pulang.

----> bersambung...


0 comments:

Post a Comment