DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Inikah Cinta? - just a Love Story Episode 18

Episode 18 : Hero.. 


Rasanya jadi sedikit aneh hari ini. Niko tidak muncul, tak ada sms, tidak juga menelpon. Ada sedikit kekhawatiran dalam benakku, mungkinkah Niko marah karena kemarin aku kabur darinya? Tapi aku tak punya pilihan. Aku harus melakukannya demi Imron. Aku merasa memiliki hutang yang begitu besar pada Imron, hutang yang tak mungkin bisa kubayar dengan apapun.

Dan aku akan melakukannya meski Ikhsan melemparkan kaos basahnya ke wajahku ratusan kali, dan juga akan kulakukan meski Niko akhirnya akan membenciku. Meski ku tahu, itu tetap tak akan melunasi sesuatu yang telah Imron berikan. Tapi melihat senyumnya tatkala merayakan kemenangan menuju impiannya, aku pun merasakan kebahagiaan yang luar biasa.

Walaupun begitu, rasanya tetap tidak enak jika ada orang yang marah, terlebih jika orang itu adalah Niko. Rasanya ingin ku telpon dia dan meminta maaf atas apapun kesalahanku, tapi aku terlalu pengecut. Dan aku pun menuju rumah pelanggan baruku ini sendirian.

Pelanggan baruku ini masih muda, bahkan mungkin hanya setahun atau dua tahun lebih tua dariku. Dan sepertinya, ia tinggal dirumah kontrakan, sangat berantakan. Sebenarnya rumahnya cukup bagus, tapi seperti tak terawat. Bahkan, di dalam lebih berantakan lagi. Baju-baju berserakan, bekas makanan ada dimana-mana. Tapi tentu saja aku tak peduli. Yang terpenting, aku selesaikan tugasku, dibayar dan pulang.

Tak lama, dia keluar dari kamar dengan mengenakan boxer tipis dan tengkurap di karpet diruang TV. Tanpa basa-basi, aku pun langsung menjalankan tugasku. Setelah sekian lama memijat, kini rasanya tanganku telah memiliki mata sendiri. Mereka bergerak seperti sebuah reflek.

Tak berapa lama, pintu terbuka dan masuk tiga orang. Seperti dugaanku, ini adalah rumah kontrakan.

"Wah, lumayan juga Ri pilihanmu." seru salah satu dari mereka yang mendekati orang yang ku pijit sambil sekilas melirik ke arahku. Meski tak begitu jelas, tapi kulihat seringai diwajah orang yang ku pijit.

Tapi ada salah satu yang melangkah mengitari sambil terus menatapku penuh permusuhan. Badannya kurus, sekurus badanku, wajahnya imut dan langkahnya sangat lembut tapi tatapannya seperti mengancam. Apa salahku?

"Rendy, ayo sini.."

Rupanya dia bernama Rendy. Dengan langkah centil, dia menuju orang yang memanggilnya.

"Kenapa sih kita harus panggil dia?" aku cuma bisa mendengar suara yang tadi dipanggil Rendy bicara dibelakangku. Sepertinya, mereka sedang di sofa.

Aku tak mempedulikannya. Aku terus memijat tanpa peduli apa yang mereka katakan. Dan itu juga bukan urusanku.

"Sudah Mas, bisa telentang, saya urut tangannya." kataku.

Aku mengambil posisi untuk mengurut tangan kanannya saat orang yang kupijit membalikkan badan. Tapi sesuatu membuatku kaget. Aku hampir tak percaya apa yang telah kulihat.

Tiga orang yang baru masuk tadi, kini duduk di sofa tanpa selembar pakaianpun. Dan yang membuatku makin tak percaya, kulihat orang yang bernama Rendy nampak begitu bersemangat mengulum kemaluan yang luar biasa besar milik orang yang bertubuh tegap. Dia menjilatinya seperti sedang menikmati es krim.

Aku langsung mengalihkan perhatianku pada orang yang ku pijat. Jantungku kini berdegup lebih cepat. Tiba-tiba, ingatanku kembali saat kejadian yang lalu saat aku memijat kemaluan salah satu pelangganku.

Konsentrasiku jadi hilang. Tiba-tiba rasa takutku muncul. Aku takut jika orang yang kupijat akan meminta hal sama dengan waktu itu.

"Kenapa?" rupanya orang yang kupijat sadar kalau pijatanku kini tak beraturan.
"Eh, gak apa-apa." aku berbohong meski jelas sekali tanganku tiba-tiba gemetaran.

Aku berusaha memperbaiki caraku memijat, tapi tidak bisa. Aku mulai panik. Terlebih lagi, orang yang di sofa mulai mendesah dengan keras. Aku berusaha untuk tidak melihatnya, dan terus menatap pada badan orang yang ku pijat. Tapi konyol, kini, dengan tangan kirinya, orang yang kupijat nampak asik mengelus-elus kemaluannya yang telah menjulur keluar.

Seketika, aku berhenti memijat.

"Kenapa berhenti?" orang yang kupijat menatapku marah.
"Eh, gak apa-apa Mas. Ee, kayaknya aku harus pulang Mas, ada.."
"Gak bisa gitu donk, kamu harus selesaiin pijatanmu." orang itu menyambar tanganku.

Aku kini benar-benar panik. Ku tarik tanganku sekuat tenaga dan secepat kilat berdiri dan mundur. Kulihat, orang di sofa nampak kaget. Rendy yang sedang nungging menatapku sambil meringis menahan sakit. Mulutnya penuh dengan kemaluan yang berambut lebat, sedangkan dibelakangnya, orang bertubuh tegap memegangi pinggulnya sedangkan kemaluannya yang besar bersarang di anus Rendy. Mereka semua kini menatapku. Dan itu benar-benar membuatku muak sekaligus takut.

Aku melangkah mundur berlahan, namun membentur tembok.

Orang yang ku pijat kini berdiri dan membiarkan kemaluannya bergelantung. Sedangkan tiga orang yang disofa menghentikan aktifitas gila mereka dan melangkah ke arahku.

Tanpa pikir panjang, aku berlari menuju pintu, tapi orang bertubuh tegap ada disana, menyeringai dengan kemaluannya yang masih tegak menjulang. Aku pun berlari menuju dapur, tempat yang tak dijaga oleh mereka. Aku memburu menuju pintu, tapi terkunci.

"Gak usah lari, pintu semua dikunci. Mending kita main aja. Enak kok.." kata orang yang kupijat sambil senyum-senyum mesum. Yang lain tertawa terkekeh, kecuali Rendy yang menatapku penuh dendam.

Mataku langsung tertuju pada alat dapur.

Pisau! Pikirku. Aku butuh senjata, tapi tak kutemukan. Akhirnya kuraih Pan untuk memasak dan ku acungkan ke arah mereka. Mereka malah tertawa mengejek dan melangkah ke arahku.

"Mundur! Aku gak main-main!" teriakku sambil mengacungkan senjataku meski tanganku gemetaran.

Saat orang yang bertubuh tegap melangkah ke arahku, aku pun mengayunkan senjataku sekuat tenaga. Tapi pukulanku menghantam ruang kosong, dan kini tanganku malah dicengkeram olehnya. Tanpa pikir panjang, aku pun menendang ke arah kemaluannya yang kini sudah lemas. Dia berhasil menghindar, tapi tanganku bebas. Dan kesempatan itu kumanfaatkan untuk berlari masuk ke dalam kamar mandi dan menguncinya.

Nafasku tersengal, badanku gemetar. Aku benar-benar takut.

Berkali-kali pintu digedor.

"Aku harus cari bantuan!". Ku keluarkan HP ku dan mencoba mencari orang yang bisa menolongku. Hanya satu orang yang di kepalaku. Ku tekan tombol panggil sambil menahan pintu agar tak terbuka.

"Halo.."
"Tolongin aku!" suaraku sangat parau dan panik.
"Ris, kamu kenapa?"
"Tolongin aku!" cuma itu yang bisa keluar dari mulutku.
"Kamu dimana?"

Aku menyebut alamat. Entah benar atau tidak, aku bahkan tak tahu. Kudengar suara raungan suara motor dari telpon. Dia tak mematikannya.

"Minggir, aku dobrak pintunya!" seru orang dari luar.

Beberapa hentakan membuat daun pintu bergetar. Aku berusaha menahannya. Aku benar-benar putus asa. Aku berusaha menahannya sekuat tenaga, cuma itu yang bisa ku lakukan.

"Brak!"

Sebuah hantaman keras membuat pintu sedikit terbuka. Aku berusaha menahannya, tapi itu sama sekali tak berguna. Tenaga mereka jauh lebih kuat. Akhirnya pintu terbuka.

Mereka tertawa dengan seringai seperti srigala.

Orang yang tadi kupijat melangkah dan mencengkeram tanganku. Aku berusah melepaskannya tapi cengkeramannya sangat kuat. Dia menarikku keluar, menyeretku dan menghempaskanku ke sofa. Aku benar-benar tak berdaya.

"Tolong Mas, lepasin aku."
"Enak aja! Buka pakaianmu!"

Tiba-tiba Rendy melangkah ke arahku dan menampar pipiku. Rasanya lumayan panas!

"Rendy! Kamu ngapain?"
"Abis dia bikin sebel."

Orang yang kupijat mendorong Rendy hingga hampir terjatuh.
"Dengar, aku gak mau ada luka di badannya. Aku gak suka sama badan yang gak mulus lagi."

Kata-kata itu membuatku makin gemetar.

"Tolong Mas. Lepasin. Apa salahku?"
"Ayo buka pakaianmu!"

Rupanya, salah satu dari mereka sudah tak sabar. Dia pun meraih kaosku dan menariknya. Aku berusaha mepertahankannya tapi sebuah tangan tegap menahan tanganku dan tanpa kesulitan, kaosku sudah terlempar ke lantai. Orang yang tadi kupijat tertawa terbahak-bahak.

"Badannya putih banget. Pas sama seleraku! Buka celananya."

Dengan cepat, salah satu dari mereka menahan tanganku yang terus meronta dan yang lainnya menurukan celanaku hingga tersisa celana dalam di tubuhku. Dan itu membuat orang yang kupijat tadi makin terkekeh.

Aku berusaha mundur ke pojok meski itu tak ada gunanya saat orang yang kupijat melangkah ke arahku. Teman-temannya cuma diam sambil tersenyum senang. Sedangkan Rendy nampak sebal.

Dengan gerakan cepat, kedua tangannya mencengkeram kedua tanganku, sedangkan tubuhnya berusaha menindihku. Aku meronta. Aku mencoba menendangnya dengan kakiku tapi tak bisa. Ada tangan yang menahanku.

"Pegang tangannya!" perintah orang yang menindihku pada Rendy. Dengan wajah cemberut, dia menahan salah satu tanganku dengan kedua tangannya. Sedangkan orang yang tadi kupijat menarik turun celana dalamku. Kini tak ada lagi selembar benangpun ditubuhku. Aku meronta dan berteriak. Tapi itu tak ada gunanya. Mereka malah makin tertawa.

PRAANG!!

Tiba-tiba kaca jendela pecah berantakan. Kemudian muncul seseorang yang ku kenal dan itu membuatku sangat lega.

Ikhsan muncul dengan wajah yang merah padam. Matanya nampak menyala sedangkan tangannya mengepal dan bergetar. Belum pernah kulihat Ikhsan semarah itu sebelumnya. Urat-urat di pelipisnya nampak menebal.

Saat 3 orang yang semuanya telanjang itu memburunya, dia menghindar dengan gerakan yang efisien. Aku baru tahu kalau Ikhsan bisa bela diri. Hanya dengan beberapa gerakan, salah seorang jatuh tersungkur dengan lebam di wajahnya. Tak lama, orang paling tegap juga meringis kesakitan sambil memegangi dadanya. Dan tak cuma itu, dengan gerakan cepat, tendangan keras membuat orang itu meluncur dan menghantam tembok.

Kini tatapan Ikhsan tertuju pada orang yang kupijat tadi. Mata Ikhsan nampak merah dan nafasnya terdengar cepat. Dia seperti orang yang murka. Orang yang tadi kupijat melangkah mundur, tapi itu tak ada gunanya.

Dengan gerakan cepat, tinju Ikhsan bersarang ke perutnya dan selanjutnya tendangan keras menghantam selangkangannya. Orang itu meraung keras sekali dan terkapar sambil memegangi kemaluannya.

Kini tersisa Rendy yang nampak ketakutan berdiri di pojokan. Tubuhnya yang telanjang dengan kemaluan mungilnya nampak gemetaran. Bahkan, dibawahnya nampak basah. Ikhsan menggeram ke arah Rendy.

"Jangaaaan! Jangan. Ampun.." jerit Rendy yang kini berjongkok.

Ikhsan kemudian memastikan tak ada satu pun yang bergerak. Tanpa menoleh ke arahku, dia mengambil kembali pakaianku yang berserakan. Dia kini menatapku. Tatapan sangat berbeda dengan biasanya. Tidak ada tatapan menyebalkan, tidak ada juga senyum usil. Tatapannya kini membuatku tenang.

Bahkan, Ikhsan tak melemparkan pakaian ke arahku seperti biasanya, dia mendekatiku yang meringkuk di sofa gemetaran. Aku tak mampu bergerak.

"Ini, cepat dipakai." kata Ikhsan lembut sambil menyerahkan celana dalamku.

Dengan badan yang gemetar, aku pun mengenakan semua pakaianku. Kemudian Ikhsan meraih tanganku dan menuntunku keluar. Aku masih gemetaran. Aku berusaha tak melihat tubuh-tubuh telanjang yang kini meringkuk kesakitan. Tanpa sadar, aku menggenggam tangan Ikhsan sangat kuat.


--------------+++++++++++++++++++++++++++------------------------------


Kepalaku kosong. Kejadian tadi membuatku tak bisa berfikir. Aku merasa menjadi orang paling bodoh di dunia. Aku cuma bisa membisu dengan terus menyalahkan kebodohanku.

"Kamu pasti lapar, sebaiknya dimakan meski cuma satu suap.."

Kata-kata itu sangat lembut. Bahkan aku belum percaya itu keluar dari bibir Ikhsan. Tapi aku tak berselera makan. Otakku kini sedang kacau.

"Aku bodoh banget ya?"

Kata itu keluar dengan wajahku tetap menatap sepiring sate yang sama sekali tak membuatku berselera. Aku masih menahan air mataku untuk tidak berhamburan.

"Aku gak tahu harus jawab apa." kata Ikhsan pelan. "Kalau kamu bodoh, berarti ada orang super idiot disekitar sini."

Jawaban itu membuat otakku sedikit bekerja. Aku pun mendongakkan pandanganku untuk menatap Ikhsan. Kulihat senyum yang belum pernah kulihat sebelumnya.

"Maksudmu?"

Ikhsan tersenyum lebar.

"Ada orang yang tanpa berani mengakuinya, telah belajar banyak dari kamu. Berarti dia idiot banget kan, kalo dia belajar sama orang bodoh?"

Meski aku tak mengerti siapa yang dia maksud, tapi jawaban itu sedikit bisa membuatku tersenyum.
Tapi saat ku tatap Ikhsan lagi, wajahnya kini nampak memerah karena amarah.

Pandangannya tertuju ke seberang jalan. Aku berusaha menoleh dan kulihat seorang bapak turun dari mobil dan nampak bermesraan dengan seorang wanita yang cantik. Sesekali terdengar tawa genit dari wanita itu.

Tiba-tiba Ikhsan bangkit dari tempat duduk dan berlari menuju bapak yang baru turun dari mobil. Aku juga bangkit dari tempat duduk dan berusaha mengejarnya. Tapi dia sudah ada diseberang jalan.

Dengan gerakan sangat cepat dan tanpa basa-basi, Ikhsan melayangkan pukulan dan menghantam rahang Bapak tadi. Wanita yang disebelahnya pun menjerit-jerit minta tolong. Seketika, orang-orang berhamburan keluar. Beberapa orang berseragam safari nampak hendak mengeroyok Ikhsan tapi Bapak tadi mencegahnya.

Dan kemudian, Ikhsan pun kembali ke arahku dengan wajah yang masih merah.

"Ayo, kita pergi." kata Ikhsan sambil membayar sate yang belum ku sentuh.

Aku cuma melongo bengong.

"T.. tadi siapa?" tanya ku akhirnya.
"Dia suami Mama." jawab Ikhsan singkat sambil menyerahkan helm padaku.
"Kamu memukul Papamu?"

Aku melongo keheranan.

"Ayo, naik."

Kepalaku yang dari tadi beku, sama sekali tak bisa mencerna apa yang barusan terjadi. Terlalu banyak kejadian aneh hari ini. Aku pusing!

Ikhsan membawa motornya menuju tengah kota, menuju gedung-gedung perkantoran yang penuh dengan lampu-lampu. Angin malam menghantam wajahku. Aku sedikit kedinginan. Tapi tak lama, Ikhsan membelokkan motornya ke salah satu gedung kosong yang belum jadi. Ia tetap melaju membawa motornya mendaki ke atas dan kemudian berhenti.

Aku pun turun.

Tempat itu temaram namun cahaya bulan purnama membuat sekeliling agak terang. Ikhsan kemudian mengajakku menaiki tangga dan akhirnya berada di tingkat paling atas.

Dia mengajakku agak ke pinggir gedung. Sepertinya, aku berada di tingkat 7 dan itu cukup membuatku merinding. Kulihat dia duduk dan menatap jauh. Aku pun mengikutinya.

"Ini adalah tempat rahasiaku." kata Ikhsan memecah kesunyian. "Disini sangat tenang.."
"Oh.." jawabku. Aku tak tahu harus bilang apa.

"Dia tadi ayah tiriku." kini Ikhsan menatapku. "sama selingkuhannya.."

Kata-kata itu membuatku terdiam. Aku tak tahu harus berkata apa. Aku jadi berpikir, mungkin aku akan melakukan hal yang sama jika dalam posisi Ikhsan.

"Dan itu pula alasanku membentak Mama waktu itu." kini Ikhsan mengatakannya dengan tertunduk.

Aku agak tercengang, rupanya Ikhsan masih mengingat kejadian itu.

"Tentu saja aku tak pernah bermaksud membentaknya. Tapi Mama tak pernah mau mempercayaiku. Tak pernah mau mendengarkanku. Dia selalu percaya pada suaminya."

Mendengar itu, aku seperti jatuh dari sebuah ketinggian. Aku jadi merasa bersalah. Selama ini, aku terlalu bodoh untuk menyadari apa yang terjadi. Selama ini, di kepalaku, telah tertanam bahwa Ikhsan adalah orang yang selalu salah.

"Maafin aku." kata itu keluar dari mulutku dengan sendirinya.

Ikhsan langsung menoleh ke arahku keheranan.

"Kenapa minta maaf?"
"Aku.. aku sudah salah menilai.."

Dia malah tersenyum.

"Kamu gak salah menilai. Aku memang membentak Mama. Dan itu adalah sesuatu yang kusesali dalam hidupku." Ikhsan menatapku. "Dan kamu membantuku menyadarinya."

Entah apa yang terjadi. Tapi Ikhsan yang kulihat sekarang, jauh berbeda dengan Ikhsan yang biasa ku temui. Dia begitu bijaksana.

"Nih, pakai jaketku."

Aku bahkan tak menyadari jika tubuhku menggigil dari tadi. Dan aku menerima jaketnya tanpa sungkan. Tanpa basi-basi. Ku kenakan dan itu membuat tubuhku menjadi hangat. Bahkan, aroma jaket itu mengingatkanku pada kaos basah yang dua kali mendarat di wajahku. Ternyata, aku menyukai aroma itu. Aku merasa seolah mengenal Ikhsan sangat dekat.

Tiba-tiba terdengar suara dering HP. Dengan malas Ikhsan menariknya dari kantong dan hanya menatapnya.

"Kenapa gak diangkat? Mungkin penting." kataku.

Dia pun mengangkatnya. Seketika, suara cewek terdengar nyaring, bahkan olehku yang duduk disebelahnya. Ikhsan cuma diam dan sesekali berkata iya. Tapi suara cewek itu seperti orang yang tidak terima.

"Aku ada urusan emergensi." kata Ikhsan yang langsung dipotong oleh suara cewek dengan nada marah.
"Udah ya, nanti aku telpon balik.." Ikhsan menutupnya.

Ikhsan menoleh ke arahku sambil mengangkat pundaknya.

"Hmm, rasanya gak nyaman kalo punya pacar yang posesif ya?"

"Iya.."

Entah kenapa aku menjawab iya. Dan itu membuat Ikhsan keheranan.

"Kamu juga ngalamin yang sama?"

"Ee.. Bukan..Ee, maksudku, mungkin juga.."

Ikhsan cuma tersenyum lebar. Dan untung dia tak mengungkitnya lagi.
Dia kini malah merebahkan tubuhnya ke lantai. Dia seperti tak peduli jika bajunya nanti kotor.

"Tenang banget. Rasanya, kita menjadi sangat kecil." tangan Ikhsan mengacung ka atas seolah ingin meraup bintang
Aku pun penasaran. Kurebahkan tubuhku mengikuti Ikhsan.

Dukk!

"Auch!" seru Ikhsan.
"Eh, maaf." kataku sambil memegangi kepalaku yang membentur kepala Ikhsan.
"Haha, gak apa-apa. Kepalamu kan gak terbuat dari batu."

Saat aku menatap langit, rupanya Ikhsan tidak berbohong. Rebahan diatas ketinggian, membuat bintang nampak lebih terang dan langit jadi lebih luas. Aku merasa semakin mengecil dan mengecil. Suasana menjadi sangat tenang. Entah karena ribuan bintang di langit atau karena Ikhsan, aku tak lagi mengingat kejadian yang baru saja ku alami.

"Kamu tahu siapa orang idiotnya kalo kamu jadi orang bodoh?"
"Siapa?" tanyaku.
"Aku.." jawab Ikhsan.

Aku jadi terdiam. Dia adalah orang yang selalu memanggilku ceking, dan tak pernah menghargaiku, tapi sekarang dia mengatakan itu?

Kami berdua akhirnya membisu dan terlelap.


--------------+++++++++++++++++++++++++++------------------------------


Aku melahap semangkuk lontong sayur tanpa bersisa dengan cepat. Ikhsanpun sampai keheranan. Sepertinya, aku kelaparan karena semalam perutku sama sekali tak terisi makanan.

Setelah perut terisi, mataku kini terasa lebih terang dan otakku mulai bisa berfikir. Setelah matahari nampak mengintip, baru kulihat gedung kosong yang semalam jadi tempatku menginap.

"Astaga, semalam aku tidur disana?" kataku lirih.

Aku jadi bengong tak percaya.

"Woi, ceking!" aku kaget, dan menoleh ke arah Ikhsan yang tersenyum usil. Rupanya dia kini kembali normal. Dia telah menjadi Ikhsan yang dulu. Tapi aneh, aku kini tak merasa jengkel dengan panggilan itu.

"Ayo buruan, kamu mau bolos sekolah?"

"Astaga!" seruku. Aku baru ingat, ini hari senin.

Aku buru-buru naik ke motor dan tak lama, aku dan Ikhsan meluncur keluar dari tengah kota menuju ke arah kosanku. Namun, tiba-tiba, sebuah mobil memepet motor Ikhsan hingga membuatnya berhenti. Aku mengenali mobil itu.

"Kamu itu kemana aja?!" Niko menghambur keluar dan marah.

Aku cuma bisa diam, begitu juga Ikhsan.

"Kenapa telponku gak diangkat.!?"

Aku baru ingat dengan HP ku. Pasti tertinggal di rumah itu. Tapi tiba-tiba Ikhsan menyodorkan HP ku yang mati karena kehabisan batere.

"Habis batere.." kataku sambil nyengir.

"Ayo pulang!" perintah Niko. Aku jadi bingung. Aku menoleh ke arah Ikhsan yang cuma diam dengan tenangnya.

"Nih, pake ini." Niko mengeluarkan jaket.
"Tapi aku udah pake jaket."
"Lepasin aja." seru Niko sambil memaksaku melepaskannya. Kemudian dia melemparkannya ke arah Ikhsan.

Seperti membawa tahanan polisi, Niko membukakan pintu dan memintaku masuk. Tak lama, mobil yang kutumpangi meluncur. Kulihat Ikhsan cuma membisu tanpa ekspresi.


---> bersambung..


0 comments:

Post a Comment