DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Inikah Cinta? - just a Love Story Episode 19

Episode 19 : Amarah!


"Nik, nanti kamu datang kan, ke rumah?" Lili sangat antusias menyambut ulang tahunnya. Dan kini sudah menjadi rahasia umum kalo antusiasme itu karena dia berharap Niko akan menghadiri acara ulang tahunnya.

"Maaf, aku gak bisa datang." jawab Niko datar.
"Kenapa?" Lili kini cemberut. "Pasti kamu janjian sama si Haris ya?"

Niko dan Lili kini menatapku. Kenapa namaku dibawa-bawa?

"Iya.." jawab Niko yang tentu saja membuat ku kaget dan membuat Lili sewot.
"Tapi Nik.." aku berusaha mengkonfirmasi.
"Udah ayo pulang.." Niko menarikku pergi.

Lili nampak marah luar biasa. Yang konyolnya, dia menatapku penuh dendam.

Selama perjalanan, aku protes pada Niko. Tentu saja aku tak mau jadi pelampiasan kemarahan Lili. Tapi Niko cuma diam dan langsung menuju kosanku. Sampai di kosan, ada sesuatu yang mengejutkan. Kulihat motor Ikhsan disana.

"Ngapain dia disini?" Niko terlihat tidak senang.
"Kita kan sama-sama baru sampe. Mana aku tau.." jawabku.

Waktu aku menuju kamar, kulihat ada kesibukan di kamar sebelah. Seingatku, kamar itu sudah kosong sekitar seminggu karena penghuninya pindah. Dan waktu aku melongokkan kepalaku, kulihat Ikhsan sedang menyusun barang-barang.

"Ada apa nih?" tanyaku keheranan.

Ikhsan nampak kaget dan menoleh ke arahku kemudian tersenyum.

"Aku sekarang nge-kos disini."
"Apa??"

Aku dan Niko berseru kaget bak paduan suara. Ikhsan cuma nyengir dan kembali sibuk dengan pekerjaannya.

Aneh, aku memang kaget, tapi aku merasa senang mendengarnya dan itu berbanding terbalik dengan reaksi Niko. Wajahnya nampak cemberut dan jengkel. Biasanya, Niko akan langsung pulang setelah mengantarku, tapi kini, dia masih berdiri disana dengan wajah yang bermuram durja.


--------------+++++++++++++++++++++++++++------------------------------



Pertunjukan kurang dua minggui lagi, karena itu Mas Adit memintaku untuk lebih berkonsentrasi. Agak aneh menurutku cara Mas Adit mengajariku bermain Biola. Tapi aku memang tak pernah tahu bagaimana cara belajar biola yang normal, jadi aku merasa baik-baik saja.

"Dengar, kamu berbeda, jadi cara belajarnya pun tidak biasa. Kamu spesial!" itulah kata-kata yang Mas Adit sering katakan.

Bagaimana tidak aneh, dia seolah enggan mengajariku cara membaca notasi musik. Padahal, jelas sekali dia berkali-kali marah pada Cika sambil menunjuk-nunjuk pada notasi musik yang ada di depan mereka.

"Dengar, waktu kita gak cukup buat kamu belajar notasi musik. Dan lagian, untuk konser nanti, kamu tak membutuhkan notasi musik. Semua sudah dengan luar biasa ada di kepalamu."

Telunjuk Mas Adit menyentuh kepalaku dengan lembut saat mengatakannya. Cika cuma tersenyum mendengarnya.

"Seandainya kamu sadar siapa dirimu.." kata Cika suatu hari.
"Maksudnya?"

Cika malah tertawa.

"Kamu itu lucu yah. Polos dan unik."

Kadang, aku merasa sebal ketika mereka berdua menganggapku orang aneh. Memang mereka tak pernah mengatakan aku orang aneh, tapi mereka menganggapku spesial. Dan memang apa bedanya orang aneh dan orang spesial? Dan sepertinya, Mas Adit punya rencana yang tak mau membaginya dengan ku. Aku tahu itu dari Cika saat tanpa sengaja mengatakannya.

"Pantas aja Abangku sangat terobsesi sama kamu." kata itu keluar setelah kami latihan.
"Terobsesi?" aku terbelalak. " Kedengarannya menakutkan?"

Cika malah tertawa terbahak. Dia benar-benar lupa kalau dirinya adalah wanita.

"Dia bahkan punya rencana luar biasa yang.."

"Ehemm..!"

Tiba-tiba Mas Adit muncul yang membuat Cika langsung terdiam. Dan setelah itu, Cika sama sekali tak mau mengungkitnya. Ini benar-benar tidak adil. Mereka merencanakan tentang aku, tapi mereka tak mau memberitahukanku.

Menjelang pertunjukan, hampir seharian aku terus latihan hingga aku tak bisa bekerja. Tapi Mas Adit memberiku kompensasi keungan. Lagian, selama latihan, semua kebutuhan sudah dipenuhi oleh Mas Adit.

Satu hal yang membuatku sedikit khawatir adalah Niko. Semenjak aku terlalu lama latihan, Niko selalu cemberut. Meski cemberut, , tapi dia tak membiarkanku pergi latihan sendiri. Dia bersikukuh untuk mengantarku. Niko juga sering sms menanyakan kapan aku pulang dan itu membuat Mas Adit terganggu dan akhirnya menyandera HP ku sampai latihan benar-benar selesai.

Sedangkan pulangnya, karena waktunya tidak tentu, Mas Adit mengantarku seperti hari ini. Mas Adit tak pernah membiarkanku diantar oleh sopirnya.

"Ketemu besok ya.." kata Mas Adit setelah menurunkanku di depan gang. Aku mengangguk dan menatap sedan bertuliskan Camry menghilang di kegelapan malam. Sesaat, aku jadi tersadar, betapa beruntungnya aku. Seharusnya aku banyak bersyukur.

Aku menatap langit. Bintang-bintang tidak seindah jika dilihat dari atas gedung kosong itu. Tiba-tiba aku jadi teringat Ikhsan dan aku pun sedikit berlari menyusuri gang.

Waktu aku naik ke kamar, kudengar dengkuran dari teras yang bisa ku kenali sebagai suara Ikhsan. Sudah beberapa hari ini dia tidur diluar, entah kenapa. Jika kutanya, jawabannya selalu cari udara karena didalam panas.

Aku melangkah pelan, karena biasanya, Ikhsan tiba-tiba terbangun dan pasti terbangun jika aku melewatinya. Dia seperti punya sensor. Kali ini, aku berhasil melewatinya tanpa membangunkannya, tapi aku terhenti. Tatapanku seperti terpaku pada wajah Ikhsan. Jika sedang tidur, wajahnya yang tengil berubah menjadi enak dilihat. Membuatku damai.

Padahal, aku tahu banget saat ini dia sedang sedih. Karena kejadian pemukulan itu, dia diusir dari rumah. Mama-nya menganggap Ikhsan sudah keterlaluan. Tapi ternyata dia sangat kuat, jauh lebih kuat dari pada aku. Setelah kupikir-pikir, aku dan dia bernasib sama, meski dengan masalah yang berbeda.

"Ngapain ngeliatin aku kayak gitu?" tiba-tiba wajah Ikhsan maju dan hampir menempel ke wajahku dan itu membuatku kaget. "Jadi suka tau rasa..".
"Orang gila!" semburku sambil memundurkan tubuhku.

Ikhsan menegakkan badannya kemudian meregangkan tubuhnya sambil menguap.
"Baru pulang?"
"Iya.."
"Emang kapan sih pertunjukannya?"

Ikhsan bangkit masuk ke kamar dan melemparkan kaleng milo dingin. Nilai tambah dengan kehadiran Ikhsan di Kosan ku adalah, dia punya Kulkas kecil. Dan dia selalu memberiku sekaleng Milo sepulang dari latihan.

"Seminggu lagi."
"Oya?" kini Ikhsan sudah duduk di kursi.

Tiba-tiba mata Ikhsan tertuju pada Biola di pangkuanku.

"Aku belum pernah denger kamu main biola."

Aku tersenyum dan langsung mengeluarkan biolaku.

"Aku mainin buat kamu ya, tapi dikit aja, udah malam takut ngeganggu yang lain."

Mata Ikhsan langsung berbinar mendengarnya. Aku jadi tersenyum melihat dia begitu antusias. Aku pun memainkan satu bait lagu dan itu membuat Ikhsan melongo.

"Kamu kenapa?" tanyaku heran.
"Kapan kamu belajarnya?"
"Tiga bulanan lah.."
"Tiga bulan? Cuma tiga bulan? Kamu Alien ya?"

Aku jadi tertawa. Apalagi melihat ekspresi Ikhsan yang belum pernah ku lihat sebelumnya. Dia pun akhirnya ikut tertawa. Tawa yang berbeda dari biasanya dia menertawakanku. Aku suka dengan tawanya.

"Ngomong-ngomong, itu biola orang tua mu?"
"Oh, bukan.. Ini hadiah dari Niko."
"Oh.."

Tiba-tiba senyum Ikhsan menghilang.

"Malam ini cerah banget.." Ikhsan mengalihkan perhatian.
"Iya.." aku senang Ikhsan tak menanyakan macam-macam.


--------------+++++++++++++++++++++++++++------------------------------

Sebentar lagi ujian dan itu membuat semua guru memiliki nasehat yang sama. Belajar yang rajin! Sesuatu yang tak pernah dibutuhkan oleh Niko.

Aku memiliki nilai pelajaran yang tidak terlalu bagus, namun juga tidak terlalu buruk. Tentu saja, Niko memiliki saham terbesar atas nilai ku yang gak jelek-jelek amat. Aku beruntung sekelas dengannya selama dua tahun ini. Aku tak bisa membayangkan jika nanti kelas 3 aku harus berpisah ruang kelas. Semoga itu tidak terjadi.

"Kamu itu cuma gak konsentrasi aja. Itu kuncinya." kata Niko mengomentari nilaiku yang tak pernah sebaik nilainya saat keluar kelas.

"Niko..!"

Terdengar panggilan lembut dari belakang kami. Lili berlari kecil membuat rambutnya melambai indah tertiup angin.
Niko berhenti dan berbalik.

"Ada apa?"
"Hmm, Papi ngundang Papamu ke rumah. Kamu datang kan?"

Niko terdiam sejenak dan memutar bola matanya.

"Kan yang diundang Papa. Lagian, aku ada urusan."

Lili langsung cemberut.

"Pasti sama Haris lagi kan?"
"Emang, kok tahu?"

Lagi-lagi Niko membuat alasan dengan mengatas namakan aku. Dan lagi-lagi secara sepihak tanpa konfirmasi. Tentu saja aku sudah tahu akan seperti apa akhirnya. Lili langsung menatapku penuh rasa dendam membara. Aku jadi teringat kalo Lili berlatih bela diri. Seketika aku langsung merinding.

Tentu saja aku sudah protes ke Niko. Tapi tak menggubris protesku dan cuma melemparkan senyum pamungkasnya. Senyumnya itu selalu bisa membuatku menurut.

"Kamu masih latihan saya sama si.."
"Mas Adit?" potongku.
"Iya, dia." Niko nampak tak suka memanggil nama Mas Adit.

"Iya.." jawabku
"Sampe kapan?"
"Pertunjukannya kurang dari dua minggu lagi lah."
"Lama amat?"

Niko mengatakan itu tanpa menatapku. Tapi bisa kulihat cemberut di wajahnya.

"Kenapa?"
"Gak apa-apa." jawab Niko cepat. "Si Guru mu orang baik kan?"

Sebenarnya, menurutku itu pertanyaan aneh. Terlebih Niko mengatakannya seolah Mas Adit adalah ular berbisa yang berbahaya.

"Iya. Dia orang baik. Baik banget malah."

Niko keliatan makin cemberut dengan jawabanku.

"Kamu suka ya latihan sama dia?"

Kenapa pertanyaan Niko aneh begini? Menurutku, pertanyaan-pertanyaan Niko makin menunjukkan kalo dia benar-benar gak suka sama Mas Adit.

"Hmm.. Dia bagus. Trus, dia punya cara ngajarin aku yang katanya spesial."

"Spesial???" Niko menatapku sedikit melotot. "Maksudnya spesial??"

Kali ini, tatapan Niko sedikit membuatku takut dan ada nada marah pada pertanyaannya.

"Ee.. Maksudku, dia punya cara ngajarin yang agak berbeda."

Niko masih menatapku dengan curiga.

"Ee.. Mungkin, karena dia bukan guru kali ya. Jadi dia.."
"Dia pernah megang-megang kamu gak?" Niko memotongku dan masih dengan tatapan yang membuatku takut.

Dan juga, pertanyaannya pun terdengar sangat aneh.

"Maksudnya?" aku balik bertanya sedikit terbata-bata.

Tiba-tiba, Niko seperti tersadar dan tatapan menakutkannya hilang berganti dengan senyum.

"Gak apa-apa. Lupain aja." Niko menghela nafas panjang. "Tapi kamu gak pernah balas sms-ku kalau lagi latihan."

Aku jadi merasa bersalah. Meski memang kenyataannya gak mungkin aku menjawab sms-nya saat latihan, tetap saja aku merasa bersalah.

"Maaf.." aku mengatakannya dengan pelan.

Niko kini menatapku dengan rasa iba dan kemudian tersenyum.

"Ah.. udah lah. Lupain aja.." kata Niko sambil memegangi pundakku.

Dia terdiam sesaat.

"Aku, gak bisa ngantar kamu beberapa hari ini.!" kata itu keluar setelah susah payah dia mencoba mengatakannya. Seolah dia tak rela mengatakannya. "Aku ada acara sepulang sekolah untuk beberapa hari ini. Sebenarnya, ini acara Mama, tapi aku harus datang."

"Oh, ya udah gak apa-apa." aku mengangguk-angguk.

"Kamu kayaknya jadi senang gitu?" tatapan curiga Niko muncul lagi.
"Kok seneng?" aku bingung.
"Gak apa-apa. Lupain aja." sudah dua kali dia mengatakan itu.

Meski Niko bilang ada acara, tapi dia tak juga pergi. Dia nampak agak ragu.

"Udah, sana. Lili nungguin tuh." goda ku.
"Ngasal. Gak ada urusannya sama Lili." sergah Niko. "Emang kenapa kalo iya. Kamu gak suka?"
"Gak apa-apa lah. Bagus kan?"

Aneh, mendengar jawabanku, Niko malah cemberut dan langsung meluncur pergi.

Aku berjalan cepat menuju kosan. Sudah lama aku tak berjalan kaki pulang dari sekolah. Biasanya, Niko mengantarkan ku hingga halaman kosan.

Aku melangkah terburu-buru untuk latihan. Aku tak ingin datang terlambat dan membuat Mas Adit kecewa.

Tapi sesuatu membuatku kaget. Kamarku sudah terbuka, dan di dalam, kulihat Ikhsan berdiri sambil memegang biolaku.

Tapi ada yang berbeda dengan Biolanya, biola itu kini patah.

Seandainya bukan melihat dengan mataku sendiri, mungkin aku tak akan percaya. Tapi ini jelas-jelas didepan mataku! Dia berdiri disana dengan sebuah Biola yang patah! Ya.. Ikhsan berdiri disana sedang memegang Biolaku yang patah!

Aku bahkan tak mampu mangatakan apa-apa. Tubuhku gemetar dan bibirku pun sulit ku gerakkan. Aku mematung cukup lama dan menatap Ikhsan dan Biola bergantian. Aku masih bingung harus mengatakan apa. Aku gemetar.

"Keluar!" teriakku. Cuma itu yang bisa keluar dari bibirku.

"Tapi aku.."

"Keluar!"

Ikhsan nampak pucat. Dia berusaha mengatakan sesuatu tapi aku tak peduli lagi. Dia benar-benar membuatku marah. Aku marah bukan hanya karena dia telah merusak Biola pemberian Niko. Tapi dia telah menghancurkan kepercayaanku. Aku merasa kecewa.

Aku seperti dihianati. Aku benar-benar kecewa.

Ikhsan keluar dengan lesu, dan dengan cepat aku mebanting pintu. Kulihat Biola pemberian Niko kini menjadi dua bagian.

Aku menangis.

Aku menangis karena tak mampu menjaga kepercayaan Niko, tapi aku juga menangis karena ada sesuatu yang seperti runtuh di dalam dada. Aku merasa di kecewakan.

Aku tak tahu kenapa aku merasa seperti ini. Aku belum pernah merasakannya sebelumnya. Seolah-olah ada sebuah bangunan yang tinggi dalam dada yang tiba-tiba runtuh dan membuat rongga di sana. Dan itu membuatku begitu marah. Sangat marah.

---> bersambung


0 comments:

Post a Comment