DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Inikah Cinta? - just a Love Story Episode 20

Episode 20 : Inikah cinta?


"Kamu harus konsentrasi.." cuma itu kata yang keluar. Tapi aku bisa membaca wajah Mas Adit yang nampak sangat kecewa padaku. "Kita istirahat dulu.."

Benar apa yang dikatakan Mas Adit, konsentrasiku memang agak terganggu. Beberapa kali aku melakukan kesalahan. Terkadang aku lupa beberapa nada. Tempo ku juga berantakan. Dan aku cuma bisa tertunduk saat Mas Adit keluar dari studio.

Cika yang sedari tadi memperhatikanku, kini mendekat.

"Aku jadi iri sama kamu Ris."

Ku tatap Cika dengan kerutan di dahiku karena bingung.

"Maksudnya?"

Cika melirik arah pintu seolah tak ingin ketahuan Mas Adit.

"Kamu lihat sendiri kan, gimana Abang kalo memarahiku. Salah sedikit aja, dia seperti kebakaran jenggot. Tapi giliran kamu yang ngelakuin kesalahan, dia bahkan gak memarahimu."

Setelah kupikir-pikir, kata-kata Cika ada benarnya.

"Maafin aku." kata itu keluar begitu saja.

Cika langsung tertawa terbahak. Dia selalu lupa bahwa dia adalah perempuan.

"Kamu itu polos banget sih. Ngapain minta maaf? Itu kan bukan salahmu. Abangku aja tuh yang.. aneh." Cika sedikit memelankan suaranya saat menyebut kata aneh.

Aku sudah terbiasa disebut polos, unik dan spesial oleh Cika juga Mas Adit. Mereka selalu dan tak henti-hentinya menggunakan kata itu.

"Kamu pasti keingetan masalah Biola mu yang rusak kan?" Cika menatapku penuh selidik.
Aku menghela nafas panjang.
"Iya.." jawabku pelan.

Cika menyondongkan badannya ke arahku hingga wangi parfumnya tercium. Dia tak pernah memakai pengharum yang berlebihan. Hanya saat benar-benar dekat saja aroma segar parfumnya tercium.

"Emang, Biola mu itu spesial ya? Pemberian seseorang?"

Ku tatap mata Cika yang nampak berbinar ingin tahu. Nampak dari pupilnya yang membesar. Aku jadi bingung mesti bagaimana menjawabnya.

"Hmm, itu Biola hadiah dari teman." kataku.
"Teman? Hmm cewek?" mata Cika kini menyipit.
"Bukan. Teman sekolah."
"Cowok?"

Aku heran dengan tatapan Cika, dan aku cuma menggangguk. Dan itu membuat senyum Cika sangat lebar seolah hasil penyelidikannya sukses besar.

"Pasti.. Temanmu itu spesial banget, sampe-sampe, kamu kayak gak rela gitu hadiahnya rusak.." Cika tersenyum usil dengan alis yang dia gerak-gerakkan ke atas.

"Apaan sih?" aku jadi jengkel melihat gaya Cika. "Dia sangat baik aja. Kan gak enak sama dia."
"Emang kenapa sih rusaknya?"

Aku jadi ragu buat cerita.

"Udah ceritain aja.." Cika tahu aku bimbang.
"Tapi janji jangan cerita sama siapapun!"
"Janji!"

Cika menggerakkan tangannya didepan mulut seolah menutupnya kemudian membuat gerakan melempar seolah membuang sesuatu.

"Temanku yang ngerusakin."
"Temanmu yang.. " jidat Cika berkerut seperti berfikir keras.
"Teman yang lain."
"Cewek?"

Dari tadi Cika tanya tentang cewek atau cowok yang menurutku gak nyambung dan itu membuatku heran.

"Cowok.."
"Ah.." Cika manggut-manggut. "Kenapa dia ngerusakin Biola mu."
"Aku gak tahu.."
"Kalau menurut perkiraanmu?"
"Entahlah. Temanku yang ngasih biola emang gak pernah akur dengan temanku yang ngerusakin. Mungkin karena alasan itu."

Cika duduk tegak. Jidatnya kini benar-benar berkerut dan matanya menyipit. Dia sedang mengolah semua ceritaku.
Tak berapa lama dia tersenyum lebar. Dia seperti menemukan sebuah jawaban.

"Ya udah, minta ganti aja sama dia. Kan beres." alis Cika bergerak-gerak. "Jadi kamu gak perlu kepikiran lagi."

Kini giliran aku yang berfikir keras. Aku bingung harus bagaimana mengatakannya.

"Iya, tapi.. " aku bingung.
"Bukan itu kan masalahnya?" Cika tiba-tiba memotongku dengan wajah serius.
"Iya.." bibirku seperti bergerak sendiri saat menjawabnya.
"Kamu pasti jengkel, marah besar, kecewa sama temanmu yang ngerusakin Biola. Dan kamu pasti gak mau ngomong sama dia, apalagi sampai minta ganti. Karena bukan itu yang bikin kamu marah."
"Iya.." sekali lagi bibirku bergerak sendiri.
"Kamu marah karena kamu merasa dikhianati. Yang tersakiti adalah hatimu." Cika mengatakannya dengan pelan tapi bagiku terdengar sangat keras. Kata-katanya tepat seperti yang kurasakan. Dan itu membuatku terdiam, terpana sekaligus bingung.

Aku tak bisa mengatakan apa-apa.

"Sebelum dia ngerusakin biolamu, kamu pasti ngerasa nyaman banget ngobrol sama dia? Iya kan?" Cika terus melanjutkan kata-katanya. Aku masih tetap diam.

Aku diam, karena yang cika katakan benar adanya. Aku jadi takut, Cika bisa membaca pikiranku.

Cika menyondongkan badannya dan berkata pelan. Sangat pelan.
"Kamu suka sama dia kan?"

Tapi suara yang sangat pelan itu, seperti genderang di telingaku. Aku bingung. Aku tak bisa menjawabnya. Aku tak ingin menjawabnya meski aku ingin menjawab iya. Tapi itu adalah jawaban yang aneh menurutku. Jawaban yang tak mungkin!

"Udah, lupain aja. Kita latihan lagi." kataku buru-buru sambil menyambar Biola pinjaman Mas Adit. Cika cuma tersenyum padaku. Senyumnya sesungguhnya sebuah senyum yang ingin mengatakan "aku ngerti kok. aku faham".

Tapi aku sama sekali tak mau memikirkan pertanyaan terakhir dari Cika. Aku tak mau memikirkannya!


--------------+++++++++++++++++++++++++++------------------------------



Hari ini, aku tidak latihan.

Menurut Mas Adit, aku harus banyak istirahat agar saat pertunjukan besok tubuhku akan bugar. Tapi meski seminggu telah berlalu, pikiran tentang Biola patah terus saja mengganggu tidurku.

Tapi kini, kata-kata Cika yang merongrong pikiranku. Kata-kata itu terngiang-ngiang di kepala tak mau pergi.

Benar, saat Cika bilang aku kecewa hingga aku tak ingin bicara dengan Ikhsan. Aku bahkan selalu menghindar untuk bertemu dengannya.

Pernah beberapa hari yang lalu sepulang sekolah, dia menghampiriku. Badannya penuh keringat seperti habis jalan jauh. Dan memang aku tak melihatnya membawa motor Tigernya. Dia mengajakku bicara, tapi aku menolaknya mentah-mentah.

Aku bahkan tak memberinya kesempatan untuk mengatakan apa-apa. Aku langsung masuk kamar dan membanting pintu sekeras-kerasnya.

Dan kini, seminggu sudah aku tak bicara dengan Ikhsan. Bahkan, sudah 4 hari aku tak melihatnya. Aku berusaha tak peduli, tapi aku merasa seperti ada yang hilang. Saat aku melihat kursi di teras depan, tiba-tiba bayangan Ikhsan muncul disana. Dan saat bayangan itu menoleh ke arahku, tiba-tiba aku menjadi marah. Aku benar-benar merasa aneh!

Kamarnya kini gelap. Biasanya, kamar itu selalu terbuka dan terang benderang. Biasanya, dia akan melemparkan sekaleng Milo dari sana. Tapi kini tidak. Kamar itu gelap.

Tiba-tiba aku merasa kesepian.

Aku mencoba merebahkan tubuhku ke kasur busa tua ku. Mencoba untuk tidur. Tapi yang terjadi, langit-langit kamar berubah menjadi hamparan langit gelap dengan gemerlap bintang. Aku seolah kembali berada di atas gedung kosong, menatap langit dan kulihat Ikhsan di sampingku. Sungguh konyol!

"Kenapa kamu gak mau pergi!" teriakku akhirnya. Aku menutup wajahku dengan bantal.


++++

Kriiiiing!

Aku melompat. Raungan handphone membuatku terbangun. Secepat kilat aku meraihnya.

"Haris, kamu belum bangun?" kudengar suara Mas Adit. Kulihat jam, ternyata sudah siang.
"Ee, maaf Mas."
"Buruan ya, aku sudah di depan. Kita bisa terlambat."
"Iya Mas.."

Aku langsung menutup telpon dan melesat menuju kamar mandi. Untung aku adalah manusia pe-mandi tercepat di dunia! Aku mengenakan kemeja putih yang kemarin dibelikan Mas Adit, celana bahan hitam yang lembut dan juga sepatu kulit hitam. Aku belum pernah berpakaian serapi ini sebelumnya.

Setelah semua siap, aku pun langsung menyambar kunci serta HP dan keluar. Tapi, sesuatu yang membuatku terhenti.

Ada sesuatu tergeletak di lantai.

Sebuah biola.

Ya, sebuah biola yang sama persis dengan Biola ku. Aku pun langsung mencari biolaku yang patah tapi tak ku temukan. Yang ada, kini adalah sebuah biola utuh dan nampak masih baru.

Aku tertegun sesaat, namun bunyi Handphone membuatku tersadar. Aku mengangkatnya.

"Halo, mas.."
"Ayo.." suara Mas Adit nampak tak sabar.
"Iya Mas, ini lagi turun.."

Aku langsung menyambar Biola baru tadi dan berlari keluar.


--------------+++++++++++++++++++++++++++------------------------------


Aku bersikeras untuk menggunakan Biola baruku meski Mas Adit bilang Biola baruku belum siap. Aku tak peduli.

Selama perjalanan, aku melapisi rosin pada Bow dan mencobanya berkali-kali. Mas Adit cuma geleng-geleng melihatku yang keras kepala.

Saat sampai di tempat pertunjukan, suara Biola baru ku sudah seperti biola yang lama. Aku jadi lega dan kulihat Mas Adit tersenyum puas dan mengangguk. Saat keluar mobil, Mas Adit memintaku untuk memakai Jas yang sudah dia siapkan. Mas Adit bilang, ini adalah Tuxedo. Saat aku memakainya dan bercermin, aku hampir tak mengenali orang yang ada didalam cermin. Aku nampak berbeda.

Kemudian Mas Adit membawaku masuk ke dalam sebuah ruangan menyusuri lorong menuju belakang panggung. Rupanya, tempat pertunjukannya bukanlah di kedutaan, tapi sebuah ballroom. Namun Mas Adit mengatakan, tamu-tamu yang hadir adalah tamu-tamu kedutaan Jerman dan Kementrian Luar Negeri.

Setelah sampai dibelakang panggung, aku baru sadar, betapa banyak tamu yang hadir. Mereka semua mengenakan Jas dan juga gaun indah yang menunjukkan kalau mereka adalah orang-orang penting.

Tiba-tiba, dadaku menjadi sesak. Aku jadi sulit bernafas.

Melihatku, Mas Adit langsung tersenyum.

"Tenang Ris. Kamu gak usah takut sama mereka. Anggap aja mereka patung." rupanya Mas Adit tahu masalahku. Aku sedang demam panggung.
"Patung gimana Mas. Orang mereka gerak-gerak gitu. Matanya juga melotot."

Mas Adit malah tertawa.

"Wow, Haris?"
"Cika?"

Aku dan Cika saling berpandangan penuh keheranan. Tentu saja aku kaget. Aku belum pernah melihat Cika mengenakan gaun dan ternyata, dia nampak cantik sekali.

"Kamu kok jadi keren gini?"

Aku meringis mendengar kata keren. Cika adalah orang pertama yang mengatakan aku keren.

"Kamu juga.." aku tak bisa melanjutkan. Tapi Cika malah menungguku melanjutkan kata-kataku.
"Juga apa?"
"Ee, cantik." kataku cepat.

Cika langsung tersenyum senang dan memamerkan gaunnya. Mas Adit cuma geleng-geleng melihat tingkah Adiknya.

"Jangan khawatir, kamu hanya perlu memejamkan mata sebentar, tarik nafas dalam-dalam dan mainkan biolamu." Cika berbisik ke telingaku.
Aku menatapnya dengan wajah khawatir.
"Itu berhasil buatku dulu.." Cika mengedipkan matanya.

Akhirnya, sebuah pengumuman menyebut nama Mas Adit, Cika dan namaku untuk tampil. Tiba-tiba langkahku menjadi berat. Bahkan, Mas Adit harus mendorongku agar aku bisa berjalan.





Berada di panggung, ternyata membuat dadaku makin sesak. Kulihat ratusan pasang mata menatap kearahku. Mereka seolah menerorku. Cika memberi isyarat agar aku menarik nafas.

Aku pun mencoba mempraktekkan tips nya tadi.

Kututup mataku, menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya. Kulakukan itu berkali-kali dan saat mataku terbuka, Mas Adit nampak memberi Isyarat agar aku siap. Saat mataku melirik ke arah penonton, tiba-tiba dadaku kembali sesak. Saat itu juga Cika memberi isyarat untuk menarik nafas.

Lumayan lama hingga akhirnya Mas Adit mulai menyentuh tuts piano. Mas adit memulai sebuah nada pembuka dan saat menjelang giliranku untuk memulai, aku menutup mata.

Ternyata, kini jadi lebih baik. Aku bisa merasakan notasi nada-nada mulai berlompatan keluar. Dan saat ku buka mataku, suasana menjadi berbeda. Di sekelilingku adalah notasi nada-nada yang sedang menari.

Sampai di titik tertentu, sebuah notasi nada membariku isyarat untuk memulai. Aku pun menggesekan biolaku dan seketika, aku menyatu dengan alunan nada-nada. Tak lama kemudian, nada rendah cello yang dimainkan Cika ikut meramaikan harmonasi nada-nada yang nampak menari indah.

Kami memainkan "Canon D Major karya Pachelbel".

Kami bertiga memainkan nada-nada yang seolah-olah saling berkejaran. Terkadang menyatu , terkadang bergantian dan terkadang saling mengikuti.

Saat ritme makin cepat, kami benar-benar menyatu hingga kemudian kambali melambat. Dan akhirnya berhenti.

Seketika, tepuk tangan membahana. Aku tersenyum bahagia.

Saat aku hendak turun panggung, tiba-tiba pembawa acara mencegahku.

"Ladies and gentlemen, I am quite sure that you will not believe in me when I said that this boy, learn to play violin not for long. Well the truth is, the boy learn it in 3 months."

Dan tepuk tangan pun kembali membahana. Aku menundukkan kepala dan turun ke belakang panggung.

Aku begitu lega. Kulihat Mas Adit tersenyum puas.


--------------+++++++++++++++++++++++++++------------------------------


"Mas Adit kemana?"

Cika cuma senyum-senyum tanpa mau menjawab pertanyaanku. Dia berdiri anggun disamping mobil Mas Adit.

"Kenapa sih?" aku jadi penasaran.
"Sebentar lagi dia kesini. Pokoknya bakal ada berita bagus deh."

Meski menggunakan gaun yang indah, kalau Cika sudah sok misterius, keanggunan seorang wanita-nya menghilang. Berubah seperti cowboy.

"Tuh dia.." tiba-tiba tatapan Cika tertuju pada pintu keluar Gedung.

Mas Adit melangkah terburu-buru dengan senyum yang merekah. Sebaiknya Mas Adit jangan terlalu banyak tersenyum, pikirku. Lesung dipipi membuat senyumnya benar-benar bisa menarik seluruh wanita di pelataran parkir ini.

Saat sampai didepanku, dia masih saja senyum-senyum persis seperti Cika. Seandainya Cika berpakaian sama dengan Mas Adit, mereka pasti dikira kembar.

"Ada apa sih Mas?"

Kini Mas Adit menatapku dengan serius.

"Dengar Ris." Mas adit diam sejenak. Seperti sedang menyusun kata-kata. "Kamu punya rencana buat masa depanmu?"

Hah, kenapa di waktu begini Mas Adit tanya hal yang sulit sih? Aku jadi teringat Imron. Bagaimana dia telah memilih jalan menuju masa depannya untuk menjadi pemain sepakbola. Sedangkan aku, aku bahkan belum terpikir sama sekali.

"Aa.. Aku belum tau.." kataku lirih. Aku sedikit malu mengatakannya.

"Gimana kalau kamu ngembangin bakat kamu ini." Mas Adit mengatakannya sambil mengangkat Biola ditanganku.
"Maksud Mas Adit?"
"Gimana kalau kamu ngelanjutin sekolah musik?"

Pertanyaan itu membuatku tersenyum kecut. Aku bahkan tak tahu apakah bisa melanjutkan kuliah, tapi sekarang Mas Adit malah menyarankanku sekolah musik yang biayanya selangit.

"Kamu jangan menyia-nyiakan bakatmu Ris." Cika menimpali. Wajahnya kini nampak serius.
"Ya, tapi itu kan mahal.."

Senyum Mas Adit kini makin lebar.

"Gimana kalau kamu tak perlu bayar?"

Kali ini, aku makin bingung. Aku bingung karena belum tahu apa yang akan dikatakan Mas Adit selanjutnya. Tapi kata-kata itu membuatku tersenyum.

"Emang bisa Mas?"

"Kamu tahu? Barusan aku ngobrol sama seorang professor, katakan saja dia maestro musik. Dan dia sangat tertarik dengan permaianan Biolamu. Dan.." Mas Adit membuat jeda pada kalimatnya. "Dia menawarimu untuk belajar ditempat dia mengajar."

"Oya? Ini serius Mas?"
"Astaga tentu saja." Mas Adit sedikit terkekeh. "Jadi kamu mau?"

Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Aku cuma mengangguk berkali-kali.

"Oke, berarti kamu harus siap-siap. 3 hari lagi kita berangkat."
"Berangkat? Berangkat kemana?"

Mas Adit diam sesaat. Dia nampak keheranan.

"Emang aku tadi gak bilang kalau, orang yang menawarimu itu orang Jerman?"

Aku menggeleng. Mas Adit memukul kepalanya sendiri dengan telapak tangannya.

"Kita akan ke Jerman!"

"Jerman!?" suara itu datang dari belakang ku.

Kami bertiga serempak menoleh ke arah asal suara.

"Niko?" aku melempar senyum.
"Jerman!?" Niko mengatakannya dengan nada tak percaya. Ada guratan kecewa di wajahnya. Dan juga marah. "Kamu mau ke Jerman?"

"Iya.." jawabku senang.

Wajah Niko nampak memerah namun matanya memancarkan kesedihan yang mendalam. Dia mematung sesaat. Tangannya gemetar dan kemudian dia berbalik dan melangkah pergi dengan buru-buru.

"Nik..!" seruku hendak mengejarnya. Namun Mas Adit menahanku.


--------------+++++++++++++++++++++++++++------------------------------



Tentu saja, 3 hari adalah waktu yang singkat untuk rencana perjalanan lintas benua!

Aku bahkan belum pernah berpikir untuk melintasi perbatasan Indonesia, namun tiba-tiba saja, aku tak sekedar akan melintasi perbatasan, tapi juga melintasi bagitu banyak negara menuju eropa. Dan itu membuat perasaanku tak menentu. Ada gembira, bahagia, bingung, ragu, bimbang dan semuanya menjadi satu.

Ini tiga hari!

Dan mungkin inilah rencana Mas Adit yang pernah dikatakan oleh Cika. Aku bahkan tak mengerti tentang syarat-syarat untuk keluar negeri. Aku tak memiliki Paspor. Dan bukankah ke Jerman membutuhkan Visa?

Saat aku sedikit sok tahu menanyakan itu semua, Cika senyum-senyum sok misterius.

"Kalo itu, kamu gak usah pikirin. Itu bisa diurus sama Ayah. Oya, kita nanti bisa ketemu Ayah disana."

Mendengar itu, aku cuma tersenyum. Bingung.

"Kamu pikir, kenapa kita bisa tampil di petunjukan ini?" Cika melanjutkan.

Dan aku baru tahu, ternyata Ayah Mas Adit ikut berperan dalam penyelenggaraan pertunjukan yang disponsori oleh kedutaan Jerman kemarin.

Dan saat aku bertanya tentang sekolahku, Mas Adit cuma tertawa terkekeh.

"Kamu gak perlu pikirin itu, oke? Pokoknya, kamu terima beres aja!"

Meskipun aku gembira, tapi ada sesuatu yang mengganjal.

Niko!

Tiba-tiba Niko menghilang. Maksudku, dia tak menelponku, juga tak sms. Dia seperti marah padaku, tapi apa salahku? Dan itu membuatku resah.

"Haris!" sapa Imron dengan senyum khasnya.

Aku tak sadar jika aku sudah sampai di warung tenda milik Imron. Pikiranku dipenuhi banyak hal sedangkan waktuku sangat sempit.
Dan dari sekian banyak hal itu, Imron adalah satu orang yang wajib ku temui.

Imron nampak sibuk, namun ia menyempatkan menunjuk kursi tepat didepannya.

"Mak, ada Haris.." seru Imron sambil memberi isyarat padaku untuk menunggu.

Saat melihatku, emak Imron pun menyapaku dengan ramah.

"Nak Haris? Mau makan?" tanya Emak Imron.
"Iya.. Seperti biasanya aja Bu."

Kulihat Imron sibuk menggoreng daging ayam pesanan. Kemudian dia meletakkan daging ayam yang masih panas ke piring dan menghidangkannya ke pelanggan. Tak lama, dia pun menghampiriku dan duduk disebelahku.

"Jadi gimana pertunjukannya?" tanya Imron dengan mata berbinar. Dia adalah temanku yang paling antusias dengan kabar konserku. "Sukses kan?"

Aku mengangguk sambil tersenyum. Mendengarnya, Imron langsung bersorak.

"Mak, konsernya Haris sukses!" seru Imron. Emak Imron pun tergopoh ke arahku.
"Wah, selamat ya Nak Haris.."
"Makasih Bu."

Itulah senangnya ngobrol dengan mereka. Seolah, semuanya menjadi ringan karena mereka selalu bersemangat dan tersenyum.

"Berarti, Nak Haris makannya gratis hari ini." kata Emak Imron.

Aku jadi bengong. Ini aneh. Harusnya aku yang mentraktir mereka.
Tapi aku tak pernah menolak pemberian mereka.

"Jerman!?"

Mata Imron melotot tak percaya saat aku menceritakan rencana ku. Tapi senyum khasnya merekah seperti musim semi.

"Jerman mana?"

Tiba-tiba aku merasa bodoh. Aku tak bisa menjawabnya.

"Iya ya, Jerman mana? Aku lupa nanya.."

Imron terbahak melihatku kebingungan.

"Ya udah, gak usah dipikirin. Yang penting, kamu sukses.."

Itulah hebatnya Imron. Dia nampak begitu gembira dan bahagia saat melihat temannya bahagia. Dan itu benar-benar murni. Tak ada senyum yang dibuat-buat,

Berkali-kali dia mengatakan hebat sambil memperhatikanku melahap makan malam.



--------------+++++++++++++++++++++++++++------------------------------


Mas Adit beberapa kali menelponku tentang persiapan keberangkatan. Aku benar-benar tak perlu melakukan apa-apa. Semua sudah diurus oleh Mas Adit.

Kemarin Mas Adit membawaku ke kantor imigrasi untuk membuat paspor. Selanjutnya, menuju kedutaan Jerman untuk mengurus visa. Hebatnya, semuanya tanpa antri, termasuk di kedutaan. Sepertinya, Mas Adit bukan orang asing buat mereka.

Setelah itu, Mas Adit menemaniku menemui kepala sekolah untuk menjelaskan tentang kepindahanku. Mas Adit membawa surat-surat yang aku tak mengerti namun sepertinya cukup sakti. Terbukti kepala sekolah nampak begitu hormat pada Mas Adit. Dan itu adalah hari terakhirku berada di sekolah.

Mas Adit membiarkanku menikmati momen terakhirku. Dia bahkan memberiku kamera digital dan meninggalkanku. Kesempatan itu ku manfaatkan untuk berfoto bersama teman-teman di sekolah.

Namun ada dua hal yang hilang. Pertama, aku tak melihat Niko dan kedua, kata Imron, sedah beberapa hari Ikhsan tak kelihatan di sekolah.

Kegembiraanku rasanya sedikit hambar saat tahu mereka menghilang.

Aku tak tahu kenapa Niko menghilang?

Sedangkan Ikhsan, nama itu membuatku bingung. Aku marah tapi aku juga kehilangan.

Yang pasti, aku tak ingin pergi tanpa senyum Niko. Dan itulah yang membuatku memberanikan berdiri didepan pintu pagar rumah Niko yang tinggi.

Penjaga rumah sudah mengenali wajahku dan mempersilahkanku masuk. Aku melangkah ragu menuju teras rumah dan berdiri mematung disana sambil mendekap Biola.

"Haris?" sapa Mama Niko saat melihatku berdiri di depan pintu. "Kok gak masuk?"

Aku sedikit membungkuk memberi hormat.

"Niko ada tante?"

Tiba-tiba wajahnya berubah sedih dan menghela nafas panjang.

"Udah dua hari dia ngurung diri di kamar." sesaat mata Mama Niko menunjuk ke arah lantai dua. "Kamu tahu ada apa dengan dia?"

Aku terdiam. Rasanya tak mungkin aku bilang kalau Niko marah padaku. Dan aku pun cuma menggeleng.

"Saya boleh naik tante?"

"Oh, tentu saja. Kamu ini pakai basa-basi segala." Mama Niko mempersilahkanku masuk. "Coba sekalian kamu cari tahu, ada apa?"

Aku mengangguk dan melangkah menuju kamar Niko.

Pintunya tertutup. Aku mengetuknya namun tak ada jawaban. Cukup lama aku berdiri didepan pintu tanpa ada tanda-tanda kehidupan. Akhirnya, kuraih gagang pintu dan kuputar. Ternyata tak dikunci.

Ku buka sangat pelan kemudian kulangkahkan kakiku berlahan-lahan.

Kulihat Niko duduk mematung didepan jendela besar kamarnya. Dia menatap jauh seperti sebuah patung, sebuah patung yang sedih. Namun begitu, dalam kondisi sedihpun, wajahnya nampak begitu indah dilihat. Dia adalah patung sedih yang menawan.

"Ngapain kamu kesini?"

Tiba-tiba patung itu bersuara. Niko berkata tanpa menoleh. Aku pun berhenti melangkah.

"Aku.. aku mau.." aku bingung mau berkata apa.

Selain itu aku juga bingung, kenapa Niko marah padaku.

"Maafin aku.." akhirnya itulah kata yang keluar dari mulutku.

Niko menoleh ke arahku, menatapku dengan marah sekaligus sedih. Kesedihannya makin nampak karena matanya kelihatan sembab. Dan itu membuatku tak mengerti. Apa yang membuatnya sedemikian sedih?

"Aku mau membayar janjiku.." kataku lagi sambil mengeluarkan Biola.

Niko tak peduli. Dia kembali menatap keluar menembus kaca jendela.

Setelah menarik nafas panjang, aku pun memainkan sebuah lagu dengan biolaku. Sebuah lagu yang pernah dimainkan oleh kelompok Niko saat pelajaran Seni Budaya sebelum dia ke Jepang.

Dealova.

Telah lama aku berlatih untuk memainkan lagi ini untuk Niko. Dan saat memainkannya, semua kenangan bersama Niko pun bermunculan.

Disemua kenangan itu, Niko nampak bagai malaikat. Dia selalu ada untuk menolongku.

Sejak pertama Niko menyelamatkanku dari hukuman. Kemudian berganti bayangan saat dia membersihkan lukaku di ruang UKS dan disusul bayangan saat dia mengajakku menginap di Vila. Dan semua kenangan itu terus bermunculan.

Dan itu membuatku tersadar, betapa aku selalu menerima. Aku tak pernah memberi.

"Hentikan!"

Terikan Niko membuatku menghentikan permainan Biolaku.

Niko nampak tertunduk dan sesenggukan membuatku makin merasa bersalah.

"Maafin aku.." kataku pelan.

"Berhenti minta maaf!"

Aku pun terdiam. Aku bingung.

Niko menoleh ke arahku. Matanya merah penuh air mata. Kemudian dia melangkah ke arahku.

"Lagu itu hanya akan membuatku makin menderita.."

Niko makin mendekat dan berhenti selangkah didepanku. Dia menatapku lekat. Sangat lekat.

"Aku akan sangat merindukanmu.."

Mataku mencoba membaca sumber kesedihan diwajahnya. Ku telusuri rambutnya yang ikal hitam pekat, hidungnya yang indah, dan kulit wajahnya yang lembut lengkap dengan bibirnya nampak sempurna. Namun aku tak menemukan jawabannya. Aku tak mengerti, mengapa Niko harus sesedih ini?

"Aku.." Niko menyeka air matanya. "Aku cinta kamu.."

Kata-kata itu keluar sangat cepat. Dan seketika membuatku membeku. Itu adalah kata-kata yang tak pernah ada di pikiranku akan terucap dari bibir Niko. Aku bahkan tak mampu bertanya apa atau kenapa. Aku membeku.

Ini aneh. Ini tidak nyata!

Tiba-tiba Niko melangkah dengan cepat ke arahku dan memelukku. Dan aku tak bisa berkata karena bibir Niko menahan bibirku untuk bergerak.

Dia menciumku! Dia mencium tepat di bibirku!

Ini tak mungkin terjadi!
Ini mimpi!

Aroma parfum maskulin Niko menyeruak ke dalam hidungku. Bibirnya terasa lembut menyentuh kulit bibirku. Hangat dan lembut. Dan itu membuatku tak bergerak.

Aku benar-benar beku!

Aku tak melakukan apa-apa. Hanya terdiam membiarkan bibir Niko melumat lembut bibirku. Aku gemetar.

Tiba-tiba Niko melepaskanku.

"Maaf.." suaranya lembut namun bergetar penuh penyesalan.

Niko mundur beberapa langkah dan duduk di kasur sedangkan matanya masih menatapku. Wajahnya nampak lega sekaligus khawatir.

Namun aku belum mampu menggerakkan tubuhku. Aku mematung.

Niko dan aku kini seperti dua patung yang saling bertatapan.

Cukup lama hingga akhirnya aku tersengal. Aku tak lagi membeku tapi nafasku tersengal. Aku panik.

Aku ingin mengatakan sesuatu tapi tak bisa. Aku ingin bertanya banyak hal, tapi bibirku tak mau bergerak.

"Aku gak ngerti.." cuma itu kata yang bisa keluar.

Kemudian, bibirku membeku lagi. Aku masih belum memahami apa yang sedang terjadi. Aku tak pernah menyangka inilah alasan Niko begitu baik pada ku selama ini. Otakku tak bisa mengolahnya karena ini adalah sesuatu yang mustahil.

Niko kini tersenyum. Dia menatapku dengan tersenyum.

"Mungkin kamu gak akan pernah ngerti.."

Sekali lagi aku dan Niko hanya mematung. Aku mengalihkan pandanganku ke arah jendela, sedangkan Niko masih menatapku. Aku berusaha agar otakku kembali normal. Aku ingin menginjak bumi lagi, bukan terbang di dunia hayal seperti ini. Dan itu membuatku cukup lama mematung.

"Biola siapa itu?" pertanyaan Niko membuatku menoleh. Tatapan mata Niko kini tertuju pada Biola yang ku pegang.

Aku sedikit bimbang untuk menjawabnya.

"Tentu saja ini pemberianmu." jawabku berbohong.

"Bukannya biolaku rusak?"

Kalimat itu membuatku terkejut. Aku menatap mata Niko tak percaya.

"Bagaimana kamu tahu?" aku tak bisa menyembunyikan keherananku. "Tak seorangpun yang tahu.."

Niko nampak kebingungan dengan tatapanku.

"Tak ada yang tahu tentang itu. Kecuali.." aku tak mampu melanjutkan kata-kataku.

Kini wajah Niko berubah pucat. Seolah dia telah melakukan kesalahan.

"Kecuali yang merusaknya.." akhirnya aku bisa melanjutkan kata-kataku.

Tiba-tiba emosiku meluap. Amarahku meletup dengan cepat. Tanganku gemetar.

"Kamu yang ngerusak Biolanya?"

"Ris.. Tunggu dulu.." Niko mencoba meraih tanganku.

Aku langsung mundur menghindar.

"Aku tahu.. Kamu merusaknya karena kamu tak suka sama Mas Adit. Iya kan? Kamu melakukannya karena kamu tak ingin aku latihan dengan Mas Adit!" aku tak lagi mampu mengontrol bibirku. "Kamu cemburu!"

Aku berteriak. Emosiku tak terkontrol.

"Ris.. Dengar dulu penjelasanku.."

"Diam!" raungku "Gara-gara kamu aku telah menyalahkan orang lain.."

Tanpa sadar, air mataku mengalir. Aku benar-benar gemetar. Dengan cepat aku membereskan Biolaku dan melangkah pergi.

"Ris.. Tunggu.." panggil Niko dari belakangku.

Aku tak peduli lagi. Aku benar-benar marah. Aku berjalan cepat menuruni tangga dan keluar dari rumah besar yang kini aku membencinya.

Niko terus memanggilku. Aku pun berbalik.

"Jangan ikuti aku!" teriakku sekuat tenaga.

Di kepalaku kini muncul wajah Ikhsan. Orang yang telah menolong hidupku namun kemudian ku lukai. Itu benar-benar membuat hatiku tercabik-cabik.

Aku telah melukai seseorang yang telah membuatku bahagia.



--------------+++++++++++++++++++++++++++------------------------------


Entah berapa lama aku duduk di teras. Menatap kosong kamar Ikhsan.

Aku duduk tepat dimana Ikhsan biasanya duduk dan tertidur. Meski ia selalu beralasan karena kamarnya panas, namun kini aku merasa, dia duduk di luar karena menungguku. Menungguku pulang dari latihan.

Kini aku juga merasa, Ikhsan telah menyiapkan begitu banyak kaleng Milo untuk diminum bersamaku.

Entahlah, tapi kini itulah yang ada di kepalaku. Atau mungkin itu yang ku harapkan.

Aku merindukannya..

Aku merindukan senyum tengilnya, aku merindukan bagaimana ia memanggilku, aku juga merindukan keras kepalanya. Aku merindukan semua kenangan bersamanya.

Bagaimana dia telah meninggalkan bekas luka tendangan didadaku, aku merindukannya. Ini konyol tapi aku merindukannya. Dan dia tiba-tiba ada depan wajahku saat aku tersadar di rumah sakit. Kemudian dia membantuku menurunkan celana saat aku hendak buang air kecil. Sungguh memalukan, tapi aku merindukannya.

Dia juga sangat keras kepala! Tak mau pergi meski telah ku usir saat membantuku pindah kosan.

Dan tiba-tiba aku merindukan aroma keringatnya yang harum. Ingin rasanya aku mencium kembali kaosnya yang basah oleh keringat.

Aku juga merindukan amarah diwajahnya. Amarah yang muncul saat menolongku. Amarah yang muncul saat menghajar orang-orang yang hendak memperkosaku.

Aku merindukannya..

Aku merindukannya..


KRIIING!

Handphone ku meraung. Kali ini bukan ringtone panggilan tapi bunyi alarm. Alarm yang menunjukkan saat ini adalah jam 3 sore dan juga pemberitahuan bahwa waktuku disini tinggal dalam dalam hitungan jam. Jam 4 mas Adit akan menjemputku.

Tapi tubuhku enggan bergerak. Aku ingin duduk disini lebih lama lagi. Aku ingin menunggu Ikhsan muncul.

KRIIING!!

Handphoneku meraung lagi. Kali ini adalah suara penggilan.

"Ya Mas?"
"Jangan lupa, jam empat aku jemput ya. Jangan telat."
"Oke Mas.."

Aku menghela nafas panjang dan menghembuskannya berlahan. Aku bangkit dengan malas.

Tak pernah butuh waktu lama buatku untuk mandi dan berkemas. Dan tak butuh waktu lama juga untukku berpamitan dan menyerahkan kunci kamar. Semua ku lakukan dengan sangat cepat. Aku tak memiliki banyak barang untuk dibawa dan satu-satunya harta paling berharga adalah biolaku.

Biola entah dari siapa. Mungkin dari Ikhsan. Aku tak tahu.

Aku ingin cepat-cepat dengan persiapan karena aku ingin berdiri disini. Sejenak mematung didepan kamar Ikhsan untuk terakhir kalinya. Menatap pintu kamarnya yang telah lama tak terbuka.

Ku raih handphoneku dan mencoba sekali lagi menelpon Ikhsan. Terakhir kali ku telpon, yang terdengar adalah suara wanita yang mengatakan nomor yang kupanggil sedang tidak aktif. Dan meski aku tahu akan mendapatkan jawaban yang sama, aku tetap mencobanya.

Tapi kali ini berbeda. Aku mendengar nada panggil dan itu membuatku sedikit gemetar. Jantungku tiba-tiba berdegup lebih kencang.

"Halo.."

Suara itu malah membuatku membisu. Aku bahagia mendengar suara itu dan itu malah membuatku terdiam.

"Haris?"

Tanpa kusadari, air mata telah membasahi pipiku. Aku benar-benar bahagia mendengar Ikhsan memanggilku seperti biasanya.

"Halo.." akhirnya aku mampu menggerakkan bibirku.
"Kamu dimana? Kamu belum berangkatkan?" suara Ikhsan terdengar buru-buru dan nafasnya juga tersengal.
"Belum. Aku masih dikosan." kataku lirih.
"Syukurlah.." hanya itu dan kemudian telponnya putus.

Aku panik. Ku panggil berkali-kali namun tidak ada suara. Aku pun mencoba sekali lagi menghubunginya.

"Halo.. Kamu dimana?" seruku.
"Aku disini.." suara itu terdengar terlalu nyata. Seolah dia ada didekatku. Aku pun menoleh ke arah gerbang dan ku lihat Ikhsan berdiri di sana.

Ia berdiri dengan nafas tersengal dan keringat bercucuran seperti pelari marathon. Dia melangkah masuk dan naik ke teras dengan senyum yang selama ini sangat kurindukan. Senyum tengil.

Aku tak bergerak. Aku tak bisa membendung air mataku.

Ikhsan kini berdiri didepanku. Nafasnya tersengal dan keringatnya seperti mata air. Ia menatapku dan tersenyum.

"Aku ketemu Imron, dia bilang kamu mau ke Jerman?"

Mendengar suaranya, dadaku bergetar. Aku hanya mengangguk.

"Aku buru-buru kesini karena aku ingin mengembalikan ini."

Ikhsan mengangkat bungkusan yang dari tadi digenggamnya erat dan menyodorkannya kepadaku. Aku menatapnya bingung dan menerimanya dengan tangan gemetar.

Aku membuka bungkusan itu dan menemukan kotak biola. Saat ku buka, kulihat biola yang ku kenal dengan baik. Biola patah itu kini telah kembali utuh.

"Agak susah juga nyari ahli biolanya jadi agak lama. Maaf ya."

Mendengarnya, aku langsung menatap Ikhsan dengan lekat. Bibirku bergetar.

"Aku yang seharusnya minta maaf.. kenapa kamu harus minta maaf!" aku meraung. Aku menangis. Aku tak lagi menahannya. Aku kini menangis seperti anak kecil.

"Aku yang seharusnya minta maaf." kuulangi kata itu berkali-kali diantara tangis.

Ikhsan nampak bingung. Dia melangkah ke arahku dan memegangi kedua pundakku.

"Gak apa-apa.. "

Aku tak bisa menahan diri. Aku pun memburu ke arahnya dan memeluknya. Aku memeluknya erat.

Ikhsan membiarkanku memeluknya. Tangannya menepuk punggungku berlahan. Dan itu membuatku merasa bahagia.

Aku bahagia ketika sekali lagi aku merasakan keringat Ikhsan menempel di kulitku dan aromanya menyeruak ke rongga hidungku. Namun itu juga membuatku tersadar.

"Motormu kemana?" aku menarik diri dan menatap Ikhsan lekat.

Ikhsan nampak bimbang.

"Kamu menjualnya kan? Kamu menjualnya untuk membeli biola."

Ikhsan cuma tersenyum dan dia berusaha mengalihkan perhatiannya.

"Itu tas yang mau kamu bawa?" tiba-tiba dia berseru saat melihat barang bawaaanku. "Kamu mau ke Jerman dengan tas butut kayak gitu?"

Tanpa sempat ku jawab, dia langsung membuka pintu kamar dan memburu masuk. Tak lama dia keluar dengan sebuah tas travel dan membukanya. Dia menyuruhku menyingkir saat aku hendak membantunya. Dia membuka tasku, mengeluarkan isinya dan menyusunnya ke dalam tas travel miliknya. Semua dilakukannya dengan cepat.

Tak cuma itu. Dia juga nampak sibuk mematikan Handphonenya, mengambil sim-card dan meletakkan handphonenya diantara pakaianku.

"Aku gak yakin handphone disini bisa dipakai di sana." kataku.

Ikhsan menatapku.

"Aku cuma pengen kamu memilikinya. Entah dipakai atau tidak."

Kemudian dia berdiri dan menyeret tas beroda itu ke arahku.

KRIIING!

Raungan handphoneku membuatku terkejut. Dilayar nampak nama Mas Adit.

"Halo Mas.."
"Kita udah di depan. Perlu kita bantuin?"
"Oh gak perlu Mas. Aku kesana. Barangnya gak banyak kok."
"Oke. Cepat ya."

Ikhsan menyerahkan dua kotak biola kepadaku. Sedangkan tas travel masih digenggamnya.

"Ayo buruan.." seru Ikhsan sambil menyeret tas untuk turun tangga.

Aku tak bergerak. Tiba-tiba aku merasa sangat berat melangkah.

"Ayo.." seru Ikhsan.

Aku masih tak bergerak.

Ikhsan pun melangkah tak sabar ke arahku dan berdiri tepat didepanku. Ia menatapku. Bola matanya bergerak seakan membaca raut wajahku.

Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi tak bisa. Bibirku hanya bergetar tapi tak bersuara.

Dan dengan sisa kekuatan yang ku miliki, secepat kilat aku meraih pundak Ikhsan dan menariknya ke arahku. Sebelum akal sehat menguasai diriku, dengan cepat aku berjinjit dan mendaratkan bibirku di bibirnya.

Aku sudah gila! Tapi aku tak peduli.

Dengan berlahan, ku lumat bibir Iksan yang lembut. Sesaat dia terdiam. Dia tak merespon. Dan itu membuatku berhenti.

Tapi sesaat kemudian, Ikhsan menarik tubuhku dan kali ini, dia yang mendaratkan bibirnya ke bibirku. Dia gerakkan bibirnya dengan lembut dan tanpa bisa ku kontrol, bibirku pun mengikuti iramanya. Kelembutan bibirnya, kehangatan nafasnya dan aroma tubuhnya yang telah kukenal, menyatu seperti sebuah musik. Menerbangkankanku hingga ke awan.

Ku dekap erat tubuh Ikhsan yang tinggi tegap. Aku ingin merasakan seluruh tubuhnya melebur pada tubuhku. Dan kurasakan kehangatan merayap menembus tenunan benang-benang yang membungkus tubuhku. Dan aku bahagia.

Entah berapa lama aku menciumnya.

Aku kini berdiri menatapnya dengan senyum yang berbeda. Kemudian akupun mengambil kembali Biola yang tergelatak di lantai dan mengikuti Ikhsan yang turun sambil membawa tas.

Ikhsan menggenggam tanganku dan menariknya buru-buru keluar pagar kosan. Aku ingin terus menggenggam tangannya sambil menyusuri gang namun akal sehat telah kembali bertahta di kepalaku. Aku pun menarik tanganku sambil melemparkan senyum ke arah Iksan. Dia membalasnya dengan sebuah senyum. Tapi kali ini, bukan senyum tengil. Kali ini, dia memiliki sebuah senyum baru untuk ku.

Berbeda dengan kosan yang sangat sepi, gang sangat ramai. Beberapa orang tua nampak duduk-duduk santai sedangkan anak-anak berlarian. Aku melintasinya dengan sesekali menyapa hingga akhirnya kulihat sebuah mobil besar berwarna hitam parkir tak jauh dari pintu gang.

"Haris!" kepala Cika muncul dari dalam mobil. "Lama amat! Ayo buruan."

Aku pun mempercepat langkahku.

Mas Adit keluar dari dalam mobil, begitu juga sopir yang tak ku kenal. Mungkin dia sopir baru pikirku. Dia membuka pintu belakang dan meminta barang bawaanku dan meletakkannya di mobil.

"Udah siap semuanya?" tanya Mas Adit.

Aku menggangguk.

Mas Adit menoleh ke arah Ikhsan dan baru ku sadari, mereka belum saling kenal.

"Oya Mas, kenalin ini Ikhsan."
"Oh, saya Adit." mas adit menjulurkan tangannya dan menyalami Ikhsan dengan ramah.

"Aku Cika" tiba-tiba Cika muncul.
"Ikhsan.." jawab Ikhsan.

"Oke, ayo kita berangkat." seru Mas Adit sambil masuk ke dalam mobil dikursi depan.

Cika menyusul masuk. Aku terdiam sesaat menatap Ikhsan. Kulihat dia tersenyum dan mengangguk. Dan akupun masuk ke dalam mobil.

"Woi Ceking!" panggilan itu dulu selalu membuatku jengkel, tapi kali ini, panggilan itu terdengar berbeda. Aku menyukainya. "Jangan lupa kasih kabar.."

Bibirku tak bisa kugerakkan. Akupun hanya mengangguk.

Dan berlahan, mobil yang kutumpangi bergerak. Aku masih menatap Ikhsan dari jendela pintu mobil. Ingin rasanya aku melambaikan tangan, tapi akal sehatku kini yang berkuasa. Aku menahannya.

Saat mobil menjauh, aku hanya bisa menoleh ke belakang dan menatap bayangan Ikhsan yang makin mengecil dan mengecil.

Tiba-tiba dadaku terasa sesak. Tiba-tiba aku merasa kehilangan. Dan tiba-tiba aku merindukannya.

"Cakep juga temanmu.." suara itu terdengar pelan.
"Iya.." kataku lirih.

Barulah beberapa detik kemudian aku tersadar. Kulihat Cika menatapku dengan senyum usil. Aku jadi membisu. Aku jadi malu.

"Ikhsan itu yang dulu kamu lihat ngerusak biolamu kan?" Cika masih tersenyum usil.
"Iya.." kataku lirih.

Aku mencoba mengalihkan perhatianku ke jalanan. Tapi rupanya Cika belum puas dengan keusilannya. Tiba-tiba dia mendekatiku dan kepalaku menjulur ke arah telingaku.

"Kalian pasangan yang serasi.."

Suara itu terdengar sangat pelan, namun tak urung membuatku terkejut. Aku ingin bertanya, "Bagaimana kamu tahu?" tapi itu tak bisa kulakukan. Aku hanya menatap Cika dengan keheranan dan takut.

Yang kutatap hanya tersenyum lebar. Sebuah senyum kemenangan. Entah menang atas apa.


--------------+++++++++++++++++++++++++++------------------------------


Jam yang melingkar di tangan Cika menunjukkan pukul 8.00 malam hari. Dan aku sedikit gugup.

Ini adalah pertama kalinya aku duduk didalam kabin pesawat terbang. Ini juga adalah pertama kalinya aku memasuki bandara.

Aku baru tahu kalo bandara itu sangat luas. Ku pikir, paling seluas dua kali terminal bus tapi ternyata, sangat luas. Aku juga baru tahu kalo ternyata, bandara itu begitu megah. Memiliki jalan bertingkat dan ada begitu banyak restoran berjejer.

Cika cuma tersenyum dan membiarkanku menikmati kekagumanku pada tempat yang baru ku injak selama hidupku. Meski malam hari, namun bandara sangat ramai. Mereka nampak sibuk mendorong tumpukan tas menggunakan kereta dorong.

Namun ada sesuatu yang membuatku terpaku. Aku melihat sosok yang sangat ku kenal. Dia nampak melangkah terburu-buru dan pandangannnya menyapu semua sudut mencari sesuatu. Saat pandangannya mengarah ke arahku, sosok itu terdiam.

"Niko..." kataku lirih pada diri sendiri.

Sesaat, aku senang melihatnya namun sesaat kemudian, aku menjadi sangat marah. Aku pun buru-buru melangkah mengikuti Cika yang masuk ke dalam bandara.

Sekilas, kulihat Niko mengejar ke arahku dan berhenti di depan petugas.

Aku memasukkan bawaanku ke dalam x-ray. Aku hanya mengikuti semua yang dilakukan Cika. Saat aku sudah berada didalam, tiba-tiba aku terdiam. Aku menoleh sesaat ke arah pintu masuk. Kulihat Niko masih disana. Dia nampak sedih.

"Ayo.. Malah bengong.." Cika menghampiriku dan menarik tanganku.

Aku menurut dan mengikutinya menuju antrian. Aku dan Cika menunggu Mas Adit mengurus sesuatu di meja petugas. Tas-tasku diletakkan ke atas conveyor dan tak lama Mas Adit menyerahkan sebuah kertas untuk diisi. Cika menyambar milikku, mengisinya dan menyuruhku menanda tangani. Aku menurut saja.

Setelah itu, aku harus melewati petugas imigrasi. Entah apa yang dilakukan petugas imigrasi, tapi saat aku mendapatkan kembali pasporku, ada stempel disana.

Kemudian Cika menyeretku menyusuri lorong menuju ruangan yang sepertinya adalah ruang tunggu. Dan tak lama, aku sudah berada dalam pesawat.

Aku duduk di deretan paling depan dekat jendela di sebelah Cika. Tempat duduknya sangat lebar. Sepertinya, ini adalah kelas bisnis karena saat kulihat lebih ke dalam, kursi disana jauh lebih sempit. Melihatku yang keheranan, Cika cuma tersenyum usil.

KRIIING!

Tiba-tiba semua mata mengarah ke arahku. Dengan gugup aku pun langsung memburu Handphone ku yang meraung dan membuatnya terdiam. Rupanya SMS.

Sebuah SMS yang membuatku terdiam lemas.

"I am sorry Sir, it is not allowed to use celular phone in this flight."

Seorang pramugari tiba-tiba menghampiriku. Aku buru-buru minta maaf dan mematikan Handphoneku. Namun tulisan di layar Handphone masih nampak jelas di kepalaku. Tulisan yang tiba-tiba membuatku ingin menangis.

Haris, aku mau minta maaf. Sebenarnya yang matahin Biola itu adalah aku. Aku yang memberitahu Niko. Jangan marah sama Niko. Aku juga gak mau lihat Niko sedih seperti sekarang.
- Lili -


Kusandarkan kepalaku di jendela. Pandanganku menerobos jauh kegelapan malam bandara. Ingin rasanya aku menembus dinding pesawat ini dan berlari menuju Niko. Aku ingin memeluknya dan meminta maaf padanya.

Sekali lagi, aku telah melakukan kesalahan. Aku benar-benar bodoh!

Berlahan pesawat bergerak. Ada pengumuman terdengar, tapi aku tak menghiraukannya. Aku tak lagi bisa mendengar apa-apa. Otakku tak bisa bekerja. Terasa buntu. Buntu oleh sebuah penyesalan.

Buntu oleh rasa bingung. Entah mana yang ingin aku pilih rasakan, tapi aku merasakan semuanya.

"Kamu kenapa Ris?" kulihat Cika menatapku khawatir.
"Hah?" aku langsung buru-buru menghilangkan bekas air mata." Aku gak apa-apa.."

Aku berbohong. Aku sadar, Cika pasti tahu aku sedang berbohong. Tiba-tiba dia meletakkan tangannya di atas tanganku. Dia tak mengatakan apa-apa, tapi senyumnya cukup membuatku sedikit tenang.

Yah, aku sedikit tenang meski ada begitu banyak rasa yang berkecamuk di dadaku.

Marah, penyesalan dan cinta..


----------- TAMAT ---------------------

4 comments:

taeils said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

Melo abis. Gw suka, keren pool. Makasih bwt pengarang'y, smoga sukses

Anonymous said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

hiks hiks hiks.. :'(
Sedih sekali endingnya. Kamar dan bantalku banjir semua nih dengan air mata. Kasian sama Niko.. Kenapa sih gak sama Niko aja..
:'(
Tapi ceritanya membahana badai..
Top deh buat penulisnya.

Anonymous said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

Mantaabb deh writernya!

gReeN CasTLe said... Best Blogger Tips[Reply to comment]Best Blogger Templates

Mana lanjutannya?
Harus happy ending donk, plisss

Post a Comment