DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Inikah Cinta? - just a Love Story Episode 8

Episode 8 : Musik


Memang serba salah.

Jika satu kelompok dengan Niko, maka bisa dipastikan kelompok tersebut akan dipilih mewakili kelas dalam pentas seni dan aku tidak suka itu. Tapi dengan anggota kelompok yang kumiliki sekarang, kemungkinan besar nilai Seni Budaya ku akan jelek!

Apa boleh buat, kelompok sudah dibagi dan akupun mau tak mau harus satu kelompok dengan orang-orang yang tak satupun berbakat seni, termasuk aku tentu saja! Dan konyolnya, teman-teman menunjukku menjadi ketua kelompok. Ah, ingin rasanya aku menemui Pak Firman dan mengibarkan bendera putih. Namun, jikapun itu kulakukan, aku sudah tahu pasti jawaban dari Pak Firman. "Ini bukan masalah bisa atau tidak bisa. Bukan masalah bakat atau tak berbakat. Ini masalah ekspresi. Ekspresikan saja apa yang ada dalam dirimu. Jadilah diri kalian sendiri. Ayolah, kalian pasti bisa."

Aku pusing bukannya tanpa alasan. Tidak satupun anggota kelompok yang memiliki suara enak didengar. Tidak ada juga yang bisa bermain alat musik. Dan tidak satupun dari kami yang memiliki ekspresi meyakinkan. Bahkan tidak satupun yang pernah berani tampil didepan umum. Lalu, apa yang harus ditampilkan dengan modal itu?

"Ngapain kamu bengong disini!"

Aku hampir melompat mendengar lengkingan suara itu. Kulihat Lili berdiri tak jauh dari tempatku duduk dengan wajah penuh curiga. Entah apa salahku, tapi Lili tak pernah sekalipun menampilkan wajah bersahabat padaku. Selalu, pandangan seolah aku adalah pencuri.

"Gak ngapa-ngapain." jawabku sekenanya.
"Bingung ya mau nampilin apa?" kata-kata itu keluar dari bibir Lili dengan nada sinis.

Aku tak menjawabnya. Aku cuma diam.

"Percuma juga kamu disini. Lagian kan kelompokmu gak ada yang bisa make alat-alat ini." katanya lagi sambil jemarinya menunjuk pada alat-alat musik yang bertebaran. Ya, aku sudah hampir dua jam duduk termenung di ruangan ini, ruang musik sekolah. Entah apa yang ku lakukan. Mungkin saja dengan duduk lama disini, tiba-tiba aku menjadi jenius dan bisa memainkan alat musik. Konyol. Mau tak mau, aku harus mengakui perkataan Lili.

"Mending kamu main wayang aja. Kali aja kalian malah jago main gamelan." kata Lili lagi. Kali ini dengan nada mencibir. Dia melirikku. Aku yakin, dia berharap mukaku merah dan marah.
Sebaliknya, aku sama sekali tak merasa tersinggung. Mau gimana lagi? Semua yang dikatakannya memang benar.

"Mungkin kami malah jago main gamelan." ku ulangi kata-kata Lili dalam hati. "Mungkin juga." kataku dalam hati lagi.

"Ah iya!" sorakku tiba-tiba. Entah bagaimana, tapi tiba-tiba ide itu melintas di kepalaku.
"Kamu kenapa?" tanya Lili keheranan.
"Makasih Lili. Idemu hebat!" jawabku sambil kulempar senyum terbaikku.
"Kamu mau main gamelan?" tanya Lili keheranan.

Aku cuma melempar senyum dan buru-buru menuju pintu.

"Ris!" tiba-tiba Lili memanggil dan menarik tanganku. Aku berhenti dan melihat ke tanganku yang ditariknya. Lili langsung melepas tanganku dengan cepat.

Kali ini wajah Lili sedikit berbeda dari biasanya. Bukan wajah sinis lagi.
"Ada apa?" tanyaku.

Lili nampak ragu untuk bicara. Bibirnya cuma bergerak-gerak tapi tak mengeluarkan kata-kata. Aku mencoba sabar. Bahkan aku menarik salah satu kursi dan duduk menunggunya bicara.

Lili adalah salah satu cewek dari beberapa cewek tercantik disekolah yang bisa dihitung dengan jari. Rambutnya hitam panjang dan dibiarkan bergerai seakan ingin pamer lurus dan indahnya rambut miliknya. Kulitnya putih bersih. Matanya bening dan hidungnya mungil namun nampak serasi dengan wajahnya yang imut. Tentu saja banyak cowok memujanya. Tapi buat orang-orang seperti aku, mending tahu diri dan tak perlu berharap terlalu banyak. Dia mau mengajak bicara, seperti saat ini, adalah sebuah berkah.

"Apa sih yang disukai Niko?" akhirnya kata-kata itu keluar juga dari bibir mungilnya.

Sebenarnya aku sudah bisa menduga apa yang ingin ditanyakan Lili tapi tetap saja aku kesulitan menjawabnya.

"Hmm, maksudnya?" tanyaku bingung.
Sekali lagi Lili ragu untuk berkata. Namun akhirnya kata-kata itu keluar juga.
"Apa yang bisa membuat Niko suka sama seseorang?"

Wajahnya kini sedikit memerah. Aku tahu dia sebenarnya tak ingin mengatakannya. Tapi harus ku akui keberaniannya.

"Kenapa nanya ke aku?" aku makin bingung menjawabnya.
"Kamu kan teman sebangkunya."
Aku mengernyitkan kening tak mengerti. Lili jadi makin gusar.
"Kamu kan teman dekatnya. Yang paling sering bareng dia juga kamu. Malah, dikit-dikit dia nyariin kamu."
"Hah? Masa sih?" aku malah makin bingung lagi. Perasaan, tak sampai seperti itu, pikirku.

Lili makin sewot mendengar jawabanku yang tak jelas. Dan sepertinya sudah hampir emosi. Aku pun buru-buru mencari jawaban sekenanya.

"Ee, Niko itu.. Ee, suka sama orang yang baik." kataku sekenanya.

Tiba-tiba wajah Lili makin merah. Kali ini merah karena marah. Sepertinya, ada yang salah dengan jawabanku.

"Eh, maksudku, Niko itu suka ama orang yang ramah ama orang lain. Gak cuma ramah ama dia doang." aku buru-buru meralatnya.

Lili memang tak makin marah, tapi emosinya tidak turun.

"Niko itu orang yang jiwa sosialnya tinggi banget, Jadi wajarkan kalo dia nyari orang yang punya jiwa sosial juga, iya kan?" kini ada nada ragu dari kata-kataku. Aku tak yakin ini adalah jawaban yang benar.

Mata Lili nampak berputar-putar dan keningnya berkerut. Dia mencoba mencerna perkataanku.

"Benar juga." kata Lili akhirnya dengan senyuman. Ah, ini adalah pertama kalinya dia tersenyum padaku. "Oke, makasih ya Ris."

Dengan lincah, Lili langsung menuju pintu dan menghilang.

"Haaah." aku menghela nafas lega

-----------------

Total, kami hanya berlatih 4 kali. Itupun hanya sekali yang menggunakan alat sesungguhnya. Sisanya, kami hanya menggunakan imajinasi.

Tentu saja kami gelisah. Beberapa kelompok sudah tampil. Ada yang manampilkan paduan suara yang sangat merdu, ada yang menampilkan tarian modern, ada juga yang menampilkan harmoni beberapa alat musik. Yang terakhir, ditampilkan oleh kelompok Niko. Mereka semua dangat piawai bermain alat musik ditambah Lili yang menyanyikan lagu dengan merdu "Dealova". Kulihat Niko begitu menghayati memainkan gitarnya. Sangat indah. Berkali-kali dia menatapku. Bagiku, tatapan itu seperti pukulan keras yang akan menimpaku saat kelompokku nanti tampil. Tapi aku cuma tersenyum dan dia pun tersenyum yang makin membuatku minder.

Untung saja aku tidak satu kelompok dengan mereka. Kalo sekelompok, aku harus mengambil peran apa? Jadi latar belakang? Atau jadi penyangga mic?

"Kelompok selanjutnya, Haris dan kawan-kawan." panggil Pak Firman.

Tak ada yang bertepuk tangan seperti saat kelompok-kelompok sebelumnya hendak tampil. Sesaat, kulihat Niko. Dia tersenyum, seolah memberi semangat. Aku membalas senyumnya dengan keraguan.

Kami maju kedepan dengan membawa sesuatu yang sengaja kami bungkus kain putih. Sejujurnya, ini kulakukan untuk menghindari cemoohan sebelum tampil. Jika memang akan ada ejekan, biarlah sekali saja dan itu setelah tampil. Tidak sebelumnya.

Tapi ternyata, saat kami membuat selubung kain yang menutupi alat musik masing-masing anggota, memberian suasana tersendiri. Seolah itu adalah bagian dari pertunjukkan. Tiba-tiba kelas yang sebelumnya sedikit riuh tak menghiraukan kami, menjadi senyap. Dan semua mata tertuju pada kami. Sejujurnya, ini malah membuatku makin gerogi.

Masing-masing orang ada yang membawa 2 bahkan 3 alat musik kecuali aku. Aku berdiri didepan sebagai pengarah musik.

Ku ayunkan tanganku seolah berhitung satu, dua dan tiga. Dan salah satu alat musik berbunyi merdu yang kemudian disambung oleh alat musik yang lain, disambung lagi oleh yang lain dan begitu seterusnya mengikuti tempo gerakan tanganku. Alat-alat musik itu saling bersahut memainkan nada-nada yang terangkai indah menyanyikan lagu "Rayuan Pulau Kelapa".

Ya, kelompokku sedang memainkan angklung. Alat musik yang pernah kulihat tertumpuk tak terurus di gudang sekolah.

Itu adalah satu-satunya pilihan untuk kelompok yang tak berbakat milikku. Tak perlu banyak latihan untuk memainkannya. Hanya sebuah hafalan ringan yang bisa dilakukan oleh siapa saja.

Dan musik pun berhenti saat tanganku berhenti mengayun.

Plok! plok! Kudengar dua tepuk tangan yang kupastikan berasal dari Niko dan Pak Firman. Tak lama, seluruh kelas pun ikut bertepuk tangan dengan sangat meriah. Tentu saja aku tak menyangka mendapat sambutan seperti ini. Ini jauh diluar perkiraanku.

--> bersambung


0 comments:

Post a Comment