DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Inikah Cinta? - just a Love Story Episode 7

Episode 7 : Profesi



Di depanku seorang bapak muda tengkurap beralaskan karpet yang lumayan tebal dan hanya mengenakan celana pendek. Umurnya mungkin 35 tahun. Sejujurnya, aku agak gerogi, karena ini adalah pertama kali aku akan melakukannya. Tentu saja aku sudah sering melakukannya di rumah, tapi itu layanan gratis tapi sekarang, dia adalah pelanggan yang akan membayar layanan ku.

Sebenarnya, aku sudah menyiapkan handuk di tas, tapi pelangganku menyediakan handuk sendiri. Mungkin dia tidak percaya dengan higenitas handuk yang ku bawa, tapi gak masalah. Malah itu lebih menguntungkanku. Aku juga sudah mengeluarkan lotion. Jadi persiapan sudah selesai.

Ku raih kakinya yang lumayan besar. Lebih besar dari kakiku dan lumayan keras. Kuurut pelan punggung telapak kakinya kuat namun lembut. Aku sedikit mengeluarkan tenaga extra, karena ternyata, kulitnya lumayan tebal. Selanjutnya ku tekan kuat telapak kaki pada titik-titik tertentu.

"Kamu masih sekolah?" tiba-tiba pelanggan yang ku pijat memecah kesunyian.
"Masih Pak." jawabku singkat.
"Kelas berapa?"
"Kelas 2 SMA Pak."
"Oh.. Tapi pijitanmu udah enak gini? Emang udah sering mijit?"
"Enggak juga Pak. Ini cuma gantiin Bapak aja. Tapi kalo dirumah, paling mijit Bapak atau tetangga sebelah aja."

"Auh!" seru pelangganku saat ku pijat di sela jari.
"Maaf Pak."
"Gak apa-apa. Kan emang sakit gini kan?"
"Iya Pak, dibeberapa titik emang agak sakit."

Kulanjutkan pijatanku ke arah betis. Kuurut kuat namun lembut.

"Emang Bapak sakit apa?"
"Gak tahu Pak, mungkin masuk angin. Tadi bilangnya pusing-pusing dan badan lemas."
"Udah ke dokter?"
"Ee, belum Pak."
"Buruan dibawa ke dokter."
"Iya Pak."

Setelah kedua kaki selesai, kemudian bagian punggung. Mulai dari pinggang hingga bahu. Bagian ini cukup menguras keringat. Selanjutnya, kuminta pelangganku untuk terlentang supaya untuk ku urut bagian tangan. Bagian ini adalah bagian yang paling ringan.

"Kepalanya mau dipijat Pak?"
"Boleh."

Memijat kepala, kulakukan dari belakang. Mulai dari kening hingga ke leher dan pundak. Dan akhirnya selesai.

"Ah, seger nih. Pijatan mu udah bagus."
"Makasih Pak."

"Ini di minum dulu tehnya." seorang wanita yang masih cukup muda membawa dua gelas teh. Dibelakangnya terus membututi seorang bocah berumur sekitar 5 tahun.
"Oh iya Bu." kataku sambil membersihkan tangan dengan antiseptik.

Pelanggan yang baru ku pijat mengajakku duduk di kursi untuk minum teh. Aku menurut saja.

"Ini Dik, silahkan." wanita tadi muncul lagi sambil membawa uang.
"Ini kelebihan Bu." kataku.
"Gak apa-apa. Sisanya bisa buat berobat Bapakmu."
"Makasih banyak Bu. Makasih"

Tak lama, aku pun pamit untuk pulang.

Mungkin orang pikir ini cuma memijat dan mengurut, dan bukan pekerjaan yang berat. Tapi seadainya orang tahu rasanya, seluruh jari dan lengan menjadi pegal-pegal seperti beku. Apalagi, bekas-bekas luka akibat tendangan Ikhsan masih sedikit terasa sakit. Rasanya pengen diurut!

Aku langsung berfikir, alangkah capenya Bapak. Setelah seharian berjualan dibawah terik matahari, malamnya harus mengeluarkan energi sebesar ini. Tiba-tiba semua ingatan itu muncul lagi. Bagaimana aku merasa malu dengan pekerjaan Bapakku. Dan itu membuatku hatiku teriris-iris.

Wajahnya yang penuh kerutan dan kulitnya yang legam namun terus tersenyum kepadaku, tiba-tiba muncul dibenakku. Tanpa sadar aku menitikkan air mata.

Yang makin membuatku ingin menangis, meski dalam kondisi yang sakit pun, Bapak tetap melarangku untuk mengantikannya. Dia masih saja ingin memaksakan diri. Saat itu, tiba-tiba wajah Imron yang dengan suka cita membantu Emaknya seperti menatapku dan itu melecutku untuk memaksakan diri menggantikan Bapak.

Aku menangis.

Tapi tangisanku cepat terhenti karena mataku seperti melihat fatamorgana. Berkali-kali kuusap mataku untuk memastikan yang kulihat adalah benar.

"Ikhsan?" bisikku pada diri sendiri.

Kulihat Ikhsan ada didepan gang tempat rumahku berada. Berkali-kali dia melihat ke dalam gang seolah bingung memutuskan untuk masuk atau tidak. Aku berjalan pelan mendekat. "Mana mungkin Ikhsan bisa ada disini?" kataku dalam hati.

Tapi motornya persis dengan motornya. Begitu juga perawakannya.

Saat aku makin dekat, tiba-tiba dia melihatku. Dibawah penerangan lampu jalan, kulihat dia bingung menentukan ekspresi diwajahnya. Begitu juga aku. Tentu saja aku masih merasa marah dan kini ditambah dengan keheranan.

Kurang lebih, cuma dua meter jarakku kini, sehingga wajahnya makin nampak jelas. Dia masih diam, aku juga. Dia ingin mengatakan sesuatu tapi tertahan dibibirnya, aku sama sekali tak ingin berkata apapun.

Lama-lama, aku yang tak tahan dengan adegan aneh ini. Cuma diam saling melotot, setidaknya itu yang kulakukan.

"Ngapain?" kataku sesingkat mungkin dan penuh emosi.
"Ee, enggak. Aku cuma mau kerumah teman." jawabnya. Aku tahu itu bohong. Mana mungkin temannya tinggal satu gang denganku.

Aku gak mau berlama-lama. Aku berbalik menuju gang.

"Ris!" tiba-tiba Ikhsan memanggilku.
Aku berbalik menatapnya. Tapi dia diam lagi. Mulutnya seperti sedang komat-kamit. Seolah-olah ada serangga dimulutnya yang meronta untuk keluar.
"Ee, Kalo gang kenanga dimana?" akhirnya keluar kata-kata yang kutahu cuma asal-asalan. Tentu saja, gak ada sama sekali gang disepanjang jalan ini yang bernama kenanga.
"Gak tau!" jawabku cuek sambil ngeloyor pergi.

Entah apa yang dia lakukan sekarang. Aku bahkan tak tahu apa yang akan dia lakukan tadi. Aku sama sekali tak peduli.
Luka dilenganku dan bekas tentangan didada belum juga hilang. Begitu pula rasa marah.

--> bersambung


0 comments:

Post a Comment