DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Inikah Cinta? - just a Love Story Episode 6

Episode 6 : Musuh Bebuyutan




"Hariis!"

Aku mendengar seseorang memanggilku, tapi anehnya aku tak menemukan asal suaranya. Baru beberapa detik kemudian pemilik suara muncul di pintu kelas sambil terengah-engah.

"Ris! Tolong Ris."

Suara itu membahana ke seluruh ruangan hingga ruangan tiba-tiba menjadi senyap karena semua mata kini tertuju ke arah pintu. Imron, pemilik suara langsung melempar senyum khasnya seolah minta maaf sambil memburu ke arah ku. Tak berapa lama, ruangan kembali riuh dengan aktifitas yang sempat tertunda.

"Ada apa Im?"
"Ayo buruan Ris. Ada butuh pertolongan mu!" Imron langsung menarik tanganku tak peduli aku sedang menulis.
"Iya, tapi ada apa?" tenaga Imron lumayan kuat sehingga aku seperti ditarik kerbau dari kursiku.
"Pokoknya ikut aku dulu. Ayo!"

Imron mengajakku berlari menuju lapangan. Beberapa kali dia jauh didepanku tapi kemudian berhenti berbalik ke arahku lagi sambil menarik tanganku. Seolah-olah lariku seperti keong. Mau gimana lagi, aku bukan pelari dan aku tak suka lari. Aku bisa jalan seberapapun jauhnya, tapi jika harus lari, maka aku akan berada di urutan paling belakang. Kecuali jika ada anjing di urutan paling belakang, mungkin itu bisa memotivasiku berlari lebih kencang.

Tepat ditengah lapangan, ada banyak orang berkumpul. Dan saat kutahu siapa yang ada ditengah-tengah mereka, aku langsung berhenti. Aku mencoba mengatur nafasku yang tersengal-sengal.

"Ris! Ayo buruan." teriak Imron.

Aku cuma diam tak menjawab. Mataku tertuju ke arah orang yang duduk ditengah-tengah lapangan dengan ekspresi jengkel dan tak peduli.

"Iya, aku ngerti. Tapi ini darurat Ris." Imron seolah membaca pikiranku. Aku masih tak bergeming.
"Ris. Besok ada tanding bola sama SMA sebelah, kita bisa kalah kalo gak ada dia." kini wajah Imron seperti memohon. Kini aku menatap Imron seolah bertanya "Kok kamu mudah banget memaafkan orang?"

Kutatap begitu, Imron cuma tersenyum dengan senyum khasnya. Aku jadi makin malu jika melihat Imron. Dia memang berjiwa besar.
Aku menghela nafas panjang dan menghampiri orang yang terduduk dilapangan. Dia nampak meringis menahas sakit.

Tentu saja aku mengenalnya, bahkan semua orang di sekolah pasti mengenalnya. Dia adalah Ikhsan, salah satu predator di sekolah.

Dia adalah salah satu predator asli, yaitu predator yang memenuhi semua kriteria menjadi predator. Badannya lumayan tinggi, setidaknya lebih tinggi 10 cm dari tinggiku. Badannya juga tak kurus sepertiku, tapi juga tak gemuk seperti Fahri. Tampangnya adalah pujaan para wanita populer dengan rambut yang lurus sedikit panjang. Jago main sepakbola dan terakhir, kesekolah dengan Motor Tiger terbaru. Kriteria itu lebih dari cukup untuk menjadi predator asli.

Tapi sekarang, kulihat semua itu tak ada artinya. Siapapun dia, jika sudah kesakitan, gak ada bedanya. Kelihatan lemah.

Semua predator ada di sekelilingnya dengan wajah panik.

"Ris, kata Imron kamu bisa ngurut?" Yosep menatapku. Itu jelas membuatku gak nyaman sama sekali.
Aku cuma diam dan jongkok didepan Ikhsan.
"Yang main bola kaki, kenapa yang terkilir tangan?" celetukku tiba-tiba tanpa aku sadar kenapa aku melakukannya.
Mendengar itu, semua mata predator langsung menatapku marah. Ups, kataku dalam hati.

Aku langsung melakukan metode yang sama seperti yang kulakukan pada Imron. Aneh juga, pikirku. Lokasi dan jenis terkilirnya bisa sama persis dengan yang dialami Imron. Mungkin ini yang disebut Karma.

"Tahan ya. Ini bakal sakit, tapi cuma sebentar." kataku.

Aku melakukan gerakan cepat persis yang kulakukan pada Imron.

"Aoooooo!" Ikhsan melolong keras sekali. Jauh lebih keras dari Imron. Rupanya badannya yang besar tak lebih kuat dari Imron untuk menahan sakit.

"Bukkk!" aku tak tahu bagaimana mulainya, tapi tiba-tiba ada sesuatu yang menghantam dadaku hingga membuatku terpelanting jauh. Rasanya sakit sekali. Sesaat aku seperti tak bisa bernafas. Belum juga aku sempat berfikir apa yang terjadi, Yosep dan kawan-kawannya langsung menyerbu ke arahku. Dia mengangkat kerahku dan menyiapkan sebuah bogem mentah untukku.

"Woi!"

Suara itu seperti tombol pause yang menghentikan gerakan Yosep.

Aku kenal suara itu, tapi aku tak mampu menoleh untuk memastikannya. Seluruh tubuhku seperti remuk. Yosep diam sesaat dan langsung menjatuhkan ku ke tanah dan pergi menuju Iksan yang masih meringis.

Beberapa detik kemudian, berulah aku bisa memastikan pemilik suara itu. Seperti biasa, si Dewa Penolongku, Niko. Dia membantuku berdiri sedangkan Imron nampak terdiam didepanku dengan perasaan bersalah. Aku tak ingin membuatnya merasa bersalah. Aku lemparkan senyum terbaikku.

"Aku gak apa-apa." kataku lirih pada Imron. Berbohong tentu saja, karena yang kurasakan, seperti habis ditabrak truk tronton.

---------------------

Niko mengobrak abrik isi lemari sambil ngedumel. Sesekali dia mengumpat betapa buruknya ruang UKS di sekolah. Tapi tak lama, dia membawa obat luka dan kompres alkohol.

Dia membantuku membuka baju yang kini sudah belepotan dengan tanah. Aku cuma menurut.

"Auh!" jeritku saat Niko menempelkan kapas dengan alkohol pada lenganku. Aku baru tahu kalo ada beberapa luka lecet di lenganku dan punggung. Sedari tadi, fokusku adalah sakit di dada.

Niko tak banyak bicara. Dia serius banget membersihkan luka dibadanku dan mengolesinya dengan obat luka. Wajahnya pucat. Aneh, yang luka aku, kenapa dia yang pucat pasi begitu.

Tak lama, Imron memburu ke ruangan sambil membawa bungkusan plastik. Nafasnya terengah-engah, dan wajahnya masih menampakkan rasa bersalah. Niko mengambilnya dan menempelkannya ke dadaku. Aku langsung mengambil alih dengan tangan kiriku.

"Maaf ya Ris. Semua gara-gara aku." kata Imron tiba-tiba.
Aku mencoba tersenyum, "Udah gak usah dipikirin. Lagian kan, maksud mu baik."
"Aku keluar dulu yah, dipanggil Pak Nurdin masalah tadi."
Aku mengangguk dan Imron pun pergi.

"Makasih ya Nik." kataku. Aku bahkan sampai lupa bilang terima kasih pada Niko. Mungkin karena aku sudah terbiasa ditolong Niko, sehingga seolah-olah, jika Niko menolongku adalah hal yang lumrah.

Niko tak menjawab. Dia cuma menatapku dengan tatapan khawatir.

"Ngapain kalian disini!" tiba-tiba ada suara melengking tinggi yang mambuat kami kaget. Lili tiba-tiba muncul entah dari mana.
Niko menoleh santai, "Menurutmu, kalau diruangan UKS biasanya ngapain?" nadanya sedikit jengkel.

"Pacaran!" jawab Lili singkat dan tegas.

Tentu saja jawaban itu membuatku dan Niko jadi kaget bercampur heran.

"Serius! " Lili menambahkan, padahal kami tak meminta penjelasan, "Biasanya anak-anak sembunyi disini kalo mau pacaran."
"Trus, kamu ngapain disini? Mau pacaran?" Niko kini balik bertanya.

Wajah Lili langsung memerah mendengarnya.
"Aku ke sini cuma mau ngasih tahu kalau kamu dipanggil Kepala Sekolah." nadanya agak sewot.

Dengan cepat aku menoleh ke arah Lili.
"Bukan kamu!" kata Lili ketus ke arahku. "Kata Pak Lukman, kamu diminta ke ruangannya." katanya pada Niko. Kini suaranya lembut seperti angin sepoi-sepoi.

Niko nampak sedikit ragu.
"Ris, nanti kamu tunggu aku yah. Pulangnya aku antar." nadanya tegas dan seperti sebuah perintah. Aku cuma mengangguk pelan.

Niko pun bergegas keluar ruangan sedangkan Lili tetap tak bergerak. Dan entah apa alasannya, tiba-tiba dia menatapku tajam dengan tatapan penuh kebencian. Seolah-olah aku adalah musuh abadinya. Aku cuma bisa meresponnya dengan ekspresi kebingungan. Dan itu tidak ku buat-buat. Aku memang bingung!

--> bersambung


0 comments:

Post a Comment