Episode 5 : Jagoan Pemberani
Satu pelajaran yang selalu membuat ruang kelas menjadi heboh adalah Seni Budaya. Bukan karena pelajaran Seni yang berarti kebebasan berekspresi, tapi memang guru Seni Budaya, Pak Firman, adalah guru yang paling menyenangkan. Bahkan, buat orang seperti ku yang tak memiliki bakat seni sekalipun, tetap saja selalu terhibur dengan cara mengajar Pak Firman.
Seperti saat ini, tiba-tiba kelas menjadi riuh.
Semua berawal saat Pak Firman ingin mengadakan pentas seni di sekolah. Masing-masing kelas, harus mengirimkan satu kelompok yang harus menampilkan kreasi seni. Di setiap kelas, Pak Firman akan memilih dari beberapa grup yang layak mewakili kelasnya. Dan seperti biasa, Pak Firman membebaskan semua murid untuk menentukan kelompoknya sendiri-sendiri dengan maksimum jumlah anggota 8 orang.
Bahkan Pak Firman belum bilang mulai, murid-murid sudah mulai berhamburan membuat kelompok. Aku bukannya tak suka, hanya saja, aku lebih senang jika aku tak masuk dalam kelompok yang terpilih. Tapi masalahnya, pentas seni ini akan menentukan nilai pelajaran Seni Budaya.
"Ris! Sini!" Niko yang sudah ada di salah satu sudut memanggilku. Di sekelilingnya sudah berkumpul beberapa murid, kurang 1 orang lagi di kelompoknya.
Tentu saja, semua pasti berebut menjadi satu kelompok dengan Niko, murid multi talenta. Tapi menurutku, itu bukan ide yang bagus, karena kemungkinan besar kelompoknya akan terpilih dan aku tak ingin ikut terpilih. Aku benci panggung!
"Ris! Buruan sini!" Niko memanggilku lagi dengan tak sabar. Sekali lagi, aku tak bisa menolaknya dan akupun menyeret tubuhku menuju Niko.
"Kita udah delapan orang!" seru seseorang tiba-tiba. Ternyata Lili. Wajah Lili dipenuhi senyum kemenangan karena berhasil berada satu kelompok dengan Niko mendahuluiku.
"Oh.." sahutku sambil mataku menghitung jumlah anggota. Kulihat Niko juga menghitung jumlah orang yang mengerubutinya dan menatapku penuh kekecewaan.
"Ya udah, gak apa apa Ris. Sembilan orang juga gak apa apa." kata Niko.
"Gak bisa donk! Pak Firman kan bilang maksimal 8 orang." sambar Lili.
"Gak apa apa lah Nik, aku sama kelompok lain aja."
Kulihat wajah Niko nampak cemberut. Berbanding terbalik dengan wajah Lili yang sumringah.
"Haris, kamu kelompok mana?" tiba-tiba Pak Firman memanggilku.
Aku langsung mencari-cari kelompok yang masih kurang.
"Nah, itu kamu bareng Nugroho yah. Kelompoknya kurang satu orang lagi." perintah Pak Firman.
"Iya Pak."
Aku langsung menuju salah satu sudut dimana Nugroho berdiri. Nugroho cuma tersenyum menyambutku. Dia memang orang yang sangat kalem.
Saat itu, sekilas kulihat Niko memandangi kelompokku dengan wajah penuh kekecewaan. Aku cuma bisa melempar senyum yang artinya kurang lebih, "aku nggak apa apa".
---------------
Niko masih diam sejak pelajaran Seni Budaya. Aku jadi heran, masa iya dia masih kecewa gara-gara pembagian kelompok tadi? Bahkan sampai bel pulang berbunyi, Niko tak juga bicara seperti biasanya.
"Woi, Nik. Kamu sakit?" tanya ku saat membereskan tas ku.
Niko cuma menatapku. Aku gak tahu maksud tatapannya, tapi kulihat masih ada sedikit kekecewaan di wajahnya.
"Hmm, aku duluan deh kalo gitu." kataku akhirnya sambil melempar senyum dan menuju pintu kelas.
"Ris!" tiba-tiba Niko memanggilku.
"Ya?" aku berbalik. Ku lihat Niko berlari mendekat.
"Ada pesan dari Papah." kata Niko setelah sangat dekat dan agak berbisik.
"Pesen apaan?" tanya ku heran. Ngapain Papahnya Niko pesan sesuatu sama aku? Pikirku.
"Hmm.. Papah bilang, minta tolong buat kasih tahu Bapak mu buat ke rumah malam ini." katanya agak ragu.
"Bapakku?" aku makin keheranan.
"Hmm, Papah kan langganan pijat. Biasanya 2 minggu sekali, tapi Papah pengen dipijat malam ini."
Aku cuma bengong mendengarnya. Tentu saja aku kaget. Aku bahkan yakin sekali tak ada yang tahu pekerjaan Bapak. Tapi sekarang aku baru tahu kalo Niko, teman dekatku ternyata mengenal Bapakku.
"Ris?" Niko mengguncang-guncang pundakku. "Kamu kenapa?"
"Oh, gak apa-apa." jawabku singkat.
Cuma masalah waktu semua orang akan tahu tentang diriku, kataku dalam hati.
------------------
Aku masih belum tahu harus beli makan apa. Padahal menurutku, lebih gampang bikin mie. Tapi Bapak tetap memaksaku untuk beli makanan di warung. Katanya, aku sudah keseringan makan mie.
Aku memang hampir gak pernah makan di warung. Kalo pakai hitung-hitungan matematika, pengeluaran bisa dua kali lipat jika makan di warung. Biasanya, Bapak yang masak sebelum dia pergi untuk jualan ataupun memijat. Tapi malam ini, Bapak nampak buru-buru setelah mendengar pesan dari papahnya Niko. Seperti menteri yang dipanggil presiden.
Setelah keluar gang, aku berjalan menyusuri jalanan. Baru pertama kalinya aku bingung memilih makanan apa, biasanya, aku bingung mau makan apa. Sepanjang jalan berjejer warung-warung tenda, dan itu membuatku makin bingung.
Akhirnya, aku pun memutuskan masuk ke salah satu tenda pecel lele. Sudah lama aku tak makan pecel lele.
Tenda itu masih belum ramai, cuma beberapa tamu dan mereka sudah sibuk dengan panasnya pecel lele. Aku mencari tempat duduk kosong yang menghadap gerobak.
"Haris?"
Tiba-tiba ada suara memanggilku. Saat kulihat, senyum khas itu langsung membuatku tersenyum bercampur kaget. Imron tiba-tiba muncul entah dari mana.
"Imron? Ngapain disini?" tanya ku seolah-olah wilayah ini adalah daerah kekuasaanku.
"Aku bantuin Emak jualan disini."
"Hah??" aku tak percaya dengan pendengaranku. Imron malah tersenyum lebar melihatku bengong.
"Dari dulu kali Ris. Aku malah heran kamu tiba-tiba muncul disini. Emang tinggal dimana?"
"Ee, gang Siaga, agak jauh dari sini." jawabku sempat ragu.
"Oh gitu? Ya gak jauh lah dari sini." bantah Imron
"Loh, kok malah ngobrol? Bukannya ditawarin?" kata seorang Ibu yang mirip banget dengan Imron.
"Oh iya Mak. Ini Haris, teman sekolah yang kemarin tak ceritain itu."
"Ooh.. Nak Haris? Walah, makasih banyak loh Nak Haris. Kalo bukan karena Nak Haris, gak tahu deh tangannya Imron mesti gimana."
"Iya Ris. Lihat nih, udah gak apa apa. Padahal waktu itu sakit banget. Takutnya gak bisa bantuin Emak."
"Ya begitu si Imron. Di suruh ati-ati naik sepedanya, tetep aja jatuh."
Aku tahu Imron berbohong, tapi aku cuma bengong dengan pembicaraan mereka sambil melempar senyum sebaik yang kubisa. Sejujurnya, aku sedikit merasa gak enak hati. Sebenarnya, seandainya waktu itu aku langsung melapor Pak Karjo, mungkin tangan Imron bahkan tak perlu terkilir.
"Kok malah diem? Nak Haris mau pesan apa?" tanya Emak Imron.
"Oh, e, pecel lele aja Bu."
Dengan sigap Imron langsung menuju bak tempat menyimpan lele, mengiris badannya dan meletakkannya ke penggorengan. Setelah itu dengan sigap dia mengambil tempat sambal dan mulai membuat sambal.
"Pedes atau biasa Ris?" tanya Imron sambil tetap fokus ke pekerjaannya.
"Biasa aja."
"Makan sini" tanya Emak Imron.
"Bungkus aja Bu."
Ibu dan anak itu dengan cekatan menyiapkan pesananku. Mereka sangat kompak. Yang membuatku malu adalah bagaimana Imron dengan semangat membantu Emaknya. Tanpa rasa sungkan atau malu. Rasanya seperti ditusuk belati tepat di dada ini.
Tiba-tiba aku teringat bagaimana aku lari tunggang langgang saat Fahri memanggil Bapak. Juga bagaimana malunya aku saat kutahu Niko mengenal Bapak. Dan juga bagaimana aku sebisa mungkin menutupi keadaan Bapakku dari teman-teman. Dan sekarang, ku lihat Imron dengan bangga mengenalkan Emaknya padaku.
Mungkin saat kulihat Yosep menendangnya hingga terjungkal, aku menilai betapa lemahnya Imron. Tapi kini, aku seperti melihat jagoan pemberani di depanku sedangkan aku seperti pengecut di hadapannya. Aku sangat malu.
"Ris! Kok malah ngelamun"
"Hah?" aku memang melamun. Imron tiba-tiba muncul didepanku sambil membawa bungkusan plastik.
"Ini pesanannya."
Aku langsung buru-buru merogoh kantong celana.
"Udah, gak usah bayar." Imron menahan tanganku agar tak keluar dari kantong.
"Udah Nak Haris, gak usah. Saya malah yang harus terima kasih sama Nak Haris." kata Emak Imron menimpali.
"Eee, makasih banyak Bu, Im."
Ku lempar senyum terbaik. Semoga itu cukup mewakili rasa terima kasihku. Dan sepanjang jalan, aku masih terus mencaci maki diriku yang sangat pengecut.
--> bersambung
0 comments:
Post a Comment