DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Inikah Cinta? - just a Love Story Episode 4

Episode 4 : Pembohong




"Ris! Tunggu donk."

Panggilan itu membuatku terhenti tepat di gerbang sekolah. Kulihat Fahri dan Mail tergopoh mengejarku.

"Pulang bareng donk." kata Fahri sambil menyeka keringat. Tubuhnya yang sedikit tambun, membuatnya mudah berkeringat terlebih cuaca hari ini terik sekali.
"Ee, boleh." jawabku agak ragu. Pikiranku langsung tertuju pada isi kantong yang kosong. Aku jarang bawa uang karena pertama aku gak pernah naik angkutan umum, kedua aku gak pernah jajan dan ketiga aku memang gak pernah punya uang saku. Padahal yang aku tahu, mereka pasti naik angkutan umum.

Fahri jalan buru-buru di depan. Dia paling tidak tahan dengan panas, ingin buru-buru berteduh di halte.

"Kayaknya kita gak pernah pulang bareng ya Ris?" tiba-tiba Mail bertanya dengan wajah penasaran. Dia agak lucu kalo lagi penasaran, tangannya selalu menggaruk-garuk kepalanya yang ditumbuhi rambut kribo.
"Oya?" cuma itu jawabanku.

"El, beli tahu bentar yah, aku laper nih." Fahri mendadak berhenti, membuatku menabraknya. Wajahnya seperti harimau kelaparan dan matanya tajam tertuju ke seberang jalan. Saat ku ikuti arah pandangannya, aku langsung tersadar.
"Boleh, buru panggil Ri." sahut Mail. "Kamu mau Tahu kan Ris?"
"Eeeh," aku pura-pura meringis kesakitan sambil memegang perut.
"Kenapa Ris?" tanya Mail.
"Gak apa apa, aku sakit perut nih, pengen buang air."

"Tahu!" teriak Fahri. Seperti biasa, tak ada yang bisa mengalihkan perhatian Fahri dari makanan.
"Aku balik lagi ke sekolah yah. Mau buang air dulu." kataku.

Aku langsung buru-buru lari ke sekolah. Mail cuma bengong melihatku kabur.

Setelah sampai di gerbang, aku berhenti dan mengintip Fahri dan Mail yang sibuk memesan tahu gejrot dari seseorang yang sangat ku kenal. Lelaki tua legam dan kurus. Bapakku.

"Kenapa aku lari?" hatiku terus bertanya-tanya. Aku membeku di pintu gerbang sekolah. Aku merasa seperti orang bodoh.

"Kenapa Ris?"

"Hah?" suara panggilan itu membuatku kaget. "Oh, Nik. Gak apa-apa."
"Kamu pucat gitu?"
"Oh, sakit perut. Pengen buang air." aku berbohong lagi.
"Mau pulang bareng? Aku tungguin." wajah Niko nampak khawatir.
"Rumahmu kan beda arah. Duluan aja." kataku sedikit memaksa.
"Yakin kamu gak apa-apa?"
"Bener kok, aku ke belakang dulu ya."

Aku buru-buru lari sambil pura-pura kesakitan.

------------------

Untuk membuat sebuah alibi sempurna, aku harus memastikan para saksi melihatku masuk toilet. Semua kulakukan begitu saja, tanpa aku sadari kenapa aku melakukannya. Meski sesungguhnya seperti ada yang runtuh di rongga dada, tapi aku tetap melakukannya. Membohongi diri sendiri.

Toilet sudah sepi. Tentu saja aku tidak ingin buang air, tapi akhirnya kupaksa juga untuk buang air kecil.

Dan saat aku cuci tangan, kulihat seseorang dihadapanku. Seseorang yang ku kenali wajahnya, namun tidak hatinya. Orang itu mirip denganku, namun nampak jelas tulisan "pembohong" di keningnya. Aku langsung membuang muka dari cermin dihadapanku dan berlari keluar toilet.

"Cari penyakit kamu ya!"

Suara itu membuyarkan perang batinku.

"Kamu sengaja kan? Hah!"

Dan aku kenal suara itu. Yosep.
Yang ada dipikiranku sekarang adalah lari!

"Enggak Sep, sumpah. Aku lupa."

Sekarang, yang terdengar suara orang yang ketakutan dan pasrah. Aku seharusnya lari, tapi entah kenapa, kakiku seperti dipaku ke bumi. Aku gak bisa bergerak.
Parahnya, aku malah mencari asal suara itu. Aku mengendap-endap dan mengintip ke belakang toilet. Tindakan yang sangat bodoh.

"Alah, sekarang aja bilang begitu!"
"Bukkk!" sebuah tendangan tiba-tiba menerjang perut seseorang yang kukenal bernama Imron. Seketika, tubuh Imron terpental dan jatuh berdebam ke tanah.

Aku harus cari bantuan. Aku harus bilang ke Pak Karjo. Kataku dalam hati. Tapi badanku tak mau bergerak. Rupanya aku terlalu pengecut untuk melapor. Aku takut akan konsekuensi yang bakal aku terima nantinya. Aku cuma bisa jadi penonton. Penonton tanpa nurani.

"Udah Sep. Udah!" nampak Ikhsan berusaha menghalangi Yosep yang hendak memburu tubuh Imron yang tergeletak di tanah.
"Dia udah bikin aku malu San! Di depan semua anak-anak!"
"Iya, tapi liat aja sendiri dia. Kalau kenapa-napa, bisa bahaya."
Yosep diam, sedangkan matanya masih merah penuh amarah dan nafasnya seperti srigala yang murka.
"Dasar sumbing!" Yosep meludahi Imron dan pergi. Ikhsan mengikutinya dari belakang sedangkan matanya masih menatap Imron.

Aku buru-buru masuk toliet untuk sembunyi.

Aku langsung memburu keluar setelah yakin para predator itu sudah pergi. Kulihat Imron duduk ditanah bersandar ke tembok sambil tangan kirinya memegangi tangan kanannya yang lemas. Bajunya kotor oleh debu, begitu juga mukanya. Ia meringis menahan sakit.

"Imron, kamu gak apa-apa?" pertanyaan bodoh. Tapi aku gak punya banyak pilihan pertanyaan.
"Oh, Ris." ada ekspresi lega dari wajahnya saat melihatku. "Tanganku kayaknya sakit banget. Kayaknya terkilir."
"Emang kamu kenapa?" ah, sebuah kebohongan lagi. Tentu saja aku tahu kenapa.
"Yosep. Aku lupa buatin PR buat dia."
"Oh." jawaban itu sudah menjelaskan semuanya. Bahkan untuk mereka yang tak melihat kejadiannya. Dan "oh" adalah jawaban paling pas.

"Coba lihat tangannya." ku raih tangan kanannya. Aku tahu, pergelangannya terkilir. Rupanya, saat jatuh tadi tangannya pada posisi yang salah. Ah bodohnya, memangnya ada orang yang bisa memilih posisi yang benar saat ditendang seperti itu?
Imron cuma bisa pasrah dan membiarkan tangannya ke raih sambil meringis kesakitan.
"Kamu tahan sebentar ya. Sakit, tapi cuma sebentar." kataku.

Seperti tak punya pilihan lain, Imron cuma mengangguk. Aku langsung memijit dari pundak hingga sikunya, memastikan tubuhnya dalam kondisi rileks sekaligus memastikan urat-urat saraf yang terjepit. Sulit memang mencarinya, tapi jika sudah terbiasa, hal itu bukan hal yang mustahil. Kurasakan ada saraf yang tegang, dan mengurutnya pelan ke arah pergelangan tangan. Setelah yakin lokasi titik yang bermasalah, aku pun meletakkan jari-jari tangannya ke jari-jari tanganku. Sedangkan tangan kiriku menahan sikunya.

"Tahan ya." kataku dan dengan gerakan cepat, aku menariknya dan sedikit memutarnya dan mengembalikannya.
"Auuuuu!" Imron melolong kesakitan. Tapi tak lama. Berikutnya dia malah tersenyum. Sejujurnya, aku belum pernah ketemu orang yang bisa menahan sakit sekuat dia.

"Hebat banget kamu Ris. Tanganku udah gak sakit banget."
"Abis ini, langsung kasih minyak tawon. Biar gak bengkak." kataku. Imron mengangguk sambil tersenyum lega. Aku pun ikut tersenyum. Sebenarnya, senyumku lebih karena wajahnya yang lucu kalo tersenyum. Bekas operasi sumbingnya, membuat senyumnya sedikit berbeda.

--> bersambung

0 comments:

Post a Comment