DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Inikah Cinta? - just a Love Story Episode 3

Episode 3 : My Friend


Namanya Niko Setiawan. Aku mengenalnya sejak kelas 1 dan aku tak akan pernah melupakan bagaimana kami berkenalan.

Saat itu, aku duduk sebangku dengan Mirza, anak yang sangat pendiam. Bagaimana kami bisa sebangku pun, karena memang tidak ada pilihan lain. Semua sudah duduk dengan teman yang mereka kenal dan mungkin cuma kami berdua yang tak memiliki kenalan di kelas itu. Karenanya, kami tak banyak ngobrol atau lebih pasnya gak pernah. Termasuk saat itu, saat pelajaran bahasa Indonesia.

Ketika Guru masuk kelas, semua siswa dengan tertib mengeluarkan buku pelajaran yang nampaknya masih baru, kecuali aku.
Tentu saja aku tidak lupa bawa ataupun ketinggalan. Tapi saat itu, aku memang tidak memiliki buku pelajaran. Awalnya, ku pikir aku bisa meminjam dari kakak kelas, tapi ternyata gak semudah itu. Memang aku mendapat beberapa pinjaman, tapi masih banyak palajaran yang belum ku dapat. Dan salah satunya adalah bahasa Indonesia.

Masalahnya, dengar-dengar, guru Bahasa Indonesia termasuk guru yang galak. Dia paling tidak suka dengan murid yang tidak siap untuk belajar dan biasanya, tanpa ampun, dia akan menghukum murid itu dengan berdiri di depan kelas selama pelajarannya.

Mataku was was mengikuti setiap gerakan Pak Tanjung dan jantungku mulai berdegub saat ia mulai mengeluarkan buku dari tas-nya.
"Silahkan buka halaman 5!" suaranya menggelegar. Seketika, keringat dingin mulai menetes di pelipisku. Kulihat seluruh anak mulai sibuk mencari halaman yang diminta. Aku cuma diam mematung. Mataku masih menatap setiap gerakan Pak Tanjung. Dan aku sangat yakin, sebentar lagi ia akan menunjuk salah satu dari kami.

"Jangan saya, jangan saya, tolonglah..", ku pikir aku sedang bicara dalam hati. Tapi ternyata aku berbisik, seperti orang yang sedang merapal mantra.

"Nah, kamu!"

Tiba tiba semua mata menuju ke arahku. Kini keringat tak lagi menetes, tapi mulai banjir. Mungkin, jika ada cermin di depanku, aku bisa melihat wajahku yang pucat pasi.

"Coba kamu baca yang keras, yah." lanjut Pak Tanjung.

Aku tak tahu harus berkata apa. Dan saat aku hendak berdiri untuk menyerahkan diri menerima hukuman, tiba-tiba ada seseorang menyodorkan buku. Aku langsung menoleh ke arah orang tersebut penuh rasa keheranan. Orang yang duduk di bangku sebelah ku itu cuma melempar senyum dan berbisik, "Buruan baca!".

"Hei kamu!"

Kami serempak langsung menoleh ke Pak Tanjung.

"Apa yang kamu lakukan?", tanya Pak Tanjung penuh selidik.
"Saya Pak?", anak itu balik bertanya sambil menjulurkan lehernya agar lebih kelihatan.

Entah apa yang terjadi, wajah galak Pak Tanjung tiba-tiba hilang.
"Oh, ya sudah. Tak apa-apa." jawab Pak Tanjung.
"Kamu!" kini jarinya menunjuk kearahku. "Cepat baca!"

Aku masih keheranan, bagaimana dengan santai anak itu bisa menjinakkan guru yang konon super galak itu. Dan anak itu bernama Niko.

Sejak kejadian itu, kami mulai akrab. Bahkan, kami memutuskan untuk tukar teman duduk agar bisa semeja. Tentu saja, orang yang paling diuntungkan adalah aku. Entah apa alasannya dia mau duduk sebangku denganku, karena yang terjadi bukanlah simbiosis mutualisme. Aku seperti tumbuhan yang menempel pada inangnya dan mengambil keuntungan dari si inang.

Bagaimana tidak? Dia memberiku buku pelajaran, mengajariku beberapa pelajaran, bahkan meminjamkan buku PR. Dan semua itu, dia lakukan tanpa embel-embel apapun. Dia melakukannya seperti sebuah hobi.

Dia gak cuma baik, tapi juga sangat pintar dan rajin. Dan seakan kelebihan itu belum cukup, dia juga berpenampilan menarik. Tinggi badannya rata-rata, tapi wajahnya sangat enak dilihat. Hidung mancung dan rambut hitam ikal juga kulit bersih sudah cukup membuat begitu banyak anak cewek yang tergila-gila padanya.

Dia terlalu sempurna! Seperti tokoh utama sinetron saja. Dan menurutku, hampir gak masuk akal.

Tapi rupanya, semua itu belum cukup.

Saat ini, aku sedang berdiri takjub di kamarnya. Aku belum pernah ke rumahnya sebelumnya, dan tadi siang sepulang sekolah, aku dipaksa untuk ikut ke rumahnya. Mungkin, seandainya aku menolak, bisa jadi dia akan menyeretku. Tapi, tentu saja dia tak perlu menyeretku. Bagaimana aku menolak undangan orang yang sudah begitu baik padaku selama ini?

Dan ini adalah pertama kalinya aku masuk ke rumah yang, hmm, yang seperti istana. Besar sekali. Dan takjubku makin besar saat aku masuk ke kamarnya. Luasnya bahkan sama besarnya dengan kontrakanku.

"Woi, malah bengong! Udah taroh dulu tuh tas."

Aku cuma nyengir. Tak lama, Niko sudah menyeretku ke ruang makan. Dan sekali lagi, aku cuma bengong melihat begitu banyak makanan di meja.

"Lah, bengong lagi. Hobi bengong kok gak ilang-ilang dari dulu." tangan Niko tiba-tiba digerak-gerakkan didepan mataku. Sekali lagi, aku cuma nyengir.

Tak cuma banyak, makanannya sangat enak. Aku bahkan baru sadar cara makanku seperti orang kalap saat kulihat Niko melihatku dengan bengong. Seketika, aku langsung memperlambat makanku. Melihatku demikian, Niko malah ketawa. Aku cuma nyengir.

Tapi rasa enak itu tak berlangsung lama. Tiba-tiba, wajah bapak terlintas di kepala dan itu membuatku tak tega untuk melanjutkan makan.

"Kenapa Ris?" tanya Niko keheranan melihat perubahan pada wajahku.
"Oh, enggak. Gak apa apa." jawabku berbohong.

---------------

"Gak bisa! Ntar abis magrib aja. Aku anterin." jawab Niko mantap dan sedikit memaksa.
"Ini udah sore dan aku belum bilang ke Bapak." aku mencoba mencari alasan.

Mendengar alasanku, Niko cuma menunjukkan ekspresi memohon sambil mengaduk-aduk isi lemari. Dan percakapan selesai. Aku kalah. Niko melempar senyum kemenangan.

"Nih, kamu mandi duluan." tiba-tiba Niko melempar handuk. "Aku cariin pakaian gantinya dulu."
"Gak perlu mandi kali?"
"Udah buruan!"

Melihat ekspresi Niko yang gak sabar, aku cuma bisa nurut. Persis sapi yang dicokok hidungnya. Aku langsung masuk kamar mandi.

Aku gak pernah lama jika mandi. Super cepat! Mungkin itu yang membuat Niko bengong saat melihatku selesai mandi berbarengan dangan dia membawa pakaian ganti.

"Hehe, aku kalo mandi cepet." kataku seolah mencari pembenaran. Tapi Niko masih tetap bengong melihatku. Aku langsung mencari-cari sesuatu yang aneh.

Saat itu, aku cuma mengenakan handuk, dan aku sadar apa yang membuat Niko bengong.
"Aku kurus banget yah?"
"Oh, enggak. Enggak kok." jawab Niko cepat seperti sadar dari lamunan. "Nih, gantinya."
Niko menyerahkan celana jeans dan kaos.

"Plak!"

"Aoo!" jeritku. Entah kenapa, tiba-tiba Niko menampar punggungku. Melihatku kesakitan, dia malah tertawa.
"Badan mu putih banget Ris. Liat tuh, telapak tanganku keliatan banget bekasnya." kata Niko girang sambil tertawa.
Aku langsung melihat ke cermin dan memang ada bekas merah telapak tangan di punggungku.

"Sakit tau!", seruku sambil melotot. Niko cuma tertawa dan buru-buru masuk kamar mandi.

-------------

"Udah, turun sini aja!" seruku.

Niko langsung mengerem motornya, berhenti dan membuka helm.

"Emangnya rumahmu di mana?"
"Gak jauh dari sini. Aku jalan aja. Gak cukup kalo naik motor." aku berbohong.

"Ya udah." Niko cemberut. Tapi gak lama, dia tersenyum, "Makasih yah."
"Sama-sama. Maaf yah, aku gak tahu kalo kamu ulang tahun hari ini."
"Gak apa apa, emang gak ada yang tahu kok. Lagian, aku juga males ngerayain ulang tahun."

Niko menutup helm.
"Ya udah, aku pulang yah."
"Oke, hati-hati dijalan!"

Niko cuma memberi isyarat dengan tangan dan langsung tancap gas.

Akupun langsung bergegas menuju kontrakan. "Pasti Bapak udah nungguin." pikirku cemas.
Dan memang benar.

"Dari mana Ris?" itu pertanyaan pertama Bapak saat melihatku membuka pintu. Aku masih melihat perubahan ekspresi cemas menjadi lega di wajahnya.
"Di undang ke rumah teman Pak. Mendadak juga, jadi gak bisa ngasih tau Bapak."
"Sudah makan?" tanya Bapak dan wajahnya kembali khawatir.
"Sudah kok, ini malah dibawain makanan sama teman. Katanya buat Bapak."
"Ya syukurlah kalo sudah makan."

Kini Bapak kembali tersenyum. Sekali lagi, senyum lega.


--> bersambung


0 comments:

Post a Comment