Lelaki Hangat Di Bawah Hujan Deras
- doc 2 -
by MarioBastian
Friday Night
“Apa yang kamu bilang, Sayang? Kamu lihat Dennis?”
Dicky tahu Ibu tidak akan percaya. Apalagi kalau Dicky
bilang Dennis menjadi halimun pekat. Memutih. Ibu akan kembali bilang Dicky
gila. Ibu akan mengacungkan balok kayu itu, menjeritkan kata-kata menyakitkan.
Tapi Ibu tidak jahat. Dicky percaya itu.
Ibu hanya butuh seseorang yang mau mengerti Ibu.
“Di mana?”
“Di rumah Nenek.”
“Kalau sekarang?”
Dicky menelan ludah. Bagian yang Dicky benci. Menerangkan
fantasi mustahil meski itu kenyataannya. Tak perlu kapasitas 10 gigabyte memori
untuk merekam semua itu. Otak Dicky masih mengingatnya dengan jelas. Dennis
membaur begitu saja dengan udara.
“Hilang,” jawab Dicky.
“Dia kan selalu hilang.” Ibu geleng-geleng kepala melihat
Dicky.
Dicky masih ingat penggalan detik terakhir Dennis. Dennis
berontak minta dilepas. Agas ingin membawa Dennis ke Dicky. Tapi Dennis lenyap.
Wuzzz. Seperti yang Dicky bilang tadi, seperti halimun pekat. Sewaktu Dicky
menginterogasi Agas, Agas bilang itu memang Dennis. Menjadi cupid.
Dicky jelas nggak percaya.
Cupid itu nggak ada.
Cupid itu hanya fantasi mitos belaka.
Hanya memenuhi kepala Dicky, membuat Dicky selalu
menggoreskan lekuk-lekuk tubuhnya dalam pahatan bingkai.
Kalau saja Dicky cerita soal cupid pada Ibu, Ibu dijamin
tertawa. Sampai pagi buta esok harinya, Ibu masih tertawa. Ibu tidak gila. Ibu
hanya tidak peduli pada rambutnya, tapi masih punya otak.
Karena Ibu hanya membutuhkan orang yang mau mengerti Ibu.
(Dan Dicky sudah berusaha.)
Dicky menutup pembicaraan itu, membereskan meja makan dan
membiarkan Ibu menikmati yoghurt terakhirnya. Tapi Ibu menghentikan gerik
Dicky. Ibu membuat Dicky menahan piring di udara. “Seperti apa rupanya? Dennis.
Dia kelihatan seperti… manusiakah?”
Dicky menelan ludah. Bimbang antara membiarkan diri sendiri
ditertawakan atau menganggap Ibu mulai lenyap kewarasannya. Mulai membahas
seseorang yang berbelas tahun terakhir tak pernah ada.
“Seperti manusia,” jawab Dicky. “Tapi mungkin itu imajinasi
Dicky.”
“Semua kenyataan berasal dari imajinasi,” potong Ibu.
“Cerita ke Ibu. Dennis seperti apa? Ganteng seperti kamu? Sehat?”
Ibu bertanya seolah baru kemarin ketemu Dennis. Senyumnya
tidak mengabarkan kalau dia tidak bertemu putra bungsunya berbelas tahun. Ibu
tetap tampak seperti psikolog yang dibayar mahal. Duduk dengan wibawa.
Mengedikkan kepala dengan anggun.
“Dennis sehat. Dennis ganteng. Lebih ganteng dari Dicky.”
Dicky tertawa, mencairkan suasana. Dicky tahu Ibu paling suka menganggap
anak-anaknya ganteng. Dicky bisa melihat dari senyum dikulum Ibu yang membuat
wajah Ibu terlihat manis. “Tapi... Dennis keburu hilang.”
“Kenapa dia hilang?”
Dicky mengangkat bahu. Dicky bergegas ke dapur, mencari
alasan untuk menghentikan pembicaraan ini. Entah apa yang membuat Dicky bicara.
Topik itu mendadak keluar begitu saja. Seolah Dennis adalah pembicaraan
sehari-hari. Seolah Dennis ada di sekitar kami.
“Kapan kamu ketemu Dennis?”
Ibu bertanya lagi. Masih duduk di ruang makan. Dicky
bingung. Dicky nggak tahu harus jawab apa sekarang. Nanti dipikirnya, Dicky
nggak waras. Nanti Ibu bakal pukul Dicky lagi.
Sebab, Dicky ketemu Dennis berhari-hari lalu. Jauh sebelum
kematian Nenek. Tepat beberapa hari setelah Cazzo, laki-laki yang naksir Agas
itu, diculik Iblis.
Aku berhenti sejenak.
Cazzo.
Ada nama Cazzo di sini.
Aku jadi teringat Cazzo yang bangun tidur dalam pelukanku
pagi ini.
Dia...
“Kamu nggak kepanasan?” tanya Faisal.
Aku mendongak dari catatan. Jantungku berdegup sekali.
Mendadak.
Faisal sedang telanjang dada.
Entah muncul dari mana, aku merasakan darahku berdesir
menatap tubuh Faisal yang tak berbalut kain. Padahal, badannya bukan badan
paling oke. Malah, buruk. Persis Derry. Perutnya agak buncit. Nggak berotot
sama sekali.
Kelaminku menegang. Normal, sih. Di depanku ada laki-laki
telanjang.
Namun aku harus fokus. Aku, kan sedang membaca catatan.
“Seriusan, kamu nggak kepanasan?” kata Faisal lagi. Dia
berkeringat.
Aku mulai merasa aneh. Kukira dia bercanda soal kepanasan
itu. Namun kulitnya mengkilat. Penuh keringat. Dia betulan sedang kepanasan.
“Kamu sakit?” tanyaku.
Faisal menggeleng. “Nggak, kok. Tapi saya kayak yang gerah.
Padahal di luar hujan gede.”
“Mau aku beliin obat?”
“Nggak usah.” Faisal duduk di atas tempat tidurnya. Dia
menggelengkan kepala. Menjernihkan otak. “Sorry saya buka baju,” katanya.
“Lanjut aja bacanya.”
Oke. Lanjut.
Selama ini Dicky berusaha melupakan kejadian itu. Tapi
bayangan wajah Dennis terus melekat di otak Dicky. Membuat malam Dicky seterang
siang, membuat siang Dicky sekelam malam.
“Kapan?” Ibu dengan tenang bertanya lagi. Kali ini mulutnya
dengan cantik menggigit biskuit.
“Kenapa Ibu mau tahu?”
“Karena kamu bilang ketemu Dennis, ya Ibu pingin tau.”
“Nanti Ibu nggak akan percaya.”
Ibu tergelak. “Jadi kamu berharap Ibu percaya?” Alis Ibu
terangkat. “Haruskah Ibu percaya? Ibu kan cuma minta diceritakan. Banyak
penulis novel menulis cerita bohong, tapi Ibu tetap membaca tulisan mereka.”
Dicky duduk di seberang Ibu. Memutar-mutar sendok dengan
ragu. Dicky berdecak. Hati Dicky berkecamuk antara berkisah atau tidak
berkisah. Melihat delik mata Ibu, kasihan Ibu kalau Dicky nggak cerita. Melihat
delik mata Ibu, kasihan juga Ibu kalau Dicky cerita—takut itu membuatnya sedih.
“Jadi kamu mau cerita?”
“Oke. Dicky mau cerita,” jawab Dicky. “Dicky ketemu Dennis
udah agak lama. Lebih dari sebulan lalu. Sebelum Nek Alia meninggal.”
“Kenapa baru nyerita sekarang?”
“Karena Dicky nggak yakin waktu itu ketemu Dennis.”
“Kalau sekarang udah yakin itu tuh Dennis?” Ibu mengambil
biskuit.
Dicky mengangkat bahu. “Dicky cuma punya feeling... kalau
mungkin itu Dennis. Semalem Dicky mimpiin sosok itu lagi. Sosok Dennis. Udah
gede. Dennis nyuruh Dicky buat ngunjungin Esel. Dicky cuma geleng-geleng kepala
aja. Namanya juga mimpi.”
Astaga. Beneran. Ada nama Esel.
Ada nama Cazzo.
....
Ini nggak ada kaitannya dengan Cazzo dan Ayysell yang aku
temuin akhir-akhir ini, kan?
Yang namanya Cazzo sama Esel harusnya banyak, kan?
“Yang namanya Cazzo sama Esel banyak, kan?” tanyaku,
melontar ulang apa yang ada dalam otak.
Kulihat Faisal sedang memicingkan matanya kuat-kuat.
Pelipisnya dipijat. Dia seperti sedang sakit kepala. “Kenapa,Faisal?”
“Apa?” tanyanya.
“Kamu sakit?” tanyaku.
“Bukan, bukan. Saya cuma kepanasan. Aneh ini juga.”
Aku meletakkan catatan tulis ulang jurnal di atas meja.
Kuhampiri Faisal. Kusentuh badannya...
... dingin.
Dinginnya sama seperti badanku.
Dingin karena di luar hujan deras.
Meski keringat itu tetap nyata.
“Sebelumnya kamu sering kayak begini?” tanyaku.
Faisal menggeleng. “Baru sekarang kayak begini. Aaahhh.”
“Aku ambilin handuk, ya. Lap keringatnya.”
Faisal mengangguk.
Aku masuk ke kamar mandi Faisal dan menemukan handuk merah
lembap. Kuambil handuk itu dan berniat kuberikan padanya. Ketika aku keluar
dari kamar mandi, Faisal sudah berdiri di tengah ruangan. Berdiri tegak.
Seperti komandan upacara. Petir menggelegar di luar, sebagian cahaya kilatnya
menerangi satu sisi tubuh Faisal.
Aku menelan ludah.
Aku takut.
Kenapa Faisal jadi seperti orang kesurupan?
“Ba-badannya masih panas?” tanyaku.
Faisal mengangguk. Matanya memerah.
“Ini handuknya.” Aku menelan ludah.
Faisal nggak mengambil uluran handukku.
Faisal mulai membuka kancing celananya. Melucutinya. Dadaku
berdebar lebih kencang sekarang. Bukannya aku nggak suka sama pemandangan ini.
Tapi... antara Faisal memang bercanda, atau dia sedang kesurupan. Aku selalu
punya fantasi bercinta dengan cowok straight. Faisal ini dilihat dari sudut
mana pun: straight. Badannya nggak bagus, tapi straight. Jadi, meski badannya
bagus, yang penting straight dan wajahnya oke, aku bakalan sangat bergairah.
Dan, ya, aku mendadak bergairah.
Faisal telanjang sekarang. Kelaminnya menggantung di bawah
jembut keriting yang agak dirapikan. Kelamin itu disunat rapi. Agak membesar.
Agak berdenyut-denyut. Agak mengeras ketika cahaya kilat petir kembali memotret
salah satu sisi tubuh Faisal.
Aku menjatuhkan handuk merah itu. Bukan demi suasana
dramatis. Aku setengah ketakutan, setengah ingin melanjutkan. Situasinya persis
ketika Cazzo menyiapkan omlet untukku pagi ini. Atau ketika Derry mendadak
ingin bercinta. (Hantu Derry, maksudku.) Bedanya, selalu saja ada alasan bagiku
untuk gagal bercinta dengan Cazzo dan Derry. Namun di sini?
Aku nggak mungkin berlari keluar dalam hujan deras.
Apalagi ketika ada cowok menarik telanjang di depanku.
Yang kelaminnya, selama aku berkata-kata dalam hati barusan,
sudah mengacung ke udara.
Hffft. Nggak gede. Tapi oke.
“Faisal?” tanyaku.
Faisal menelan ludah. “Saya nggak tahu kenapa. Tapi pas
lihat kamu sekarang, saya jadi pengin....” Faisal nggak melanjutkan
kata-katanya. Kata-kata itu menggantung di bawah berisiknya hujan deras. Hal
itu membuatku penasaran setengah mati.
Pengin apa?
Makan bakso?
Main sama lumba-lumba?
Kelaminku sudah mengeras seutuhnya sekarang. Faisal diam
saja di sana. Dia belum melanjutkan kata-katanya. Aku merasakan libidoku
kembali melambung naik. Mungkin, karena ini sudah sore, libido itu merapel
semua hasrat yang kurasakan sejak pagi, melewati siang, hingga sekarang. Aku
tak melihat kabur sebagai sebuah pilihan. Jantungku berdebar kencang, tetapi
mataku fokus melihat organ yang menggantung di bawah perut besar Faisal.
Namun kami tetap diam. Tetap dihujani kilatan-kilatan cahaya
petir, seperti dalam film-film vampir. Kalau Faisal ingin begituan, kenapa
tidak bilang? Toh, aku tidak akan menolak. Untuk pertama kalinya hari ini aku
yakin, aku tidak akan menolak.
Aku sih tetap lebih ingin bercinta dengan Cazzo. Namun
kemungkinan aku bisa direngkuh oleh tubuh telanjang Cazzo semungkin matahari
beranak pinak menjadi banyak. Matahari yang menyinari bumi, maksudku. Bukan
matahari yang jualan baju dan setiap bulan menyelenggarakan diskon. Aku bisa
saja bercinta dengan Derry kapan pun aku mau. Tapi, masa iya Derry lagi?
Sementara di sini ada cowok straight telanjang yang tampak ikhlas aku jamah di
bagian mana saja.
Setelah meyakinkan diri, aku maju. Aku mengulurkan tangan
untuk menggelitiki putingnya. Faisal bergidik geli dan tersenyum.
Dan tersenyum, camkan itu. Dia nggak menolak.
Ketika aku meraba kulit dadanya yang halus itu, mata Faisal
terpejam. Menikmati. Mulutnya mendesiskan sebuah desah. Aku melirik kelaminnya.
Benda itu berdenyut semakin hebat.
Mungkin memang ini caranya bercinta denganku.
Mungkin memang ini saatnya aku bercinta.
Aku tak akan menceritakan dengan detail bagaimana kami
melakukan itu. Biarkan itu kunikmati sendiri. Yang pasti, di bawah suara tawuran
air di atas genting, juga cahaya petir yang berkali-kali memotret, aku
melakukannya bersama Faisal.
Aku menjilat nyaris seluruh bagian tubuhnya. Faisal bergidik
nikmat dibuatnya. Aku meraba dan mencubit nyaris semua permukaan kulitnya.
Faisal mendesah dan mengedikkan kepalanya. Ketika aku mengulum kelaminnya ke
dalam mulutku, Faisal menengadahkan kepala. Dia tidak tampak seperti lelaki gay
yang jari kelingkingnya menari cantik sambil menggenjot maju mundur. Kedua
tangannya meremas kepalaku dengan jantan.
Aku digagahi olehnya. Dan, rasanya nikmat.
Dia memperlakukanku seolah aku ini perempuan. Senyumnya
berkali-kali dia lukis, setiap aku ketahuan mengamati wajahnya. Tangannya
berkali-kali meremas dadaku, setiap kali aku mendesah menikmati. Ketika
kelaminnya menusuk duburku, rasanya enak. Mungkin inilah yang dirasakan Derry
selama ini. Ada satu titik di bagian dalam yang membuatku sesekali
menggelinjang karena keenakan. Ditambah sugesti kelamin seorang lelaki yang
keras seperti besi sedang berusaha menggelitiki diriku.
Kami menghabiskan sekitar empat puluh menit melakukan semua
itu. Lebih lama dari semua film bokep yang kudownload. Aku selalu terpukau
ketika Faisal berkali-kali melihat kelaminnya sendiri, menatapnya seolah
memohon. Memohon aku menjepitnya lebih kuat lagi. Seolah pusaka itu di bawah
kendaliku sekarang. Seolah pusaka keras itu tak berdaya di dalam tubuhku
sekarang.
Faisal memuntahkan pejuhnya di atas perutku.
Putih kental. Hangat-hangat susu.
Ketika semua cairan putih itu melompat keluar, tubuh Faisah
berkilat oleh keringat. Dia tersenyum lebar. Tampak puas. Dibaringkannya tubuh
besarnya itu di sampingku, persis anjing laut. Kemudian, desah napasnya mulai
teratur. Dan, dia tertidur.
Aku menghabiskan lima menit berikutnya melamun.
Sepuluh menit berikutnya mengingat-ingat adegan seks manis
yang baru saja kulakukan.
Lima menit berikutnya merasa bersalah pada Derry.
Lima menit berikutnya merasa ingin melakukannya lagi dengan
Faisal. Ya, aku puas bingit pakai pisan. Aku masih bisa merasakan titit mungil
itu mendobrak bagian dalam pantatku.
Keras, dan ... aaah, apa aku perlu memasukkannya lagi? Tapi
Faisal sedang mendengkur di sampingku. Seperti Gloria. Dari film kartun
Madagascar.
Akhirnya, aku menghabiskan dua puluh menit berikutnya
membersihkan semuanya. Hujan berhenti saat itu. Faisal terbangun. Sudah
kupasangkan celana.
Ketika dia melihat diriku, wajahnya memerah malu.
“Sa-saya... saya tadi ngapain...?” katanya pelan. Menelan ludah.
Dalam raut wajahnya, tampak penyesalan yang
sangat-sangat-sangat dalam. Tatapan matanya seolah meleleh karena ketakutan.
Sudut bibirnya seolah berkedut karena rasa bersalah.
Dia seolah menyesal sepenuh mati melakukan seks indah tadi.
“Kamu tadi...” Aku tidak bisa menjawab.
“Apa saya tadi...?” Dia tidak bisa melanjutkan.
Aku mengangguk. “Apa kamu... nggak ingat?”
Napas Faisal menderu. Dia terduduk. Tampak ketakutan. “Badan
saya sekarang dingin,” katanya. “Saya ingat semuanya. Semuanya. Tapi... saya nggak
percaya saya ngelakuin itu. Pasti ada yang ngendaliin saya.”
Faisal tampak malu. Imut-imut malu. Dia tidak berani menatap
ke arahku. Dia seolah baru saja memperkosaku. Lalu, merasa takut polisi akan
menangkapnya. Padahal secara teknis, aku lebih-lebih menikmati seks itu
dibandingkan dia.
Lalu, dia nyaris menangis.
Dia menyesal sekali lagi. Sangat-sangat menyesal.
Aku mengamati Faisal seraya mengerutkan alis. Kenapa ya dia?
Apa yang terjadi padanya tadi? Kupikir... kupikir dia memang pengin melakukan
itu. Mungkin karena hujan. Suasana romantis. Mungkin aku menarik. (Yah,
dibandingkan Faisal, aku lebih menarik.)
(Apalagi dibandingkan Ayysell.)
Mungkin dia mabuk. Mungkin dia...
Tunggu...
Aku jadi teringat sesuatu.
Aku pernah ikutan pengajiannya Pak Haji Nasir. Tahu Pak Haji
Nasir? Itu, guru ngaji yang ditaksir Ibu. Pak Haji Nasir suatu waktu pernah
bilang padaku, dan anak-anak di kampung itu, tentang kesurupan.
“Kalau kamu merasa dingin tiba-tiba, berarti ada makhluk
halus yang melewati tubuhmu. Energi kalian bersinggung sejenak, dan perasaan
dingin itu mendadak muncul selewat. Tapi kalau kamu merasa panas tiba-tiba...”
Saat itu Pak Haji Nasir sengaja menggantungkan kalimatnya dan menatap kami satu
per satu. Mungkin mendramatisasi. Supaya menyeramkan. Setelah itu dia
melanjutkan, “... berarti ada makhluk halus yang sedang mencoba mengontrol
tubuh kamu.”
Dan, beberapa menit sebelum seks itu terjadi, di tengah
hujan badai, di tengah suhu yang jelas-jelas dingin, Faisal kepanasan.
Apa dia...?
-XxX-
“Cuma itu pesannya?” selidik Ibu.
“Ya. Cuma itu.”
“Kalau bulan kemarin, apa pesannya?”
“Nggak ada pesan. Dennis cuma... menghilang.”
Dicky menelan ludah. Ragu menyebut kata itu lagi. Takut
diejek Ibu lagi.
“Bagaimana menghilangnya?”
“Seperti kabut asap.” Dicky mendesah. “Menjadi bias. Menjadi
kabur. Menjadi samar. Tapi Dicky masih ingat dengan jelas—“
Ibu menangis. Dicky bahkan tak sempat menyelesaikan kalimat
Dicky.
“Kenapa, Ibu?”
“Apa kamu bilang? Menjadi kabut asap?”
“Mungkin kabut asap. Nggak jelas juga. Dicky nggak begitu
ingat. Tapi Dicky—Ibu kenapa?”
“Jadi mitosi tu benar?”
Mitos?
“Ibu?” Dicky menghampiri Ibu dan menggenggam tangannya. Ibu
tampak terguncang. Kedua tangannya gemetar. Kedua bola matanya berlinang. Kedua
katup bibirnya menganga. Ibu seperti baru melihat almarhum Bapak di depan
matanya. “Ibu?”
“Apa kamu yakin, dia menjadi kabut asap?”
Dicky menyesal sudah menceritakan ini. “Ya, kabut asap,”
jawab Dicky akhirnya.
Dan Ibu pun menangis.
Sesenggukan.
Dicky berlutut di hadapan Ibu, merasa bersalah telah membuat
Ibu menangis. Dicky memeluk Ibu yang membungkuk menahan cekat di
tenggorokannya. Dicky mengusap bahu Ibu, menenangkannya.
“Itu cupid,” kata Ibu. Persis yang dibilang Agas.
“Siapa yang cupid?”
“Dennis. Dia betul-betul cupid.” Ibu menangis lagi.
“Ibu,l upain aja yang barusan. Barangkali Dicky ngelantur.
Ibu tidur, ya? Dicky anterin ke kamar.”
“Dennis itu sekarang cupid,” jawab Ibu, masih bercucuran air
mata. Tangannya mengelak uluran Dicky. Wajahnya berpaling dan melemparkan
tatapan serius. “Dia menjadi cupid untuk satu alasan. Begitu alasannya
terpenuhi, dia akan pergi.”
“Nggak ada yang namanya cupid, Ibu,” tegas Dicky.
“Dia menjadi cupid untuk membantu kamu nemuin orang yang
kamu cintai.”
“Dicky nggak percaya cupid.”
“Siapa yang ada bareng Dennis waktu kamu ngelihat dia.”
Dicky berdecak kesal dan mulai berdiri. Dicky benar-benar
menyesal pernah mengangkat topik soal ini. “Dicky lihat Dennis bareng Agas.
Tapi mungkin itu halusinasi Dicky doang, mungkin itu pantulan cermin dari—“
“Jadi tugas dia buat ngejodohin kamu sama... Agas?”
“Ibu bilang apa, sih?”
Ibu menelan ludah dan kembali duduk tenang. “Mungkin Ibu
belum pernah cerita soal perjanjian rahasia ini. Soal apa yang diceritakan Nek
Alia ke Ibu bertahun-tahun lalu, sewaktu kamu masih remaja, sewaktu Dennis
pertama kali pergi. Kata Nek Alia, ‘Dennis ada di dunia lain, untuk sebuah
tugas dari Sang Pencipta. Siapa pun orang pertama yang dilihat Dicky sedang
bersama Dennis... adalah pasangan kekasihnya masa depan, Dennis akan
menjodohkannya. Itu satu-satunya tugas cupidnya.’”
-XxX-
Jadi, pada akhirnya, apa kalian ingin membuat rahasia?
Bersamaku, misalnya. Bukan tentang siapa selingkuhan kalian.
Bukan tentang cowok yang diam-diam kalian taksir di kantor, atau di sekolah,
atau di ujung gang, padahal kalian punya pacar membosankan yang hanya sanggup
diajak pacaran melalui LINE.
Rahasia tentang rasa penasaran. Tentang aku mencuri beberapa
lembar catatan tulis ulang jurnal buatan Faisal. Tanpa bilang-bilang. Lalu, aku
membawanya ke angkot, dan menyelesaikannya sampai halaman sembilan. Aku tahu,
Faisal akan sangat membutuhkan ini. Dia, kan mau membuat buku. Paling-paling
dia akan meneleponku. Paling-paling aku akan mengembalikannya. (Setelah
kufotokopi.)
Dari situ, entah aku kesurupan atau diam-diam mencari
sensasi, aku mendapati diriku menaiki angkot Caheum-Ledeng, arah ke Ledeng. Aku
turun di simpang yang ada McDonald-nya. Berjalan sedikit menuju kompleks
perumahan yang kemarin menyelenggarakan Pameran Tumaninah.
Aku sudah membaca jurnal Friday Night itu. Meski belum
selesai. Meski belum mengerti maksudnya ke arah mana. Sejauh ini kesimpulanku:
ada tokoh bernama Dicky, ibunya Dicky, Agas Entah-Siapa, Dennis yang bikin
semua terharu, Cazzo yang disebut-sebut, Esel yang kuharap bukan Ayysell,
hingga berkali-kali membahas cupid. Rasa penasaranku bukannya membunuh kucing,
tetapi membawaku kembali ke rumah tua itu.
Rumah nenek sihir, katanya. Rumah yang kini sepi. Diberi
garis kuning polisi. Tampak muram. Tampak gelap. Dilewati oleh tukang nasi
goreng yang terburu-buru hanya ketika melewati rumah itu saja.
Aku ingin mengerti apa maksud jurnal itu. Aku tidak mengerti
mengapa aku ingin mengerti. Namun ketika aku berdiri di hadapan rumah itu, aku
merasa inilah yang seharusnya kulakukan. Aku berdiri dengan tegak, menatap
lurus ke arah pintu depan, dan ....
“Embeeer! You pikir I mawar sama detseu, hah? Tinta lah,
Tanteee... please, mikir pakai logistik! Iya, maksud I logika. You sutra
bertahun-tahun ngobras sama I masih aja tinta ngerti bahasa I, em?”
Ayysell?!
Buru-buru aku bersembunyi di balik pohon besar. Banci dari
neraka jahanam itu mendadak muncul di ujung jalan, berbicara dengan kencang
sendirian. Padahal, ini sudah malam. Sudah pukul delapan dan jalanan kompleks
basah karena hujan. Namun suaranya begitu khas. Kalung-kalung yang berkilaunya
membuatku yakin kalau banci itulah yang datang.
Ayysell seperti sedang mengobrol dengan seseorang. Kukira
dengan Cazzo. Namun, tidak. Dia bicara sendiri. Dia bicara dengan udara. Dengan
apa pun yang melayang di sebelah kirinya. Dia berjalan menuju rumah disegel
itu, melompati garis kuning polisi, dan masih asyik mengobrol sendiri. Dia,
bahkan, tidak menyadari aku sedang berdiri dua meter darinya. Di bawah
bayang-bayang pohon yang gelap.
“Tinta-tinta-tinta! I mawar luluran pakai kembang margarita.
Pokoknya, limosin menit, em. I tinta mawar maskara ke dalam lambreta
lamborghini. Rumput laut! Rumpi! Sebentar aja, keleeuuss...”
Ayysell seperti orang gila. Sebenarnya penampilannya juga
membuat dia kelihatan gila. Namun ini benar-benar gila. Dia bicara dengan udara
kosong di sampingnya. Lalu, dia masuk seenaknya ke rumah yang disegel itu.
Memutar ke samping, menuju halaman belakang.
Mengapa dia bisa seberani itu? Ini, kan rumah berhantu.
Mengapa pula dia ada di sini? Apa dia ada hubungannya dengan
rumah misteri ini?
Ketika aku sedang asyik-asyiknya kebingungan atas kehadiran
Ayysell di sini, sebuah tangan menyentuh pundakku, membuatku melompat kaget.
Aku hampir mati. Jantungan. Seorang lelaki berdiri satu meter di hadapanku.
Lelaki yang barusan menyentuh pundakku.
“Siapa kamu?” tanyanya.
Aku menyipitkan mata. Mencari cahaya lampu jalanan supaya
bisa melihat siapa dia.
Dia adalah...
... tunggu.
Pantulan cemerlang dari matanya itu...
Dia lelaki angkasa bermata cemerlang.
Dia si pilot itu. Si lelaki yang katanya cucu pemilik rumah
misteri ini.
“Siapa kamu?” tanyanya lagi. “Kenapa ada di sini?”
Aku menggeleng. “Aku nggak tahu.”
“Kamu kenal Esel? Yang barusan masuk?”
Aku menggeleng lagi. “Yah, pernah ketemu, sih....”
“Kamu temannya?”
Aku menggeleng kuat-kuat. Pertanyaan barusan harus dijawab
setegas mungkin.
Lelaki itu memiringkan kepala. Seolah mengamatiku. Seolah
mencari sesuatu dari tatapan mataku. Kemudian, aku melihat matanya berair. Dan,
aku melihat dia menghapus air yang mulai menggenang di sudut matanya. Dia
menarik napas. Mengendalikan diri. Lalu, dia berkata lagi padaku.
“Saya téh nggak tahu siapa kamu, tapi saya tahu mungkin kamu
bisa bantu saya,” katanya.
Aku tidak mengerti. Namun aku hanya mengangguk saja. Seperti
orang tolol.
“Saya cuma pengin tahu,” katanya. “Kenapa mukakamu mirip
banget sama Agas?”
THE END
24 comments:
Lanjut plisss
heyyy dazz jika ada lanjutanya ...tolong kabari lagi okey... i always comment supaya blog ini gak mati ..... karena silent reader
Penasarannnnnnn lanjutannya........ ����
yaya dapet spoiler nih ceritanya
liat yg komen eh March 2015
berarti baru dong? hehehe
ada harapan nih ^^
mungkin MarioBastian lagi kena WB akut atau sedang berhibernasi panjang mencari Agas.. lol
semngat ya buat yg punya blog dan penulisnya
saya suka..saya sukaa...
Tuh kan... w uda ngira niko itu agas...
please lanjut lagiii...
Bang Mario Bastian.. lanjut lagi dong 😭 gk kasian gtu ama kita ?
Setelah baca malah makin penasaran gini. Buat mas Mario Bastian, semoga dapat mengobati rasa penasaran kami. Amin.
penasaran banget sama kelanjutannya
Walaupun mukanya Niko mirip sama Agas, tapi kok rasanya gak tega ya kalo ujung ceritanya nanti Cazzo bakalan sama Niko, maunya Cazzo tetep sama Agas, trus bg Dicky juga sama Agas hahahhaha
emang Agas beneran mati ya? di KCTT yang mana?_. btw ak shipper Zagas (zaki-agas) sumpah kangen banget sama moment mereka :'v kangen tingkah konyol Zaki kyak waktu di kamarnya Agas dengan syarat-syaratnya itu.. next chapter Zaki munculnya diseringin dong.. hehe Cepet update kak Mario! good luck! gomawoyo ^^
when you're going to continue this sequel? been dying to read the next story.
Pengen sekresi mata mah ini. Sedih pisan. Kayak i know what they feel. Cazzo, Derry, Bang Dicky, Zaki... Setelah tahun-tahun udah lewat, tapi sedihnya itu g ilang-ilang. Baper banget.
Happy ending plis T.T G kuat kalo Zaki dibikin kayak anak tiri sekali lagi. Hidupnya berat T.T
Semoga Bang Dicky baik-baik aja juga. Semoga Denis g dimacem-macemin sama Esel. Semoga Esel cepet mati. Amin.
Ohhh goshhhhh .....tuhan memang adil #didalemcerita
bisa jadi seberuntung esel hihini itu denis masih jadi pemuas nafsunya juga kan ...pas banget sama yang chapter fallen angel waktu si esel bicara sendiri ...eh maaf fujoshi secret hahaha pleaseee terusin....bang DICKy hahahah T.T
Mohon lanjutinnya dong ...yaa ..crita nya asyik gantungan aja tuh ..plus sya nya lg pusing ceritanya ..apa cazzo tuh cazzo atau jiwanya cazzo tuh dennis ? Dan kenapa cazzo nya inget bahwa esel yg nyelametin dia waktu di WC ..walhal kan itu agas ..atau esel nya minta pada dennis biar cazzo inget esel itu agas ? Yaa ...jd penasaran klau gini crita nya ...btw emangnya agas mati ya ? Ngak ada dimana2 chapter jugak ..emangnya agas kemana ? ..lanjutin dong ..penasran sih ..hehee
#sya pmbaca dri malaysia lo ..tp bisa dikit2 dong bhsa indo nya ..lagi2 pas baca critanya yg panjng banget ..jd ketularan dehh ..huhu
Menurut saya sih cerita ini udh bener tamat. I mean semua misteri kan memang sudah bener2 terkuak. Tinggal menyisakan sedikit pertanyaan mengenai :
1. Where is Dicky
Jawabannya tentu saja Dicky masih hidup cuma sepertinya dia di cimahi bersama ibunya seperti yang dia ceritakan di diary. Dicky akan muncul jadi karakter dalam cerita Fly With Me bersama Zakila juga. Berarti at least dia masih hidup kan? Dan dia somehow bisa melihat hal2 yang gak bisa dilihat manusia biasa. Pertanyaan terbesar berikutnya adalah
2. Where is Agas
ada yang berpendapat kalo Nico adalah Agas. Cuma saya kurang setuju karena sifat mereka berbeda. Nicp cenderung rendah diri sementara Agas tidak. Nico cenderung memiliki banyak banget rahasia sementara Agas membencinya terbukti dari gigihnya dia mengungkap rahasia rumahnya. Masa kecil mereka juga berbeda kan? Lalu kenapa Esel tidak mengenali Agas. Bisa aja sih somehow dia udh dikasih tau Denis mengenai keberadaan Nico sebagai Agas tapi kenapa reaksi dia adem ayem aja. Cazzo jg kenapa gk nyadar kalo itu Agas. Emang kayaknya kenangan Cazzo dan Agas semacam diganti gitu ya orannya jadi Esel tp biar gimanapin Cazzo masih inget Agas kok. Terbukti di chapter terakhir Cazzo masih nyebut2 nama Agas.
Secara fisik jg Nico biasa aja dan Agas lebih ke cowo2 korea gitu ya.. misteri berikutnya
3. Kenapa Denis masih ada. Bukankah harusnya setelah berhasil misinya Denis menghilang. Dan lagi bukannya dia ditawan sama iblis merah ya. Disini juga masih misterius.
tapi yang pasti saya senang sama nasibnya Zakila yang bagus. Zakila jga akan muncul di Sumpah Ini Horor bersama Zaenab. Bahkan nenek Alia juga ada sebagai hantu.
Jadi kesimpulanmya menurut saya ini cerita sudah selesai. Tapi masih menyisakan sedikit pertanyaan
sukses untuk author dengan novel Kuak nya dan thank you juga untuk pemilik blog.
Makin penasaran aja sama ini cerita.
Itu kenapa casso ingatnya esel yang nolongin dia, bukannya si agas??
Terus Agas sama Dicy ngilang kemana??
HANYA MARIO BASTIANLAH YANG TAHU JAWABANNYA.
ohw...sukses buat mario karena udah bikin cerita ini. Sumpah part Zakyla buat aq nangis. Sebenarnya aq g rela sih kalau casso sama si esel. Trs pengennya Agasnya sama Zaky.Tapi apalah daya Authorlah yang berkuasa.haha
Buat mario,Sukses buat Novel Kuak(1)nya
dan di tunggu kuak(2)
Emmm, makasih juga buat Dazz yang udah masukin cerita ini.
Berharap semoga suatu hari ini cerita ini di lanjutin.
Makin penasaran aja sama ini cerita.
Itu kenapa casso ingatnya esel yang nolongin dia, bukannya si agas??
Terus Agas sama Dicy ngilang kemana??
HANYA MARIO BASTIANLAH YANG TAHU JAWABANNYA.
ohw...sukses buat mario karena udah bikin cerita ini. Sumpah part Zakyla buat aq nangis. Sebenarnya aq g rela sih kalau casso sama si esel. Trs pengennya Agasnya sama Zaky.Tapi apalah daya Authorlah yang berkuasa.haha
Buat mario,Sukses buat Novel Kuak(1)nya
dan di tunggu kuak(2)
Emmm, makasih juga buat Dazz yang udah masukin cerita ini.
Berharap semoga suatu hari ini cerita ini di lanjutin.
Niko: terus saya teh mesti jawab apa bang?muka saya mirip Agas terus si Agas mirip Dennis,lah terus si Dennis mirip siapa bang?*digeplak*
pokoknya mah yg jelas saya teh sedih kalo baca part kamu bang Zaki,padahal mah kamu dah sukses jadi pilot ya u,u
" Siapa pun orang pertama yang dilihat Dicky sedang bersama Dennis... adalah pasangan kekasihnya masa depan,Dennis akan menjodohkannya."--langsung lemes seketika.bukan'y ga dukung apa gimana ya....tapi....tapi....gimana nasib Cazzo??T^T seenggak'y kalo ga dapet Agas (dan saya masih ngarep pake banget dia ama Agas) ya pleaselah bang jangan ama si Esselwati!*esmosi*
lanjut oh lanjut......
eh jadi penasaran.....tuh Kuak udah dibukuin,kira2 KCTT apa Kuak nulis'y duluan mana bang Mar?
Plissss lanjutttt udh bertahun gw nunggu elahhhhhh 😢😢😢😢
Plissss lanjutttt udh bertahun gw nunggu elahhhhhh 😢😢😢😢
Knock2..... kesel juga bertaun2 selalu inget buat ngecheck blog nie sapa tau ad mujizat updatean kctt.. arghhh...
Allahu, ini kenapa sih writernya seneng banget bikin ending kek gini :')
Iya ya. Diriku baru inget klo si Agas mirip Dennis, dan si Nico malah mirip Agas. Hmm
Post a Comment