DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Inikah Cinta? - just a Love Story Episode 1

Episode 1 : Hampa




"Bapak berangkat dulu ya."
Aku cuma mengangguk dan tersenyum ringan. Tubuh kurus dan hitamnya nampak makin gelap di bawah lampu temaram dan kemudian menghilang di telan kegelapan malam. Aku masih menatapnya, meski dia sudah tak lagi di sana.

Kini aku sendirian, seperti biasanya. Tak mengapa, toh kontrakan yang ku tinggali cuma sebuah bedengan satu kamar. Dari dapur menuju pintu depan, cukup beberapa langkah saja, jadi tak ada yang perlu ditakutkan. Lagian, kontrakan ini memiliki 5 bedeng dan semuanya terisi. Jadi, tempat tinggalku jauh dari sepi. Atau lebih tepat bila disebut sangat ramai!

Sangat ramai, mulai dari anak-anak yang bermain-main sambil tertawa terkekeh, bapak-bapak yang sedang berkumpul dan ngobrol sambil terbahak, juga ibu-ibu yang sibuk ngerumpi. Belum lagi, tetangga sebelah kananku yang senang memutar musik keras-keras. Seandainya suaranya enak di dengar seperti Mini Compo milik Niko, temanku di sekolah, mungkin aku tak akan terganggu. Tapi ini, suaranya lebih mirip teriakan tukang obat dengan pengeras suaranya.

Tapi anehnya, meski ramai, aku merasa kesepian.

Tiba-tiba rasa sepi itu merayap saat Bapak ku menghilang di kegelapan malam. Dan itu selalu terjadi setiap malam.

Bapakku bukannya pergi dan tidak kembali. Atau pergi untuk waktu yang lama. Beliau cuma pergi dan akan pulang sekitar jam 12 malam. Dan saat itu, aku biasanya sudah terlelap. Jadi, rasa sepi ini lebih mirip sebuah kehampaan. Seperti isi dada ini diambil dan dibawa pergi bersama menghilangnya Bapakku di kegelapan malam. Aku merasa seperti sebuah patung yang melihat tubuh Bapakku yang goyah berjuang habis-habisan, namun aku hanya bisa diam. Tak bisa melakukan apa-apa.

Tentu saja aku ingin membantu beliau, tapi dia selalu menolaknya. Dia selalu memiliki sebuah kata ajaib yang membuatku terdiam.

"Kamu belajar saja, biar pinter. Biar gak jadi seperti Bapak mu ini. Kamu harus ingat pesan mendiang Emakmu."

Dan kalimat terakhir itulah yang membuatku tak bisa membantah. Kalimat itu seperti mantra yang bisa menghipnotisku. Saat mendengarnya, wajah emakku seakan tergambar jelas sedang mengucapkan pesan terakhirnya.

"Ris, kamu harus sekolah. Belajar yang rajin, yah. Kamu harus sekolah setinggi-tingginya. Kamu ngerti kan?"

Emak mengatakannya sebelum magrib. Dan setelah Isya, aku mendengar isak tangis Bapak. Saat itu aku langsung sadar, Emak sudah pergi.

Semenjak itu, Bapak tak pernah membiarkanku membantunya, meski batin ini seperti terkoyak saat melihat Bapak melintas di depan sekolah sambil tertatih memikul keranjang jualan. Namun tak sekalipun Bapak mengijinkanku membantunya. Aku tahu ia sangat lelah. Siang hari, Bapakku adalah penjual Tahu Gejrot, malam harinya, beliau menjadi tukang urut juga pijat. Tubuhnya legam oleh sinar matahari, dan itu makin membuatku terasa teriris.

Bagaimana tidak, bila aku berjalan berdampingan dengan Bapak, aku seperti seorang anak majikan yang diantar oleh tukang kebunnya. Kulitku putih seperti kulit emakku, sedangkan Bapak legam. Bukan karena kulit aslinya yang gelap. Tapi karena terlalu lama terpapar radiasi ultraviolet.

Dan itulah yang membuat ku merasa hampa kala Bapak pergi.

--> Bersambung


0 comments:

Post a Comment