DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Kisah Serpihan Hidupku Page 1

Page 1
by Feffendy

Xianggang part.1

September 2003, hujan gerimis.

Gw memandang stand penjual majalah dengan jantung berdegup kencang. Benar-benar tak disangka! Majalah ini tak mungkin bisa kutemukan di Indonesia. Kudekati stand tersebut untuk melihat lebih jelas.

Ya, memang gw tak salah lihat! Gila, mataku memang hebat, batinku. Di sela-sela berbagai majalah lifestyle dan hobi, terseliplah majalah itu dengan covernya yang menantang. Gw pura-pura melihat majalah tentang memancing, tapi sebenarnya mataku tak pernah lepas dari majalah tersebut.

Hong oi, cepat wa, bisnya sudah menunggu le!” (Hong, cepatlah, bisnya sudah menunggu nih!)
Ayi(tante)ku mengagetkan gw. Tanpa menunggu jawabanku Ayi dah masuk duluan ke dalam bis. Gw dengan agak sedikit kecewa buru-buru menyusul masuk ke dalam bis. Kutempelkan dompetku ke mesin pembaca, terdengar bunyi ‘tuut’, secara otomatis ongkos bis dipotong dari kartu prabayar yang tersimpan di dalam dompetku. Terpampang sisa saldo HKD 52. Lumayan, masih bisa buat beberapa kali naik bis atau MTR.

Saat itu kita akan pulang kembali ke apartemen Ayi di Kowloon (arti : Sembilan Naga), setelah gw temenin Ayi kebaktian di gereja. Gw masih bingung dengan suasana kebaktian di sana karena menggunakan dwibahasa, Bahasa Kanton dan Mandarin saling bersahut-sahutan. Sementara gw di Indonesia terbiasa dengan suasana gereja Katolik yang tenang dan khusuk.

“Ayi, wa naik ke atas ha!” (Ayi, aku naik ke atas ya!)
“Ho ho, ya Hong!” (Hati2 ya Hong!)

“Ho, Ayi!” (Ok, Ayi)
Gw segera naik ke lantai 2 bis, karena pemandangan dari sana lebih lapang dan enak. Bis di Hong Kong rata-rata memang bertingkat 2, dan gw sangat enjoy naik bis seperti ini. Mata gw masih sibuk jelalatan, browsing semua lapak majalah di pinggir jalan yang memang lebih gampang dilihat dari atas bis. Sebenarnya, gw bukan mencari judul majalah itu lagi, tapi gw mencari judul lainnya yang sejenis! Siapa tahu dengan mataku yang tajam ini gw bisa scan semua judul di sana, he3. Ayo, jia you (semangat), Lie Hong! Jantungku berdegup semakin kencang, sekencang laju bis yang sedang berjalan.


Xianggang part.2

“Hong oi, ciak peng lou!” (Hong, ayo makan!)
Ayiku dari tadi memanggil terus.
“Cek hue ge, Ayi!” (Bentar lagi, Ayi!)

Gwnya masih asyik konsen dengan kompie. Kesannya sih ngerjain sesuatu yang serius, ga tahunya lagi browsing situs ehem-ehem di inet he3... Banyak banget kejutan-kejutan yang gw dapatkan di HK. Inet di sini sangat cepat, ga seperti telkomnet instan yang lelet kayak siput. Jadi gw puas2in browsing situs favorit gw di kompie sepupu gw yang sudah pake layar flat. Setiap gambar di layar membuat tubuhku menegang seperti kucing kampung yang bulunya tegang siap menyerang. Mataku yang sipit bisa-bisanya jadi bulat membesar seperti ikan mas loreng. Tanpa terasa tes tes, liurku menetes (jijay banget lah pokoknya he3...).

“Fung, nyi co mai mang sit fan?” (Hong, ngapain lu belum makan?)
Hong sebenarnya nama gw dalam dialek Tiociu, ikut dialek papa, sedangkan pho2 yang orang Hakka memanggilku ‘Fung’.

Tiba-tiba aja pho2 (nenek) dah di samping gw. Gw langsung kalang kabut matiin layar kompie. Entah sudah berapa lama pho2 masuk ke kamar yang pintunya memang terbuka dan entah apa aja gambar di layar yang sempat dilihat pho2. Muka gw benar2 merah padam saking malunya.

Sambil natap muka pho2, gw nyahut,”Eh, ngai mang tuki a, Pho.” (Gw belum laper, Nek.) Gw perhatiin baik2 memang ada sesuatu yang aneh di wajah pho2, dia mengangguk dan berlalu begitu aja.

Fiuh, ternyata pho2 lupa pake kaca matanya, makanya tampangnya jadi aneh he3... Kesimpulannya pho2 ga sempat ngelihat apa2. Aman, aman he3...

Kulihat keluar jendela apartemen tuayi, hujan deras masih mengguyur kawasan Kowloon sehingga gw ga bisa ke mana2. Untung sepupuku yang kerja seharian memberikan akses kompie-nya kepadaku dan tentu saja rejeki nomplok jangan disia-siakan. Kuketik lagi : Go.to/tguy. Isinya cowok-cowok Thailand yang muda, ganteng dan atletis nan menggiurkan. Lanjut maaaang...


Xianggang part.3

Semilir angin malam berhembus dengan tenang. Suara air beriak dihembus angin bercampur dengan segarnya bau air laut. Cuaca malam itu sangat cerah. Gedung-gedung bertingkat yang tampak di seberang berhiaskan lampu dengan latar belakang pegunungan nan kelam membuat romantisnya suasana. Dari jauh tampak gedung Bank of China HK yang unik, tampak jauh lebih indah dibanding gambar di bank notes HKD.

Gw sedang berada di kapal ferry, menyeberangi selat antara Semenanjung Kowloon dengan Pulau Hongkong. Walau bisa menyeberang dengan bis atau MTR di terowongan bawah tanah, rasanya tetap beda kalau menyeberang dengan ferry, suasana romantis lebih terasa. Malam ini pun gw sampai bolak-balik menyeberangi selat hanya karena tak rela kehilangan suasana yang romantis tersebut.

Sambil memandang ikan-ikan yang sesekali muncul ke permukaan air, gw memikirkan kembali majalah yang gw lihat di lapak beberapa hari lalu. Gw bukan hanya browsing, tapi gw berhasil melihat 3 majalah sejenis yang diterbitkan lokal.

Gw jadi penasaran, pengen tahu isinya seperti apa. Kalo majalah terbitan Amrik, itu mah sudah biasa, hasil scan-nya mudah ditemukan di inet, gratis lagi. Jadi tak beli pun gw dah tahu isinya apa. Nah, kalo majalah lokal, isinya misterius, karena jarang ada yang scan dan nge-post di inet. Berhari-hari gw browsing di kompie sepupu gw juga tak berhasil, bahkan gw dah bela2in ketik pake huruf Han tradisional yang masih digunakan di HK, tapi tetap tak ketemu juga. Untunglah “aktivitas”ku tak ketahuan siapa-siapa, termasuk pho2 yang sempat masuk ke dalam kamar, tapi lupa memakai kaca mata. Termasuk juga si empunya kompie, yang tiap hari pulang malam dan esok pagi-pagi dah berangkat kerja lagi.

Permasalahannya adalah, gw tinggal di rumah Ayi, tentu tak mudah bawa-bawa majalah pulang. Kalo ditanya, “Bawa apa, Hong?”, tak mungkin kan kalo gw dengan polosnya menjawab, “Bawa majalah gay, Ayi.” Bisa-bisa gw diusir, tak boleh tinggal di situ lagi.

Ruang gerak gw juga terbatas. Ke mana-mana gw selalu diikutin Ayi, pho2, mam, atau sepupu. Jarang sekali gw bisa bernafas lega karena bisa sendirian. Beli majalah yang privat kan juga butuh privasi.

Akhirnya kuhabiskan malam itu sambil duduk-duduk di dekat Menara Jam Kereta Kowloon – Canton yang sekarang hanya menjadi landmark HK, khususnya area Tsim Sha Tsui di Semenanjung Kowloon. Di seberangnya, Pulau Hongkong semakin malam tampak semakin menawan dengan paduan langit yang kelam, siluet gunung yang kekar dan deretan gedung dengan lampunya yang gemerlap. Pikiranku menjadi tenang, beban hidup seakan terlupakan, momen yang damai ini seakan tak mau kulepaskan...

Xianggang part.4

Gw harus memilikinya! Ya, benar, gw HARUS memilikinya! Mesti kucari cara untuk mendapatkannya, daripada gw menyia-nyiakan kesempatan selama di HK (emang setiap hari gw bisa ke HK?) dan mati penasaran (sebenarnya ya tak sampai se-ekstrim ini sih he3). Tahu lah gimana rasanya penasaran itu. Kepikiran terus, terbayang terus, jantung berdegup kencang, otak dan mulut ga connect, kadang juga disertai gangguan pencernaan sampe mencret2 dan susah tidur!

Namun akhirnya memang pepatah ”Di mana ada kemauan, di situ ada jalan” bisa menjadi kenyataan. Saat itu dah sore, cuaca adem, kita baru pulang dari belanja di supermarket.

”Ayi, wa mau melepas penat bentar ya di Taman Wah Fung!”
Taman Wah Fung itu pas di belakang apartemen Ayi. Tiap kompleks apartemen di HK memiliki tamannya sendiri, dan Taman Wah Fung ini termasuk taman yang luas dan apik. Di sana ditanam bunga aneka warna, beberapa buah paviliun tempat bersantai di bawah dan di atas bukit yang dilengkapi dengan kursi dan meja batu yang telah dipahat dengan papan catur cina, serta kolam luas yang ada ikan dan penyu. Pohon-pohon willow berayun santai ditiup angin semilir menciptakan suasana yang tenang dan damai.

”Okay, Hong ! Le tahu kan nomor kode pintunya? Kalo sampe lupa, pake intercom aja bel ke atas ya.” Untung tentengan Ayi tak banyak, makanya gw tak menemani sampai ke atas lagi. Lagian apartemen Ayi terletak di lantai 5.

”Oya, bawa nih payungnya!” Ayi serahin payungnya ke gw. Gw sempat menatap sebentar model dan warna payung itu dan wajahku jadi cemberut. Rasanya beraaat banget mau mengambilnya! Masak gw bawa payung berumbai-rumbai, pinky lagi, idiiih, norak banget. Tetapi, sudahlah, akhirnya gw ambil juga, karena cuaca memang tak menentu, hujan bisa turun setiap saat. Payung rumbai-rumbai pun tetap lah payung, yang bisa melindungi gw dari tetesan hujan. Lagian orang HK juga cuek bebek, masing-masing sibuk dengan urusannya sendiri, tak ada yg bakalan usil menertawakan cowok centil yang menenteng payung rumbai2 he3...

Gw berpura2 menuju gerbang taman sambil sesekali mengintip ke belakang. Setelah Ayi lenyap dari pandangan, cihui, gw langsung berputar arah, berkelana menuju lapak majalah. Perjalanannya tak gampang, gw mesti nyebrang, naik turun tangga dan bukit, melewati kompleks apartemen dan taman lainnya. Sempat ngos-ngosan? Tidak juga. Beberapa hari di HK telah membuat gw terbiasa berjalan kaki naik turun bukit sambil mengatur nafas. Namun yang namanya keringat ya tetap aja mengucur kalau badan mulai terasa panas. Gw berjalan dengan cepat, adu cepat dengan orang-orang HK yang jalannya sangat cepat. Sapu tanganku hampir basah karena sudah beberapa kali kukeluarkan untuk mengelap muka. Degup jantungku semakin cepat, secepat laju taksi yang hampir menyerempetku saat menyeberang jalan!


Xianggang part.5

Hampir copot jantungku ketika nyaris terserempat tadi. Salah gw sendiri, tak perhatikan jalan. Untung gw refleks meloncat ke tepi dan tak terluka sedikit pun. Untung juga ada bangku yang bersih di tepi jalan sehingga gw bisa duduk dan mengatur nafas sebentar di sana. Tapi gw ga boleh berlama2. Rasa penasaran memicuku untuk bangkit berdiri dan melanjutkan perjalanan lagi.

Akhirnya sampailah gw di lapak pertama. Keringat yang bercucuran dipadukan dengan rasa nervous yang berlebihan menghasilkan bau yang lumayan aduhai. Tapi bau tersebut sudah tak tercium lagi saking gembiranya gw bisa sampai juga ke lapak ini. Cepat-cepat kulap keringat lagi agar tak tambah gerah.

Gw celingak-celinguk dan pura-pura melihat-lihat majalah yang ada, padahal lirikan mata ke majalah Playgirl. Inilah majalah yang pertama kali gw lihat kemarin, covernya pria bule macho yang nyaris telanjang. Isinya sudah gw lihat habis di inet. Jadi lirikan beralih ke deretan majalah ’17 tahun ke atas’. Terseliplah majalah Lan Kwai Fong di antara majalah tersebut dengan cover pria tampan bermata sipit setengah bugil. Tak diragukan lagi ini pasti majalah gay lokal!

Tiba-tiba “TING!”, gw merasa malu sendiri. Mukaku menjadi merah. Setiap kali rasa malu tak terbendung, mukaku akan seperti kepiting rebus. Rasanya panas, terutama di kuping. Inilah kali pertama gw mau membeli majalah gay, sesuatu yang sama sekali belum pernah gw pegang dan lihat walau gw dah 28 tahun!

Gw berbalik arah dan ingin kembali saja. Tapi baru berjalan beberapa langkah, langkahku terhenti.


Xianggang part.6

Hatiku kembali bimbang, sudah jauh-jauh dan cape-cape nyampe ke tempat tujuan, masakan sekarang mau menyerah begitu saja!

Glek, gw menelan ludah, mengatur nafas buat nurunin panas di muka sambil tebal-tebalin muka laksana badak supaya berani membeli majalah itu. Hatiku berkata toh tak ada yang kenal gw di sini, jadi ngapain mesti malu. Andaikan penjualnya mau tertawain atau melecehkan, gw jg ga usah peduli, kan tak bakalan jumpa dia lagi. Akhirnya kumantapkan hati, puter badan kembali ke tempat tersebut.

Mengingat gw lagi di HK dan mayoritas penduduknya menggunakan dialek Kanton, sedangkan gw tak bisa bahasa tersebut, jadi gw hanya nunjuk majalah itu, letaknya agak tinggi sehingga jariku ga nyampe. Nah, kan! Yang kukhawatirkan terjadi juga. Penjualnya manggut-manggut, tampaknya tak mengerti dan memandang gw dengan heran. Sepertinya dia sedang menimbang-nimbang apakah cowok yang berdiri di hadapannya memang bener mau membeli majalah itu dan sorotan matanya seakan ga yakin bhw gw adalah gay.

Makanya untuk memastikan, dia mengambil majalah untuk pria straight di sampingnya dan menyodorkannya kepadaku, gw langsung menggeleng dan menunjuk dengan payung rumbai-rumbai itu langsung ke Lan Kwai Fong supaya dia tak salah ambil lagi. Dia malah tertawa terkekeh-kekeh sambil melirik2 payung tersebut dan raut mukanya jadi yakin sekarang bahwa gw menginginkan majalah gay. Sambil tertawa nakal dia mengambilkan Lan Kwai Fong.

Duoshao qian?” (Berapa harganya?) tanyaku dalam Mandarin.
Dia tak menjawab, rupanya tak bisa ngomong Mandarin, namun dia menunjuk harga di cover, berarti ngerti maksud pertanyaanku. HKD 60. Gw segera bayar ke dia.
Qing gei wo heidai!” (Tolong beri saya kantong hitam!) Gw ga mau sepanjang jalan diperhatikan orang gara-gara nenteng majalah gay!

Dia langsung memasukkan majalahnya ke kantong hitam dan menyerahkannya ke gw, masih aja tersenyum nakal. Dasar! Tapi gw ga peduli, perjuanganku belum selesai. Gw meneruskan perjalanan ke lapak berikutnya lagi karena tidak semua lapak memiliki koleksi majalah gay yang lengkap. Dan perjuanganku tidak sia-sia, karena singkat cerita, gw dapat tambahan 2 majalah lagi : Xiongfeng dan Yiling. Berbeda dengan kondisi awal, sekarang gw makin cuek aja, seperti orang yang dah pengalaman banget, ga pake muka merah dan ga pake malu, langsung tunjuk, bayar dan minta kantong hitam.

Senangnya tidak ketulungan lah ya. Perjalanan pulang terasa lebih ringan, sambil gw menyanyikan lagu Doraemon dengan sikit modifikasi :

Gw beli yang ini, gw beli yang itu
Beli beli beli beli banyak sekali
Semua semua semua dapat disembunyikan
Dapat disembunyikan dalam kantong hitam

Gw bagai terbang bebas di angkasa
Hei.... baling-baling bambu
La la la, gw tak tahan lagi, pengennya coli... ha3....
Xianggang part.7

Stallion muda gagah perkasa,
tenaga besar nafsu membara,
tiada lawan mampu menghadang,
koboi ditendang, palang diterjang.

Mungkin kondisiku saat ini sama persis seperti si stallion muda alias horni banget! Ada 3 majalah masih terbungkus plastik yang bikin gw penasaran setengah mati. Tempat manakah yang aman untuk menikmatinya?

“TING! TING! TING! Toilet mall!” bola lampu pijar muncul di atas kepala seperti kartun Lang Ling Lung di album Donal Bebek.Gw ga jadi pulang ke apartemen Ayi. Gw ingat ada satu mall di puncak bukit sehingga gw buru-buru menuju ke sana. Mall-nya luas dan lega, aneka ragam toko dengan barang-barang menarik bertaburan di sana, tapi yang gw cari sekarang hanya toiletnya. Dan dalam hitungan detik gw berhasil menemukan toiletnya yang bersih dan dah berada di dalamnya.

Kantong plastik kuremas-remas...
Kertas kubolak-balik dengan keras hampir terlepas...
Kunikmati semua keindahan postur maskulin hingga puas...
Tangan, batang dan gairah berpadu menghasilkan tembakan bebas...
Muncratan terakhir membuatku tergolek lemas, mas, maaaaas.....
Xianggang part.8

Sekujur badanku keringatan dan gw baru merasa cape dan lemes, tapi lemesnya puas karena hasrat yg sudah lama tertahan sudah tersalurkan. Kubasuh wajahku dan kurapikan rambutku dengan air wastafel yg dingin-dingin segar, agar bekas-bekas mesum barusan ga kelihatan lagi. Kemudian kuselipkan ketiga majalah tersebut di belakang punggungku. Cukup menyolok, karena majalahnya tebal dan berat.

“Kriuk, kriuk, kriuk,” perutku sudah menuntut pemenuhan nafsu yang lain, yaitu nafsu makan. Dengan cepat gw berjalan pulang ke apartemen yang sudah tak jauh lagi, lagian kali ini jalannya menurun sehingga langkah gw bisa lebih cepat lagi, melewati rombongan pelajar sekolah menengah yg baru pulang yang berjalan gontai dengan kaca mata mereka yg tebal-tebal dan wajah yg tegang kusut. Kasihan, sesore ini mereka baru pulang dan tampang mereka jelas-jelas tampang yang stres, untunglah gw ga sekolah di HK....

Tiba di apartemen Ayi, hari sudah gelap. Matahari telah kembali ke peraduannya, sinarnya digantikan oleh cahaya sang rembulan yang indah menawan, menghiasi kota HK yang bertaburan gedung-gedung tinggi dengan cahaya lampu yang keluar dari sekujur tubuhnya. Gw melewati sang penjaga apartemen yang membukakan pintu sambil bilang to cie (makasih), tersenyum bentar, kmdn langsung naik ke atas.

Ayi, wa teng lou!” (Ayi, saya sudah pulang!)
Hong a, co hok ku to hue hng, toukhun bwe?” (Hong, dah lama duduk di taman, dah lapar belon?)

He3, kasihan si Ayi, dia ga tahu bahwa gw sebenarnya sama sekali ga pernah sampai ke taman, palagi duduk2 di sana. Ayi muncul dari dapur dengan senyum nan ramah. Gw senang banget lho lihat tampang Ayi, kadang gw merasa gw lebih mirip Ayi dibanding mama, terutama gigi kelincinya mirip banget dengan gigi gw, eh terbalek, harusnya gw yang mirip dengan Ayi.

Makanan sudah disiapkan di meja dan Ayi memasak sup haisim (teripang) kesukaan gw. Selain itu ada sayur muda yang direbus. Selain itu ada ikan bawal kukus yang ditaburi sayur asin cah daging kecap di atasnya. Selain itu, waduh, pokoknya banyak makanan yang tersedia, bikin gw makin ngiler aja...

“Ai-ya, lapar banget, Ayi!”
“Yuk, kita makan bareng!” kata Ayi sambil menepuk-nepuk punggungku dan ups, majalahku tertepuk. Ayi sempat merengut, tahu gw menyembunyikan sesuatu, tapi kmdn dia tersenyum kembali, seolah-olah tak menepuk apa-apa. Segera diulurkannya sumpit dan semangkok nasi kepadaku. Gw berdoa mengucap syukur kepada Tuhan atas rejeki yang telah diberikan. Selesai doa, Ayi menatapku, seakan-akan pengen membuka pembicaraan mengenai hal tadi, namun gw cepat2 menyela sebelum Ayi sempat berkata-kata.

Haisim-nya enak banget, Ayi, gurih, jamurnya juga tebal2 dan kuahnya nikmat banget. Pokoknya masakan Ayi paling top dah. Kamsia ya Ayi, dah bikinkan masakan yang nikmat begini !”
“He he he . . . Kalo gitu ciak pui-pui ya, Hong!” (Makan hingga gendut ya, Hong).

Begitu selesai makan, gw mandi dan masuk kamar sepupuku. Majalahnya kuletakkan di meja dan gw berbaring sebentar di kasurnya. Empuk dan harum, harum maskulin. Kupeluk gulingnya, empuk dan harum maskulin juga, kucium2 bantalnya, eh harumnya makin memabukkan, lama-lama gw jadi ngantuk, mata tinggal 5 watt, dan akhirnya zzzzzzzzz....................
to be continued
next page

0 comments:

Post a Comment