DISCLAIMER:

This story is a work of fiction. Any resemblance to any person, place, or written works are purely coincidental. The author retains all rights to the work, and requests that in any use of this material that my rights are respected. Please do not copy or use this story in any manner without author's permission.

The story contains male to male love and some male to male sex scenes. You've found this blog like the rest of the readers so the assumption is that material of this nature does not offend you. If it does, or it is illegal for you to view this content for whatever the reason, please leave the page or continue your blog walking or blog passing or whatever it is called.



Kadang Cupid Tuh Tolol! Chapter 8 (3)

-chapter 8- ( 3 ) : Meet Cazzo
by MarioBastian

note : karena ceritanya panjaaaaang banged, akan dibagi jadi beberapa page biar ga susah bacanya. Yang pasti keren banged hehehe... selamat menikmati!!!
----------------------------------------


Meski ya, kenyataannya, aku lebih menyukai Bang Dicky daripada Cazzo. Aku lebih menyukai yang dewasa. Atau berusia dewasa. Aromanya dewasa dan sebagainya dewasa. Cowok yang kulitnya udah nggak semulus anak enam belas tahunan. Yang bakal memelukku dengan sayang dan melindungiku.

Bukan tipe-tipe remaja yang labil dan gampang cemburuan. Apalagi yang ini, kelihatannya dia sangat bergantung padaku. Sebagian besar pekerjaan rumahnya sekarang aku yang mengerjakan. Dan kalau sudah bimbang, dia pasti menghubungiku untuk minta pendapat. Seolah aku ini asistennya. Atau istrinya. Semacam itulah.

Nah, kan, dia tiba-tiba masuk.

Saat aku sedang asyik menyikat gigi gerahamku, Cazzo muncul di pintu kamar mandi dengan wajah cemberut. Dia pura-pura nyuekin aku, padahal aku bisa menangkap lirikan-lirikan matanya yang berharap “ayo ngomong duluan”. Cazzo berjalan melewatiku, membuka tutup toilet, dan mulai pipis.

“Ngapain?” dengusku—retoris.
“Pipis. Buta ya, nggak bisa lihat?”
“Kamu nggak sopan! Aku kan lagi gosok gigi.”
“Gue nggak pipis di wastafel, kok. Gue pipis di toilet! Kalo gue pipis di wastafel padahal lo lagi gosok gigi, baru nggak sopan.”

Aku memutar bola mata dan menoleh ke arah lain.
Pertama, aku sebel kalo Cazzo udah kayak begitu. Marah-marah nggak jelas dan bikin alasan-alasan nggak masuk akal. Memangnya dia nggak malu apa, pipis pas ada orang lagi gosok gigi?
Kedua, aku nggak mau melihat little jack-nya... atau aku semalaman bisa meriang. Face it, aku ini gay, penyuka cowok, dan mau dibikin alasan seekstrim apapun, kalau aku dihadapkan dengan alat kelamin cowok (apalagi dengan taraf kegantengan macam Cazzo), aku pasti K.O—pasti terangsang nggak ketulungan. Lihat nih, sekarang aja udah ada yang mengeras lagi di balik celanaku.

Cazzo menyelesaikan pipisnya dengan cepat tapi masih berdiri di depan toilet. Aku meliriknya sebentar... Huh, dia ternyata sedang melirikku juga! Dan untuk satu menit ke depan, kami masih berdiam diri di situ. Tak bergerak kemana pun. Diam tanpa suara.

Well, aku sih lagi gosok gigi. Nah, kalo dia ngapain berdiri di depan toilet?
Pencet flush, kek, biar bau pesingnya nggak menyebar di kamar mandi.

“Bisa tolong pencet flush?” kataku dengan mulut penuh sikat gigi.

Cazzo memencet flush dan mulai mematut dirinya sendiri di depan cermin kamar mandi yang sangaaaat besar. Mirip cermin yang ada di toilet mall. Dia dengan salah tingkah mencoba membersihkan sesuatu (yang aku yakin sebetulnya nggak kotor) dari bahunya yang telanjang. Dia juga pura-pura merapikan celananya, dan kadang mengatur-atur rambutnya.

Oh, Tuhan. Dia kelihatan ingin sekali bicara tapi malu untuk memulainya.

“Oke, aku pilih kamu,” kataku akhirnya sambil membuang busa di mulutku dan mencucinya dengan air keran.
“Apa, apa? Sekali lagi?” tanyanya dengan wajah memerah. (Dan dia masih malu-malu menatap wajahku... kali ini mungkin malu karena senang.)

Aku memastikan mulutku bersih dari busa dulu baru kemudian menjawab. “Kalau disuruh milih, aku pilih kamu. Puas?”
“Alasannya apa?” Cazzo berusaha keras menyembunyikan kegembiraannya, tapi dia gagal. Karena ujung bibirnya berkedut-kedut.
“Karena kamu orangnya lucu...” jawabku asal. “Dan menawan...”

Padahal aku pilih dia supaya dia nggak cemberut padaku semalaman. Aku benci kalo Cazzo sudah cemberut kayak begitu. Jawaban asliku sih tetap: Bang Dicky.

“Dan ganteng?” tanya Cazzo sambil mengusap-usap dagu di depan cermin.
“Dan ganteng,” kataku.
“Seksi? Atraktif?”
“Dan seksi, dan atraktif, apalagi?”

Cazzo memutar otak. “Pintar? Baik hati?”
IMPOSSIBLE! “Dan pintar, dan baik hati... masih ada lagi?”
“Gayanya keren, senyumnya manis, orangnya cool, macho, gagah perkasa...”
Astaga, hebat sekali dia memuji dirinya sendiri!

“Ya, ya... aku mau tidur,” kataku sambil membereskan peralatan menyikat gigi dan keluar dari kamar mandi.
“Gue juga mau tidur,” ujarnya sambil membuntutiku.
“Lampunya matiin? Pake lampu kecil, ya?” usulku.
“Siap, bos!”

-XxX-

Satu jam kemudian, lampu kamar sudah padam, teve sudah mati, dan yang terdengar hanyalah dengungan AC. Sayup sayup sih dapat kudengar Trio Macan di kamar sebelah sedang menjerit-jerit senang, kelihatannya habis belanja banyak atau mungkin ketemu artis Hollywood di Malioboro.

Aku di sini, sedang berusaha keras untuk tidur. Sulit sekali rasanya kalau tidur dengan kondisi seperti ini. Cazzo berada sangat dekat denganku, tertidur pulas, dan dia masih telanjang dada! Bayangkan itu. Hanya mengenakan celana pendek saja, celana yang bisa kupelorotkan tanpa membangunkannya, dan aku bisa bermain sesukaku dengan alat kelaminnya. Tapi bukan berarti aku bakal melakukannya. Kalau Esel sih mungkin-mungkin aja. Bahkan saat Cazzo masih bangun pun, dia bakal melakukannya. Yang barusan hanya pikiran selintas aja. Pikiran kotor yang langsung kulupakan begitu aja.

Tapi kira-kira “itunya” Cazzo kayak gimana, ya?
Bukannya aku masih berpikiran kotor atau apa. Wajar kan seorang teman ingin tahu gimana alat kelamin temannya. Hanya untuk research, misal membanding-bandingkannya denganku atau melihat apakah daerah sekitar little-jack-nya sudah ditumbuhi rambut?

Oh, sialan. Dia bergerak!
Aku melirik ke arah Cazzo, dalam kegelapan, dan melihat selimut yang tadi menutupinya sudah ditendangnya kesana kemari. Bahkan guling yang tadi dipeluknya sudah ada di ujung ranjang. Dan guling itu... ckckck... Cazzo langsung menendangnya! Tepat saat aku memikirkannya, dia menendangnya seolah aku nggak boleh memikirkan guling itu.

Eh, eh, mau ngapain kakinya?

Tiba-tiba saja kulihat kaki Cazzo menendang-nendang ke arahku. Setiap dia menyentuh kakiku, dia berhenti. Kemudian dia mencari-cari lagi, dan berhenti lagi setiap menyentuhku lagi. Sampai akhirnya... dia menemukan gulingku.
Dan dia menendangnya!
Awalnya gulingku nggak jatuh, hanya bergeser sedikit saja. Lalu dengan usaha yang berlebihan, dia menendang guling itu sampai jatuh dari ranjang.
Ngapain sih?

Lalu setelah puas semua guling di atas ranjang lenyap, dia berguling ke arahku. Terlalu kentara. Terlalu mencurigakan. Nggak mungkin dia mengidap paralysis. Dia bergerak mendekatiku, menggeser-geser bahunya, dan entah sengaja entah ngelantur, tangannya tiba-tiba jatuh di atas tubuhku. Tangan itu lalu menarikku. Dan entah sejak kapan tangannya yang lain menyusup ke bawah tengkukku, sama-sama menarikku mendekatinya.

Sehingga kesimpulannya, sekarang dia sedang memelukku seolah kami ini suami istri.

“Cazzo, ngapain kamu?” bisikku.
Hmmmhhhh??” dengungnya sambil masih memejamkan mata.
“Aku bawain guling kamu, ya?”
Hmmmhhhh...!” Dia mendengung agak marah.
“Ini aku, orang, bukan guling. Dan aku cowok.” Dan baru saja aku mau bilang, “Gimana kalo anak-anak CIS lihat ini, atau ada kamera di kamar ini dan merekam yang kamu lakukan lalu disebarkan di youtube,” Cazzo keburu mendengung lagi.

“Hmmmmhhh...”
Jelas sekali dia nggak peduli saat memelukku.
“Bentar, aku bawain dulu guling yang jatuh.”

Tapi Cazzo malah memelukku lebih erat, seolah aku nggak boleh pergi kemana-mana. Bahkan, kakinya sekarang menindih kakiku, menahanku turun dari ranjang. Dan dia masih tertidur, for God’s sake! Atau pura-pura tidur?

“Cazzo?”
“Lo aja yang jadi guling gue,” bisiknya kemudian. Lalu mendengkur.

-XxX- 

Aku membuka mataku tepat pukul sembilan pagi. Astaga, aku kesiangan. Baru sekarang aku bangun sesiang ini. Biasanya aku sudah terbangun jam lima atau enam, menghirup udara segar depan rumah dan memainkan game di komputer. Tapi saat aku membuka mataku, tirai jendela kamar sudah terbuka dan cahaya matahari menyeruak masuk.

Tapi wajar, semalam aku nggak bisa tidur. Nyaris terjaga semalaman. Mungkin baru lewat jam dua atau tiga dini hari, aku bisa terlelap. Itupun setelah Cazzo akhirnya secara nggak sadar melepaskan pelukannya.

And yes, cowok itu semalaman memelukku! Bikin aku nggak keruan aja...
Aku melewati malam kemarin dengan jantung berdetak kencang dan badan merinding. Apalagi saat kulit tubuh Cazzo yang telanjang menyentuh tanganku, dan saat hembusan napasnya menggelitiki leherku, atau saat kakinya mengais-ngais di atas pahaku... rasanya... mendebarkan.

Tubuh Cazzo terasa hangat. Dan wangi minyak telon. Saat dengan sengaja aku memperhatikan wajahnya yang polos dalam kegelapan, wajahnya yang tertidur pulas dan tak berdaya, aku jadi merasa sayang padanya. Bukan berarti aku suka secara seksual sama dia ya, tapi lebih ke... ingin terus dekat dengannya karena dia menggemaskan. Itu aja. Apa sih yang waktu itu Adam pernah bilang waktu aku cerita soal Cazzo empat hari yang lalu?

Oh, unyu.

Aku menikmati memandang wajah Cazzo, meski dalam kegelapan, mengamati lekukan hidungnya, alisnya dalam jarak dekat, dan bagaimana dia menggesek-gesek pipinya di mukaku... atau saat dia menggeliat-geliat mencari kehangatan. Nggak heran aku terjaga semalaman. Malah, aku sekarang kangen sama dia.

Tunggu. Mana dia?

Aku terbangun dan menemukan Cazzo nggak ada di sebelahku. Teve belum menyala sih, tapi tirai sudah terbuka lebar, matahari sudah menyinari kamar ini sampai-sampai aku merasa silau. Di mana Cazzo?

“Udah bangun, Bro!” Tiba-tiba Cazzo muncul dari kamar mandi, hanya mengenakan handuk yang dililitkan di pinggang saja. “Pasti pules banget bobonya semalem sampe-sampe bangun jam segini.”

On the contrary, idiot! Aku justru nggak bisa tidur makanya bangun kesiangan!

Dan kamu lagi, kenapa pas aku bangun masih telanjang juga? Cuma dibalut handuk doang?

Cazzo menghampiriku, duduk di pinggir ranjang dan nyengir sambil menatapku. Beberapa titik air masih menempel di badannya diiringi wangi sabun yang begitu segar. Jujur jantungku jadi berdetak kencang lagi, tapi kali ini aku bisa lebih menguasai diri.

“Sarapan?” tanyanya. Cazzo membungkuk, meraih sesuatu di atas nakas, tapi aku malah fokus ke rambut-rambut ketiaknya yang halus dan basah saat kedua tangannya terulur ke depan. Sialan, little jack mengeras lagi. Biarin, lah. Aku bisa beralasan kalo ini adalah Morning Erection.

Ketika Cazzo duduk tegak lagi, ternyata dia sudah membawa nampan! Nampan yang tidak kulihat dari tadi karena terlalu sibuk menatap Cazzo. Dan di atas nampan itu ada nasi goreng hangat, lengkap dengan telur mata sapi, jus jeruk, beberapa potongan buah, juga kerupuk.

Aku nggak bisa menahan diriku untuk nggak senyum malu-malu. Baru pertama kali ada yang membawakan sarapan untukku seperti ini. Seperti di film-film saja.

“Gue tadi ke bawah ngambilin ini buat lo,” ujarnya. “Si Sarah ama si Meisa tiba-tiba ngegedor pintu, ngajak sarapan bareng. Ya udah gue sarapan ama mereka sambil bawain ini buat lo.”
“Terus mereka ke mana?”
“Siap-siap kali, buat studi. Kan jam sepuluh ditungguin di lobby.”

Cazzo menggaruk-garuk belakang kepalanya sambil salah tingkah menatapku. Aku sendiri dengan grogi meletakkan nampan itu di atas pahaku, masih terduduk di atas kasur. Apa yang harus kulakukan? Ini terlalu... romantis.

“Makan dong, Bro! Udah capek-capek dibawain...”
“Iya-iya...” Aku tertawa kecil sambil meneguk jus jeruknya.
“Mau disuapin?” tawarnya.
“Nggak usah! Aku bisa—“

Tapi Cazzo keburu menyendok nasi goreng dan mengarahkannya padaku. Darahku malah ser-seran melihat Cazzo di hadapanku, setengah bugil, badannya masih basah, menyuapiku nasi goreng diiringi ekspresi wajahnya yang polos itu... untuk beberapa detik, aku nggak sanggup membuka mulutku... aku terpana menatap Cazzo di hadapanku... betapa perhatiannya dia...

“Bro? Buka dong... mau dimasukin lewat idung aja?”

-XxX-

Memulai hari dengan sesuatu yang menyenangkan, imbasnya adalah hal yang menyenangkan sepanjang hari. Atau mungkin aku yang membuatnya begitu, tapi sudahlah. Yang penting aku bersenang-senang.

Kami bersepuluh (yes, kelompok tiga juga entah dari mana ceritanya tiba-tiba punya objek studi yang sama dengan kelompok kami) mendatangi beberapa lokasi sepanjang hari Sabtu itu. Pertama-tama kami mengunjungi Monjali, Monumen Jogja Kembali. Kami mempelajari sejarah perjuangan di wilayah ini dan sekalian foto-foto untuk bukti dokumentasi tugas. Kecuali delapan anggota yang lain ya, mereka foto-foto untuk bukti dokumentasi facebook bahwa mereka sedang berfoto bersama Cazzo.

Aku membiarkan Cazzo dikelilingi penggemar-penggemarnya sementara aku asyik membaca setiap keterangan benda-benda sejarah, atau mengamati boneka-boneka diorama, atau bahkan terkagum-kagum dengan megahnya bagian tengah dari Monjali. Cazzo juga ternyata sibuk dengan fans-nya. Melihat hubungan kami yang sudah agak baikan, maksudku dia pagi tadi so sweet banget nyuapin aku sarapan, mood Cazzo membaik dan dia mau berbaur dengan fans-nya tanpa mesti membuntutiku ke mana-mana.

Dia kembali menjadi cowok narsis yang nyadar dirinya ganteng dan membiarkan cewek-cewek itu mengerubuninya seolah dia artis Hollywood.

Sudahlah, toh memang dari awal aku sudah tahu kejadiannya bakal begini.

Selain Monjali, kami juga mengunjungi candi prambanan dan gedung SMA 11 Yogyakarta (entah apa yang bisa kami cari di sini, tapi menurut brosur, gedung ini adalah salah satu cagar budaya). Tak lupa kami berkunjung ke Kotagede, melihat hasil karya kerajinan perak di sana. Atau tepatnya, aku yang melihat dan melakukan studi, sementara yang lain belanja kalung dan oleh-oleh perak lainnya. Sarah malah membeli miniatur kapal laut yang dihargai jutaan rupiah.

Menjelang sore, kami mengunjungi komplek perumahan Teletubbies dan kampung kota Kaliurang. Hanya foto-foto saja, mengagumi bentuk-bentuk rumah iglo berwarna putih itu dan jalan-jalan di perkampungan yang rumahnya saling bertumpuk satu sama lain yang berada tepat di samping sebuah sungai.

Seumur hidup aku nggak mau tinggal di sini. Gimana kalo ada banjir besar?

Acara studi itu diakhiri dengan mengunjungi Taman Sari, tempat mandi Puteri Keraton. Inilah tempat yang awalnya mau kukunjungi bersama Adam hari ini. Tapi mengingat semua anggota kelompok yang lain nggak peduli ke mana kami bakal melakukan studi, ya sudah aku bawa saja mereka ke sini, sebab aku penasaran dengan tempat ini. Aku hanya tinggal bilang ke sopir mobil sewaan kami tempat yang mau dikunjungi, dan dia sudah hafal ke mana harus pergi.

Sekarang sudah pukul empat sore. Kami sudah puas mengelilingi tempat mandi puteri keraton dan sedang beristirahat sambil jajan rujak. Baru pada saat itulah akhirnya Cazzo mendekatiku secara khusus. I mean, dia seharian bersama penggemarnya. Akhirnya sekarang dia menghampiriku dan menyeretku ke tempat yang jauh dari teman yang lain. Dan entah kenapa kebetulan nggak ada Esel—dia lagi ke WC mungkin.

“Kita nggak ke mana-mana lagi?” tanyanya basa basi. Tangannya dimasukkan ke dalam saku dan matanya melirik ke arahku sekilas-sekilas. Jelas sekali dia punya maksud terselubung.
“Masih ada Keraton Yogyakarta sama Rumah Affandi, museum pelukis terkenal itu,” jawabku.
Cazzo kelihatan kecewa. Dia bahkan berdecak sekali dan melemparkan pandangannya ke arah lain.

“Tapi itu besok, sebelum kita ke airport, kita mampir dulu di sana.”
“Oh?” Wajahnya berubah riang. “Bukan hari ini?”
“Ya nggak lah.. ini udah sore. Kita kan besok pulang jam dua. Masih ada waktu buat ke sana dulu sebelum pergi ke airport. Emang kenapa?”

“Oh, gue mau ngajak lo jalan-jalan sekarang!” sahutnya riang. Belum juga aku bilang iya, Cazzo sudah menarik tanganku keluar dari pintu gerbang Tamansari.
“Bentar, aku kasih tahu dulu yang—“
Sial, aku sudah keburu keluar dari Tamansari.

-XxX-

Setengah jam kemudian, kami berdua sudah ada di sebuah Avanza sewaan dan dalam perjalanan menuju pantai Perang Meningitis... Sintetis... semacam itulah, barusan Cazzo menyebutkannya terlalu cepat jadi aku nggak mendengarnya dengan jelas.

Matahari sore yang membuat langit berwarna oranye mengubah mood-ku yang asalnya kesal, karena Cazzo tiba-tiba menculikku di luar rencana, menjadi lebih baik lagi. Bagaimana nggak kesal, aku dibawanya ke sebuah tempat penyewaan mobil menggunakan taksi, lalu Cazzo menanyakan mobil pesanannya, dan berikutnya yang kutahu aku sudah dalam mobil menuju pantai tis tis tersebut.

“Aku udah sms yang lain, ngebilangin kalo kita lagi jalan-jalan di Malioboro dan suruh sopir nganterin mereka ke sana aja.” Aku mendengus sambil menjatuhkan ponsel ke atas pahaku.
“Jangan cemberut dong, Bro! Smile!” Cazzo nyengir sambil tersenyum lebar ke arahku. “Gue udah biasa nyewa mobil di situ bareng keluarga gue kalo liburan ke Jogja. Udah langganan lah...”

“Ini bukan soal langganan mobil, for God’s sake! Tapi soal bikin rencana ngedadak macam begini. Rangkaian acara hari ini kan belum selesai, belum kita tutup bareng-bareng. Gimana kalo mereka panik nyari-nyari kita?!”
“Ah, santai aja,” decak Cazzo. “Gue ke WC aja mereka udah panik. Kabur dari mereka nggak akan ada bedanya.”
“Lagian tujuan kamu tuh apa sih nyulik aku ke pantai segala?”
“Gue pengen beduaan aja ama lo. Sumpek ama mereka, berisik mulu.”

“Ah, bullshit,” gumamku. “Seharian ini kamu asyik banget dikerubunin mereka.”
“Jadi lo cemburu?” tanyanya girang.
“Aku nggak cemburu!”
“Lo cemburu, Bro! Gue bisa lihat nada-nada lo itu nada cemburu!” Cazzo tergelak senang.

Astaga, sejak kapan aku cemburu?! Seharian ini aku justru bahagia karena nggak didempet Cazzo melulu. Seharian ini aku gembira karena bisa melakukan studi tanpa ada yang Bra Bro Bra Bro atau menarik-narik tanganku untuk kabur dari penggemarnya. Di bagian mananya aku terdengar cemburu?

“Suka-suka kamu, deh...” sahutku.
“Lo cemburu!” simpulnya.

Aku nggak mendebat lagi kata-kata Cazzo, sebab kalau aku balas, bisa panjang urusannya. Kalau apa yang terjadi ternyata nggak sesuai harapan dia, dia bakal cemberut dan maksa-maksa. Bete kan kalo udah gitu? Jadi mending iyain aja. Lagipula—Oh, Parang Tritis! Tadi aku baca nama pantainya di petunjuk jalan. Lagipula, Cazzo tuh orangnya keras kepala dan gengsinya tinggi. Kasihan dia kalo dibikin bete terus sama aku gara-gara kami beda pendapat.

Setengah jam kemudian, kami sudah tiba di pantai Parang Tritis. Banyak sekali anak muda di sini, mungkin karena faktor malam minggu. Tapi aku tetap senang karena langit kelihatannya sangat bersahabat. Jam sudah menunjukkan pukul setengah enam. Nyaris setengah enam. Cazzo memarkirkan Avanza sewaannya di tempat parkir penuh pasir padat yang juga dipenuhi mobil lain dan motor-motor. Kami berdua lalu berjalan sambil menjinjing sepatu kami, melangkah di atas pasir lembut yang masuk ke sela-sela kaki.

Ya Tuhan, kapan ya terakhir kali aku pergi ke pantai? Rasanya mendebarkan.

Ombak di pantai ini terhitung besar. Deburannya memecah bibir pantai dengan suara yang menggelegar. Aku berjalan sambil menghirup angin pantai yang kencang, sambil menatap langit luas yang mulai berwarna oranye gelap dan menendang-nendang pasir yang kulewati. Cazzo berjalan di sampingku, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku dan menikmati pantai berangin kencang ini.

“Makasih ya Bro, udah mijitin gue semalem,” ujar Cazzo kemudian. Kami berdua menyusuri pantai melewati segerombolan anak muda yang sedang hura-hura. Menuju ujung pantai entah di mana itu, menginjak-injak pasir kecoklatan yang membuat telapak kakiku geli.

“Aku nggak pinter mijitin. Nggak usah say thanks,” balasku.
“Gue nggak peduli soal pijetannya,” kata Cazzo. “Yang penting lo yang mijitin udah oke.”
“Kenapa gara-gara aku yang mijitin jadinya oke?”
“Karena gue pengennya dipijitin ama lo.”

Apa sih dia ini? Menggodaku, ya?
Sekarang mukaku jadi merah karena malu. Dan nggak biasanya aku seperti ini.

“Makasih juga...” lanjutnya, “karena udah milih gue.” Cazzo memalingkan mukanya ke arah lain, malu saat aku menoleh ke arahnya. Kulihat semburat merah muncul di pipinya, dan dia nyengir sambil menekan gigi-giginya. Dia salah tingkah.

Dan dia begitu imut saat salah tingkah barusan.

“Oh,” aku bingung harus menjawab apa, “yaa... sama-sama.”
“Gue emang bukan cowok paling perfect,” tambahnya lagi, masih malu menatap wajahku. “Gue perfect sih, tapi kadang ada kekurangannya... dikit lah kekurangannya. Tapi gue seneng kalo lo milih gue meskipun gue, yaahh... ada masalah ini itu, lah...”
“Masalah apa...”
“Yaa... lo tau, lah... kekurangan-kekurangan gue”—kemudian tiba-tiba membekap mulutku—“tapi nggak perlu disebutin. Pokoknya ‘itu’ aja!”

“Iya-iya,” sahutku sambil melepaskan tangan bertulang besar itu dari mulutku.

Kami berdua terdiam, menikmati lagi suasana pantai yang alami dan menyaksikan detik-detik saat matahari mulai menghilang ditelan bumi. Kebetulan sekali, kami berjalan ke arah matahari tersebut akan tenggelam. Semuanya benar-benar sempurna. Awan-awan menggantung yang kini berubah merah muda. Pendar-pendar keemasan dari sinar matahari. Angin dingin membalut kulit kami... aku nggak akan mau menukar momen ini dengan apapun. Aku masih ingin ada di sini, dengan kondisi seperti ini, untuk bermenit-menit ke depan... atau berjam-jam.


Saat aku menyadari, ternyata kami sudah berada di wilayah dimana jarang sekali orang sedang nongkrong. Hanya ada beberapa pasangan muda yang sedang bermadu kasih, itupun mereka sedang asyik menikmati matahari terbenam, sibuk dengan dunia mereka sendiri. Aku tersenyum melihatnya. Apa kami juga seperti sepasang kekasih? Apa kami kelihatan mesra seperti cowok cewek yang duduk di atas motor itu?

“Gue seneng ama lo,” kata Cazzo kemudian. “Thank you ya udah mau jadi temen gue selama ini.”
Aku tergelak. “Sama-sama. Thank you juga karena mau jadi temen aku. I mean, aku kan newbie. Jarang-jarang anak baru bisa langsung dapet temen yang nempeeel terus kayak kamu.”
“Gue sih pengennya ada di samping lo terus, Bro! Sebab gue nyaman banget kalo udah ama lo...”

Tiba-tiba tangan Cazzo meraih tanganku. Kali ini dengan lembut. Dia menarik pergelangan tanganku, menyusupkan jemarinya di antara jemariku. Menggenggamnya... dan memberikan kehangatan luar biasa di tubuhku. Darahku mengalir nggak keruan lagi. Dan jantungku berdetak kencang.
Saat aku menoleh ke arahnya, melihat apa maksudnya menggenggam tanganku seperti ini, kulihat dia sedang tersenyum menatap matahari terbenam. Siluet wajahnya diterpa cahaya keemasan. Wajahnya terlihat berkilau dan menawan. Kalau aku tidak menahan diri, mungkin aku sudah menciumnya sekarang juga.

Kami berjalan dalam diam, menjejak pasir-pasir dalam keheningan. Sesekali Cazzo meremas tanganku dengan gemas, dan setiap kulit lengannya bersentuhan dengan kulit lenganku, aku merasakan debaran-debaran yang menjalar di sekujur tubuhku, membuatku merinding sekaligus senang.

Kami tiba di bibir pantai, berhenti di bagian paling ujung tempat ini. Masih ada beberapa orang di sekitar kami, tapi kami tak peduli. Aku dan Cazzo berdiri sambil membiarkan ombak-ombak yang bergulung kecil menerpa kaki-kaki kami, memberikan sensasi seolah sedang dihisap bumi.

Cazzo melepaskan tangannya, meregangkannya ke atas, dan menguap. Tapi kemudian dia meraih bahuku! Merangkul bahuku dan menarikku mendekatinya. Sekarang tubuhku menempel dengan tubuhnya, dapat kurasakan hangat tubuhnya dan wangi parfumnya yang mahal. Aku juga merasakan tangan Cazzo di bahuku mulai mengelus-elus sayang. Dan tanpa sadar... aku meletakkan kepalaku di bahu Cazzo... dan Cazzo meletakkan kepalanya di kepalaku.

Puncaknya... saat matahari benar-benar tenggelam dan yang tersisa adalah semburat oranye yang megah, Cazzo mengecup keningku. Membisikkan sesuatu yang membuatku bahagia.
“Gue sayang lo...”

-XxX-

Pukul delapan malam, kami baru pulang. Kami menghabiskan sepanjang petang di pantai, menyantap ikan bakar dan mengobrol bersama sekumpulan backpacker yang juga sedang liburan. Cazzo membelikanku gelang persahabatan yang terbuat dari kayu, dengan motif batik yang dilukis cantik. Kami bahkan bermain-main dulu di bibir pantai, berjalan sejauh air menutupi lutut kami dan membasahi celana kami dengan air asin.

Rasanya indah sekali. Rasanya ingin seperti ini terus.

“Kenapa kita nggak seminggu aja di sini?” tanya Cazzo sambil menyusul sebuah truk di depan kami.
“Karena Senin-nya kita sekolah, jadi kita mesti ada di Bandung lagi besok.”
“Gue masih pengen jalan-jalan ama lo.”
Aku juga, batinku.

Langit sudah sangat gelap. Cazzo menyetir mobil ini dengan santai, kembali ke kota Yogyakarta, melawan arus anak-anak muda yang kebanyakan justru sedang menuju pantai. Aku senang sekali sore ini. Kenangan yang indah. Tanpa Cazzo yang cemberut... tanpa tugas studi... tanpa masalah-masalah yang terjadi di Bandung... more important sih tanpa Esel... rasanya aku bisa menikmati kebebasan walau hanya sepetang saja.

Dan mungkin aku harus mulai menerima Cazzo, maksudku rasa sayangnya. Dia sudah begitu manis mau sayang padaku dan kelihatannya rela melakukan apapun asal aku ada di sampingnya. Berapa banyak cowok yang mampu melakukan itu, coba? I mean, untuk ukuran cowok yang pernah gabung di Mahobia, ini jelas-jelas ajaib.

“Lo denger ada yang ketawa, Bro?” tanya Cazzo kemudian, saat kami melewati perkampungan sepi di mana mobil pun bahkan jarang berpapasan dengan kami.
“Nggak aku nggak denger,” jawabku.
“Suara jendela kali, ya? Decit-decit gitu,” ujar Cazzo.

Tapi sedetik kemudian, aku mendengarnya. “Hihihihihi...” suaranya jauh sekali. Seperti ada orang yang tertawa keras dari dalam hutan sana dan yang kudengar adalah tawa sayup-sayupnya.

“Kamu denger ada yang ketawa, Cazz?” tanyaku.
Cazzo mengangguk-angguk. “Tadi sih iya, tapi kurang jelas. Suara jendela kayaknya.” Cazzo menengok ke kaca spion di sampingnya, tapi tak menemukan apa-apa.
“Kayak ada orang cekikikan, tapi suaranya jauh.”
“Iya, sama.”

Kami lalu terdiam, bergelut dengan pikiran masing-masing. Awalnya aku nggak mau memikirkan tawa itu, mungkin hanya suara angin atau memang decit karet jendela. Tapi lama-lama aku jadi terobsesi. Sebab tawa itu terdengar familier. Tawanya seperti... ngng... seperti...

Oh! Suara Bello kalo lagi jadi kuntilanak!

Hihihihihi...”
Nah, terdengar lagi. Masih sama jauhnya, tapi sayup-sayupnya dapat kudengar dengan jelas.
“Lo denger lagi, Bro?”
“Barusan denger,” kataku, tapi karena nggak mau mengatakan kata kuntilanak di depan Cazzo, akupun mencari alasan, “tapi kayaknya sih suara angin.”
“Oh, itu! Mungkin suara angin!”

Meskipun sebetulnya—ASTAGA!!!
Hoh... hoh... hoh...
Jantungku nyaris copot!! Sialan!
Ternyata ada Bello di jok belakang! Aku melihatnya dari kaca spion di bagian tengah, dan dia duduk manis dengan wujud kuntilanaknya seperti biasa. Agak beda sih, biasanya rambutnya putih, tapi kali ini rambutnya hitam. Dan wajah pucatnya yang penuh darah menyeringai dengan menyeramkan.

Dasar Bello sialan! Kenapa dia mengagetkanku seperti itu sih?!
Aku menyipitkan mata dengan kesal ke kaca spion tepat ke sosok kuntilanak yang duduk di jok belakang. Oh, jadi sekarang Bello punya kostum baru, ya? Jarang-jarang dia pakai gaun putih renda-renda penuh darah dan di bagian livernya ada bekas tusukan. Sosoknya yang ini terlalu berlebihan.

Andai aku aku bisa mengirim telepati, aku pasti bilang, “NGAPAIN KAMU DI SINI?! Ngerusak suasana romantis aja!

Aku menggeser kaca spion tengah supaya Cazzo nggak melihat lewat situ dan menemukan Bello dengan wujud kuntilanak sedang duduk asyik di sana. Kaca spion itu kuarahkan menghadap wajahku, jadi yang bisa melihatnya hanya aku. Berkali-kali aku menunjukkan wajah kesal pada Bello di belakang sana. Tapi dia malah balik menyeringai. Melotot dan kadang menjulurkan lidahnya yang penuh bintik-bintik... dan kadang tertawa “hihihi...” dengan suara yang kecil sekali.

“Kok gue merinding ya, Bro?” ujar Cazzo sambil mengusap-usap tengkuknya. “Lo merinding nggak?”
“I-itu bukan merinding! Itu kedinginan,” jawabku—lalu menoleh ke arah Bello sambil tanpa suara bilang “Pergi! Pergi! Pergi! Cazzo nggak suka kuntilanak!
“Lo kenapa, Bro? Ada apa di belakang?” Baru saja Cazzo mau menoleh ke belakang, aku langsung menahan wajahnya supaya tetap mengarah ke depan.
Eit-eit-eit! Nyetir nggak boleh lihat ke belakang! Lihatnya ke depan!”

Pergi Bello! Pergi!

Tapi sosok kuntilanak itu malah asyik duduk di situ. Sepertinya dia menantang, ya? Atau pamer? Akhir-akhir ini kan Bello suka pamer wujud-wujud hantunya yang baru. Kapan itu dia menunjukkan wujud pocong, dengan keliman renda-renda di bagian ujung ikatan kepalanya.

“Bro, lo nggak apa-apa, kan?” Cazzo mengerutkan alis.
I’m fine! Never better!” Lalu aku nyengir ke arah Cazzo. “Udah, nyetir aja. Nggak usah mikirin yang lain. Nggak usah nengok-nengok ke belakang atau kemanapun... lihat aja ke depan, konsen nyetir.”
Aku menggenggam tangan Cazzo, membuat dia tersenyum senang.

“Meskipun gue merinding kedinginan, gue seneng ada lo di sini,” katanya.
“Aku juga.” Ayo Bello! Kenapa masih duduk di situ?! Nanti aja kita ngobrol di hotel!
“Jadi kayak masuk rumah lo ya?”
“Apa?”
“Merindingnya, jadi kayak masuk rumah lo. Kenapa gue jadi inget tante yang ada di rumah lo ya?”

Tiba-tiba wajah Cazzo pucat, tapi dia masih bisa mengendalikan diri. Ngapain sih si Bello ini pake ngebikin Cazzo inget rumah? Mestinya kan... mestinya... tunggu—
Astaga.
Ya Tuhan...
Oh, shit.

Aku baru ingat.
Bello kan ada di rumah. Dia nggak bisa pergi keluar kota dan jauh dari rumah Granny. Bahkan waktu Granny pergi ke Jogja pun, dia tetap ada di rumah seharian, nggak ikut Granny—meskipun jelas-jelas Granny adalah majikannya. Kalau Bello ada di rumah, lalu yang di belakang kami ini siapa??

Hihihihihi...”

-XxX-

Sesampainya di hotel, wajahku pucat. Setengah mati aku menyembunyikan wajah pucatku, tapi Cazzo selalu menangkapnya.
“Bro, lo sakit, ya? Lo masuk angin, ya? Gue pijitin ya entar?”
“Nggak kok, aku nggak apa-apa.” Tapi setelah dipikir-pikir, alasan sakit mungkin bisa menghentikan Cazzo dari bertanya-tanya. “Sedikit mual aja, kok. Tapi nggak apa-apa. Aku butuh air putih aja.”

“Entar gue bawain!”
Kami berdua turun dari taksi dan melangkah memasuki lobby. Ada beberapa turis baru saja masuk dan kelihatan sedang membicarakan soal check in di hotel ini.
“Oh, si Sarah nge-sms gue,” kata Cazzo saat kami menaiki tangga. “Mereka udah ada di hotel dari tadi katanya. Seudah belanja lagi di Malioboro, mereka langsung pulang.”
Aku tersenyum singkat dan nggak membahasnya.

“Kamu mau ke mana Cazzo?” tanyaku, melihat cowok itu langsung ngeluyur ke arah lain, bukan ke lift maupun meja resepsionis.
“Oh, gue ke WC dulu. Lo ambil aja kuncinya.”

Aku menghela napas dan berjalan menuju meja resepsionis. Andai saja Cazzo tahu apa yang kami alami tadi, dia pasti bakal ketakutan setengah mati. Aku saja yang lumayan sering melihat bentuk-bentuk kuntilanak di rumah Granny, cukup ketakutan melihat kuntilanak beneran duduk di belakang kami.

Berjuta kali aku meyakinkan diri, barangkali itu memang Bello. Tapi setiap kali aku menatap wajahnya yang menyeringai seram ke arahku, keyakinanku luntur. Si kunti tetap duduk dengan manis di jok belakang, cekikikan beberapa kali, dan kadang memainkan rambutnya sambil menjulurkan lidah.

Saat kami sudah tiba di gerbang kota Yogyakarta, kuntilanak itu lalu berbisik padaku, “Makasih tumpangannya... hihihihihi...” lalu melayang keluar dan lenyap. Dan sejak saat itu dia nggak muncul lagi!

Astaga... aku benci kuntilanak. I mean, mereka kan bisa melayang... kenapa mesti ikut numpang segala sih?

Sampai kami tiba di tempat penyewaan mobil, lalu mengganti kendaraan dengan taksi, dan akhirnya tiba di hotel, aku masih nggak bisa menyembunyikan wajah pucatku dari Cazzo. Nggak mungkin aku cerita soal kuntilanak itu, kan? Bisa-bisa kami kecelakaan. Bisa-bisa—

“Hey-hey, Bitch... come heerreee...” Tiba-tiba sebuah suara kemayu dengan nada mengejek memanggilku, membuyarkan lamunanku.
Aku menoleh ke belakang, berhenti, tepat satu meter sebelum meja resepsionis. Di pintu lobby berdiri Esel dengan setelan kampungannya: kaus ketat berlengan pendek, kalung batik bertumpuk-tumpuk mencekik leher, celana pendek ngepas di paha, belt besar, poni yang menutupi alis, dan lensa kontak warna merah.

Sialan. Ratunya kuntilanak muncul.

Aku berdiri mematung sambil berkacak pinggang. Mau apa lagi dia muncul di hotel ini sekarang? Padahal kami berlima sudah mati-matian menyembunyikan tempat menginap kami dari Esel. Apa dia membuntuti Tina Sarah dan Meisa waktu mereka pulang?

“Sini, Sust... I kan nyuruh you ke sini... masih budek, ya?” Dia melipat tangan di depan dada.
“Ya ampun, Esel... nggak pernah ada toilet yang nyamperin orang yang mau BAB. Kalo kamu butuh aku, ya kamu yang nyamperin dong,” balasku.

Esel mengangkat sebelah alisnya sambil menatapku atas bawah. “Oh, iya, baru inget. Ternyata you tuh toilet. Ya udah deh, I nyamperin ke situ. Pengen buang tai nih.”

Sialan. Mestinya tadi aku nggak pake pribahasa yang itu. Pasti ada pribahasa lain.

I sih cuma mau ngingetin you aja supaya you nggak macem-macem sama Cazzie,” ujarnya begitu sampai di hadapanku. Matanya mendelik-delik sinis dan salah satu jemarinya memainkan rambut dengan manja. Mirip mean girl di sekolahku yang dulu di New Jersey. “You kayaknya nggak pernah tau diri ya, nggak pernah sopan sama orang yang lebih senior daripada you.”

Suit yourself, ugly-pansy. Aku lagi nggak mood bicara ama tai, nih. Sorry. Toiletnya out of order.”
You tuh nggak pernah nyadar ya, siapa I di CIS?”

Again?? Same question?!

“Nggak, aku nggak pernah nyadar. Sebab aku pikir... kamu tuh nggak ada.”
“Oh, sweetie... jangan sok ngelawan gitu deh... you nggak pernah tahu apa yang I bisa lakuin ke you sampe bikin you sujud-sujud di kaki I.” Esel memasang senyum palsu dan pandangan kasihan padaku. “Poor you...”

Indeed,” jawabku. “Aku nggak pernah tahu. Dan aku juga nggak peduli.”
I bisa bikin hidup you kayak di neraka. Wasn’t that sweet?” Esel nyengir. “Misalnya kayak nilai aljabar favorit you itu, I bisa bikin number one lho... maksudnya, ditulis ‘one’ di report card. How was that? I sering ditempong lho sama guru aljabar you itu... kecil sih kentinya, tapi better lah... I jadi punya akses.”
Aku mendengus geli. “Kalo mau bullshit, mending bikin novel aja gih sono. Kali aja dapet royalti buat nyembuhin kulit kamu yang bercak-bercak itu. Itu apa sih? Kurap, ya?”

“Ini tato polkadot, Hunny... makanya itu mata tolong diganti ya resolusinya. Jangan melulu pake contact lens orang buta. Sekalian juga, biar you bisa lihat diri you, senggakpantes apa you jalan berdua ama Cazzie. Oh, Gosh... I pengen muntah tiap bayangin you jalan berdua ama Cazzie...”
“Aku punya sisa kantung kresek,” balasku. “Mau muntah, kan?”
“Oh, thank you... You kan kantung kreseknya?”

“Ada apa nih?” Tiba-tiba Cazzo datang menyela kami. “Bro! Kenapa jadi makin pucet begitu?”
“Cazziee... sorry I nggak bisa nemenin you sore tadi...”

Cazzo menjauh dari Esel yang mencoba memeluknya. Dia bersembunyi di belakangku, jaga jarak dengan Esel. “Apaan sih lo! Sono-sono, dua kilo dari sini!”
Don’t worry Baby... begitu urusan Suster Ngesot ini selesai, kita bisa berdua tanpa gangguan.”
“Lo ngapain si Agas sih sampe pucat begini?” Cazzo agak ngambek melihat aku tampak letih dan pucat. Aku memang merasa tiba-tiba lelah. Tapi kan...

to be continued...


0 comments:

Post a Comment